BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

11617192122117

Comments

  • ayo lanjutt... iya pngen adegan rajang nih..hehehe
  • edited September 2012
    Silver's View

    Lorigwand City, Aronia Country
    "KITA HARUS MEMBALAS PERBUATAN HARMONIA PADA KITA!"
    Seagent meraung kuat, diikuti oleh sekelompok orang yang sedaritadi berkumpul di sekelilingnya.
    Seagent tersenyum puas melihat antusiasme yang berhasil ditariknya, ia kemudian mengangkat sebuah gambar bandul dengan lambang Harmonia
    "INI BUKTI HARMONIA MENYERANG KITA! MEREKA DENGAN BODOH TELAH MENJATUHKANNYA! HARMONIA HARUS MEMBAYAR PERBUATAN MEREKA!"
    Orang orang yang berlalu lalang tampak mulai tertarik dan mendekat, sementara kerumunan yang sedaritadi sudah berkumpul tampak mengangguk angguk setuju sambil mengacungkan tangan mereka.
    "KITA TIDAK BOLEH DIAM SAJA DIINJAK INJAK SEPERTI INI!"
    Seagent meneruskan perkataannya dengan lantang, berusaha keras menarik semakin banyak penonton. Tanpa ia sadari sepasukan tentara sudah berada di dekat kerumunan mereka.
    "ADA APA INI!"
    Seagent terdiam sejenak, kemudian dia menatap ke arah pemuda berjubah merah yang bediri di depan kerumunan orang banyak.
    "Cardinal...!"
    Keadaan yang tadinya ramai dengan gumam dan teriakan segera terdiam, beberapa orang yang tadinya hanya duduk di tepi jalan mulai tertarik dan berdatangan ke arah mereka
    "Aku ulangi, ada apa ini."
    Ucap Cardinal lagi dengan dingin.
    Seagent langsung tersenyum dengan penuh arti, dia segera menunjukkan telunjuknya ke arah Cardinal.
    "Lihat! Cardinal ada disini! Kalian bisa tanya sendiri padanya! Harmonialah yang mempermalukan kita!"
    Kerumunan yang tadinya sunyi sekarang mulai berbisik bisik, dan lama kelamaan mereka mulai bergumam dengan nyaring.
    Cardinal memegangi keningnya, kemudian dia menoleh ke belakang, menatap ke arah barisan tentara yang berada di belakangnya.
    "Silent Lake..."
    Seorang dari Priest yang berdiri di belakang Cardinal menghunjukkan tangan kirinya, setetes air muncul dari tengah tengah udara dan menetes ke tanah, membentuk lingkaran berwarba biru di sekitar kerumunan itu membuat mereka menjadi bisu dalam sekejab.
    Cardinal menutup matanya, menghela nafas, kemudian menatap dingin ke arah kerumunannya. Dia menatap dengan tajam ke arah Seagent, kemudian mengacungkan telunjuknya dengan kuat.
    "Seagent, kalau kau tidak bisa membuktikan perkataanmu, aku jamin kepalamu akan berada di depan gerbang kota saat itu juga! Dan kalian, aku tidak menuduh Harmonia! Aku sudah mengirim Priest Keith kesana, dan Harmonia menyangkal hal itu! Aku menjamin bahwa pelakunya bukanlah Harmonia dengan namaku sendiri!"
    "Cardinal, tenangkan emosi anda...."
    "Tenang Keith, aku sedang dalam kontrol penuh terhadap emosiku, aku hanya perlu berbicara lebih keras untuk meyakinkan mereka..."
    Kerumunan itu mencoba berbicara, mereka membuka mulut dan berkata kata, tetapi tidak sepatah katapun terdengar dari mulut mereka.
    "Kalian tidak mau mendengarkanku bila aku tidak membisukan kalian. Jangan biarkan kalian diadu domba! Aku percaya Harmonia bukanlah pelakunya!"
    Cardinal mengepalkan kedua gengamannya, dan menatap tajam ke arah rakyatnya.
    "Bagaimana, kalau benar Harmonia yang melakukannya?"
    Seagent tersenyum angkuh. Ia melipat kedua tangannya dan mengangkat dagunya sambil menatap ke arah Cardinal.
    Sejenak Cardinal terdiam, kemudian ia menghela nafas dalam.
    "Aku sendiri yang akan menghabisi pelakunya...."
    Cardinal meremas kedua genggamannya, terlihat jelas dia bergitu kuat menahan emosinya.
    "Kita pergi sekarang. Lepaskan mantramu, Vius."
    Seorang Priest yang bernama Vius mengayunkan telapak tangannya, lingkaran biru di tanah segera menghilang. Cardinal dan pasukannya berjalan meninggalkan kerumunan yang hanya menatap takjub ke arah mereka, bersama dengan Seagent yang terus mengumbar senyuman angkuh ke arah mereka.
    Cardinal memijit mijit keningnya, berusaha menenangkan pikirannya dari berbagai ketakutan yang datang terus menerus ke kepalanya.
    "Keith.."
    Keith segera berjalan maju berusaha menyamakan langkahnya dengan Cardinal.
    "Mereka pasti akan mencoba mencari bukti baru. Perketat penjagaan di setiap kota. Siang Malam! Dan sampaikan pesan ke Harmonia untuk bersiap. Karena mungkin kita akan berperang dengan mereka."
    Keith mengangguk, dan segera memisahkan dirinya dari kerumunannya.
    "Seagent, sial, aku pasti bisa menemukan bukti keterlibatanmu..."
    Cardinal mempercepat langkahnya, dari raut wajahnya tersirat jelas perasaan marah dan kuatir yang saat ini bercokol di dalam hatinya.
    ======================================

    Caesar's View

    Aku mempercepat langkahku, seakan berlomba dengan semua orang yang saat ini tergesa berkumpul di Aula Utama. Kami semua saat ini berjalan ke arah aula utama untuk memenuhi panggilan Arsais.
    Arsais secara tiba tiba mengumpulkan semua Captain dan Perwiranya di Aula Utama.
    "Arsais, ada apa lagi..."
    Aku menatap ke sekelilingku sambil berlari.
    Tak ada segarispun senyum terpancang di wajah mereka. Ketakutan tampak menjadi lukisan utama di wajah mereka. Aku bisa memakluminya. Jelas saja, karena terakhir kali kami dipanggil beramai ramai ke aula utama adalah pada saat Perang Besar di Southgard. dan bila hal ini terjadi lagi, maka bisa kupastikan perang besar mungkin sudah berada di depan pintu kami.
    "Sir Caesar...!"
    Aku menoleh ke arah sampingku, Axel tampak bersusah payah berlari sambil membopong tongkat - tongkatnya.
    "Axel, kamu tahu ada apa?"
    Axel menggeleng cepat, seraut kebingungan dan ketakutan terpancar jelas di wajahnya.
    "Kamu takut...?"
    Axel mengangguk pelan sambil terus berlari ke arah Aula Utama. Rasanya kami sudah sangat lama berlari, tapi tampaknya tujuan kami masih begitu jauh di depan mata.
    "Emm, jauh ya..?"
    Axel membalas perkataanku dengan anggukan pelan.
    Aku menelan ludah, Kecanggungan jelas terasa di antara kami
    "Ehh, Umm, Santai aja! Ga usah takut!"
    Aku tersenyum lebar, mencoba membuka obrolan dan mencairkan suasana, tapi tampaknya Axel tidak memperdulikannya, Ia hanya mengangguk kecil dan tersenyum simpul. Aku akhirnya memutuskan untuk ikut menutup mulut dan fokus berlari ke arah aula yang sudah tinggal beberapa meter dihadapan kami.
    "Hmmh, Hufh, Hufh, hufh.."
    Aku berusaha mengatur nafasku. Kami akhirnya berada di pintu utama aula besar. Aku berjalan pelan memasuki aula utama sambil mengatur nafasku. sekumpulan orang yang sudah lebih dahulu berkumpul telah berbaris rapi di Aula utama. Aku dan Axel segera mengambil posisi kami di belakang Arsais yang berdiri membelakangi semua orang.
    Arsais sama sekali tak memperdulikan keramaian yang terjadi, wajahnya terlihat serius terfokus pada selembar gulungan yang ada di tangannya.
    "Semua sudah berkumpul...?"
    Dia mengalihkan pandangannya dan berputar ke arah pasukannya tepat pada saat perwira terakhir berjalan memasuki Aula Utama. Arsais berdiri dan mengangkat tinggi tinggi gulungan surat yang sedari tadi di bacanya
    "Aronia, mengirimkan surat..."
    Dia menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya
    "Tampaknya Aronia sedang berkecamuk karena penghancuran desa mereka belakangan ini, dan kita menjadi kambing hitam dalam kejadian ini. Pihak Aronia sudah mencoba meluruskan keadaan, tapi tampaknya tidak begitu berhasil. Aronia memperingatkan kita, bahwa kemungkinan kita akan berperang dengan mereka...."
    Pekik tertahan terdengar dari beberapa orang. Kerumunan itu mulai bergemuruh, setiap orang mulai berbicara satu sama lain.
    Arsais melepas topinya sejenak untuk menyisir jari rambut kecokelatannya. Kemudian dia melanjutkan kata katanya dengan lantang.
    "Aku minta mulai sekarang, bagian Strategi mengatur untuk latihan setiap Peleton, dan mempertimbangkan persiapan strategi kita untuk melawan mereka! Bukan perang yang sulit untuk dimenangkan, tetapi kita tetap harus mempertimbangkan segala kemungkinan!"
    Kerumunan yang tadinya terlihat resah mulai tenang, tampaknya Arsais berhasil menenangkan mereka. Mungkin karena Arsais terlihat santai dan cuek, mereka jadi percaya diri dan tidak terlalu kuatir dengan keadaan segenting ini. Memang seperti itulah Arsais, selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh, sifatnya itulah yang selalu membuat kami tenang saat dia berdiri di hadapan kami di garis depan. Auranya selalu memberikan ketenangan bagi kami, walaupun perkataanya terkadang terasa sangat tajam.
    "Dan Kalian, Para Captain! Persiapkan diri kalian untuk latihan! Baik latihan per peleton, maupun latihan perang! Kumpulkan pasukan kalian!"
    Arsais menatap ke sekeliling ruangan, menyapu pandangannya ke orang orang yang mengangguk angguk mendengar perintah Arsais.
    Arsais tersenyum puas, kemudian dia mengangkat sebelah tangannya untuk kembali menarik perhatian pasukannya.
    "Bagus, aku yakin kalian bisa kuandalkan. Kalian boleh bubar. FOR HARMONIA!"
    Arsais berteriak lantang sambil mengangkat tangan kanannya, dan segera diikuti oleh setiap orang yang ada di dalam Aula Utama. Suasana menjadi hiruk pikuk untuk sesaat, karena semua orang berteriak. Aula seakan bergetar karena gemuruh suara mereka.
    Arsais membalikkan badannya, membelakangi para orang kepercayaannya yang mulai membubarkan diri satu persatu dari Aula Utama. Aku dan Axel masih berdiri diam di tempat kami sedari tadi berdiri.
    Arsais menatap datar kearah kami, kemudian berlalu pergi sambil mengeluarkan selembar surat dari saku jubahnya.
    "Kalian juga boleh pergi, aku akan ke Central, kupikir aku akan pergi sendirian. Aku akan kembali dalam 15 menit."
    Aku dan Axel mengangguk berbarengan, Arsais bergegas pergi membawa surat yang sedaritadi dipegangnya.
    Aku masih berdiri diam, Sedangkan Axel memain mainkan kakinya sambil menatap ke arah Aula yang kosong melompong.
    "Kayaknya, bakalan perang besar yah..."
    Axel mengangguk pelan sambil melihat ke arah kakinya.
    Aku merasakan setitik keringat mengucur di punggungku. Aku tidak tahu apa yang harus aku bicarakan dengannya.
    "Axel, masih sering latihan..?"
    Dia menggeleng pelan, gerakan kakinya tampak semakin keras.
    "Kenapa ga latihan lagi..?
    Dia mengangkat bahunya sambil mengedarkan pandangannya ke arah jendela jendela besar di aula utama.
    Aku menelan ludahku, keheningan yang menusuk mengelilingi kami. Aku menghela nafas beberapa kali, untuk menguatkan hatiku sebelum berbicara kembali padanya.
    "Aku minta maaf soal kemarin, aku ga seharusnya bilang gitu, Axel, boleh aku minta kesempatan darimu...?"
    Mendadak Axel menatapku dengan tajam, dia menggigit kedua bibirnya sambil menatap ke arahku. Tatapannya terasa sangat tajam dan seakan membaca seluruh hatiku. Bibirnya bergetar pelan sebelum akhirnya dia mengucapkan sepatah kata.
    "Kesempatan apa lagi...?"
    Deg! Dia mengucapkannya dengan nada dingin dan tajam, seakan berbicara pada seseorang yang benar benar dibencinya.
    Dia tampak bergetar saat berbicara denganku, Geraman pelan terdengar dari dalam mulutnya.
    Aku hanya bisa menunduk pasrah tanpa berani menatapnya.
    "Kesempatan untuk mengatakan kamu ga bisa bersamaku? Untuk menambah satu goresan lagi di hatiku...?"
    Dia menatapku, senyuman lembut tergurat di bibirnya, tetapi bulir bulir bening berjatuhan dari matanya.
    "Axel, maaf...."
    Dia menutup matanya dan mendudukkan dirinya ke lantai.
    Isak tertahan sejenak memenuhi ruangan besar ini.
    "Tidak masalah. Tidak ada masalah, Sir Caesar. Maaf, Jangan dekati aku dulu, aku perlu waktu..."
    Dia mengangkat kepalanya, dan mempertemukan pandangan kami. Aku begitu tersiksa saat harus menatap matanya secara langsung.
    Aku menatap sayu ke arahnya, dia membalas tatapanku dengan tatapan datar, walau matanya masih terus menjatuhkan butiran butiran air.
    "Berhentilah menangis..."
    Dadaku terasa sakit menatap ke sosok di hadapanku. Begitu lemah dan rapuh. Dia benar benar terlihat tersiksa dengan keadaaannya sekarang. Kenny benar, rasanya pasti sakit sekali berada dalam posisinya. Aku bahkan tidak memikirkan hal ini sama sekali. Aku masih terus menatapnya, menunggu sepatah jawaban dari bibirnya.
    "Yeah, tapi pergilah. Jauhi aku. Seperti yang Sir Caesar inginkan. . ."
    Sepatah jawaban yang kutunggu akhirnya langsung melesat menyayat hatiku. Sepatah kata yang diucapkannya dengan datar. Dia kembali menundukkan kepalanya, dan tetes tetes air masih terus berjatuhan dari matanya.
    Kutarik nafas panjang, aku mengangguk pelan, walaupun aku yakin dia tidak akan menyadarinya, kuputar tubuhku, dan kulangkahkan kakiku keluar dari Aula utama menuju ke ruang Strategi.
    ". . . . . . . . . ."
    Aku duduk di depan meja strategi tempat peta besar Suikoworld terhampar di depanku. Pikiranku penuh dengan semua kejadian yang terus berputar dikepalaku.
    Kepalaku terasa penuh dengan berbagai masalah yang sedaritadi terus menyerang pikiranku. Aku meremas kedua kepalaku, berharap semua pikiran itu akan terusir pergi, tapi tampaknya tak satupun dari mereka berkenan untuk meninggalkan kepalaku.
    Axel sekarang tidak menghiraukanku sama sekali. Dia benar benar dingin. Dulu memang dia pernah dingin kepadaku, tapi tidak sedingin ini. Awalnya aku berpikir akan lebih baik kalau dia tidak berada di dekatku.
    Tapi ternyata aku salah.
    Hatiku terasa begitu perih saat tadi aku meihat airmatanya. Hatiku bagai tersayat saat dia memintaku untuk pergi. Hatiku menolak untuk meninggalkannya, tapi akal sehatku tampaknya terus menerus meracuni hatiku, terus berkata bahwa perasaanku ini adalah sesuatu yang salah dan harus dilenyapkan.
    Aku memijit keningku yang terasa mau pecah. Pikiranku sudah dipaksa bekerja sampai pada batasnya.
    Berbagai pertanyaan berputar di kepalaku.
    Apa aku memang benar benar menyayanginya? Salahkah kalau aku menyukainya? Dan yang terpenting, Apa aku memang tidak pantas untuknya?
    Aku menarik nafas dalam. Kupejamkan sejenak mataku, dan kusandarkan tubuhku pada sandaran kursi di belakangku
    Arsais?
    Sekarang dia lebih dekat dengan Arsais, dan sepertinya Arsais pun lebih terbuka ke arahnya. Apakah Arsais juga membuka hatinya untuk Axel?
    Kalau memang benar begitu, kupikir Axel pasti lebih baik bersama Arsais, daripada dia bersama pecundang sepertiku.
    Yeah, aku memang pecundang.
    Pecundang yang hanya bisa menyakiti hati orang yang ingin kulindungi.
    Segaris cairan bening mengalir melewati mataku. Aku segera menyekanya, entah kenapa, tawa pelan mendadak muncul dari dalam mulutku. Seakan tubuhku ingin menertawakan diriku. Tawaku terdengar semakin kencang, tanpa bisa kutahan, tampaknya pengkhianatan itu diikuti oleh mataku, yang akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan lebih banyak air mata tanpa bisa kukendalikan. Aku menutup mataku dengan kedua belah tanganku aku berusaha keras melawan tubuhku sendiri, Aku meremas wajahku, berusaha menghentikan tawa kejam yang muncul dari mulutku sendiri.
    Sejenak kemudian akhirnya aku mulai bisa mengendalikan tubuhku, Aku berusaha mengatur nafasku yang masih memburu. Airmataku masih belum bisa terbendung. Kulipat kedua tanganku dan kubenamkan kepalaku di dalamnya. Aku terus berusaha menghentikan isakan yang entah darimana muncul tanpa bisa aku kontrol.
    Aku sudah kalah. Salah langkah, dan sekarang tidak ada jalan untuk kembali.
    Cinta pertama yang kurasakan, dan menjadi hal yang paling menyakitiku selama hidupku. Mengapa aku harus mencintai orang yang benar benar salah? Andaikan aku tidak terlahir sebagai pria, mungkinkah aku punya kesempatan padanya?
    Tampaknya tidak...
    Sosok inilah yang disukainya, sosokku sebagai Caesar. Seorang laki laki. Sosok ini jugalah yang tidak bisa kuberikan padanya.
    Kututup kembali mataku, kutenangkan pikiranku, walau tampaknya tidak ada satu pun yang bisa berhenti bergejolak dan berusaha menjebol dadaku.
    Sakit....
    Aku berdiri, menyeka airmataku, dan kembali merapikan pakaianku. Entah kenapa aku berpikir begini, yang pasti sekarang kuputuskan untuk berjalan sejenak, melenyapkan pikiran yang muncul dari dalam hatiku.
    Aku menyusuri lorong panjang dengan jendela jendela besar yang memamerkan keindahan pemandangan diluar padaku. Tapi aku tidak mengusiknya, aku bahkan tidak tahu kemana aku harus berjalan. Pikiranku kosong. Aku memberikan kebebasan pada kakiku untuk membawa tubuhku kemanapun dia ingin. Sejenak aku terdiam, beberapa meter di hadapanku adalah kamar Arsais.
    Entah sejak kapan, perasaan suka yang dulu muncul pada Arsais sekarang tergantikan perasaan cemburu yang luarbiasa. Hubunganku dan dia di sekolah pun semakin meregang. Alvin, tampaknya juga tidak perduli. Dia tetap bersikap cuek seperti biasa. Aku yakin dia menyadari perubahan sikapku, tapi dia tetap tidak acuh sama sekali.
    Sikapnya kadang memang benar benar menyebalkan. Tapi entah kenapa, dia selalu berhasil membuat banyak orang berkumpul di sekelilingnya. Entah apa yang membuatnya begitu sempurna.
    Perangainya memang terlihat buruk, tapi sebenarnya Alvin adalah orang yang benar benar baik dan memiliki perhatian yang besar. Mungkin itulah yang membuatnya disukai?
    Tindakannnya selalu tidak dapat ditebak, dan dia selalu mengambil keputusan yang begitu radikal, dan mungkin aneh bagi orang orang. Tapi itu adalah caranya untuk menyelesaikan masalah atau membantu seseorang tanpa disadari oleh siapapun.
    Mungkin itu jugalah yang sekarang berhasil menarik perhatian Axel dari hadapanku.
    Aku menghela nafas berat, kakiku masih terpatri di tempat aku tadi berdiri, dan mataku masih terus memandang ke arah kamar Arsais.
    "Kupikir, lebih baik aku serahkan Axel padamu.."
    Sepatah kata terucap begitu saja dari bibirku, aku masih memandang sayu ke arah kamarnya.
    Pintu kamar itu tiba tiba membuka, seseorang berpakaian jubah biru mengendap endap keluar. Dia memperhatikan sekelilingnya.
    Aku segera bersembunyi dengan menaiki jendela besar. Aku melongokan kepalaku, berusaha mengenali sosok yang ada di hadapanku
    "Hmm..."
    Arsais?
    Sudah pulang dari Central? Cepat sekali?
    Dia lagi lagi memakai pakaian Priest itu?
    Mau kemana dia sebenarnya?
    Arsais berjalan dengan hati hati keluar dari kamarnya menuju ke arah yang berlawanan dengan lorong tempatku berada.
    Aku menunggu sampai dia menjauh untuk turun dan membuntutinya. Aku memutuskan untuk memberanikan diri melangkahkan kaki mengikutinya, untuk menjelaskan semua pertanyaan dan misteri yang terjadi selama ini. kemana sebenarnya dia, dan apa yang sebenarnya dia sembunyikan dariku?
    Aku mengendap endap mengikutinya ke ruang Teleportasi.
    "North Wall Town..."
    Dia mengucapkan tujuannya
    North Wall? Tempat perang pertama kami dengan Aronia?
    Mau apa dia kesana?
    Aku menunggu beberapa menit, sebelum aku akhirnya memasuki ruangan teleportasi, dan mengatakan tujuan yang sama seperti yang dituju Arsais.
    Aku menutup mataku, dan merasakan tubuhku menjadi ringan. Pertanda tubuhku sudah mulai di pindahkan ke North Wall
    Secret..?
    What Secret...?
    =======================================
  • Caesar's View

    Suara suara ramai mengusik telingaku.
    Aku membuka mataku, saat ini aku berada di sebuah rumah kecil terbuat dari kayu. Seorang teleporter berpakaian jubah Harmonia tampak lalu lalang membereskan berbagai perkamen perkamen yang bergunung di sisi ruangan.
    Dia terus berusaha menumpuk perkamen itu dengan ulet, walaupun gulungan kertas itu menolak dan kembali berjatuhan saat ia melepaskan tangannya.
    "Hallo, Selamat datang di North Wall!"
    Dia akhirnya menyadari kalau aku sedaritadi terus memperhatikannya. Gadis itu segera menebas jubahnya yang tampak berdebu, kemudian segera tersenyum ke arahku
    "Err, kamu melihat seorang priest berambut cokelat yang baru saja datang kemari?"
    Gadis itu sejenak menerawang ke atas sambil menggigit gigit telunjuknya, kemudian dia menjentikkan jarinya
    "Ah! Priest imut itu kan! Ya ya! Dia barusaja keluar, tampaknya dia menyeberang ke gerbang perbatasan..."
    Aku mengangguk angguk, kemudian tersenyum dan menundukkan kepalaku ke arahnya
    "Terimakasih.."
    Aku berjalan keluar dari bangunan itu, dan gerbang perbatasan tampak berdiri kokoh tepat di ujung jalan.
    "Pantas dia melihatnya, ternyata gerbangnya didepan mata.."
    Aku bergumam sendiri sambil melangkahkan kakiku menuju bangunan batu keabuan yang berdiri kokoh di ujung kota.
    Kiri kanan jalanku tampak berbagai orang duduk dan menghamparkan berbagai barang, kembali mengingatkanku pada pasar di L'Entracte, tempat dimana masalah panjang ini bermula. Masalah dimana aku dan Axel terpaksa harus menjalani pilihan yang begitu berat bagi kami.
    Aku tahu, aku tidak pantas melemparkan kesalahanku pada hal hal lain, hanya saja, entah kenapa rasanya ingin aku melepaskan semua bebanku. Andai aku tidak perlu memilih jalan ini..
    Lamunanku berhasil menghantarkanku ke gerbang utama. Sepasang penjaga berbaju besi segera menghadang jalanku.
    "Kalian melihat seorang priest muda barusaja lewat sini? Apa dia melapor? Kemana dia akan pergi?"
    Aku tidak menunggu lama, aku segera memberondong kedua penjaga itu dengan pertanyaan.
    "Siapa kamu, dan apa keperluanmu menyeberang? Di sisi lain gerbang ini adalah wilayah kekuasaan Aronia, dan Lord Arsais melarang semua warga Harmonia yang tidak berkepentingan melewati perbatasan demi keamanan.
    Aku menatap tajam ke arah mereka, Kurogoh sakuku, dan kukeluarkan lencana Harmonia dari sakuku.
    "Saya Strategist dari Valerie Royals. Minggir, dan jawab pertanyaanku..."
    Mataku masih menatap marah ke arah mereka. Jelas saja, karena kejadian konyol ini, tentu saja aku kehilangan banyak waktu dan mungkin Arsais sudah jauh di depanku. Lihat saja, kalau sampai aku kehilangan jejak, mereka harus membayar mahal!
    Mereka terkesikap, dan segera menundukkan kepalanya
    "Maafkan kami! Priest itu? Dia melapor dia akan pergi ke Catalun Bay City. Kukira kalau dia tidak ada keperluan di sana, mungkin dia akan pergi ke Midlake Village..."
    Aku mengangguk sambil tetap mengunci pandanganku ke arah mereka.
    "Kalau sampai, karena kejadian bodoh ini, aku kehilangan jejak, leher kalian sekarang dalam bahaya..."
    Desisku sambil menatap kedua orang yang saat ini tidak berani menatap ke arahku.
    Aku segera melangkahkan kakiku ke arah gerbang tanpa menoleh ataupun mengucapkan sepatah kata kepada kedua penjaga yang diam seribu bahasa.
    Kupercepat langkahku, aku harus sesegeranya mencapai Catalun! Mungkin aku bisa dapat perahu kedua untuk menyeberang ke Midlake, kalau memang ternyata Arsais menyeberang ke Midlake...
    "Acute Speed, Haste, Raging Charge..."
    Kugunakan beberapa skill Knight ku untuk mempercepat gerakanku. Aku harus sesegeranya mencapai Catalun!
    =======================================
    "Sialan! Dimana kau!"
    Kususuri setiap jalan yang ada di kota kecil itu. Kota ini memang diperuntukan sebagai pelabuhan ke Midlake Village dan ke Flogeru, Kota pusat dari Aronia. Karena itulah kota ini tidak didesain besar, dan termasuk sepi. Sehingga mempermudahku dalam menyisir sekeliling kota tanpa terkecuali.
    Aku memasuki setiap bangunan yang bisa aku masuki, mulai dari Inn, Shops, sampai rumah rumah NPC yang dibuat untuk menambah jumlah bangunan di kota. Tapi tak kutemui sosok Arsais disana.
    "Dia naik Kapal ke Midlake Village..?"
    Aku segera mengarahkan pandanganku ke arah pelabuhan, beberapa orang tampak sedang berjalan masuk ke dalam kapal, dan palang kayu sebagai jalan masuk tampak mulai diangkat dari kapal.
    naik? jangan? Naik? Jangan?
    NAIK!
    Aku berlari sekencang yang aku bisa, MP ku sudah habis untuk mempercepat perjalananku ke Catalun, sehingga sudah tidak tersisa untuk menggunakan skill lagi.
    "SIALAN! TUNGGU AKU!"
    Aku hanya beberapa meter lagi dari sisi kapal saat aku melihat parket kayu itu diangkat semakin meninggi.
    "DASH!"
    Aku menggunakan MP terakhirku untuk melontarkan diriku masuk ke dalam kapal.
    BRUK!
    Aku jatuh terjembab, tapi untungnya aku terjembab tepat di lantai kabin kapal.
    "YES!"
    Aku berdiri dan merapikan pakaianku, aku melihat ke arah pelabuhan, tampak NPC yang menjadi penjual tiket kapal berteriak dengan marah sambil mengacungkan tinjunya ke arahku.
    Aku tidak perduli!
    Beberapa orang memandangiku dengan tatapan aneh, dan beberapa berbisik bisik sambil melihat ke arahku. Aku tidak ambil pusing. Kududukkan tubuhku di pinggir geladak, dan mengistirahatkan diriku sejenak.
    Siapa tahu setelah ini aku bakal perlu MP untuk melakukan hal hal gila lain?
    Tanpa kusadari aku terlelap di dalam perjalanan ke Midlake Village. Aku terbangun saat suara keras dari jembatan kayu untuk menyeberang dijatuhkan.
    BRUAK
    "Ahh..."
    Aku menggaruk garuk pipiku, sambil menatap sekeliling, orang orang sudah mulai berjalan turun dari kapal.
    Aku berbaris mengikuti mereka untuk menapak turun dari kapal sial yang sudah menguras habis tenagaku.
    Kutatapi sekelilingku. Penampilannya sangat berbeda dengan kota kota di Valerie yang umumnya dikelilingi daerah tandus. Kiri kanan bangunan hanya berupa rumah rumah reyot dari kayu berwarna cokelat keabuan yang mulai berlumut dimana mana.
    "Apa yang kau lakukan disini, Arsais?"
    Sejenak aku ragu, apakah benar aku sedang berada di tempat yang tepat. Keputus asaan dan keraguan mulai menjalari hatiku. Tampaknya aku lagi lagi kehilangan jejaknya...
    Aku berjalan menyisir kota itu, dan berhenti di sebuah bangunan kecil dengan sendok dan garpu di depan pintunya.
    Restoran?
    Tidak meyakinkan sekali penampilannya jika dibandingkan restoran di Valerie yang berukuran besar dan berdinding kokoh serta terlihat bersih.
    Aku berjalan melewatinya, memutuskan untuk terus melanjutkan pencarianku.
    "..!!!"
    Aku segera lari bersembunyi saat aku mendapati sosok Arsais duduk di tepi jendela bangunan itu. Aku mengambil tempat bersembunyi dan memandangnya dari kejauhan.
    Seseorang berambut perak panjang tampak berdiri di hadapannya. Seorang Archer?
    Aku menelan ludah menyaksikan pemandangan di hadapanku. Arsais tampak tersenyum ke arah wanita berambut perak itu. Dari gelagat tubuh mereka, sudah jelas mereka tampak mesra. Aku yakin kalau mereka memiliki hubungan khusus.
    "Hmm, Seorang gadis Aronia eh? Alasanmu untuk pergi dengan pakaian Priest seperti itu?"
    Aku mengangguk angguk tanpa sadar, seakan menyadari keadaan yang terjadi di hadapanku. Sepercik rasa marah terbersit di dadaku.
    Dia menjalin hubungan dengan wanita ini, lalu apa maksudnya memberi perhatian dan berkata akan merebut Axel dariku?
    Aku kembali mengingat semua kejadian yang telah terjadi. Kepalaku bagaikan tape yang memutar ulang semua kejadian yang ada.
    Hmm, Kamu cuma mau bermain main dengan Axel?
    Ga akan aku biarkan!
    Wanita berambut perak itu membelai pelan rambut Arsais, dan Arsais menutup matanya pelan, menikmati sentuhan lembutnya.
    Aku membalikkan mukaku. Aku tidak tahan memandang ke arah mereka. Arsais yang selama ini kukira seorang yang baik dan tulus, ternyata menyimpan kelicikannya dalam dalam. Terlalu dalam, sampai aku tidak menciumnya.
    Hmph...
    Dengan gontai aku melangkahkan kakiku kembali ke arah pelabuhan, aku terus memikirkan semua kejadian yang barusan terjadi di dalam kepalaku. Berbagai praduga dan pikiran buruk terus menerus meracuniku, memupuk kemarahanku dengan sempurna.
    Aku harus bicara dengan Axel!
    Aku menghantamkan setiap langkahku ke batuan di bawah sepatuku untuk mengurangi tekanan di kepalaku. Tapi semakin aku berjalan, semakin besar kekesalan yang kusimpan.
    =======================================
    "Sir Caesar, anda sudah kembali... Eh..."
    Kedua penjaga depan Gerbang Valerie terlihat bingung saat aku melewati mereka tanpa sepatah katapun dan dengan wajah merah padam bagai terbakar. Aku memang sedang terbakar! Terbakar dalam emosi yang luarbiasa.
    Aku menapaki setiap lorong Valerie, mencari sosok kecil berpakaian hijau yang biasa selalu kurindukan sosoknya. Aku terus berjalan dengan berat menyusuri ruangan demi ruangan di Kastil besar itu. Orang orang yang memberi salam kepadaku tak kuhiraukan, aku terlalu jengah untuk menjawab mereka, atau bahkan untuk tersenyum meladeni sapaan mereka.
    "Axel..."
    Axel ternyata masih berada di Aula Besar, dia berdiri di depan salah satu jendela dan menatap jauh ke arah seberang, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi aku sangat jarang melihatnya semurung ini. Apakah berita yang akan kusampaikan akan memperburuk suasananya?
    "Axel, ada yang ingin kubicarakan..."
    Axel membalikkan tubuhnya, dia menatap kosong ke arahku. Sebuah senyuman jelas terpancar, tapi matanya tidak mengatakan kalau dia sedang tersenyum.
    "Yeah, apa itu Sir Caesar?"
    Aku meneguk ludah dengan berat. Aku merasa tercekat saat akan menyampaikan berita ini padanya.
    Apa sebaiknya tidak kusampaikan? Tapi dia akan jadi mainan Arsais kalau ini diteruskan! Paling tidak aku bisa mencegahnya menangis lagi.
    "Tentang Arsais..."
    Axel mengerutkan keningnya
    "Bishop? Ada apa dengan Bishop?"
    Aku mengeraskan raut mukaku, menyatakan kesungguhan dari perkataan yang akan aku ucapkan berikutnya
    "Jauhi dia, jauhi dia..."
    Hanya dua kata itu yang terulang keluar dari mulutku. Axel melebarkan kedua matanya, Dia melangkah maju, dan menatapku tajam
    "Maksud Sir Caesar?"
    "Jauhi dia, Dia tidak baik untukmu..."
    Axel sejenak menundukkan kepalanya, kemudian dia kembali menatap tajam ke arahku.
    "Tidak baik gimana?"
    "Pokoknya ga baik! Jangan dekati dia!"
    Axel mengerutkan dahinya semakin dalam, tapi kemudian dia tersenyum, dan terkekeh pelan
    "Aku mengerti..."
    Giliranku yang mengerutkan keningku dalam tanda tanya besar
    "Maksudmu?"
    "Tenanglah, aku tidak akan mengganggu bishop! Aku memang menjijikan, tapi tenang, aku tidak berniat membuatnya jadi sepertiku."
    Keningku semakin berkerut mendengar perkataannya. Dia jelas salah paham!
    "Bu, bukan begitu.."
    "CUKUP!"
    Aku terperanjat, mulutku langsung terkatup saat dia membentakku dengan nada yang belum pernah kudengar sebelumnya
    "Kamu pikir aku sepicik itu? Tidak! Aku tidak sehina itu!"
    Axel menggertakkan giginya dengan keras. Dia terlihat sangat marah, tapi tetap berusaha menahannya dalam kontrolnya.
    "Perasaanku hanya ada padamu, aku bukan Gay, dan aku juga tidak tahu, hanya padamu aku merasa seperti ini..."
    Desisnya pelan, suaranya tampak mulai bergetar. Aku berusaha mendekapnya, tapi tangannya segera menepis kedua belah tanganku.
    "Aku tidak akan mendekati Lord Arsais, tenang saja. Pegang janjiku..."
    Segaris airmata kembali menetes membasahi pipinya. Dan kali ini, lagi lagi akulah yang membuatnya meleleh.
    "Terimakasih sudah mengingatkanku, Sir Caesar..."
    Suaranya terdengar sangat lemah dan terbeban. Dia melangkahkan kakinya meninggalkanku
    "Aku mencintaimu..."
    Desisnya sebelum ia menutup pintu Aula Besar dan meninggalkanku sendiri.
    Aku terpaku. Bagaikan dihujam ribuan batu yang dilemparkan padaku. Aku merasa terlalu lemah untuk berdiri, sampai aku akhirnya aku melorot dari kakiku.
    Kusandarkan beban di bahuku di pilar besar yang terasa begitu dingin menyentuh tubuhku.
    "Kenapa begini lagi... Kenapa harus aku lagi..."
    Kutekuk telapak tanganku di depan mataku, kusandarkan kepalaku ke pilar dinding.
    "Haha...."
    "Hahahahahahaha....."
    Kali ini kubiarkan tubuhku menertawakanku. Kubiarkan semua panca indraku bergerak sendiri melawan kehendakku. Aku sudah terlalu lelah untuk melawan...
    =======================================
    Silver's View

    Arsais berjalan santai di lorong kastilnya. Dia menatap ke kiri dan kanan. Wajah dinginnya menyapu seluruh ruangan yang dilewatinya.
    Sejenak dia menatap ke arah sesosok pemuda yang berdiri diam di tengah ruangan kecil yang menjadi gudang penyimpanan panah.
    "Axel? Ada apa kamu disini...?"
    Pemuda itu menoleh ke arahnya, kemudian menampilkan senyuman lebarnya ke arah Arsais
    "Bishop! Aku sedang mempersiapkan untuk latihan perang sore ini..."
    Arsais merapikan letak topi birunya, dan kembali menatap tajam ke arah Axel.
    Axel tampak menyibukkan diri menyortir panah panah yang terikat dan terserak di sekeliling ruangan.
    "Ada apa lagi...?"
    Axel menggeleng lemah, kemudian dia kembali tersenyum ke arah Arsais.
    Arsais hanya menghela nafas, kemudian memutar tubuhnya ke arah pintu
    "Aku tidak bodoh, Axel. Selamat berlatih."
    Arsais menutup pintu kayu itu. Suara berderak pelan sejenak mengisi ruangan, disusul dengan keheningan.
    "Maaf, Bishop..."
    Axel menaruh panah panah yang dipegangnya, kemudian menghela nafas dan menerawang ke arah jendela.
    =======================================
  • Gak komen ahh.. Sblm dapat adegan syurr.. qiqiqiqi... :p
  • @yuzz okee!!!
    #ngambek
    sini kita bkin adegansyur!
    sekarang disini!
    #ambilgayung
  • adegan syurr! bukan byurr!
    #goyang gayung
  • @yuzz
    yaudah siramnya plan2 biar syurr!
    apa mau pake selang?
    #ambecambuk
  • awwhhhh... lagi bang....
    wkwkwkwk :))
  • SM maniaaac
    omjin SMerZ!
    hyeakh#kaburr
  • @omjin @yuzz
    tadi lupa di mnsyen
    #gosok2 lampunya
  • Kevin's View

    Kepalaku terasa berdentum dengan kencang, seakan isinya ingin meledak keluar dari kepalaku. Aku berjalan terhuyung, mencoba menguasai langkahku.
    Mulutku terasa pahit, telingaku masih terus berdengung, tampaknya karena efek minuman yang tadi aku tenggak.
    Entah ide darimana yang muncul dari kepalaku, entah mungkin karena sering mendengar bahwa minuman alkohol bisa membantumu sejenak melupakan masalah, mendadak aku dengan mudahnya menyambangi sebuah kafe yang menjual minuman keras secara diam diam, dan menenggak beberapa gelas minuman keras yang cukup berat.
    Aku berfikir, dengan menenggak alkohol, mungkin aku bisa lebih menenangkan pikiranku. Tapi ternyata hal sebaliknya yang terjadi. Tidak ada ketenangan, yang ada hanyalah kebingungan, dan perasaan yang benar benar menjijikan dari dalam diriku.
    Aku melangkah gontai menyusuri pinggiran jalan yang sudah sepi dilalui orang. tak tahu kemana arahku berjalan, walau aku tadinya ingin pulang kembali ke rumahku, tapi tampaknya pikiranku sudah terlalu kacau untuk berkonsentrasi, Aku membiarkan kakiku membawaku kemanapun dia ingin berjalan. Aku memang pergi berjalan kaki, karena aku takut mabuk akan membahayakanku saat aku membawa kendaraan bermotor, makanya aku memutuskan pergi dengan berjalan kaki.
    Bruk!
    Akhirnya kakiku menyerah untuk menopang tubuhku. Aku jatuh terjembab di pinggiran jalan, kurasakan kesadaranku mulai menurun.
    "hahaha....hahahahahaha...!"
    Aku menertawakan diriku sendiri, menertawakan kelemahanku, dan menertawakan tindakan bodoh yang telah aku lakukan. Sebegini lemahnyakah aku? Dan aku bisa berkata kalau aku laki laki? Mungkin Axel pun bisa lebih dewasa daripadaku saat menentukan pilihannya. Aku tidak pantas disebut sebagai laki laki. Aku tidak pantas menolak Axel dan mempermalukan harga dirinya, karena harga diriku tidak lebih tinggi dibangingkan dia. Apa yang bisa aku banggakan? Saat ada masalah aku hanya bisa lari, berusaha menjauh dan pura pura tidak perduli dengan masalahku
    Memalukan!
    Hujan perlahan mulai turun, bagaikan mengerti isi hatiku, dan menggantikanku menangis. Aku menutup mataku dengan telapak tangan. Kuseka keringat yang muncul di keningku. Kutatap sekelilingku.
    Sepi
    Lengang.
    Tidak ada seorangpun, hanya dinding batu yang membentengi jalan ini di kiri dan kanannya. Lebih baik seperti ini kan? Daripada ada yang melihatku, mungkin mereka akan membawaku ke kantor polisi atau lebih buruk, mungkin mereka berniat jahat padaku.
    Pening di kepalaku semakin menjadi jadi, aku menutup mataku, dan membiarkan diriku jatuh ke lantai. Aku sudah terlalu lelah untuk bertahan. Tubuhku mulai basah oleh air hujan yang perlahan mulai menggenangi lantai tempatku terbaring. Kurasakan dingin mulai merasuki tubuhku, tapi kepalaku sudah terlalu sibuk untuk merespon jeritan dari tubuhku. Sial, kalau begini terus tubuhku ga akan tahan...
    Aku berusaha meminta tolong, tapi kata kataku tercekat di tenggorokanku, menolak untuk keluar dari mulutku. Aku merapatkan tubuhku, berusaha mengusir dingin yang datang. Perlahan pandanganku semakin mengabur. Aku akhirnya memejamkan mataku.
    "KEVIN! SIAL!"
    Sebuah suara yang jelas kukenal terdengar samar dibalik dengungan telingaku.
    Aku merasakan tanganku ditarik, aku dipaksa berdiri, sesosok pemuda kecil yang tampak sama basahnya denganku membopongku dengan susah payah.
    "Kamu ngapain disini!"
    Dia kembali menyalak marah. Baru kali ini aku mendapatkan raut yang begitu berwarna di wajahnya. Aku ingin membalas perkataannya, tetapi mulutku terkunci rapat.
    Dia membopongku sampai ke ujung lorong, dan memasukkanku ke dalam mobil lewat pintu belakang mobilnya, Aku terbaring lemah, alkohol tampaknya sudah menguasai seluruh celah di tubuhku, membuatku lumpuh dan tidak berdaya. Aku hanya bisa menatap lemah pada sosok yang sekarang sedang duduk di bangku pengemudi yang sesekali melirik ke arahku.
    "Maa, mama! Grace? Ahh, ga ada orang...."
    Dia bersungut sungut saat menuntunku dengan susah payah memasuki pintu rumahnya. Tubuh kecilnya terlihat kepayahan saat dia berusaha keras menyangga tubuh basahku ke dalam rumah.
    Dia membawaku ke rumahnya, membopongku ke kamarnya.
    Lama sekali rasanya setelah aku memasuki kamar ini terakhir kali. Aroma khas kamarnya mulai tercium di hidungku saat dia membaringkanku di kasurnya
    "Sial, kasurku jadi basah! Sorry, aku ganti bajumu!"
    Aku merasakan dia melucuti pakaianku satu demi satu, kemudian dia memasangkan satu set pakaian santai di tubuhku.
    Dia sejenak pergi keluar, dan masuk ke dalam kamar dengan sebuah gelas putih di tangannya.
    "Susu hangat, untukmu..."
    Wajah dinginnya menatapku tajam. aku menenggak cairan putih hangat itu dari gelas. kemudian menyandarkan diriku di kepala kasurnya. Dia hanya menatap diam ke arahku, kemudian menghela nafas, dan menyandarkan tubuhnya di sisi lain kasur sambil membuka komiknya.
    ". . . . . . . . . . . ."
    Aku menutup mataku, entah berapa lama waktu berlalu, kurasakan tubuhku mulai berada di bawah kendaliku, tapi otakku tampak masih belum sepenuhnya kukuasai. Tampaknya susu hangat barusan benar benar manjur untuk menetralkan alkohol di dalam tubuhku.
    Dia masih asik membolak balik bukunya, tak sekalipun dia menoleh ke arahku.
    "Alvin..."
    Dia hanya menggeram pelan membalas panggilanku.
    Aku menatapnya lekat, pikiranku kembali meracuniku dengan berbagai pikiran jahat tentangnya dan Axel, bagaimana kedekatannya dengan Axel, dan bagaimana dia dengan mesra berdampingan dengan wanita itu di restoran, dan bagaimana Axel membentakku saat aku akan memperingatkannya.
    Pikiranku terasa begitu berkabut, aku tidak bisa memikirkan apa yang benar dan apa yang salah. Aku meremas kepalaku, kemudian berbaring pelan berusaha menenangkan emosiku.
    Kenapa kamu harus muncul di hadapanku saat aku dalam posisi ini? Lagi lagi aku merasa berhutang budi padamu?
    Tidak!
    Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya! Kau cuma orang yang mempermainkan Axel!
    "Sudah sadar?"
    Katanya singkat sambil melirik ke arahku.
    Aku mengangguk pelan, kemudian perlahan aku bergerak ke arahnya.
    "Apa..?"
    Dia menoleh ke arahku, menyadari aku yang sudah semakin mendekat ke arahnya.
    "Kevin..."
    Dia mulai beringsut mundur, tampaknya dia juga masih menyadari bahwa aku belum sepenuhnya berada di dalam kontrol. Emosi lah yang menguasaiku sekarang. Aku tidak tahu apa yang aku inginkan, aku hanya membiarkan tubuhku bergerak.
    "Kamu mempermainkan Axel? Kau harus membayar mahal.."
    Kata kata itu keluar tanpa kusadari
    "A..Apa maksudmu!"

    #attention
    Yang ga suka adegan #ehem ehem#
    Silahkan scroll sampai tanda bintang.
    Thanks~!

    Aku memegangi kedua tangannya dan menyatukannya di atas kepalanya. Alvin meronta dengan kuat, dia menendangkan kedua kakinya ke udara, tapi aku tak bergeming. Dia menyadari kalau kekuatannya jauh berada di bawahku.
    "Kevin, Lepaskan!"
    Setelah beberapa lama meronta dan berusaha melepasan diri, Alvin mulai melemah, aku merasakan perlawanannya tidak sekuat pertama. Aku membenamkan wajahku di lehernya, merasakan tubuhnya perlahan bergetar.
    "KEVIN! Ahh..."
    Kusapukan lidahku, kunikmati sensasi rasa yang unik di lidahku, dia masih terus berusaha melawan, walau sesekali dia terasa melemah saat aku menghisap pelan lehernya.
    "Hmmfhh..."
    Alvin menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan desahan yang muncul dari dalam mulutnya.
    "Kenapa? Buka mulutmu, kau takut mendesah? Karena apa? Takut dikira menikmati? Dasar munafik!"
    Kulumat kembali lehernya, sebelah tanganku mulai masuk dan menjelajah ke dalam baju kaosnya.
    "Kevin, kumohon, hentikan, mmhh!"
    Dia terpekik pelan saat aku mencubit pelan sebuah gudukan kecil di dadanya. Alvin menggelinjang pelan saat aku memain mainkan putingnya perlahan.
    "Menikmati...?"
    Aku terkekeh pelan, kuangkat pakaiannya, dan kuikatkan pada pergelangan tangannya. Aku menindih kakinya pelan, dan membenamkan wajahku di dadanya
    "Erghh...!!!!"
    Mendadak dia memperkeras perlawanannya. Tapi aku tampaknya lebih kuat dari perlawanannya, karena akhirnya dia hanya bisa menggeram pelan menahan sensasi yang muncul saat mulutku dengan bebas menguasai tubuhnya
    "K..Kevin, please..."
    Tidak tahu, dari mana aku mendapatkan pengetahuan tentang apa yang aku lakukan, aku hanya membiarkan mulutku bergerilya. Lambat laun aku mulai menikmati apa yang aku lakukan.
    Aku menjilati dadanya perlahan, merasakan kulitnya mulai merinding di bawah lidahku, gundukan kecil kemerahan itu perlahan mengeras di lidahku. Aku menghisapnya perlahan, dan mendengar desah tertahan muncul dari mulutnya.
    Dadaku berdebar pelan, aku menghisap pelan kulit putihnya, meninggalkan beberapa bekas kemerahan di dada dan perutnya.
    Alvin diam, dia tampak menghentikan perlawanannya. Aku tidak melihat ke arah wajahnya, kuteruskan petualanganku di tubuhnya, sampai akhirnya mulutku merasa terhalangi oleh celana jeans pendek yang masih digunakannya.
    "Ahh, mengganggu.."
    Aku menegakkan posisi dudukku sejenak, kusentuhkan jariku ke bagian depan celanannya. terasa lembut, Dia tampaknya sama sekali tidak terangsang dengan perlakuanku barusan, mungkin hanya ketakutan yang mengisi kepalanya?
    Seringai pelan muncul di garis bibirku.
    Apa aku perlu melakukan lebih jauh dari ini?
    Aku berusaha membuka sabuknya, Sabuk itu akhirnya terlepas, dan dengan sukses aku membuka celana jeans pengganggu itu. Alvin tampak tidak melakukan perlawanan apapun.
    Aku menyeringai pelan. kemudian menolehkan kepalaku ke arahnya

    *****

    "Kamu menyer.."
    BUAK!
    Sebelah tangannya tampaknya sudah terbebas dari ikatanku, dan melayang dengan sukses ke pipi kananku.
    Aku merasakan sebercak rasa getir di mulutku.
    Darah?
    Rasa amis itu perlahan menjalar keluar dari pipiku.
    Kesadaranku langsung berusaha mengambil alih.
    "Alvin!"
    Dia menatapku dengan tatapan yang benar benar mengerikan, seberkas kesedihan yang tak bisa kumengerti juga tersirat di wajahnya
    "A...Apa...Aku minta maaf..."
    Dia membuang muka, sambil kembali merapikan pakaiannya. Aku hanya gelagapan, rasa panas yang aneh mulai menguasai tubuhku, perasaan bersalah menghantamku bertubi tubi
    Dia menatapku tajam, kemudian berdiri.
    "Kamu sudah sehat, pulanglah...."
    Aku masih berusaha menguasai tubuhku
    "Alvin.. aku..."
    "Keluar...."
    Dia mengambil hp nya, kemudian menghubingi seseorang.
    "Pak Ardi? Iya, temanku mau pulang, tolong antar.... Pakai mobil, dia lagi sakit..."
    Dia menutup teleponnya kemudian membukakan kamarnya sambil menatap tajam ke arahku.
    Aku melangkah lemas, berjalan keluar dari kamarnya. Aku merasa tidak memiliki harga diri lagi untuk dipertahankan.
    "Silahkan naik"
    Sopir keluarganya menungguku di depan pagar rumahnya.
    Aku mengangguk pelan sambil berusaha tersenyum,kemudian melayangkan pandangku ke arah kamarnya di lantai dua.
    Siulet seseorang tampak berdiri di jendela, yang aku tahu pasti itu adalah Alvin. Aku menundukkan kepalaku perlahan, kemudian berjalan masuk ke mobilnya.
    ". . . . . . . . . ."
    Keheningan mengisi perjalananku pulang. Pak Ardi, Sopir keluarga Alvin juga memilih untuk diam dan tidak menyalakan musik apapun sepanjang perjalanan.
    Aku memijit kepalaku yang terasa panas, memikirkan semua yang barusaja aku lakukan.
    Sepanjang perjalananku dihantui oleh perasaan berasalah.
    Apa yang harus aku lakukan? Beranikah aku menghadapinya esok? Apa yang harus aku katakan padanya?
    Sial....
  • Ayayayayayaa....... Kok sm alvin sih... Poor kevin...
    #tetep kurang hot.. qiqiqi
  • @yuzz trus ama sappa?
    yadahh
    oke
    kennyxsilverrain aja brikutnya
    :p
    okeii
    XD
Sign In or Register to comment.