It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
emang mau di post ya? tunggu ya, baru chapter 5, belum bagian klimaks nya....hehehehe
thx....
http://boyzforum.com/discussion/16736757/romeo-black-vow-cinta-terlarang-dua-adam/p1
butuh saran dan kritikan... T_T
~Sosok indah itu begitu menakjubkan. Seluruh bagian tubuhnya seperti dipahat oleh malaikat dan sinar matanya seperti diciptakan dari berlian. Namun siapakah yang dapat menyangka, jika didalam bahtera sempurna itu, jiwanya sedang menjerit kesakitan akibat rindu yang berkepanjangan…~
Semua mata memandangnya. Ia adalah kesempurnaan yang dimiliki seorang makhluk Adam dibumi. Tubuh indah bak pahatan patung Yunani dan kulit seksi ala para pria dibumi tropis. Saat ia lewat, semua menatap lekat padanya, seolah tak rela keindahan itu lewat begitu saja. Semua memandangnya dalam dan seolah terhipnotis dan tergiur pada setiap senti tubuhnya.
Antoni, seorang pria yang begitu memikat mata para kaum hawa. Saat itu, disebuah gymnasium di daerah Atrium, ia berjalan dengan menggunakan kaos ketat dan celana jeans yang seolah memamerkan lekak-lekuk tubuhnya. Begitu kuat tarikan kharismanya sehingga nyaris semua wanita disana menoleh padanya.
Namun yang namanya seorang Antoni adalah pria yang cuek dan masa bodoh dengan sekelilingnya. Ia tak tahu dan tak mau tahu pada orang yang mati-matian memujanya. Para Adam memandangnya iri sementara para Hawa memandangnya kagum. Tapi Antoni bahkan tidak membalas setiap tatapan kagum yang dilemparkan padanya itu. Ia hanya berjalan dan terus berjalan menuju sebuah kursi di dekat dinding.
Ia menyandarkan dirinya di kursi panjang sembari menghapus peluhnya selepas berolahraga mengangkat barbell. Sebuah gerakan yang bisa saja begitu kuatnya terekam di memori orang-orang yang mengaguminya.
“dasar tukang pamer.” Gumam Pratama, seorang pemuda yang sedang duduk disebelahnya yang juga sedang mengelap keringat selepas melakukan autopad. Ia menengguk air mineral yang sudah di disediakannya sebelum tiba di gymnasium. Pratama adalah sahabat baik Antoni di SMA 18. Itu sebabnya, kemana-mana ia selalu bersama Antoni. Antoni duduk disebelah pemuda itu.
“hei, bukan salahku jika mereka menoleh padaku.” Kata Antoni membela diri. Antoni memang sudah biasa menjadi pusat kekaguman semua orang. Jadi ia merasa biasa saja saat Pratama merutuk kesal padanya. Antoni memang sudah sering main di gymnasium itu sekedar untuk berolahraga atau semacamnya. Dan baru kali ini ia mengajak Pratama untuk ikut olahraga di gymnasium bersamanya.
Pratama sendiri juga terkadang iri dengan kesempurnaan yang tuhan berikan pada tubuh Antoni. Namun ia tidak menyukai sifat Antoni yang selalu eksibisi itu. Antoni sendiri memiliki postur tubuh yang indah ditambah dengan warna kulit cokelat tropisnya yang seksi. Serta wajahnya yang memang memiliki darah keturunan arab-melayu. Namun wajahnya cukup tegas dan kerasan dengan rambut cepak yang dijambul.
Satu lagi keunikan dari Antoni; dia adalah anak OSIS namun paling malas berorganisasi. Itu sebabnya ia sering bolos jika ada rapat OSIS. Namun meski begitu, kecerdasan otaknya masih bisa dipertimbangkan di organisasi tersebut. Sejak kecil Antoni hidup dari keluarga yang bisa dibilang kacau.
Ayah ibunya bercerai saat Antoni berusia lima tahun karena suatu hal yang tidak bisa diketahui Antoni. Namun satu yang sangat dirindukan oleh Antoni dari keluarganya; Aditya, yang tak lain adalah adik Antoni sendiri. Aditya dan Antoni terpisah karena perceraian kedua orangtua mereka. Aditya ikut ayahnya sementara Antoni ikut ibunya di Jakarta. Hingga kini, Antoni tak tahu dimana keberadaan Aditya. Mungkin itu sebabnya Antoni menjadi orang yang haus kasih sayang karena menrindukan sosok adiknya.
“Mau pulang sekarang?” tawar Pratama. Antoni menghela nafas.
“boleh.” Kata Antoni mengiyakan ajakan itu. Pratama langsung bangkit dan membereskan peralatan gymnya. Dalam hati ia bersumpah tidak akan ke gym lagi. Pratama adalah tipe pria yang terlalu polos dan tidak menyukai olahraga. ia adalah seorang kordinator ekskul band yang mahir dalam memainkan gitar, bass, drum dan vocal serta alat musik lainnya. Pratama lebih menyukai musik yang bergenre rock seperti Avanged sevenfold dan slipknot. Judul yang paling disukai oleh Antoni dari lagu yang pernah dinyanyikan Pratama adalah `Dear God` dan `seize the day` milik A7X .
Mereka berjalan keluar setelah sebelumnya berganti baju dan menuju pelataran parkiran. Pratama menstarter motornya. Tak berapa lama mereka sudah berangkat dari gymnasium itu.
*****
Ahh… Jakarta. Bukankah dikala senja dia sangat indah dan menawan?. Itulah yang dideskripsikan Antoni saat ia menatap langit senja Jakarta saat itu. Ia menyukai saat senja dan mengagumi siluet oranyenya. Dengan menatap langit itu, seolah Antoni dapat melupakan sejenak semua masalah hidupnya. Ditambah lagi terpaan angin yang begitu menyegarkan dan menampar wajahnya. Rambutnya yang lurus tertiup angin saat itu.
“Bagaimana kabar OSIS?” Tanya Pratama disela-sela aktifitasnya mengendarai motor. Antoni tampak tak acuh dengan pertanyaan itu. Ia lebih suka merasakan kesegaran angin Jakarta.
“baik.” Kata Antoni cuek.
“Katanya bakal ada acara classmeeting lagi?” Tanya Pratama.
“Masih dua bulan lagi.”
“Oiya? Selamat bersibuk ria ya.” Kata Pratama terkekeh. Antoni terdiam. Pratama, dimata Antoni adalah orang yan lumayan tampan, dengan kulit putih dan alis tebal seperti oriental Korea-Madura, wanita mana yang tidak tergila-gila padanya.
Ia juga cukup bisa diandalkan dalam hal berpola pikir. Ia tidak memikirkan masalah dengan cara yang cerdas, melainkan memecahkan masalah dengan cara yang kreatif. Ide-idenya memang gila dan jujur tidak pernah disangka-sangka. Namun ide-ide kreatifnya itu terkadang menemukan jalan keluar yang lebih mudah dari biasanya. Jujur saja, terkadang Antoni menyayangkan kemampuan Pratama yang lumayan intelek dan dapat memberikan solusi serta ide-ide cemerlang. Tapi kelebihannya itu tidak ia gunakan ditempat yang semestinya, orang-orang sepertinyalah yang harusnya dapat memimpin organisasi OSIS. Bukan menabuh drummer ataupun bernyanyi lagu-lagu rock.
“pratama, boleh ngomong sesuatu?” Tanya Antoni hati-hati takut membuyarkan konsentrasi Pratama dijalan.
“apa?” katanya santai.
“koq kamu gak ikut organisasi aja sih? Menurutku, ide-ide kamu cukup cemerlang lho. Saat pelajaran PKN, kamu bisa ngasih solusi dan motivasi disaat yang bersamaan waktu pelajaran debat”. Kata Antoni jujur.
“terimakasih atas pujiannya, tapi, aku malas..” katanya masih nyantai.
“malas kenapa?” kata Antoni mendekatkan telinganya karena desau angin membuat pendengarannya terganggu.
“malas saja berorganisasi” kata Pratama menjelaskan kata-katanya.
“tapi…” kata Antoni ingin melanjutkan omongan.
“sudahlah Ton, gak usah bawa-bawa organisasi disini. Aku lagi malas…” katanya memotong ucapan Antoni. Selanjutnya Antoni hanya terdiam. Sambil menerawang dan berharap dalam pikiran semoga saja Pratama dapat berguna di organisasi. Kelak.
Pratama mengendarai motornya melewati jalanan yang ditimpali cahaya senja yang mulai temaram. Antoni hanya menikmati hembusan angin Jakarta yang amat menyejukkan di sore hari.
Pratama memarkir motornya didepan rumah Antoni yang sederhana dan tidak mewah, namun jika sore-sore begini udaranya cukup sejuk. Rumah itu bernuansa sederhana namun elegan dan terlihat menawan dan ramah. Dirumah itulah Antoni tinggal berdua dengan ibunya.
“Kau mau masuk dulu?” tawar Antoni ramah pada sahabatnya.
“tidak terimakasih. Aku harus buru-buru karena tugasku masih menumpuk.” Kata Pratama menolak ajakan Antoni. Antoni tampak maklum.
“baiklah kalau begitu. Terima kasih karena sudah mengantarku.” Kata Antoni. Pratama tersenyum.
“lain kali aku takkan mau diajak lagi ke gym. Itu bukan tempat kesukaanku.” Kata Pratama. Antoni tersenyum. Pratama langsung menstarter motornya dan pergi meninggalkan Antoni. Antoni menghela nafas dan menggamit tas sangkilnya yang berisi peralatan gym. Ia berbalik dan hendak masuk kedalam rumahnya. Untuk sesaat ia menatap lama kearah persinggahannya. Kembali ke kehidupan, gumamnya.
Antoni adalah salah satu murid di SMA 18, yakni salah satu sekolah di bilangan Jakarta. Sekolah itu tidak terlalu buruk tapi juga tidak begitu baik. Dengan fasilitas yang dilengkapi dengan ruangan-ruangan serba ada seperti aula dan ruang loker menambah nilai plus bagi Antoni.
Antoni sendiri adalah seorang pria yang cuek namun bisa berpikir kritis dan selalu mencoba untuk menghentikan masalah, bukan menghindarinya. Ia menjadi sosok gagah dan dewasa namun terkadang memiliki tempramen tinggi. Rasa depresinya pada keluarganya sendiri membuatnya melampiaskannya pada gymnasium sehingga ia sudah terbiasa mondar-mandir di gymnasium untuk merileksasikan kesehariannya. Namun satu hal lagi yang paling disukai oleh Antoni; Senja. Ya, dikala senja di Jakarta tiba, ia merasa bebas dan hidup. Seolah satu-satunya pemandangan Jakarta yang masih alami dan bebas polusi adalah dikala senja dan matahari tenggelam ke peraduan.
Yah, setidaknya itulah pandangan Antoni tentang hidupnya yang selalu merindukan sosok seseorang yang kelak akan membawanya pada sebuah lembaran hitam gelap.
*****
“Kuberi kau nama Alif Rahman agar kau menjadi orang pertama yang menuai kasih sayang dikehidupan ini…” itulah kata-kata yang diingat Alif dari bibir ayahnya yang menyunggingkan senyum padanya saat ia masih berusia enam tahun. Dari sana Alif tahu bahwa ayahnya sangat bergantung dan memberikan segala harapannya pada anak semata wayangnya itu.
Namun kini, yang diingat Alif dari wajah ayahnya hanyalah kebekuan. Saat ia mulai beranjak remaja, kemanjaan yang ia rasakan sejak kecil dari ayahnya pun mulai memudar. Tak ada lagi bisikan kasih sayang, tak ada lagi belai lembut itu. Alif tak pernah lagi merasakan kasih sayang dari ayahnya, bahkan hanya siksaan dan makian yang ia dapat saat ia tak sengaja melakukan secuil kesalahan yang tidak seberapa.
“Setipa orang tua pasti medidik anaknya dengan cara berbeda. Begitu juga dengan ayahmu, meski dia keras, tapi dalam dirinya dia sangat menyayangimu.” Kata ibunya saat Alif bertanya tentang sifat ayahnya yang keras dan terkesan dingin dengan anaknya sendiri.
Tapi kenapa?, kenapa ayah begitu dingin dank eras seolah membenciku? Apa yang salah? Bukankah dulu ayah sangat perhatian dan menaruh harapannya dipundakku?, pikir Alif. Hal ini membuat pribadi Alif berubah. Ia menjadi remaja yang introvert alias tertutup. Ia jarang bersosialisasi apalagi berorganisasi. Ia selalu merindukan sosok ayahnya yang dulu memanjakan dan memedulikannya.
Tak ayal, Alif sering menganggap ayahnya sudah lama mati hingga yang tersisa hanyalah seonggok daging yang berjalan dingin dan tanpa jiwa. Ayah, dimana kau?
“Hei, honey.” Seorang wanita centil dengan suara cempreng membuyarkan lamunan Alif saat ia berada diruang loker. Alif hanya melempar senyum simpul pada gadis mungil bersuara cempreng itu.
“Sendirian aja nih.” Kata gadis itu lagi dengan nada yang sok ramah. Alif sedang membereskan surat-surat cinta yang dikirim oleh penggemarnya. Alif adalah sosok yang digandrungi oleh banyak kaum Hawa. Mulai dari adik kelas, sampai kakak kelas pasti ada saja yang naksir padanya.
Secara Alif memiliki tubuh tinggi menjulang sekitar 176 cm. langsing tapi tidak kurus dan tidak atletis. Memiliki wajah manis dan tampan serta kulit putih dan rambut ikal, mungkin karena Alif adalah keturunan asli Melayu-Minangkabau. Meski terkesan cool dan tertutup, Alif punya banyak penggemar karena ia dikenal supel dalam bergaul.
“Banyak banget suratnya. Mau kamu apain?” tanya Riska melihat surat yang sedang Alif kumpulkan.
“Dibuang.” Kata Alif singkat.
“kenapa?”
“nggak minat baca.” Kata Alif ketus.
“iih…, gitu banget sih jawabnya.” Kata Riska lenjeh. Alif terdiam, ia menjadi jijik saat Riska sudah mulai lenjeh dengannya. Ia tahu Riska sudah mengejar-ngejarnya semenjak kelas satu. Namun Alif selalu berusaha untuk menghindari Riska karena ia sama sekali tidak menyukainya. Bukan hanya dengan Riska, tapi juga dengan semua penggemarnya, tak ada satupun yang ia minati. Itu sebabnya sampai sekarang Alif tak punya pacar sampai sekarang. Padahal ia adalah sosok kekasih yang sangat sempurna. Selain bermodal ketampanan, kekayaannya pun bisa diandalkan. Ayahnya adalah seorang pemilik saham terbesar di Jakarta. Menjadikannya terkenal sebagai anak tajir di sekolahnya.
Alif menutup lokernya dan membawa segenggam surat itu menuju tempat sampah. Riska mengejar langkahnya dari belakang.
“Hei, hari ini kau ada kegiatan, tidak?” tanya Riska.
“tidak.” Kata Alif tanpa menoleh dan tanpa menghentikan langkahnya.
“Ada rencana untuk pergi?”
“Tidak.”
“Jadi kau akan tetap berada dirumah?”
“Ya!.” Alif mulai jengkel.
“Bagus, temani aku jalan-jalan ke mall, yuk!.” Kara Riska antusias. Alif menghentikan langkah kakinya dan menoleh pada Riska yang sedang menyeringai menunggu jawabannya.
“Dengar, bisakah kau untuk satu hari ini saja tidak menggangguku. Memangnya kau tidak punya kegiatan lain selain menguntitku terus !?”. Kata Alif ketus. Senyum Riska memudar seiring dengan kata-kata Alif yang terasa menohok hatinya. Riska terdiam.
“Baiklah, jika tak ada yang perlu kau bicarakan lagi, maka biarkan aku pergi.” Kata Alif. Alif langsung berbalik dan meninggalkan Riska dalam kebisuan.
“Brengsek!!”. Rutuk Riska gemas setelah Alif pergi. Baru kali ini ia dicampakkan oleh makhluk bernama cowok. Padahal ia adalah gadis popular yang terkenal sebagai penakluk lelaki yang paling handal. Ia tak habis pikir apa sebenarnya yang diinginkan Alif. Lelaki yang satu itu sangat sulit untuk ditaklukan.
Namun Riska takkan menyerah sampai disitu. Ia akan tetap berusaha untuk membuat pria flamboyant itu bertekuk lutut padanya.
Dikoridor, saat Alif sudah membuang semua surat cinta itu, ia berjalan menuju lobi utama. Suasana sekolah saat itu sedang sepi karena seluruh murid sudah pulang beberapa jam yang lalu. Alif memang seringkali pulang sore dari waktu pulang yang ditentukan sekolah. Karena ia menyukai pemandangan Jakarta saat sore hari. Apalagi dimusim hujan seperti ini, udara senja terasa segar menusuk setiap sendi dan senti tubuhnya. Biasanya Alif akan berjalan-jalan santai atau mampir disebuah gedung tua dimana dibelakang gedung itu terdapat sebuah savannah ilalang dengan pohon saga ditengah-tengahnya. Pemandangan ilalang yang tertiup angin sore adalah pemandangan yang sangat memukau bagi Alif yang sangat mencintai ketenangan.
Alif tak sabar ingin segera pergi ke tempat `tongkrongannya` itu. Ia berlari-lari kecil untuk bisa segera sampai ke savannah itu sebelum senja menghilang.
Saat ia berada di tikungan koridor, tanpa sengaja ia menubruk sosok tubuh atletis yang datang dari arah berlawanan dengan tergopoh-gopoh. BUGG!!!, keduanya terjatuh dan saling mengaduh karena kepala mereka bertubrukan. Ditambah lagi, tumpukan paper yang dibawa oleh sosok atletis itu berserakan kemana-mana.
“Aduh!! Maaf ya…” kata Alif sembari mengumpulkan paper yang berserakan itu sambil menahan sakit dikepalanya akibat tubrukan tadi.
“Nggak apa-apa, justru aku yang harusnya minta maaf.” Kata sosok atletis itu yang juga sedang mengumpulkan paper.
Kejadian itu berlangsung beberapa menit hingga paper bisa terkumpul kesemuanya.
“Ini…” Kata Alif sambil menyerahkan paper yang berhasil ia kumpulkan kepada yang punya. Dan saat itu, Alif dapat melihat wajah dari sosok atletis itu. Kulit tropis khas khatulistiwa dengan rahang kokoh dan wajah yang agak tegas namun kesan itu terhapus saat seulas senyum tersirat diwajahnya.
“Makasih ya, sekali lagi aku minta maaf.” Kata pria atletis itu sambil menerima paper dari Alif. Alif berdesir, sebuah tatapan aneh tersirat diwajahnya dan tertangkap oleh Alif. Alif menganggap tatapan itu biasa saja, tidak ada yang spesial. Tapi… aneh…
“Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf.” Kata Alif.
“Kalau begitu permisi, aku harus segera pergi karena sedang terburu-buru.” Kata pria itu lagi. Ia segera berlalu mengambil langkah seribu hingga bayangannya hilang dari pelupuk mata Alif.
Alif hanya terdiam saat pria itu berlalu meninggalkannya. Ia menghela nafas panjang dan berat. Sebuah tatapan… sebuah senyuman…, baru kali ini ada seorang pria yang tersenyum padanya dengan tatapan matanya yang menyiratkan sesuatu. Seperti…kasih sayang.
Sesaat Alif tersenyum dan menggeleng pelan. Mungkin ini akibat ia terlalu rindu pada sosok ayahnya, sehingga saat ia menerima senyuman dan tatapan itu, seakan ia melihat sosok ayahnya pada diri pria itu. Namun satu pertanyaannya, siapakah pria itu yang berhasil membuat darahnya berdesir untuk pertama kalinya?
Dilain tempat, Antoni sedang tergopoh-gopoh membawa tumpukan paper yang harus dibawanya untuk laporan OSIS. Ia merutuk dalam hati karena tugas-tugas OSIS yang selalu membuatnya terkekang dan ribet. Tapi saat pertemuannya dengan seorang pria Melayu di koridor tadi membuatnya merasa penasaran dengannya. Siapakah pria itu? Tatapan yang begitu sendu seolah menyimpan kesedihan dalam jiwanya.
Untuk sesaat ia teringat dengan sosok Aditya dalam diri pria itu. Kenapa mirip sekali dengan Aditya? Matanya, hidungya, bahkan senyumnya. Ah, Antoni menjadi terngiang-ngiang wajah pria itu. Memangnya siapa dan apa hubungannya dengan dirinya. Baru kali ini ia memikirkan secara serius orang yang tak sengaja ditemuinya. Padahal Pratama, sahabatnya sendirinya saja tidak terlalu ia fikirkan seperti halnya pria asing tersebut.
Antoni menghentikan pikirannya tentang pertemuan itu saat Yusuf, si ketua OSIS sedang berdiri didepan pintu ruang OSIS.
~Haruskah ku ingat kembali…
Tatapan dan senyuman penuh misteri…
Yang bahkan tak sengaja kucuri…~
*****
Malam hari.
Disebuah biara yang terletak di pinggiran Jakarta, didekat sebuah gereja bergaya kastil Roma. Sebuah gereja yang terbuat dari batu-batu marmer yang ditumpuk rapi dengan tangga-tangga tegel yang dibuat se-artistik mungkin. Di dalamnya terdapat lukisan-lukisan mahakarya yang gaya lukisnya nyaris mirip dengan gaya lukisan Leonardo da vinci atau Van Ghok. Seperti lukisan keputusan Solomon, perjamuan terakhir dan kisah penyaliban.
Di salah satu kamar yang ruangannya cukup luas, dengan warna krem dan bergaya klasik, berkesan netral dan nyaman. Sebagian peralatan besar seperti ranjang dan lemari dicat dengan warna merah marun. Terdapat empat sosok remaja yang sedang melaksanakan aktifitasnya masing-masing di dalam satu kamar.
Seorang laki-laki sedang asyik mengetik diatas laptopnya sementara pria yang lainnya sedang asyik main game di telepon seluler. Lalu satu wanita lainnya sedang membaca komik dan yang lainnya sedang asyik duduk diranjang memandang keluar jendela.
Salah satu wanita yang sedang membaca komik dan berambut panjang nan anggun menguap sejenak dan melempar komiknya ke sembarang arah. Sepertinya ia sudah mulai malas menggeluti aktifitasnya. Ia tampak dengan enggan memperhatikan saudara-saudarinya satu persatu.
“Akh, aku bosan.” Keluhnya.
“lalu aku harus peduli?” ujar salah satu pria berambut cokelat yang sedang menekan-nekan tuts tombol handphone dengan santainya. Wanita berambut panjang itu melengos.
“Setidaknya aku tak butuh komenanmu, Fabian.” Kata wanita itu.
“dan aku tak butuh jawaban darimu, Janetta.” Kata Fabian tidak peduli dan tanpa membuang muka dari game-nya. Janetta tampak kesal dengan saudaranya itu. Ia beralih kepada salah seorang wanita mungil dan berambut pendek yang nyaris mirip seperti laki-laki dan sedang menatap keluar jendela.
“Elise, kau mau menemaniku untuk berjalan-jalan keluar sebentar? kumohon, untuk menghilangkan jenuhku.” Kata Janetta sambil memohon pada wanita mungil yang dipanggil Elise itu. Elise tak bergeming.
“Elise?” panggil Janetta lagi.
“Ogah ah.” Kata Elise enteng sambil menerawang keluar jendela tanpa menoleh pada Janetta.
“Kenapa?” tanya Janetta.
“Akan terjadi hujan.” Kata Elise dengan gaya cenayang dan menatap ke langit malam diluar sana.
“Tapi malam ini purnama bersinar cerah. Mana mungkin akan turun hujan.” Kata Janetta jengkel melihat sikap Elise yang sok cenayang itu. Adik angkatnya yang paling mungil ini memang memiliki kemampuan untuk meramal. Tapi sayang, sangat sedikit yang percaya padanya.
“Aku melihatnya Janetta. Jam sepuluh nanti akan turun hujan deras.” Kata Elise. Janetta melengos kesal. Kini ia beralih pada pria yang sedang duduk sambil memainkan laptopnya.
Dengan muka memelas berharap ada yang mau menemaninya keluar untuk jalan-jalan sebentar menghilangkan kebosanan.
“Valent…” rujuk Janetta pada pria yang tampak dewasa itu. Sebelum Janetta melanjutkan kata-katanya, Valent memotongnya.
“Aku sedang sibuk, Janetta. Maaf.” Kata Valent tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Janetta lagi-lagi melengos kesal.
“Emang kamu lagi sibuk apa, sih?” tanya Janetta.
“Nulis skripsi. Dan dua bulan lagi sidang.” Kata Valent.
Valent adalah salah satu mahasiswa di Universitas Kristen Indonesia fakultas sosiologi. Tak heran jika ia sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan presentasi untuk sidang nanti. Janetta yang tampak bingung menghilangkan kebosanannya kini menghampiri Valent untuk melihat makalah yang dibuat.
“Emangnya kamu nulis skripsi tentang apa?” tanya Janetta.
“Kebudayaan masyarakat Badui. Salah satunya ijab hideung.” Kata Valent tanpa berpaling dari laptopnya. Janetta mengernyitkan dahi.
“Ijab hideung?” tanya Janetta bingung.
“Sejenis sumpah hitam. Orang yang mengucapkan sumpah ini katanya bisa hidup sekali lagi. Sejenis inkarnasi atau kelahiran kembali.” Kata Valent.
“Benarkah!? Keren.” Kata Janetta.
“Tapi ini masih mitologi. Kepercayaan yang perlu ditimbangkan.” Kata Valent.
“Kenapa harus membuat tema skripsi yang belum tentu benar adanya?”
“Entahlah. Aku hanya tertarik dengan mitos dan kepercayaan yang masih berlaku di masyarakat. Terutama di Banten.” Kata Valent.
“Aku juga sedang menulis tugas semester duaku.” Kata Fabian yang kini ikut nimbrung dengan obrolan Janetta dan Valent. Janetta menoleh dengan cibiran.
“Aku tidak tanya.” Kata Janetta balas dendam pada ucapan Fabian beberapa saat yang lalu.
“Dan aku tidak peduli.” Kata Fabian sambil memeletkan lidahnya. “aku hanya bicara dengan Valent.” Kata Fabian.
Valent hanya tersenyum melihat tingkah dua adiknya.
“Memangnya kau punya tugas apa?” tanya Valent pada Fabian untuk mencairkan suasana.
“Seksologi. Aku mengangkat tema Homoseksual.” Kata Fabian.
“Kenapa kau mengangkat tema makalah tentang dirimu sendiri?” tanya Janetta jahil yang disambut oleh pukulan bantal Fabian.
“Aku hanya tertarik dengan pembelotan seksual itu. Lagipula itu adalah penelitian yang sering dialami oleh masyarakat Jakarta disini.” Kata Fabian.
“Kau punya resensi atau narasumbernya?” tanya Valent.
“Aku sudah mengontak salah satu kenalanku yang bekerja di kepolisian. Katanya dia yang paling sering menyelidiki tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Ditambah lagi dia punya kenalan-kenalan ahli psikologi untuk membantu menyusun tugasku.” Kata Fabian.
“Bagus, jadi siapa nama temanmu itu?”
“Kartika. Dia seorang polwan yang ahli dalam bidang penyelidikan.” Kata Fabian.
“Jadi, kau sudah mendapatkan semua rangkuman referensimu dari polwan itu?” tanya Janetta.
“Belum.”
“Lho?”
“Karena akhir-akhir ini ia sedang tidak mengamati persimpangan masyarakat di kota besar.”
“Lalu makalahmu?”
“Tenang saja, itu dikumpulkan akhir semester.”
“enteng sekali kau bicara.” Cibir Janetta. Fabian hanya mesam-mesem. Janetta kembali memperhatikan Valent yang sedang mengetik.
“Kau tahu, aku punya firasat kalau biara ini akan kedatangan satu orang lagi.” Celetuk Elise pada ketiga saudara angkatnya tanpa memalingkan wajahnya dari jendela. Fabian dan Janetta menoleh pada saudara mereka yang paling bungsu itu.
“Maksudmu? Agustinus akan memungut anak lagi?” tanya Janetta. Agustinus adalah pastur yang mengadopsi mereka.
Valent, Fabian, Elise dan Janetta adalah empat orang yang diasuh oleh seorang pastur yang tinggal di biara gereja katedral Santa Louis. Mereka sebelumnya adalah anak-anak yang kurang beruntung yang beberapa diantaranya dipungut dari jalanan.
Pastur Agustinus. Atau biasa disebut Agustinus. Ia adalah seorang pastur tua yang telah puluhan tahun menjaga gereja St.Louis. Ia adalah penganut katolik yang begitu taat pada keimanannya. Namun ia terbuka dengan agama manapun. Karena dalam agamanya seorang pastur diharamkan menikah, ia memilih untuk mengadopsi anak-anak terlantar untuk dijadikannya anak asuhannya. Dan kini ia menjadi `ayah` bagi keempat anak-anak biara itu.
Valentino Adrian, seorang pemuda berambut cepak dan jangkung. Meski agak kurus namun bentuk tubuhnya lumayan proposional. Dia dirawat oleh Agustinus saat usianya lima belas tahun. Sebelum dirawat Agustinus, kehidupannya sangat keras. Ia adalah seorang anak jalanan dan memiliki seorang adik perempuan yang sakit leukemia . Ayah ibunya telah lama mati. Ia harus bertahan untuk hidupnya dan adiknya. Hingga akhirnya, adik perempuannya harus menghebuskan nafas terakhirnya saat Valent harus bekerja keras untuk menyembuhkannya. Kini Valent berusia 20 tahun dan kuliah di salah satu universitas swasta yang cukup terkenal. Selain itu ia juga bekerja di salah satu cabang produk percetakan di Jakarta sebagai modal dan tanggung jawabnya menjadi kakak tertua.
Selain itu ada juga Janetta yang satu tahun lebih muda dari Valent. Ia adalah seorang gadis cantik yang menjadi seorang sekretaris bank di Jakarta. Janetta selalu mengingatkan saudara-saudaranya untuk beribadah. Janetta adalah anak dari sahabat Agustinus. Sahabat Agustinus adalah seorang janda yang memiliki penyakit mematikan. Janda itu menitipkan Janetta kepada Agustinus jika seandainya ia meninggal. Kini Janetta telah menjadi seorang kristian yang modis dan cantik. Terkadang ia menjadi kakak yang cerewet dan bawel dan terkadang suka cari perhatian.
Elise, seorang kristian yang sangat polos. Sifatnya lembut dan baik pada siapa saja. Itu sebabnya dia menjadi sangat supel dalam pergaulan. Namanya diambil dari salah satu lagu milik Beethoven; fur Elise. Itu sebabnya Elise sangat mengagumi sosok Beethoven meskipun ia lebih menyukai karya-karya Mozart. Ia bertubuh mungil dan berambut pendek mirip Emma Watson. Ia adalah yang paling muda diantara keempatnya. Sebelumnya ia adalah seorang penghuni panti asuhan sebelum akhirnya diadopsi oleh Agustinus. Banyak yang tak percaya jika Elise pandai meramal dan ramalannya sebagian besar terbukti benar. Tapi juga kadang salah hingga saudaranya mengambil kesimpulan bahwa persepsi Elise tentang ramalannya hanyalah sebuah kebetulan belaka.
Fabian, pria flamboyan yang umurnya sama dengan Janetta. Ia adalah seorang Casanova tapi sayangnya terlalu percaya diri. Ia paling sering bertengkar lidah dengan saudarinya Janetta. Ia adalah salah satu mahasiswa di universitas Indonesia fakultas psikologi. Sebelumnya, Fabian adalah seorang anak pelacur. Dimana saat ia kecil, ia dititipkan oleh ibunya kepada pastur karena pelacur itu tak mau menanggung malu dan kehilangan pekerjaannya jika terhambat oleh kelahiran bayi laki-lakinya.
“Tidak, dia akan datang sendiri.” Kata Elise menjawab pertanyaan Janetta. Janetta mengernyitkan dahi.
“memangnya kenapa dia bisa datang kemari?”
“Entahlah. tapi kulihat dia datang dengan luka ditubuhnya.”
“Siapa namanya?” kali ini Fabian yang bertanya. Elise tampak menerawang.
“Kalau tidak salah, namanya antara Elisha atau Elijah.” Kata Elise sok cenayang.
“Bagus, jadi dia wanita?”
“Mmm, bukan.”
“jadi dia seorang pria?”
“mmm, bisa dibilang begitu.”
“Hei, kau menjawab seolah tak yakin dengan jawabanmu.” Kali ini Janetta mulai dongkol dengan ramalan adiknya yang tampak tak serius. Ia memang tak sepenuhnya percaya dengan yang namanya ramalan. Elise terdiam.
“Sesuatu terkadang bisa berubah dan menjadi tak pasti.” Gumam Elise.
“Ya ya, tetaplah pada ramalan bodohmu itu.” Cibir Janetta pedas. “Lagipula kurasa ramalanmu tidak terbukti kebenarannya. Lihat saja, kau bilang malam ini akan terjadi hujan. Tapi purnama masih terlihat jelas diluar sana.”
“terserah apa katamu Janetta.” Kata Elise. Ia langsung bangkit berdiri dari duduknya. “yang jelas akan datang seseorang di biara ini, tunggu saja.” Kata Elise sambil berlalu meninggalkan ketiga saudaranya.
“Kau mau kemana?” tanya Valent.
“Ke dapur. Sepertinya Ana butuh bantuan.” Kata Elise. Ia lalu pergi keluar dan menutup pintu perlahan. Sesaat semuanya terdiam.
“Kau tahu Janetta, terkadang kau terlalu berlebihan.” Komen Fabian.
“Maksudmu?”
“Iya, omonganmu itu terlalu menusuk perasaan Elise. Meskipun tak semuanya ramalan itu benar, tapi setidaknya kau hargailah dia.” kata Fabian.
“Aku hanya ingin menyadarkannya jika ramalan itu tidak ada benarnya. Buktinya, malam ini tidak terjadi hujan seperti yang diramalkannya, kan?” kata Janetta.
Lalu tiba-tiba suara gemuruh terdengar di cakrawala. Untuk sesaat purnama tertutup oleh awan hitam dan diganti dengan lagit yang begitu gelap mencekam. Angin dingin bertiup membuat bulu kuduk berdiri. Tak sampai beberapa menit, air langit mulai turun dari cakrawala. Perlahan tapi pasti mulai deras. Hujan.
Janetta terperangah. Dan untuk sesaat ia menatap valent dan Fabian. Mereka bertiga saling berpandangan.
*****
“Berusahalah untuk hidup, jangan hidup untuk berusaha.” Kata-kata itulah yang masih terngiang di telinga Antoni dari kakak angkatnya; Rifay. Ia masih teringat jelas dengan senyuman serta motivasi yang Rifay berikan sebelum wafat.
Rifay adalah kakak angkat Antoni dari pernikahan kedua ibunya dengan seorang duda. Saat itu terjadi, Antoni masih berusia delapan tahun setelah perceraian ibunya dari ayah kandungnya di Sukabumi. Ia kini tinggal di Jakarta kurang lebih sudah Sembilan tahun.
Namun peristiwa memilukan yang didera keluarganya tidak hanya sampai perceraian ibunya dengan ayah kandungnya. Ayah tirinya dan kak Rifay, meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan pesawat ketika mereka hendak pergi ke Singapura.
Antoni merasa terpukul kehilangan kakak yang sangat ia cintai dan ia banggakan. Ibunya pun mesti banting tulang untuk membesarkan Antoni sendirian. Ibunya tak mungkin meminta suami pertamanya untuk membantu kehidupannya dengan Antoni.
Antoni juga teringat dengan adik kandungnya yang beda satu tahun darinya. Saat ia berpisah, usia adiknya, Aditya masih bekisar antara enam atau lima tahun. Kini ia tak tahu bagaimana wajah adiknya kini. Ia merindukan Adiknya dan juga kakaknya. Ia merasa sepi dan haus akan kasih dari kedua saudara laki-lakinya.
Namun pertemuan singkat Antoni dengan seorang pemuda melayu tempo hari di koridor membuatnya teringat pada Rifay dan Aditya. Ia menjadi penasaran pada pria yang tanpa sengaja ditabraknya. Siapa dia? kenapa ia baru melihatnya? Apakah dia anak baru?, dan kenapa pula ia terus memikirkan pria itu?
Antoni menjadi bingung dengan pikirannya. Ia menyandarkan kepalanya diatas bantal denga bertumpu pada kedua tangannya. Saat itu, Antoni hanya sedang melamun sambil menatap langit-langit kamarnya.
*****
Senyuman itu…tatapan itu…, Alif masih saja membayangkan wajah tegas pria berkulit tropis itu. Siapakah gerangan? Kenapa ia baru melihatnya?. Alif tak henti-hentinya membayangkan wajah seindah Romeo itu. Baru kali ini ia teringat dalam pikirannya sosok seorang pria. Padahal sebelumnya ia tak pernah membayangkan seorang pria sampai seperti itu.
Untuk sesaat Alif menenggak sekaleng coca-cola diberanda rumahnya sambil menatap hujan yang turun malam itu. Ia cukup nekad saat meminum air dingin dikala hujan. Namun itulah yang ia lakukan saat menghilangkan depresinya.
*****
~Tidakkan kau rasakan, getaran cinta saat kita pertama kali berjumpa?. Tidakkah kau rasakan, rindu yang membelenggu saat kukecup bibirmu?. Aku menyukaimu karena aku jatuh cinta padamu. Tak perlu ada alasan lain karena cinta itu tak beralasan. Meski cinta itu jatuh pada sebuah hati yang terlarang.~
*****
“Rapat kali ini, saya tutup…”
`Hphhff, untunglah sudah selesai`, pekik Antoni dalam hati. Yusuf, selaku ketua OSIS sekaligus kakak kelas Antoni akhirnya menutup rapat OSIS yang cukup menguras pikiran tersebut. Antoni bergegas memberesi note dan beberapa kertas yang usai digunakan dan bersiap untuk keluar. Anak-anak OSIS, sebelum pulang biasanya duduk sebentar di koridor dekat ruang OSIS untuk menghilangkan penat yang dirasakan penuh karena tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Kebetulan hari sudah jam pulang pelajaran sehingga mereka bebas duduk santai di koridor yang cukup sepi tersebut. Sungguh indah rasanya berisitirahat bersama begini, apalagi sambil bercengkrama satu sama lain.
“Ton, kamu nggak pulang?” Tanya Yusuf yang tiba-tiba sudah berdiri disamping Antoni. Antoni yang sedang melamun dan sedang enggan pulang tergagap seketika.
“eh, ka yusuf, nggak kak, saya sedang nunggu seseorang, kebetulan saya lagi pengen pulang bareng…” kata Antoni dengan nada yang diramah-ramahkan.
“siapa? Pasti Rani ya?” kata Martha, teman satu angkatan OSIS Antoni yang kerjaannya ngisengin anak-anak OSIS, termasuk Antoni. Martha tau semua kedekatan Antoni dengan Rani. Namun dia menganggap mereka sedang menjalin hubungan. Sementara Rani, dia adalah sahabat Antoni yang juga bersekolah di SMA 18. Kedekatannya dengan Rani memang menebarkan gossip bahwa Antoni punya hubungan dengan Rani.
“errr, enggak, sok tau kamu Mar!” kata Antoni memeletkan lidahnya. Martha hanya terkikik dan Yusuf hanya tersenyum melihat tingkah kedua adik kelasnya. Tak berapa lama, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
“nah itu dia” kata Antoni seraya menunjuk sesorang yang baru keluar dari studio band. Seorang pria yang bertampang korea-melayu dengan wajah yang polos.
“jadi pulang bareng kan?” kata Pratama menghampiri Antoni.
“yaiyalah jadi, ini dari tadi udah nungguin.” kata Antoni merungut kesal. Untunglah Pratama hari ini sedang ada ekskul Band, jadi Antoni bisa sekalian numpang pulang bareng naik motornya.
““aku pulang dulu ya semua.” kata Antoni kepada semua teman-teman OSISnya. Mereka memberikan sapaan balik. Sementara Pratama hanya memberikan tatapan sekilas, setelah itu dia langsung nyelonong duluan. Pratama memang tidak terlalu dekat dan tidak mau dekat dengan OSIS. Jadi wajar kalau dia bersikap acuh kepada anak-anak OSIS.
Antoni dan Pratama berjalan menuju pelataran parkiran di belakang sekolah untuk mengambil motornya. Ketika mereka sudah sampai didekat motor, Pratama tiba-tiba tersentak dan menepuk dahinya.
“Astaga, aku lupa!!” kata Pratama. Antoni tampak bingung.
“Ada apa?”
“Kunci motorku tertinggal di studio band.” Kata Pratama.
“lalu?” tanya Antoni. Pratama langsung menoleh pada Antoni.
“Kau tunggu dulu disini, aku ingin mengambilnya.” Kata Pratama. Ia kemudian berlari kembali kedalam sekolah. Mau tak mau Antoni menunggunya di parkiran sendirian.
Udara sore memang saat-saat yang paling diresapi Antoni. begitu sejuk dan indah. Ia menunggu Pratama sembari duduk-duduk santai di jok motornya.
“Sekali lagi gua bilangin!! Jangan deketin Riska, ngerti lu!?” Antoni menangkap sebuah suara dari balik tikungan parkiran. Ia menoleh dan memasang telinganya lebih jelas untuk memastikan suara tersebut. Benar saja, suara itu terdengar dari balik tembok disebelah parkiran. Bukan hanya suara omelan dan cercaan, tapi juga suara pukulan dan hantaman. Sepertinya ada perkelahian.
Antoni tergerak untuk mengintip siapa yang sedang berkelahi itu. Ia lalu beranjak dari duduknya dan mendekati tikungan parkiran dan mengintip dibalik tembok. Abimanyu, siswa yang dikenal sebagai preman sekolah sedang mengeroyoki seorang pria yang sedang tersungkur bersama dua anak buahnya. Antoni tak dapat melihat dengan jelas siapa murid yang sedang dihajar habis-habisan itu karena murid itu membelakanginya.
Abim dengan bernafsu menendang dan memukul hingga pria itu berceceran darah dari ujung bibirnya dan lebam di pangkal pelipisnya. Antoni hanya menyaksikannya karena ia tak mau ikut campur dengan keadaan itu. Setelah pria itu lemas barulah Abim beserta kedua anak buahnya meninggalkannya sendirian dan lemas.
“Mampus lo!! Biar mati sekalian!!” kata salah satu anak buah Abim.
“Gue tegesin sekali lagi. Jangan deket-deket sama Riska!! Sekali lagi lu deketin cewek gue, gue abisin lu!!!” kata Abim sebelum pergi. Ia meludah kedepan pria yang tersungkur lemas itu. Antoni menunggu hingga Abim pergi.
Setelah Abim benar-benar pergi, barulah Antoni keluar dari persembunyiannya dan mendekati pria yang sudah babak belur itu untuk membantunya. Ia berjalan medekati siswa yang malang itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Antoni dengan nada dingin sambil membungkukkan badannya dan menyentuh pundak pria itu. Pria itu menengadah kearah Antoni yang sedang menjulurkan tangannya untuk menolong. Saat itu, mereka terbelalak satu sama lain melihat seseorang yang ada dihadapannya. Antoni terkejut dengan pria yang dihajar itu. Begitu juga dengan pria yang ternyata berparas melayu itu, ketika ia melihat Antoni.
“Kau!! Kau pria yang tempo hari menabrakku itu, kan?” tanya Antoni. Pria itu tak menjawab. Ia hanya meringis kesakitan sambil memegangi rahangnya yang bonyok. Melihat itu, Antoni langsung tersadar dan menawarkan bantuan.
“Kau tak apa-apa?, perlu kuantar? Sepertinya lukamu cukup serius…” kata Antoni memperhatikan tangan pria itu yang sedari tadi memegangi pipi kirinya yang bonyok hingga sudut bibirnya mengucurkan darah. Pria itu ~Alif~ mengangguk saat Antoni berniat untuk menolongnya. Antoni kemudian memapah tubuhnya dan membantunya untuk bangun dari duduknya di aspal dan membawanya pergi. Tubuh Alif sangat ringan sehingga mudah diangkat oleh Antoni yang bertubuh kekar. Antoni melingkarkan tangannya dipinggang Alif sementara Alif melingkarkan tangannya ditengkuk Antoni. kemudian Antoni memapahnya untuk berjalan.
“Terimakasih, aku Alif…” katanya memperkenalkan diri dengan nada serak.
“Aku Antoni. panggil saja aku Toni atau Antoni.” kata Antoni membalas perkenalan dengan senyum, senyum pertama yang pernan dilihat Alif dan membuat darahnya berdesir. Tatapan itu… senyuman itu…
“Hei, bibirmu berdarah.” Kata Antoni melihat sudut bibir Alif yang mengucurkan darah. Alif hendak menghapusnya dengan punggung tangannya namun dicegah oleh Antoni.
“Jangan…biar aku saja.” Kata Antoni. kemudian Antoni dengan sigap menghapus darah Alif dengan jemarinya. Kejadian itu sontak membuat Alif merasa jengah. Ia hendak melawan tangan Antoni tapi tubuhnya seolah membeku ketika Antoni menyentuh sudut bibirnya. Tak sengaja, mereka berdua saling berpandangan seolah saling menembus tatapan satu sama lain. Antoni tertegun mendapati tatapan itu sehingga tanpa sadar ia masih menyentuh bibir Alif meski darah sudah terhapus.
“Antoni.” gumam Alif.
“Ya?” kata Antoni tanpa melepaskan pandangan dari Alif.
“Darahnya sudah terhapus, kan?” kata Alif. Seketika Antoni tersadar dan menjadi salah tingkah. Ia segera menurunkan ibu jarinya dari bibir Alif.
“Mm, maaf…” kata Antoni canggung dan mencoba membuang muka.
“Tak apa.” Kata Alif yang juga jadi salah tingkah. untuk sesaat mereka berdua membisu. `Astaga, kenapa aku malah jadi deg-deg-an dan salah tingkah begini!? ingat, aku masih normal. aku masih cukup normal untuk perasaan seperti ini.!!`, batin Antoni.
`Alif, ingat!! kau adalah pria normal!!` Alif menegaskan hatinya. jantungnya berdegup kencang ketika ia mengingat kejadian saat Antoni menghapus darahnya.
Mereka berdua duduk disebuah halte menunggu mobil angkutan tiba. Antoni maasih setia menemani Alif dan memperhatikan luka-luka diwajah Alif. Sebagian darahnya berceceran di seragam putih Alif.
“Kau yakin tidak apa-apa?” tanya Antoni iba.
“Tidak. Hanya sedikit perih dan sepertinya kakiku keseleo.”
“Masih sanggup berjalan, kan?” tanya Antoni.
“iya.”
“Kuantar pulang, ya?” tawar Antoni. Alif menatap Antoni heran.
“Kau yakin? Apa tidak merepotkan?” tanya Alif.
“Sama sekali tidak.” Kata Antoni dengan tatapan tajamnya. Alif berdesir dengan tatapan mata itu. Ia menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan Antoni.
Tiba-tiba suara handphone Antoni berdering. Antoni merogoh saku celananya dan mengangkat panggilan itu. Dari Pratama.
“Hallo, Antoni? kau dimana?”
“Aku masih disekitar sekolah.”
“Jadi kuantar pulang?”
“mmm…sepertinya aku pulang sendiri saja.”
“Kau yakin?”
“Ya tentu. Maaf merepotkan.”
“oke. Kalau begitu sampai jumpa besok.”
Tuttt… terputus. Antoni kembali memasukkan HP kedalam sakunya. Ia berbalik dan menoleh pada Alif. Ia masih meringis
kesakitan.
“Kita naik taksi saja.” Kata Antoni. Alif mendongak.
kau yakin?”
“Ya. Lukamu harus segera diobati.” Kata Antoni. Alif terdiam. Lalu kemudian sebuah mobil taksi berwarna biru berhenti didepan mereka. Antoni memapah Alif untuk duduk di kursi belakang dan sesaat kemudian mereka berdua sudah berada didalam taksi.
“Kemana?” tanya sang supir.
“Swadaya.” Kata Alif menyebutkan lokasi perumahannya. Taksi melaju menyusuri jalan di Jakarta. Untuk sesaat mereka berdua dalam kebisuan. Tak ada yang bicara. Namun tak bisa dipungkiri bahwa jantung merekalah yang memberikan bahasa dan saling berbicara. Degupan jantung yang tak beraturan membuat mereka menjadi salah tingkah. Untuk mencairkan suasana, akhirnya Antoni membuka suaranya.
“Jadi, kenapa kau bisa babak belur?” tanya Antoni.
“Biasa, Abim sepertinya cemburu denganku.” Kata Alif.
“Cemburu kenapa?”
“Karena Riska, cewek yang disukai Abim malah menyukaiku.”
“Riska? Anak cheers itu?” tanya Antoni. Alif mengangguk.
“Hebat sekali kau bisa disukai oleh selebritis sekolahan.” Kata Antoni sambil tersenyum.
“Aku tidak menyukainya.” Kata Alif ketus. Antoni hanya tersenyum melihat mimik wajah Alif. Untuk sesaat hening kembali tercipta.
“Ngomong-ngomong, sepertinya aku pernah melihatmu.” Kata Alif yang kini memulai pembicaraan. Alif berpikir sejenak.
“apa kau, si wakil ketua OSIS itu?” tanya Alif.
“Ya.” Kata Antoni santai.
“Tak kusangka aku bisa bertemu dengan orang yang paling
berpengaruh disekolah.” Kata Alif dengan nada memuji.
“Kau terlalu berlebihan.” Kata Antoni. sesaat lagi mereka terdiam. Antoni menatap keluar jendela taksi. Memperhatikan gedung-gedung pencakar langit diluar sana yang begitu indah dibias cahaya senja.
Hari ini, ia bertemu dengan Alif yang mirip sekali dengan Aditya, dan membuatnya rindu pada sosok Rifay. Entah mengapa ia mau saja mengantar Alif pulang kerumahnya seolah khawatir dengan orang asing yang baru ditemuinya itu. Seolah-olah Antoni melihat sosok Aditya pada diri Alif dan selalu ingin melindunginya. Ah, rasa apa ini? Padahal ia baru kenal dengan pemuda melayu itu.
Begitu juga dengan Alif. Perhatian Antoni yang baru dikenalnya seolah membuatnya merasa nyaman dan seumpama segelas air cinta untuk dirinya yang memang haus perhatian dan kasih sayang. Ia melihat sosok seorang ayah yang sangat menyayangi putranya pada diri Antoni. rasa ini, begitu indah dirasakan. Alif mengguratkan senyum simpul yang tak dilihat Antoni.
Sementara itu, taksi melaju menuju sebuah pelataran rumah di perumahan Swadaya. Taksi itu berhenti pada sebuah rumah bercat putih dan besar dengan pagar yang menjulang tinggi. Sebuah kebun mini tampak menghias halaman depannya. Untuk sesaat Antoni berdecak kagum dengan rumah semegah itu.
“Ini rumahmu?” tanya Antoni.
“iya.” Jawab Alif.
“Sepertinya kau orang kaya.” Kata Antoni memuji. Alif hanya menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
"Aku lebih senang menjadi sederhana." kata Alif. Antoni hanya menatap pemuda berparas melayu itu.
Akhirnya mereka berdua turun dari taksi. Setelah membayar ongkos, mereka melewati gerbang dengan Alif yang masih dipapah. Antoni dan Alif sampai dipintu rumah yang bernuansa putih. Antoni mengetuk pintu.
TOK TOK TOK.
Tak ada jawaban. Antoni mengetuk pintunya lagi.
TOK TOK TOK.
Kini jawaban itu datang. Pintu dibuka oleh seorang pria dewasa berwajah dingin dan menatap kearah mereka dengan tatapan tajam. Untuk sesaat Alif terkejut saat ayahnya membukakan pintunya dan sedan berdiri diahadapannya. Ayahnya menatap Antoni dengan pandangan tidak suka. Meski ditatap seperti itu, Antoni tetap menunjukkan keramahannya.
“Tuan Rahman?” tanya Antoni dengan nada yang diramahkan. Ayah Alif hanya menatapnya dingin.
“Maaf mengganggu. Tapi…” Antoni hendak berkata.
“Kau apakan anakku!?” tanya ayah Alif dengan nada yang terdengar marah melihat anaknya penuh dengan luka lebam. Antoni terdiam.
“Ayah, ini bukan salah Antoni. ini salah Alif.” Kata Alif mencoba membela Antoni. Ayah Alif menatap Antoni tajam.
“Alif, masuk!!” suruh ayahnya dingin. Mereka terdiam.
“Tapi…”
“MASUK!!” ayahnya kemudian menyuruh Alif dengan keras hingga membuat Antoni dan Alif terhenyak kaget. Akhirnya Alif menuruti kata-kata ayahnya. Ia kemudian melepaskan tangannya dari tengkuk Antoni dan berjalan terseret karena kakinya masih terasa sakit. Antoni menatap Alif dengan iba saat ia masuk dan menhilang dibalik tubuh ayahnya. Antoni menunduk takut melihat ayah Alif.
“Maaf pak, saya…” Antoni mencoba membuka suara.
“Jangan dekati anakku!! Kau pasti yang mengajarinya berkelahi, kan!?” kata ayah Alif menuduh Antoni. Antoni mendongak.
“Tidak, bukan saya yang…” Antoni hendak membela.
“Sudahlah. Kau adalah orang pertama yang membawa Alif dalam keadaan parah seperti itu!!, lebih baik kau pergi dari sini!!” kata ayah Alif mengusir Antoni. tuan Rahman kemudian membanting pintu dihadapan Antoni.
Seketika Antoni terdiam dan masih terpaku. Ia masih tak menyangka dengan perlakuan ayah Alif yang menuduhnya sembarangan. Ia menghela nafas dan mencoba bersabar. Kemudian ia berbalik dan hendak pergi dengan sejuta kekecewaan yang ia dapat dari sambutan keluarga teman barunya.
“Tunggu.” Panggil seorang wanita dibelakangnya. Antoni berhenti dan menoleh kebelakang. Seorang wanita mungil yang tampaknya dewasa berlari tergopoh-gopoh keluar dari pintu. Ia menghampiri Antoni.
“Maaf atas perlakuan ayah Alif tadi.” Kata wanita itu. Antoni menatap wanita itu heran.
“Anda siapa?” tanya Antoni.
“Aku Widya. Ibu Alif.” Kata wanita itu. Antoni terkejut dan seketika langsung mencium tangan tante Widya sebagai lambang penghormatan.
“Oh, maaf tante. Maaf merepotkan tante dengan kehadiran saya disini.” Kata Antoni.
“Tak apa. Justru tante yang harusnya minta maaf telah merepotkanmu dengan membawa Alif kesini. Dan maaf atas perlakuan suami tante.” Kata Widya. Antoni hanya mengangguk.
“Iya tan, saya mengerti.” Kata Antoni.
“kalau begitu tante permisi dulu. Takut jika ayah Alif melihat tante disini. Terimakasih ya sudah menolong Alif.” Kata Widya.
“Baiklah. Tak apa, aku hanya mengantarnya saja.” Kata Antoni. Setelah berkali-kali mengucapkan maaf dan terimakasih, Widya kemudian kembali masuk kedalam rumah. Setelah Widya menutup pintu, Antoni menatap sejenak kearah pintu dan kembali berbalik untuk keluar gerbang dan meninggalkan rumah Alif.
*****
Widya masuk kekamar Alif sambil membawa kotak P3K. ia mengetuk pintu namun tak ada jawaban. Akhirnya Widya membuka pintu kamar Alif yang tidak dikunci itu. Dilihatnya Alif sedang duduk ditepi ranjang sedang melamun menatap keluar jendela. Widya mendekati anak semata wayangnya itu.
“Alif.” Panggi Widya. Alif seolah tak mendengar panggilan dan Widya memakluminya. Widya kemudian duduk dihadapan Alif dan mengeluarkan kain basah untuk membersihkan luka Alif.
Alif sedikit meringis ketika kain itu menyentuh luka di wajahnya.
“Dia anak yang baik, ya.” kata Widya. Alif baru tersadar dari lamunannya ketika ibunya mulai memberikan obat merah pada lukanya.
“Siapa?” tanya Alif.
“Temanmu. Anak yang berbadan besar itu.” Kata Widya.
“Maksud ibu Antoni?” tanya Alif.
“Jadi namanya Antoni? nama yang bagus.” Kata Widya. Ia membuka hansaplast dan menempelkannya di luka Alif.
“Ya, tapi ayah tak menyukainya.” Gerutu Alif.
“Jangan begitu. Mungkin ayah salah menilainya.” Kata ibunya.
“Maksudnya?”
“Mungkin ayahmu mengira bahwa Antoni lah yang membuatmu sampai babak belur seperti ini.” Kata Widya.
“Tapi bukan Antoni pelakunya. Malah dia yang membantuku.” Kata Alif.
“ya, ibu tahu.” Kata Widya. Alif kembali terdiam. Ia merenung sesaat.
“Setidaknya aku bisa merasakan kasih sayang seorang ayah pada dirinya.” Gumam Alif. Widya terdiam, menyadari bahwa anaknya selalu mengalami tekanan batin dengan kelakuan dingin suaminya. Ia sadar bahwa Alif sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang laki-laki yang biasa dipanggilnya `ayah`.
Namun Widya tak tahu bahwa rindu kasih sayang itu telah menanamkan benih cinta terlarang pada hati anaknya. Sebuah cinta yang kelak akan mendatangkan sebuah pertentangan dari semua orang, bahkan dari dirinya dan juga Tuhan. Hanya tinggal tunggu waktu kapan benih itu akan tumbuh dan bersemi.
*****
~Haruskah aku bersyukur
Pada tuhanku yang telah pertemukanku dengannya?
Meskipun Ia akan membuat
Cinta ini tumbuh menjadi terlarang~
*****
Keesokan hari.
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, membuat sebagian murid bersorak sorai gembira dengan tanda berakhinya jam pelajaran. Antoni berjalan menuju ruang loker dilantai bawah untuk mengemasi peralatan sekolahnya. Ia membuka pintu loker dan mengambil beberapa buku tugas yang akan ia bawa pulang. Setelah itu kembali mengunci pintu loker dan bergegas keluar ruangan.
Saat ia berada didepan pintu ruang loker, sesosok tubuh tinggi menghalangi jalannya. Antoni mendongak untuk melihat orang itu. Sebuah wajah yang ia kenal. Tampak berseri dan bercahaya saat senyum itu tersirat diwajahnya.
“Antoni. Rupanya kau disini.” Pekik Alif.
“Alif? Kenapa kau bisa disini?” kata Antoni terkejut dengan kehadiran Alif dihadapannya.
“Mmm…, aku mencarimu diruang loker A. tapi aku tidak menemukanmu disana. Jadi kupikir kau berada diruang loker B atau C.” kata Alif. Sekolah mereka memang memiliki tiga ruang loker untuk murid. Alif ditempatkan di loker A sementara Antoni berada di loker C. mungkin itu sebabnya mereka baru bertemu dan mengenal satu sama lain karena mereka tidak pernah bertemu di satu ruang loker.
“Kenapa?” Tanya Antoni.
“karena kupikir kau ada diruang loker lain selain loker A.” kata Alif.
“Tidak. Maksudku kenapa kau mencariku?” Tanya Antoni. Alif terbelalak. untuk sesaat ia terdiam, ia pun tak tahu mengapa ia mencari Antoni hingga mencarinya dari satu ruang loker, ke ruang loker yang lain. Untuk sesaat Alif bingung hendak menjawab apa. Ia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. `astaga, kenapa aku mencarinya, ya?`. Batinnya.
“aku… hanya ingin… berterimakasih.” Hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Alif.
“berterimakasih untuk apa?” Tanya Antoni.
“Karena kau mengantarku pulang.”
“Tak perlu berterima kasih. Aku hanya mengantarmu saja. Ngomong-ngomong lukamu sudah tidak apa-apa, kan?” Kata Antoni mencoba untuk ramah dengan nada yang dibuat prihatin.
“mmm…tidak.” Jawab Alif singkat.
“Syukurlah kalau begitu.” Kata Antoni sambil tersenyum. Alif lagi-lagi salah tingkah. Kenapa ia menjadi berdebar dihadapan Antoni. Apalagi darahnya berdesir saat melihat tatapan tajam Antoni yang seolah mengoyak hatinya.
“sebenarnya aku juga ingin minta maaf.” Lanjut Alif.
“untuk apa?”
“Atas perlakuan ayahku kemarin.” Kata Alif canggung.
“Oh, tidak apa-apa. Lagipula itu sudah lewat.” Kata Antoni santai. “Jika sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, boleh aku pergi.” Kata Antoni.
Alif mengangguk dan menunduk lalu menggeser tubuhnya untuk membiarkan Antoni lewat. Antoni kemudian berlalu tanpa melihat kebelakang lagi. `Kenapa? Kenapa aku jadi terlalu memikirkan dia?, seolah aku merasa nyaman jika melihat tatapan mata itu`. Pekik Alif dalam hati.
Ketika Antoni mulai menjauh, Alif pun berbalik ke parkiran untuk pulang. Perasaan ini menjadi sebuah misteri.
Ditempat lain, Antoni yang sudah menjauh meninggalkan Alif terlihat menyunggingkan senyum misterius. Sosok polos berwajah cerah itu kini mulai mengisi seluruh otaknya. Kenapa ia jadi terus membayangi pria yang mirip sekali dengan kak Rifay dan Aditya. Dia hanyalah orang yang mirip dengan orang-orang yang dikasihinya, tidak lebih. Bahkan ia baru bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Itupun lewat kejadian yang tidak disengaja.
Perasaan apa ini? Rasanya sangat bahagia, namun aneh dan tak karuan.
*****
Sore hari di rumah keluarga Alif.
Alif membuka matanya yang sedikit sayu. Sudah jam tujuh, `sudah berapa lama aku berendam di Bathub?`,pikirnya. Alif segera mengambil handuk dan bangkit dari Bathub. Segera ia pergi kekamar untuk memakai pakaian dengan kaos oblong biru dongker dan celana pendek hijau army.
“Alif ! makan dulu !” Ibu memanggil dari bawah.
“iya tunggu sebentar.” katanya menjawab. Alif bergegas turun kebawah.
Di ruang makan, ayahnya sudah makan lebih dulu. Kalian tau, jujur Alif tidak menyukai sifat ayahnya yang sangat temperamental. Waktu Alif berumur 7 tahun, ia pernah dipukul dengan gagang sapu karena ia mencoret-coret mobilnya, hingga gagangnya patah jadi dua bagian. Sampai sekarang, Alif selalu takut akan kelakuan ayahnya. Ia takut, menghormati, sekaligus benci pada ayahnya. Mungkin itu sebabnya Alif menjadi anak yang penurut sekaligus pendiam.
Tapi untunglah ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga Alif tidak terlalu bertemu dengannya tiap hari.
Kini ayahnya berumur sekitar 40 tahun dengan rambut yang seluruhnya telah memutih dan tubuhnya yang gempal namun keras dengan otot-ototnya. Kalau diakui, ayah Alif memang tampan dan berwajah khas melayu. Kini ketampanan itu menurun kepada anaknya.
Alif makan malam dengan ayahnya dalam kebisuan. Hanya suara ibu yang sedang mencuci di dapur yang sedikit membuat suara dentingan gelas dan piring yang sedang dicuci.
“Bagaimana dengan sekolahmu hari ini?” tiba-tiba ayahnya bertanya yang membuat Alif terkejut karena ayah bertanya dengan tampang sangarnya.
“Nngg…, ba-baik baik kok, yah” kata Alif tergagap dan terkesan kaku. Ayahnya hanya mengangguk dan menyuap kembali makanannya.
“bagaimana dengan Antoni? kenapa dia tidak main kesini lagi?” Kata ayahnya. Alif terkejut melihat perubahan sikap ayahnya pada Antoni. Padahal kemarin, secara keras ayahnya terang-terangan mengusir Antoni dari rumahnya.
“Bukankah ayah…mmm… tidak menyukai Antoni?” kata Alif perlahan. Untuk sesaat ayahnya terdiam.
“Ibumu sudah menjelaskan siapa sebenarnya Antoni. Sepertinya dia anak yang baik.” Kata ayahnya. `terima kasih ibu`, guma Alif sambil tersenyum.
“dia sedang sibuk dengan urusan OSISnya,yah. Dia kan seorang wakil ketua OSIS, jadi mungkin dalam waktu dekat ini dia akan jarang kesini.” Kata Alif jujur. Ayahnya kembali hanya mengangguk dengan wajah yang dingin. Suasana makan malam saat itu sangatlah sepi.
“Alif, kau tidak pernah mengenalkan pacarmu kepada ayah…” kata-kata ayah Alif nyaris membuat Alif menelan sendoknya sendiri karena terkejut.
“Apa, yah?” tanyanya lagi untuk memastikan.
“kau belum pernah memperkenalkan kekasihmu, kenapa kaget? remaja sepertimu kan memang sudah wajar memiliki seorang pacar..” kata ayahnya meneruskan dengan dahi mengernyit. Alif belum bisa menjawabnya. Untuk beberapa saat ia hanya diam membisu.
“ Aku belum siap pacaran untuk sekarang, aku lagi pengen fokus sama sekolahku dulu.” Kata Alif kali ini berbohong. Padahal ada sesuatu yang ia rasakan dan tidak ia ketahui sedang menggunggah hati terdalamnya. Ayah kembali hanya mengangguk dan melanjutkan makannya. Alif melanjutkan makannya. Untuk sesaat pikirannya kembali terngiang pada Antoni. Hey, kenapa ia jadi terus memikirkan pria tropis itu?
*****
“Ini benar-benar gila!!.” Pekik Antoni saat ia sudah berada didalam kamarnya bersama sahabatnya Pratama. “kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan anak itu!?” kata Antoni. Pratama sesekali menutup telinganya karena Antoni terus menerus berteriak.
“Bisakah kau diam!! Aku tak bisa mendengarkanmu jika kau berteriak.” Kata Pratama. Antoni akhirnya menghempaskan pantatnya diatas tempat tidur. Ia menumpu wajahnya dan menutup matanya. Setelah Antoni benar-benar terdiam, giliran Pratama yang gentian bicara.
“Sebenarnya kau kenapa?” tanyanya. Antoni terdiam.
“Aku tidak tahu. Yang jelas bayangannya selalu menghantuiku.” Kata Antoni.
“Siapa?” tanya Pratama lagi.
“Kalau tidak salah namanya adalah Alif.” Gumam Antoni. Pratama terbelalak.
“Ya Tuhan !! maksudmu Alif Rahman !?” tanya Pratama kaget. Antoni mengangkat wajahnya.
“Darimana kau tahu namanya Alif Rahman?” tanyanya heran.
“Tentu aku tahu, dia adalah anak paling tajir sekaligus jadi bintang disekolah. Dia satu kelas denganku sekaligus satu ruang loker.” Kata Pratama. “bagaimana kau bisa kenal dengannya?” tanyanya penasaran.
“Ya, aku melihatnya saat dia sedang dikeroyok oleh `Si Manyun` itu.” Kata Antoni. Pratama mengenryitkan dahi.
“Manyun?”
“Abimanyu alias Abimanyun. Si Preman itu.” Kata Antoni menjelaskan maksudnya. Pratama menganggukkan kepalanya.
“Apa Alif anak baru?” tanya Antoni.
“Tidak, dia sudah ada sejak kelas satu.” Kata Pratama.
“Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya.” Tanya Antoni.
“Dia sangat pendiam dan menarik diri dari sosial. Aku saja yang satu kelas dengannya tidak begitu dekat.” Kata Pratama menjelaskan. Antoni terdiam dan berpikir sejenak. Pantas saja dia tidak pernah terlihat olehnya.
“Ngomong-ngomong, kau suka padanya, ya?” tanya Pratama jahil. Antoni menoleh dan terbelalak.
“Aku masih terlalu normal untuk itu !!” kata Antoni.
“Masak sih?, tapi kenapa kau memikirkannya terus?” tanya Pratama sambil memicingkan matanya. Seolah Ia tak yakin dengan jawaban Antoni.
"Entahlah, aku...aku... tak bisa kujelaskan. Aku merasa ada sesuatu yang aneh yang membuatku merasa betah jika didekatnya. Matanya, senyumnya, hidungnya. entah mengapa aku selalu kepikiran tentang anak itu." kata Antoni.
"Mungkin karena kau merasa ingin dekat dengannya atau sekedar ingin kenal dekat dengannya." kata Pratama memberi persepsi.
"Maksudmu?" tanya Antoni.
"Yah, kau tahu sendiri. kau tadi cerita jika Alif mirip dengan adikmu; Aditya. mungkin karena rasa itu kau jadi menganggap Alif sebagai Aditya sehingga kau ingin merasa selalu dekat dengannya." kata Pratama. Antoni terdiam. Ia masih tak yakin dengan jawaban Pratama. Memang, Alif sangat mirip dengan Aditya, tapi sepertinya ada sesuatu yang aneh dan janggal yang membuat perasaan itu terasa beda dari biasanya. Terasa hangat dan aneh.
"Tapi jika bukan begitu, mungkin kau jatuh cinta padanya." kata Pratama sambil tersenyum penuh arti.
"APA!?"
"Yah, kurasa kau jatuh cinta pada pandangan pertama." kata Pratama iseng. Antoni bergidik.
“Kau menjengkelkan !!” kata Antoni sambil membuang muka dengan kesal. Pratama tertawa menertawai sahabatnya itu.
“Aku hanya bercanda.” Kata Pratama santai. Antoni bernafas lega karena Pratama hanya becanda dengan perkataannya. Padahal ia nyaris menganggap serius pernyataan itu.
“Tapi, selama ini kau suka denganku atau tidak?” kata Pratama lagi-lagi jahil.
“…” Antoni ceming.
“Yah, aku mengira selama kau dekat denganku, mungkin saja kau jatuh cinta denganku seperti kau dengan Alif.” Kata Pratama sambil terkekeh.
“PRATAMA!!!” Antoni geram dan menimpuk Pratama dengan bantal.
“oh, iya maaf-maaf, kita ganti topik” katanya santai tak peduli dengan wajah Antoni yang sudah seperti kepiting rebus. Ia menyeruput minumnya ~yang sebelumnya telah Antoni sediakan~ dengan santainya.
“Mana ayahmu?” katanya kemudian. Antoni terhenyak tapi tidak menunjukkan ekspresi.
“Ayahku?” ulang Antoni.
“iya ayahmu. Selama aku mampir kesini, aku hanya bertemu dengan ibumu. Boleh kutahu ayahmu?” tanyab Pratama. Untuk sesaat Antoni terdiam sebelum menjawabnya.
“dia pergi..”kata Antoni singkat.
“kemana?” tanya Pratama polos tak mengerti maksud ucapan Antoni.
“Maksudku dia sudah pergi, selamanya…” kata Antoni menjelaskan.
“oops, maaf...aku turut berduka..” kata Pratama menutup mulutnya, tanda ia telah salah bicara dan menyesal.
“Tidak, bukan meninggal. Maksudku, aku tak tahu dia dimana. Aku… tidak akan pernah berjumpa dengannya lagi.” Kata Antoni sedikit sedih yang membuat Pratama tidak bisa berkata apa-apa bahkan untuk sekedar menghiburnya.
“maaf bukan maksudku…”Pratama hendak bicara namun sulit untuk dikeluarkan. Antoni maklum kepadanya.
“sudahlah, tak usah dipikirkan”. Kata Antoni. Antoni mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan pekerjaan rumah dan menanyakan kehidupan pribadi Pratama. Rupanya pria seganteng dan sebeken Pratama masih belum memiliki pacar.
Begitulah mereka mengobrol hingga waktu semakin larut dan tak terasa sudah menunjukkan jam setengah 7 malam. “Kau tidak apa-apa soal waktu? Ini sudah pukul setengah 7 malam.” Kata Antoni mencoba untuk mengganti pembicaraan sekaligus mengingatkannya akan waktu yang sudah malam.
“oh iya, sepertinya aku harus berbenah diri. Sebelum pulang, boleh aku menumpang mandi? Itupun jika kau membolehkannya, karena aku pasti akan kemalaman dan telat mandi jika aku memaksa diri untuk mandi dirumah.” Katanya panjang lebar. Antoni tahu lokasi rumah Pratama memang searah dengannya namun rumahnya dan rumah Pratama cukup jauh.
“Tentu saja boleh, akan aku ambilkan handuk” kata Antoni seraya mengambilkannya handuk dan memberikannya pada Pratama. Pratama pun menuju kamar mandi di lantai dasar. Tak berapa lama terdengar suara selaksa air dalam jumlah besar dari dalam kamar mandi.
Antoni kembali duduk diatas ranjang sambil menunggu Pratama selesai mandi. Ia memejamkan matanya sejenak, namun dalam bayangannya terlintas wajah Alif yang mirip sekali dengan Aditya. Senyumnya… ia terbayang dengan senyuman menawan Romeo yang satu itu.
Ia membuka matanya ketika sadar dengan kekhilafan pikirannya. Tak seharusnya ia mengagumi sosok orang asing itu hingga terbayang dalam pikirannya. Apalagi orang asing itu adalah seorang pria. Mengapa jadi begini? Kenapa ia selalu terbayang dengan sosok indah dengan wajah cerah bagaikan seorang Apollo. Rasa apa ini? Kenapa ia mengagumi wajah seorang Adam? Tuhan, bantu aku menjawabnya, batin Antoni.
Saat ia menenggelamkan wajahnya diantara kedua tangannya, tiba-tiba HP nya bergetar. Sebuah SMS dari Rani. Ia mengambil HP yang tak jauh darinya dan membuka message yang telah diterima itu.
Rani:
-Hay Tampan ^_^, belum tidur, kan? Bsk mau mengantarku utk k Gramedia? Sekalian qta jalan2. Hehehe. Bls aq jka kau menyetujuinya.-
Antoni tersenyum membaca SMS itu. Ah, Rani. Sahabatnya sejak kecil itu memang sudah lama mengagumi sosok Antoni. Namun Antoni pura-pura tidak tahu akan perasaan Rani padanya itu. Ia hanya ingin bersahabat saja dengan Rani, tidak lebih.
Antoni mengetik sebuah SMS balasan untuk Rani. Ia menyetujui ajakan Rani itu untuk ikut ke Gramedia sekalian untuk jalan-jalan.
*****
nice..
“Hei, melamun aja…!!” bisik Antoni sambil mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah Alif yang membuat Alif tersadar dari lamunannya. Alif terkejut dengan kehadiran Antoni saat itu yang tersenyum kearahnya. Antoni langsung mengambil kursi di sebelah Alif yang sedang melamun pada jam istirahat di kantin saat itu. Alif masih terdiam dan tertunduk menyembunyikan wajahnya. Antoni memesan segelas es jeruk pada pelayan.
“Lagi ngapain? Tumben-tumbenan ke kantin. Biasanya aku nggak pernah ngeliat kamu disini.” Kata Antoni sambil tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang rata.
“Suka-suka dong!!” kata Alif agak ketus karena lamunannya dibuyarkan. Ia sudah bisa menguasai suasana hatinya dengan kedatangan Antoni disebelahnya. Antoni tersenyum. Sejak semalam, Antoni akhirnya memutuskan untuk terlebih akrab dahulu dengan Alif. Ia memang sempat ingin menghindari pemuda oriental melayu itu. Namun akhirnya ia menutuskan untuk bisa bersahabat baik dengan Alif. Dan kini, tak ia duga akhirnya ia duduk berdekatan dengan Alif dan berbicara wajar tanpa ada kecanggungan atau degup jantung yang tak beraturan.
“Lho, malah ngambek !? masih mending aku sadarin lamunannya, coba kalau nggak, pasti kamu bisa mati.” Katanya serius membuat Alif menatap matanya meyakinkan.
“yakin? Koq bisa orang melamun langsung meninggal?” Kata Alif penasaran.
“Ya iyalah, orang enggak melamun aja bisa mati, apalagi yang melamun.” Kata Antoni dengan tawa kecilnya yang khas yang membuat Alif seperti orang bodoh. Segera Alif menampar kecil pipinya yang malah membuat Antoni semakin cengengesan.
“Emangnya dari tadi kamu ngelamunin apa sih?” tanya Antoni. Alif terdiam. Sesungguhnya sedari tadi ia memikirkan Antoni. namun tidak mungkin ia bilang pada Antoni bahwa ia sedang memikirkannya.
“Ngg… pengen tau banget.” Kata Alif mencoba menghindar.
“Huu, dasar. Ngomong-ngomong, luka kamu udah nggak apa-apa, kan?” tanya Antoni memperhatikan wajah Alif.
“Udah agak mendingan kok.” Kata Alif santai.
“Oh, syukur deh kalo begitu. Tapi, aku masih penasaran, emang kamu dihajar cuma karena Riska suka sama kamu, ya?” tanya Antoni heran.
“Kamu masih nggak percaya?”
“Mmm…bukan begitu. Aku masih heran aja, cewek se-populer Riska bisa kepincut sama kamu.” Kata Antoni.
“Mungkin karena aku ganteng, hehe.” Kata Alif sambil cengengesan. Antoni menonjok pelan bahu Alif. Untuk sesaat obrolan merek terhenti karena pesanan Antoni sudah datang. Antoni menyeruput es jeruknya.
“Psst, Alif…” terdengar suara pelan namun intonasi yang sedikit nyaring memanggil Alif. Alif tidak perlu mencari-cari suara itu, karna asalnya sudah ada di depannya. Beberapa meter kearah depan kiri seorang wanita sedang nyengir genit kearahnya, yang membuat Alif mengangkat alis sebelah kanannya; bingung dan geli. Riska Apriliani, wanita genit bersuara cempreng itu. Dengan tubuh mungil dan suara cempreng serta tampangnya yang judes membuat siapa saja merasa gerah padanya. Dan yang Alif tahu, sejak kelas satu dia sudah suka padanya dan mengincarnya untuk dijadikannya pacar.
“Nanti pulang bareng ya, kebetulan nggak ada ekskul hari ini…” Kata Riska sambil mengedipkan mata seperti orang ayan. Alif merasa jengah dengan ucapan dan perilaku Riska. Antoni melihat rasa jengah dari mimik wajah Alif yang tampak `jijik` dengan kehadiran Riska. Ia pun mencoba untuk menolong Alif dari keadaan itu.
“Ssst, nggak boleh ngomongin urusan pribadi di tempat umum!!!” Sahut Antoni dengan sedikit galak, padahal Alif yang seharusnya menjawab pernyataan Riska.
“Apa sih, Ton !! mau ikut campur aja !!! kan Gua nanyanya sama Alif, bukan sama elu!!” Sahut riska dengan sedikit logat betawi-jawa dan dengan tampang judesnya. Riska memang mengenal Antoni meski mereka berbeda kelas. Maklum, Antoni adalah seorang wakil ketua OSIS jadi dia memiliki banyak jaringan. Apalagi dengan Riska si ketua cheerleders itu.
“yee, dibilangin. Si Alif ntu ada les bahasa inggris hari ini, jadi dianya kagak bisa nganterin elu!!!” Sahut Antoni membalasnya dengan logat Betawi yang lebih kental.
“iya-iya dah waketos, ngalah gua mah…, tapi lif, kalo besok mau bareng sama aku, kamu tinggal SMS aku aja ya…bye bye honey” Kata Riska dengan ganjennya sebelum mengakhiri pembicaraannya tanpa mempedulikan tampang Antoni yang sudah badmood. Alif hanya tersenyum melihat ekspresinya. Riska berbalik membelakangi keduanya.
“Emangnya aku les bahasa inggris ya?” Tanya Alif becanda sambil tersenyum jail menertawakan kebohongan yang dibuat Antoni.
“Tau ah!!! Masih mending aku selamatin kamu dari Riska.” Kata Antoni sambil membuang mukanya.
“Iyadeh, iya… maafin aku. Aku cuman becanda koq. Makasih, ya.” Kata Alif dengan nada yang dilembutkan. Antoni hanya tersenyum mendengar ucapan Alif itu. “Oiya, aku masih penasaran. Ada angin apa nih tiba-tiba kamu ngedeketin aku. Kayaknya kemarin kamu ngejauhin aku deh.” Kata Alif mengganti topik pembicaraan. Antoni terdiam sesaat.
“Aku cuma ingin dekat aja sama kamu.” Kata Antoni.
“Kenapa? Kita kan baru kenal.” Kata Alif.
“Justru itu, aku ingin dekat dengan kamu yang baru aku kenal tempo hari.” Kata Antoni. Alif tersenyum.
“Apa cuma itu?” tanya Alif.
“Baiklah. Ada alasan lain yang membuatku ingin dekat denganmu.” Lanjut Antoni.
“apa?”
“Kau, mirip sekali dengan Aditya.” Kata Antoni dengan mimik serius menatap lurus kearah Alif. Seketika Alif termangu dengan tatapan yang tiba-tiba membuatnya terasa mati membeku. `Kenapa? Kenapa harus tatapan itu?`, gumam Alif.
“Aditya? Siapa itu?” tanya Alif sambil menetralkan detak
jantungnya. Beberapa saat Antoni terdiam sambil menundukkan wajahnya.
“Adikku. Dia sangat mirip denganmu. Itu sebabnya saat pertama kali melihatmu, aku merasa melihat Aditya pada dirimu.” Kata Antoni. Alif terdiam.
`Ah, ternyata tatapan yang telah memikatku itu ditujukan untuk adiknya. Bukan aku.` gumam Alif. `tapi biarlah, lagipula untuk apa aku mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin bisa kudapat dari sosok seindah Heracles itu` tepis Alif pada hatinya. Untuk sesaat mereka berdua terdiam.
“Jika kau mau, kau bisa menganggapku sebagai adikmu.” Kata Alif untuk menghibur Antoni yang mimiknya berubah menjadi sendu itu. Seketika Antoni tersenyum.
“Terimakasih. Tapi sepertinya tidak bisa.” Gumam Antoni. ia tersenyum menatap Alif yang terpaku menatapnya heran.
“kenapa?”
“Karena, kau lebih tinggi beberapa inci dariku. Tentu aku gengsi memanggilmu adikku jika ternyata tinggi tubuhmu lebih tinggi dariku. Haha.” Kata Antoni sambil tertawa. Alif pun juga tertawa renyah mendengar ocehan Antoni yang terdengan dipaksakan itu. Ya, meski Antoni memilik postur tubuh yang lebih kekar, berisi dan seksi, tetap saja Alif memiliki tinggi yang lebih dari Antoni. tidak terlalu tinggi memang, perbandingan tinggi Antoni hanya sekitar pipi bawah Alif. Meski begitu, Alif memiliki tubuh yang lebih kurus dari Antoni.
Keduanya memiliki kelebihan sekaligus kekurangan dalam hal fisik.
*****
Suara Hati Alif…
Kau tau? terkadang aku iri terhadap kesempurnaan Antoni. Selain aktif dan cerdas, dia memiliki tubuh yang seolah-olah dipahat oleh malaikat: Indah dan berbentuk seperti pahatan patung Yunani. Rambutnya hitam lurus dan legam yang mudah untuk dijadikan model apa saja. Tapi anehnya dia begitu tidak peduli dengan rambutnya, padahal aku rela membayar berapapun agar aku bisa mengganti rambutku yang ikal kering ini dengan rambutnya. Warna kulitnya Eksotis Indonesia atau cokelat tropis. Membuatnya tampak seksi dan kekar. Mungkin penyebabnya karna Antoni aktif di beladiri, olahraga Basket ataupun gymnasium. Sehingga tubuhnya terbentuk dan terbakar sinar matahari.
*****
Kriiing…Kriiing…Kriiing…
Bel tanda pulang berbunyi nyaring. Antoni dan Alif segera membereskan buku pelajaran di loker masing-masing. Mereka sudah janjian untuk bertemu di koridor saat jam istirahat tadi. Alif masih saja becanda memukul kecil bahu kanan Antoni sambil tersenyum iseng. Ia melepaskan kacamatanya dan memasukannya kedalam tas jinjingnya.
“Kau memakai kacamata?” tanya Antoni.
“Iya. Memangnya kenapa? Ada yang salah?” tanya Alif.
“bukan begitu, maksudku, kenapa kau melepasnya?” kata Antoni tajam menatap langsung ke mata Alif.
“hanya... terasa tidak nyaman, maksudku, kau tau... idiotnya orang yang berkacamata?” kata Alif mengaku.
“oo.. jadi alasannya begitu, padahal menurutku, kau terlihat lebih dewasa memakai kacamata itu..” kata Antoni sembari tersenyum.
“termakasih…”kata Alif membalas senyumnya. Pujian dari Antoni membuatnya melayang, tapi ia tidak mau mengekspresikannya lebih jauh.
Mereka berjalan beriringan berdua dengan santai. Sesekali mereka masih berceloteh bercerita tentang apa saja. Alif berbicara dengan senyum simpul yang sesekali memperlihatkan giginya yang rapih. Antoni merangkul bahu Alif dengan tangannya yang jika dilihat seperti dua orang sahabat berjalan beriringan, padahal jika ditelisik lebih jauh, mereka hanya ingin berada dekat layaknya dua kutub magnet. Tubuh Alif yang tinggi membuat Antoni sulit untuk menyeimbanginya.
“Hari ini ada rapat OSIS?” Tanya Alif kemudian menatap kearah Antoni.
“Enggak, kenapa?” Tanya Antoni kemudian sambil mengerutkan kening.
“Bagus, jalan bareng yuk, kebetulan aku bawa motor. Akan kutunjukkan tempat indah di Jakarta saat sore hari. Sekalian sebagai ucapan terimakasih dari keluargaku karena menyelamatkanmu kemarin. Oiya, ayahku sudah mulai terbuka denganmu. Jadi kau bisa main kapanpun kerumahku.” ajak Alif dengan mata berbinar dan penuh harap.
“Serius nih ayahmu udah nggak marah lagi?” tanya Antoni tak percaya.
“Iya. Dia hanya salah sangka padamu. Lagipula kemarin dia menanyakanmu apakah kamu ingin bertandang kerumah lagi.” Kata Alif.
“Sepertinya ayahmu baik.” Kata Antoni sambil tersenyum. Teringat dengan kejadian saat tuan Rahman mengusirnya tempo hari.
“Jadi, kau mau pergi denganku. Aku punya sebuah tempat rahasia dikala senja. Kau bisa melihat sebuah savannah ilalang dengan pohon saga ditengahnya. Yah, hanya itu tempat yang bisa kutawarkan.” Kata Alif berharap Antoni bisa ikut ke tempat yang dianggapnya paling istimewa di Jakarta.
“Oiya? Sepertinya menarik. Memangnya dimana tempatnya?” tanya Antoni antusias.
“Di belakang bangunan bekas gedung didaerah Tanah Abang. Memang terlihat seperti bangunan biasa, tapi jika kau sudah masuk kedalamnya, kau akan menemukan sebuah savannah disana. Gedung itu adalah gedung yang baru setengah jadi alias tidak diselesaikan.” Kata Alif antusias. Antoni berfikir sejenak.
“Mmm… aku ingin sekali ikut, tapi…” Ucapan Antoni terpotong.
“Ton..!!!” suara melengking khas seorang wanita tiba-tiba memanggil Antoni. Antoni menoleh kebelakang kearah wanita yang sedang mengejar langkahnya diantara puluhan siswa. Ia berhasil mengejar langkahnya dan menyeruak diantara tubuh Antoni dengan Alif. Nafasnya tersengal-sengal kelelahan karna berlari. Wanita bermata cokelat, berwajah oriental sumatera itu memulihkan nafasnya agar teratur sebelum berbicara.
“Jadi kan nganterin aku?” Katanya cepat dan langsung menatap wajah Antoni. Antoni melirik Alif yang tampak kesal karena obrolannya terganggu. Walau mukanya terlihat biasa dan dingin, tapi Antoni dapat membaca dari matanya.
“Jadi apa?” Tanya Antoni balik dengan tampak bingung.
“Lho, tadi malam kamukan udah janji mau nganterin aku ke Gramedia? Kamu udah lupa ya? Atau kamu ada janji yang lain?” Katanya pada Antoni sambil menoleh sesaat kepada Alif. Kini Alif makin terlihat terganggu atas kehadirannya, terutama atas lirikan yang ditujukan kearahnya.
Antoni berpikir sesaat, hingga ingatan tadi malam saat SMS Rani masuk teringat kembali dalam memori ingatannya. “oh iya, aku ingat !!!” katanya dengan muka yang seperti orang gila yang mengingat kegilaannya .
“Nah ingatkan? Dah yuk, sekarang langsung berangkat. Kamu kan dan janji mau nganterin aku!” Kata Rani yang berusaha memaksa dan menarik-narik tangan Antoni yang kekar. Antoni cukup kesakitan di cengkeram oleh tangan Rani.
“Eh… iya… tapi…tapi” kata Antoni menahan sakit dan mencoba melepaskan genggaman tangan Rani dari lengannya karena ia melihat Alif semakin dingin menatap Antoni dan Rani. Cemburu? Mungkinkah?. “Aku ada janji sama Alif, kapan-kapan aja ya aku nganterin kamu.” kata Antoni dengan wajah yang masih meringis kesakitan, Rani yang sebelumnya terlihat bersemangat tampak kecewa berat mendengar alasan Antoni (meski begitu, lengan Antoni masih saja belum dilepasnya >_<).
“Gapapa koq Ton, kamu pergi aja, toh kamu udah terlanjur berjanji.” Kata alif dengan senyum yang dipaksakan kearah Antoni.
“Tapi Lif…”
“Gapapa Ton, kamu pergi aja sana…Yaudah, aku cabut duluan ya, bye…” kata Alif sambil memaksakan senyum di ekspresinya yang dingin dan tatapan matanya yang kosong. Ia berlalu tanpa menoleh lagi kearah Antoni dan langsung menuju tempat parkiran.
Antoni masih termangu di tempatnya sambil menatap punggung Alif yang lebar dan perlahan menjauh. Meski hanya dapat melihatnya dari belakang, Antoni merasakan hawa kesedihan dan kecewa dalam auranya. `Kenapa? Pria melayu itu tampak begitu kecewa? Ataukah hanya diriku yang tampak tak enak hati bila menolak ajakannya?` batin Antoni.
“Ton, jadi kan?...” Sebuah tangan melayang-layang didepan Antoni menyadarkan lamunannya. Rani menatap Antoni dengan tatapan bingung sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
“eh…iya, yuk jalan…” Kata Antoni tergagap mendapati pertanyaannya.
“Oke, yuk ke parkiran, aku bawa mobil, biar aku yang nyetir” Kata Rani semangat dan langsung menarik pergelangan tangan Antoni. Antoni hanya menuruti kemauannya. Alif…
*****
Sepanjang perjalanan Antoni dan Rani tenggelam dalam kebisuan. Rani sedari tadi hanya memilih-milih buku di Gramedia. Antoni tidak tertarik untuk menyentuh buku manapun. Antoni hanya melihat-lihat cover buku terutama yang ber-genre gothic di salah satu rak buku di lantai dua. Rani menawarkannya buku namun Antoni menolaknya. Karna Antoni sedang tidak berminat, Rani hanya maklum mendapatinya yang sedang enggan berbuat sesuatu. Antoni hanya menemaninya berjalan dari rak buku satu ke yang lain. Cukup bosan juga karena buku yang dicari Rani belum juga ketemu sementara waktu sudah menunjukkan puku 5 sore. Entah mengapa tiba-tiba Antoni memikirkan Alif. Wajah pria itu seolah hadir dimanapun yang membuat pikiran Antoni tidak terfokus.
Akhirnya Rani menemukan buku yang dicarinya. Di rak novel ber-genre romantic. ‘9 legenda cinta abadi’. Itulah tulisan judul buku yang dicetak besar dengan gambar seorang virgo yang tampak seperti malaikat karna mempunyai sayap seperti merpati. Yang duduk menatap nanar dengan kedua tangannya yang terangkup di dada, dan berlatar bulan purnama. Seolah-olah mengekspresikan kehilangannya.
Di mobil untuk menghilangkan rasa bosan, Antoni meminta izin pada Rani untuk meminjam buku berwarna pink tersebut.
“boleh kupinjam?” katanya sambil menunjuk buku yang baru dibeli Rani. Setelah mendapat anggukan dari Rani Antoni membuka-buka buku tersebut.
Seperti judulnya, buku ini memang berkisah tentang sembilan legenda percintaan dari seluruh dunia. Yang pertama adalah Cleopatra dan Antonius. dua sejoli yang dipertemukan di negeri piramida. Setahu Antoni, Cleopatra adalah seorang ratu muda yang sangat cantik hingga kecantikannya menembus zaman. Namun nasib naas menimpanya, ia bunuh diri saat ia tau kekasihnya Antonius mati dalam perang dan ia baru menyesal kemudian setelah ia tau bahwa semuanya adalah kebohongan belaka.
Yang Antoni sukai adalah kisah Qais dan Layla (layla dan majnun). Dimana saat keegoisan orang tua dan perjodohan memisahkan cinta mereka. Hingga membuat qais menjadi gila karna cinta. Keduanya dipisahkan oleh keaadan dan status. Cukup kolot juga tentang bagaimana cara pandang orang saat itu. Tapi yang disukai adalah akhir ceritanya. Dimana akhirnya takdir mempersatukan cinta mereka di padang gurun sahara, gurun terluas di dunia. Dan mereka berdua akhirnya meninggal disana.
Sebenarnya masih banyak cerita didalamnya, tapi tidak mungkin saya mendeskripsikannya satu persatu pada kalian kan?
“apakah semua kisah cinta yang melegenda harus berakhir tragis?” Tanya Antoni pada Rani. Rani terhenyak sesaat mendapati pertanyaan Antoni yang secara spontan sebelum ia mulai menjawabnya.
“ya, tergantung. Tapi terkadang setiap orang perlu sesuatu yang berbeda, tidak berakhir bahagia seperti yang selalu diceritakan dalam dongeng bukan?” kata Rani jelas meski belum sepenuhnya memuaskan pertanyaan Antoni.
“menurutmu, apakah semua kisah cinta itu haruslah laki-laki dan wanita dalam satu plot?” Tanya Antoni lagi.
“ayolah, pernahkah kau memerhatikan cerita-cerita cinta yang dibuat oleh Shakespeare? `romeo dan Juliet`, ‘san pek dan eng tai’, bahkan kisah-kisah nyata seperti raja shah jahan yang membangun taj mahal untuk cinta, yusuf dan zulaikha, dan bahkan adam dan hawa. Bukankah kisah-kisah itu berupa kisah cinta antara berbeda jenis? Menurutmu apakah ada legenda cinta yang lain dari biasanya? Yang sekiranya bercerita tentang hubungan terlarang seperti Gay atau Lesbian?” Kata Rani mengerutkan dahinya. Antoni terdiam dan berpikir sejenak, `antologi cinta sejenis. Entah mengapa kata itu terngiang aneh di kepalaku` batin Antoni.
Antoni berpikir sejenak “Ada satu kisah cinta legenda yang kau lupakan. Dan ini adalah kisah cinta yang lebih beda dari biasanya.” Katanya perlahan dengan senyum simpul dan tatapan dingin.
“apa?” Tanya Rani kemudian.
“Kisah Apollo dan Hyakinthos, bukankah itu legenda cinta sesama jenis? Dan akhir yang tragis karena hyakinthos dibunuh dan Apollo mengutuk keabadiannya sendiri. Meski Apollo adalah seorang dewa abadi, hanya satu kelemahannya, ia tidak bisa mati dan tidak akan bisa bersatu dengan hyakinthos di tempat yang kekal. Itu sebabnya ia menciptakan bunya hyacinth untuk mengenang kekasihnya.”Kata Antoni dengan tatapan yang menerawang. Kisah yang sangat tragis menurutnya, meski cuma sekedar mitos.
Rani mendengarkannya dengan tertegun dan mengerutkan bibirnya tanda sepaham. Lalu seketika ia menoleh dan menanyakan sesuatu,
“Tapi jika itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, bagaimana cara membedakan mana pihak yang berperan sebagai Hyakintos dan mana pihak yang berperan sebagai Apollo jika cinta tidak dibedakan oleh status gender?, bukankah sulit jika cinta itu tidak membedakan mana laki-laki dan wanita. Karena perbedaan gender itu menentungan status orang tersebut dalam satu cinta itu. Iya, kan?
Seperti halnya kisah Romeo dan Juliet. Romeo adalah gambaran untuk laki-laki sementara Juliet adalah gambaran untuk wanita. Jika seandainya kedua pemeran dalam satu kisah berjenis kelamin sama, bagaimana cara membagi peran antara Romeo dan Juliet?” kata Rani panjang lebar. Anton terdiam. Memang benar, tidak pernah ada kisah untuk mereka yang memiliki kelainan seksual. Mereka yang mencintai dari jenis yang sama, terkadang tidak memiliki tempat untuk sebuah akhir yang bahagia dalam sebuah cerita tragedi terlarang. Tak pernah ada tempat untuk sebuah cinta terlarang. Bahkan dalam dunia fiksi sekalipun. Karena dunia ini hidup dengan perbedaan, dan penuh warna karena perbedaan. Bukan karena persamaan apalagi dalam hal gender.
Antoni tersenyum kecut dan mengedarkan pandangan kedepan, ke jalanan yang mulai dihiasi dengan bias temaram senja dan lagit jingga. Seketika itu juga Antoni memikirkan kata-kata yang akan diucapkan.
“Salah satu dari mereka yang mencintai sejenis, mungkin harus mati terlebih dahulu. Dia yang mati adalah yang menjadi Hyakinthos, sementara yang hidup adalah seorang Apollo. Yah, setidaknya itulah kesimpulan yang kudapat dari makna cinta sejenis antara Apollo dengan Hyakintos. Karena diantara putih dan hitam, pasti ada abu-abu. Diantara cinta pria dan wanita, pasti ada pertengahannya yang disebut penyimpangan. Karena cinta yang menyimpang, pasti membutuhkan pengorbanan meskipun lewat jalan kematian.” Katanya singkat yang membuat Rani hanya tertegun dan tidak menanyakan apa maksudnya. Antonipun hanya berkata sesuatu yang bahkan tidak ada dalam pikirannya. Sesuatu mungkin akan terjadi, dalam hidupnya…
*****
update dong bro
maaf, sempet vacum.... :P
nih ane lanjut lagi......
Langit Jakarta kala itu mulai menunjukkan awan gelapnya. Musim hujan di September tak ayal seringkali menurunkan berlaksa air dalam jumlah besar dari cakrawala. Mendung sore itu menutupi seluruh senja dengan bayangan hitamnya yang membuat penghuni bumi segera mencari perlindungan sebelum diserbu oleh ribuan tetesan air yang tanpa ampun menimpa mereka.
Disebuah jalan raya di daerah tanah abang, mobil milik Rani sedang melaju khidmat diantara keriuhan kota. Waktu menunjukkan jam lima sore. Dalam waktu-waktu tersebut biasanya siluet bayang jingga tersirat di ufuk barat menandakan akan berakhirnya hari. Namun dalam keaadan mendung seperti itu, tidaklah mungkin untuk Antoni melihat suasana kota Jakarta dikala senja yang selalu ditunggunya. Ia mendesah menatap langit sambil menyenderkan kepalanya di pintu mobil.
“Antoni, ada apa?” tanya Rani memperhatikan Antoni disebelahnya.
“Mendung.” Gumam Antoni.
“Memangnya kenapa kalau mendung?”
“Aku hanya benci saja.” Kata Antoni. Rani tertawa renyah. Ia tahu bahwa Antoni sangat menyukai pemandangan senja. Mungkin karena cuaca sedang buruk, jadi mood Antoni tentang senja menjadi berkurang.
Antoni masih menatap keluar jendela. Seketika ia mendapati sebuah siluet apartemen bertingkat yang tua dan sudah tidak terpakai. Apartemen itu ditengan sebuah lapangan tandus yang tanpa mencekam serta ditutupi dengan palang yang menghalanginya. Seketika Antoni langsung teringat sesuatu.
“Rani, ini sudah sampai dimana?” tanya antoni.
“Daerah Tanah Abang.” Kata Rani singkat. Antoni terdiam. Apartemen tua di daerah Tanah abang. Ia jadi teringat dengan Alif yang mengajaknya kesini. Untuk sesaat pikirannya menimbang sejenak saat ia melihat bangunan tua itu. Bangunan itu berdiri membelah langit Jakarta yang sedang dilanda mendung saat itu.
“Aku turun disini saja.” Kata Antoni.
“Apa? Tapi rumahmu masih jauh.” Kata Rani.
“Tidak apa-apa. Aku turun disini saja.” Kata Antoni lagi.
“Memangnya kau mau ngapain?”
“Ada urusan. Komohon menepi. Aku ingin turun disini.”
“Baiklah.” Akhirnya Rani mengalah. Mobil sedan Volvo hitam itu berhenti di trotoar yang tak jauh dari bangunan tua itu. Antoni bergegas mengalungkan tas sangkilnya dan membuka handel pintu.
“Mau kujemput?” tawar Rani sesaat setelah Antoni keluar.
“Tidak perlu. Kau pulang saja terlebih dahulu.” Kata Antoni.
“Kau yakin.”
“Ya.” Kata Antoni, ia langsung menutup pintu. Saat Antoni hendak berbalik, Rani memanggilnya lagi.
“Antoni!!” Panggil Rani.
“Ada apa?” Antoni menunduk memandang Rani lewat jendela mobil.
“Terimakasih untuk hari ini.” Kata Rani sambil tersenyum.
“Sama-sama.” Kata Antoni membalas senyumnya. Ia kemudian berbalik dan menuju apartemen bekas itu. Menembus angin Jakarta yang bertiup kencang dan dingin membekukan setiap senti bangunan-bangunan Jakarta.
*****
Suara hati Antoni…
Aku turun dari mobil hanya untuk mengejar sesuatu yang tak pasti!? Astaga, aku pun tak tahu mengapa tiba-tiba aku turun dan masuk kedalam bangunan tua itu. Padahal belum tentu Alif masih berada didalam.
Aku berlari disetiap lantai mencari sosok kurus berkulit putih itu hingga nafasku tersengal-sengal. Jika saja aku tak terbiasa olahraga, maka mungkin aku sudah pingsan karena berlari menaiki tangga dan menelusuri lantai yang sudah rapuh dan temboknya sudah hancur itu. Malah jika dilihat dari luar, akan terlihat jelas bagian dalam bangunan tua ini karena nyaris semua bagian bangunan tidak memiliki dinding lagi.
Tapi… kenapa aku masih berharap jika Alif masih ada disini? Kenapa aku mengharapkannya? Ah, entahlah, sebuah rasa aneh sudah muncul dalam hatiku. Aku tak tahu apa itu. Yang jelas `sesuatu` itu tlah berhasil mengantarku kesini dan berharap Alif masih menunggu di bangunan tua ini. Mungkinkah…
*****
Suara hati Alif…
Aku terduduk disebuah lantai semen didalam apartemen tua ini. Aku memandang takjub pada tarian savannah ilalang yang sedang kupandangi di bawah sana. Aku menatapnya dari lantai enam, karena temboknya yang sudah hancur sehingga membuatku dengan leluasa melihat pemandangan indah tanaman belukar itu. Angin menerpa wajahku hingga terasa bulu kudukku berdiri. Sayang sekali, senja tak terlihat sore itu. Padahal aku berharap melihat pemandangan savannah itu yang ditimpali bias cahaya senja seolah mempertunjukkan tarian alam yang eksotis.
Padang ilalang itu tumbuh secara liar bersamaan dengan sepohon saga yang muncul ditengah-tengan savannah. Warna daunnya yang kemerahan memperlihatkan siluet keindahan yang memukau bagi insan yang memaknai arti keindahan.
Aku menghela nafas dalam. Seandainya orang itu mau ikut kesini, mungkin aku takkan duduk sendirian disini. Menyaksikan sebuah keindahan di kala senja datang. Tapi tak apalah, toh senja pun tak muncul kala itu. Langit seolah sedang berduka diatas sana. Jadi aku tak perlu menyesali ketidakhadirannya disaat yang tidak menguntungkan ini.
“Disini kau rupanya.” Sebuah suara mengagetkanku dari belakang. Ditambah sebuah tangan menepuk bahu kiriku pelan. Aku tak perlu menoleh kebelakan karena dia sudah duduk disampingku. Aku menatapnya heran saat melihatnya tersengal-sengal dan mengucurkan keringat. Ia menatapku aneh melihat tatapan heranku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Kenapa kau disini?” tanyaku.
“Kau yang mengajakku, kan?”
“Kupikir kau pergi bersama Rani.”
“Ya, itu tadi. Sekarang aku turuti ajakanmu.” Kata Antoni sambil mengusap peluhnya. Aku tersenyum mendapati makhluk indah itu.
“Kau punya minum?” tanyanya.
“Ya.” Kataku. Aku merogoh tasku dan mengambil sebotol air mineral yang masih utuh. Kebiasaanku jika pergi kesekolah, selalu menyediakan sebotol air mineral yang dibawa dari rumah. Aku memang biasa melakukannnya karena selain hemat, juga menjaga kemurnian air yang diminum sepanjang hari.
Aku memberikannya pada Antoni. ia menerimanya dan menengguknya untuk membasahi kerongkongannya. Aku memperhatikannya ketika air mulai turun ke kerongkongannya. Jakunnya tampak naik turun saat ia menenggak air itu.
“Terimakasih.” Kata antoni sambil tersenyum. Ia memberikan lagi botol itu kepadaku. Kemudian ia melepas seragam sekolahnya yang tampak sudah basah akibat keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya. Ia memakai kaos oblong yang tampak ketat dan basah akibat peluh yang seolah telah memandikan sekujur tubuhnya. Aku melirik tubuhnya yang kekar itu. Tampak tercetak jelas lekak-lekuk mahakarya surgawi yang paling sempurna darinya. Ia begitu indah dan menggoda setiap insan yang ingin merasakan deru nafsu duniawi bersamanya.
“Ada apa?” tanyanya menyadari bahwa aku memperhatikan setiap senti tubuhnya saat itu.
“Kenapa kau berkeringat? Bukankah lebih ringan jika kau berjalan santai daripada harus berlari.” Kataku.
“Kupikir kau sudah pergi. Jadi aku harus berlari dan naik-turun tangga untuk menemukanmu.” Kata Antoni.
“Kau tidak harus mengejarku untuk menemukanku.” Kataku.
“Oiya? Kenapa?”
“Karena aku... menunggumu.” Kataku sendu. Akupun tak tahu mengapa aku bilang seperti itu. Aku tersadar akan kesalah ucapanku. Antoni menjadi terdiam dan membuatku salah tingkah. Astaga, mengapa aku berkata seperti itu!? Aku menundukkan wajahku untuk menyembunyikan wajahku.
“Jadi, mana hal indah yang kau temui disini?” tanya Antoni mengalihkan pembicaraanku.
“Kau telat beberapa jam. Senja sudah hilang ditutupi awan mendung. Jika seandainya bias mentari senja terlihat, kau dapat melihat savannah ilalang disana menari diantara bias senja. Ditambah dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi menambah kesan `lautan emas` di savannah ilalang itu.” Kataku sambil menunjuk kebawah kearah savannah ilalang yang terlihat meninggi itu.
“Sepertinya bagus.” Gumam Antoni. “Hey, apakah itu pohon saga?” kata Antoni menunjuk pohon yang berdaun kemerahan.
“Ya.” Kataku.
“Bisa kita kesana?” tanyanya.
“Untuk apa?”
“Aku hanya ingin melihatnya dari dekat. Sepertinya akan terasa indah jika bisa berada ditengah-tengan savannah, bersama pohon saga itu.” Kata Antoni.
“Tapi, sebentar lagi turun hujan.”
“Hanya hujan air. Bukan hujan batu.” Kata Antoni santai. Ia lalu beranjak berdiri dan menenteng seragam serta tasnya ia sangkutkan dibahu lebarnya. Kemudian ia berbalik.
“Ayo Alif. Mau ikut aku, kan?” kata Antoni. ia langsung menarik tanganku dengan cengkramannya. Aku pasrah saja.
Ia kemudian terburu-buru menuruni tangga yang gelap karena tidak mendapat penyinaran itu.
“Hati-hati.” Gumamku pada Antoni. Antoni tidak memerdulikan omonganku. Ia masih berjalan terburu-buru menuruni tangga seolah seperti anak kecil yang hyperaktif. Hingga tanpa diduganya, kakinya tergelincir hingga keseimbangannya oleng.
“Akh…!!” pekiknya. Aku langsung berlari dan menopang tubuhnya dari belakang. HAP! Untung saja masih sempat sebelum Antoni terjerembab jatuh. Aku memeluk tubuh kekarnya dari belakang dan kurasakan deru nafasnya disamping leherku. Ia menatapku, sebuah tatapan yang sangat aneh kaurtikan dengan kata-kata. Beberepa detik berlalu saat kunikmati saat-saat langka itu.
“A…Antoni…” panggilku lirih dengan nafas yang memburu.
“Ya?” jawabnya. Matanya terus menatap kepadaku.
“Bisa kau bangkit. Aku…keberatan.” Kataku yang sudah tak tahan lagi dengan tubuhnya yang terlalu kekar untukku. Cukup lama aku menahan bobot tubuhnya hingga kakiku tampak lelah menumpunya.
Menyadari itu, Antoni langsung terkesiap dan bangkit berdiri dari pelukanku. Ia menjadi salah tingkah. Sama seperti saat ia mengusap darahku tempo hari.
“Mmm…maaf.” Katanya tersipu.
“Tak apa.” Kataku. Jantungku pun juga berdetak tak beraturan dengan kejadian tadi. “Sudah kubilang, kan hati-hati!!?”
kataku memaharinya untuk menutupi kegugupanku.
“iya-iya maaf.” Kata Antoni yang kini tampak sudah bisa mengendalikan kegugupannya. Kemudian kami kembali berjalan kelantai dasar menuju pohon saga ditengah ilalang itu.
*****
“Disini rindang.” Kata Antoni saat mereka sudah berada didekat pohon saga itu. Antoni menyentuh pohon kokoh berkulit kasar itu dengan rasa penasaran. Alif hanya tersenyum melihat tingkah Antoni kala itu.
Antoni kini duduk dibawah naungan dahan pohon saga tersebut sambil menyadarkan tubuhnya di batang. Alif mengikutinya dan duduk disebelahnya. Untuk sesaat mereka terdiam dengan pandangan yang memandang jauh menembus padang ilalang dan bangunan tua itu.
“Kenapa tak ada yang menyadari tempat seindah ini.” Kata Antoni. ia menggigit-gigit batang ilalang yang ia petik. Sekilasnya gayanya mirip dengan aktor koboi yang sedang menggigit batang jerami.
“Entahlah, mungkin mereka terlalu sibuk.” Kata Alif.
“Siapa?” tanya Antoni.
“Masyarakat Jakarta. Mereka terlalu sibuk dengan urusan dan pekerjaannya hingga lupa pada keindahan kotanya tersendiri yang tersembunyi disudut-sudut kota.” Kata Alif.
“Ya, mungkin kau benar.” Komentar Antoni.
“Tapi, aku lebih suka jika tidak ada yang tahu dengan tempat ini. Biarlah gedung tua itu menutupi padang ilalang ini.” Kata Alif.
“Kenapa?”
“Karena aku tak mau kehilangan tempat rahasiaku.” Kata Alif. Antoni tersenyum.
“Sekarang tempat rahasiamu sudah kuketahui.” Kata Antoni sambil menyeringai. Alif tersenyum ramah.
“Mungkin beberapa tahun lagi, tempat ini akan hilang seiring dengan berkembangnya pusat urban di Jakarta. Dan mungkin gedung tua itu akan segera di hancurkan.” Kata Alif. Antoni terdiam tak bisa menjawab. Alif tampak sendu menatap jauh menembus ilalang.
“Apa kau sering kesini?” tanya Antoni. ia bangkit dari sandarannya di batang pohon dan menoleh pada Alif.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Karena menurutku, ditempat inilah aku bisa merasakan kehangatan dan menghilangkan kepenatan hidupku.” Kata Alif.
“Sepertinya begitu, aku juga merasakannya.” Kata Antoni. ia memejamkan matanya dan meresapi hembusan angin dingin dan suara desau ilalang yang tertiup pelan. Begitu damai dan menenangkan.
Tiba-tiba suara Guntur menggelegar di langit. Perlahan, air hujan mulai menitik dan pelan tapi pasti semakin banyak. Disambut dengan angin dingin yang meniupkan tempias basah kewajah mereka yang sedang asyik duduk dibawah pohon saga. Alif langsung bangkit dan menarik tangan Antoni.
“Ayo kita berlindung.” Kata Alif.
“Dimana?”
“Di bangunan tua itu.” Kata Alif. Mereka kemudian bergegas menembus ilalang untung sampai di bangunan tua yang dapat melindungi mereka dari hujan. Tapi secepat apapun mereka berlari, hujan tetap membuat sekujur tubuh mereka basah kuyup. saat mereka sudah sampai dibangunan tua, hujan semakin deras seolah sebuah tirai putih menutupi pandangan mereka dari alam raya. Mereka terjebak dalam hujan yang deras itu. Ditambah suara petir tampak bersaut-sautan diatas sana. Sangat mencekam.
“Oh tidak. Bajuku basah.” Gerutu Alif sambil melepaskan tas dan sepatunya. Antoni juga melepas sepatunya dan membuka kaosnya hingga sebuah pemandangan indah seindah pahatan surgawi terlihat jelas di pandangan Alif. Seketika darah Alif berdesir. Ia menelan ludah melihat keindahan didepannya. Begitu hidup melihat otot-otot yang menggumpal dan menggeliat disetiap sudut tubuh Antoni.
“Buka saja bajumu.” Kata Antoni. Ia merogoh tasnya dan mengambil sebuah handuk berwarna biru. Antoni memang sudah terbiasa membawa handuk kemanapun, selain dibawa ke gym atau saat ia hendak latihan basket. Ia memang seorang pecinta olahraga sehingga ia selalu membawa handuk jika seandainya dibutuhkan.
“Apa? Kau gila!? Tak sudi aku melepas pakaianku.” Kata Alif yang tampak risih dengan keaadan Antoni yang setengah telanjang. Antoni menjemur pakaiannya yang basah di puing-puing bekas dinding di dekatnya.
“daripada kau sakit.” Kata Antoni, ia lalu mendekati Alif yang membuat Alif jadi merasa jengah.
“Hei, hei, kau mau apa?” tanya Alif panik.
“Membantumu membuka seragammu.” Kata Antoni.
“Apa!?”
“Ya. Kenapa kau terkejut. Apa ada yang salah?” kata Antoni mengangkat sebelah alisnya.
“Tidak.”
“Jika tidak ada, maka biar kubantu kau membuka seragammu. Daripada kau masuk angin.” Kata Antoni.
“Justru, kaulah yang punya resiko terkena demam. Masak ditengan hujan kau malah membuka baju.” Kata Alif.
“Aku hanya mengeringkan tubuhku. Setelah pakaianku agak kering, aku akan memakainya lagi. Lagipula aku masih punya seragamku yang tadi kulepas. Sudahlah, lepas saja, aku tak mau menanggung jika kau malah masuk angin.” Kata Antoni.
“Oke, oke. Biar aku buka sendiri.” Kata Alif. Ia lalu melepas satu persatu kancing seragamnya dan melepasnya. Yang tersisa hanya sebuah kaos putih oblong yang juga basah dan sedang membalut tubuhnya yang jangkung. Ia menyerahkan seragamnya pada Antoni.
“Aku tak mau melepas kaosku.” Kata Alif kerasan.
“Terserah kau saja.” Kata Antoni pasrah. ia kemudian mengambil seragam Alif dan menjemurnya di dekat kaosnya di puing-puing.
Antoni mengambil seragam sekolahnya yang tadi ia lepaskan. Ia memakainya kembali untuk menutupi tubuhnya dari hawa dingin. Alif menghela nafas lega saat Antoni memakai baju. Kejengahannya kini sedikit berkurang.
Hujan terus menurunkan kubik airnya yang seolah ditumpahkan langsung dari angkasa raya. Alif duduk sambil memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang begitu menusuk kulitnya. Antoni disebelahnya juga tak kalah dingin dengan hawa yang seolah memburu dalam paru-parunya. Mereka tak bisa menyalakan api untuk penghangat karena tak satupun diantara mereka yang bisa menyalakan api secara alami. Akhirnya mereka hanya menunggu dan menunggu hingga hujan reda.
Nafas Alif tak beraturan. Ia tak bisa menahan hawa dingin yang terasa begitu menusuknya. Apalagi ditambah kaosnya yang basah menambah rasa beku di setiap titik tubuhnya. Tubuhnya menggigil dengan rasa dingin yang menghinggapinya.
“Alif? Kau kenapa?” tanya Antoni melihat perubahan pada tubuh Alif.
“Dingin.” Kata Alif parau. Antoni jadi khawatir.
“Pakai bajuku. Bajumu terlalu basah.” Kata Antoni yang hendak melepas seragamnya.
“Tidak perlu.” Kata Alif sambil menahan tangan Antoni yang hendak membuka kancing baju.
“Tapi, kau kedinginan.” Kata Antoni cemas. Alif tak membalasnya. Ia tertunduk tak kuasa menahan rasa dingin itu. Matanya remang-remang tak bisa memfokuskan pandangan.
Tiba-tiba, sesuatu yang terasa aneh dan hangat menghinggapi tubuhnya. Alif tersadar dan mencoba melihat apa yang terjadi. Antoni sedang memeluk tubuhnya. Ia pernah membaca jika manusia bisa saling membagi rasa hangat saat yang lain kedinginan. Dan itulah yang dilakukan Antoni. entah mengapa, pelukan Antoni terasa menghangatkan dan mendamaikan. Antoni semakin mengeratkan pelukannya.
“Antoni…” gumam Alif.
“Apa?”
“Pelukanmu…hangat.” Kata Alif. Antoni hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian Alif menyandarkan kepalanya didada bidang Antoni untuk meresapi kehangatannya. Ia membiarkan segalanya. Membiarkan semua tubuhnya direngkuh dan dipeluk Antoni. ia menginginkan kenyamanan itu. Ia menginginkan kehangatan itu. Kehangatan yang ia rindukan dari sosok ayahnya, kini bisa ia rasakan kembali lewat pelukan Antoni.
`Rasa apa ini?` tanya Alif dalam hati. Namun ia membiarkan pertanyaan itu tak terjawab seiring dengan pelukan Antoni yang semakin mengerat hingga membuat matanya terasa berat. Kemudian semuanya gelap…
*****
Suara hati Antoni…
Setetes Kristal embun bekas hujan tadi sore menetes dari dahan pohon saga yang tampak gelap karena hari yang berangsur malam. Seragamku masih terasa basah akibat tempias hujan yang deras dan mengenai seragam putih abu-abuku. Aku masih bersandar di dinding yang gelap sambil memeluk tubuh yang sedang terlelap itu.
Alif, entah mengapa, aku begitu erat memeluk tubuhnya didalam dekapanku. Bahkan ketika ia tertidur pulas, aku tak berniat membangunkannya. Aku menatap wajahnya yang putih dan polos. Begitu damai dan indah. Bulu matanya yang lentik serta rambutnya yang ikal kecokelatan. Ia memang mewarisi darah Sumatra yang amat kental terlihat di siluet wajahnya. Kulit wajahnya bak pualam yang lembut yang menantang siapa saja untuk bisa merasakan kelembutannya.
Termasuk aku. Entah perasaan darimana, aku mulai menggerakkan tanganku menuju wajahnya yang terlihat bercahaya. Kusentuhkan jemariku diatas pualam pipinya.
Begitu lembut dan polos yang membuatku membayangkan wajah Aditya yang membutuhkan perlindungan dariku.
Alif menggeliat pelan. Mungkin ia merasakan sentuhanku di pipinya sehingga membuatnya tersadar. Aku terkesiap dan menarik kembali jemariku dari pipinya. Perlahan, ia membuka kelopak matanya yang sayu dan mengangkat sedikit kepalanya dari dadaku. Ia mendongak dan tersenyum kepadaku.
“Antoni. sepertinya aku tertidur.” Kata Alif. Aku tersenyum. Ia kembali menyandarkan kepalanya didadaku untuk beberapa saat dan mengeratkan pelukannya di pinggangku. Akupun juga mengeratkan pelukan tangan kiriku di pinggangnya.
“Hei bangun. sampai kapan kau akan memelukku seperti ini.” Kataku dengan senyum yang terkulum. Dia hanya tersenyum didadaku.
“Tubuhmu terlalu hangat. Aku jadi enggan bangkit.” Kata Alif. Aku tertawa.
“Dasar tukang tidur.” Kataku. Ia hanya tertawa. Kemudian ia bangkit dari pelukanku dan beringsut duduk disampingku sambil mengucek matanya. Aku tersenyum karena tampangnya begitu polos dilihat.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam tujuh malam.”
“Hujannya sudah berhenti dari tadi?” tanyanya lagi.
“Tidak. Baru saja berhenti.” Kataku. Aku bangkit dan melakukan senam ringan karena tubuhku pegal karena harus menopang tubuh Alif selama ia tertidur.
Alif bangkit dari duduknya dan memeriksa pakaian kami.
“Sepertinya sudah kering.” Katanya. Ia kemudian mendekatiku yang masih menatap kearah savannah di depan.
“Kau mau pulang?” tanyanya. Aku terdiam. Dalam hati aku masih ingin berada disini. Entah mengapa, aku mulai jatuh cinta pada tempat ini.
“Entahlah.” Kataku tanpa menoleh kearahnya. Seketika aku menatap lurus kearah savannah yang gelap itu. Menembus gulita dan menangkap setitik pelita yang menempel di salah satu dahan pohon saga. Aku memfokuskan pandangan. Setitik cahaya itu perlahan makin banyak dan menebar keseluruh savannah. Berkelap-kelip dan berpindah seolah terbang. Aku terbelalak.
“Kunang-kunang…” gumamku. Alif menoleh padaku.
“Apa?” tanyanya.
“Kunang-kunang !! itu disana. Diantara ilalang-ilalang itu.” Kataku girang menunjuk kearah sekumpulan kunang-kunang yang sedang terbang memamerkan nyala cahayanya yang berpendar terang menerangi savannah yang gelap itu. Alif tersenyum.
“Aku lupa jika disini ada kunang-kunang.” Katanya. Aku mengernyitkan dahi.
“Memangnya masih ada kunang-kunang di Jakarta?” tanyaku.
“Kau melihatnya sendiri. Hanya ditempat ini, ditempat terpencil ini, cahaya itu masih ada.” Kata Alif menatap kearah kunang-kunang yang terbang kian kemari diantara savannah dan bangunan tua yang gelap.
Bentuk artistik bangunan itu memang menyerupai silinder dengan atap yang terbuka ditengahnya. Dan bagian tengah itu adalah pohon saga dengan savannah disekelilingnya. Aku tersenyum melihat keindahan kegelapan itu. Kemudian aku berjalan kearah ribuah kunang-kunang yang berada di savannah. Bau basah dari tanah dan daun seolah menjadi parfum tersendiri untuk penciumanku. Aku berjalan diatas tanah rumput yang basah dengan kakiku yang telanjang dan tidak beralas.
Berjalan dengan tersenyum menyaksikan indahnya hewan yang memiliki cahaya itu. Membiarkan mereka mendekatiku dan menari diatas kepalaku dan menempel dibahuku. Alif tersenyum melihatku dan kemudian ia juga ikut bersamaku berjalan diantara ilalang-ilalang itu.
“Kau tahu, ini seperti adegan saat Wendy dan Peter berdansa diantara cahaya peri yang terbang di malam purnama.” Kataku.
“Film Peterpan, ya?” tanya Alif memastikan. Aku mengangguk kemudian kembali kepada pesona kunang-kunang itu. Memandang jauh ke atas, ke langit malam yang bertabur bintang. Alif berdiri disampingku, ikut menatap ke angkasa raya, menyaksikan kemilau cahaya diantara gelap.
“Mau mempraktekannya secara nyata?” Tanya Alif. Aku mengernyitkan dahi.
“Apa?”
"Dansa Wendy dan Peterpan. Mau mencobanya disini?” kata Alif. Ia kemudian mundur beberapa langkah dan menjulurkan tangannya serta menundukkan sedikit tubuhnya memberi penghormatan dan mengajak berdansa. Aku terdiam dan sesaat tertawa.
“Apakah mungkin? Kita inikan dari jenis kelamin yang sama.” Kataku tersenyum tak percaya dengan ide gila Alif. Alif kembali menegakkan tubuhnya dan mendekatiku.
“Lihat saja.” Katanya. Ia kemudian menggamit bahuku dengan tangan kanannya dan melingkarkan tangan kirinya di pinggangku. Aku terdiam dan tergagap.
“Alif..jangan gila… ini memalukan.” Kataku tergagap dan mencoba menjauh.
“Tak ada yang melihat.” Katanya santai. Ia memaksa tanganku untuk memeluk tengkuknya. Kemudian ia mulai bergerak secara halus menggerakkan seluruh tubuhnya dan tubuhku. Kami berdansa, tapi masih kaku. Kesana-kemari dengan canggung hingga perlahan aku mencoba untuk mengikuti arus dan tenggelam dalam tarian.
“Aww!!” Pekik Alif karena kakinya terinjak.
“Oops, maaf.” Kataku. Alif hanya mengangguk dan memaksakan senyum sambil meringis menahan sakit.
Aku tertunduk dengan langkah dansa yang begitu kaku. Keringatku mengucur deras membuat jantungku berdegup kencang. Suasana canggung menggantung diantara keadaan hening itu.
“Maaf, aku tak begitu pintar menari.” Kataku menunduk.
“Aku tahu, aku bisa melihatnya. Lagipula aku juga tak terlalu mahir berdansa.” Kata Alif mencoba menenangkan.
“Ya, apalagi aku tak pernah berdansa dengan laki-laik.” Kataku gugup. Alif tersenyum maklum.
“Jangan lihat dengan siapa kau berdansa.” Kata Alif.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Ya. Jangan kau lihat siapa pasangan dansamu, tapi nikmatilah arus dan aliran setiap gerakannya. Maka kau akan bisa saling mengisi dalam setiap gerakan dansa.” Kata Alif.
“Aku masih belum mengerti, kata-katamu terlalu tinggi.” Kataku polos. Alif tersenyum.
“Tutup matamu.” Kata Alif.
“Untuk apa?” Tanyaku heran.
“Tutup aja! Kau terlalu banyak bertanya.” Kata Alif. Akhirnya dengan terpaksa aku memejamkan mataku. Gelap.
Aku hanya bisa merasakan sentuhan tangan Alif di pinggangku dan deru nafasnya. Untuk sesaat aku merasa nyaman dalam keadaan terpejam itu.
“Rasakan arusnya, biarkan tubuhmu bergerak, rasakan setiap detik gerakannya!” terdengar suara alif berbisik ditelingaku. Begitu nyaman mengisi pendengaranku. Aku merapatkan pelukanku di tengkuk Alif.
Kubiarkan diriku mengambang dalam gelap. Seketika kurasakan angin menerpa wajahku dan meniup pelan rambutku. Kurasakan basah dikakiku karena rumput yang ditimpali dengan embun bekas hujan tadi sore. Begitu damai, begitu tentram. Dan begitu aku tenggelam dalam pesona.
Disinilah aku menari, diantara ilalang, diantara kunang-kunang, dan diantara bintang. Bersama angin aku terbang, bersama malam aku merasa nyaman, bersama kunang-kunang aku bergerak. Bersama ilalang aku berdansa. Bersatu bersama terang, bersatu bersama gelap. Mendengarkan nanyian alam dan orkestra ilalang.
“Sepertinya kau belajar cepat.” Kata Alif. Aku membuka mataku dan mendapati wajahnya tengah tersenyum kepadaku. “Tarianmu tampak seimbang dan saling mengisi.” Katanya. Aku tersenyum.
“Kau yang mengajariku.” Kataku pelan. Ia tersenyum sangat menawan.
“Jadi, setelah Wendy dan Peterpan berdansa, apa yang mereka lakukan?” tanya Alif.
“Mmm… berciuman.” Kataku singkat. Ia tertawa.
“Apa kau juga mau melakukan adegan itu?” tawar Alif jahil.
“Jangan gila! Berdansa saja kita sudah tampak seperti sepasang kekasih, apalagi berciuman!.” Kataku sambil tertawa. Ia balas tertawa.
“Ya, kau benar.” Katanya. Kami tertawa menertawai pikiran masing-masing. Pikiran yang gila.
Sesaat setelah kami telah tertawa, kami saling bertatapan dalam diam. Alif menatapku dalam, sangat dalam. Dan seolah aku terhipnotis oleh tatapannya dan enggan memalingkan wajah. Aku ingin terus menatapnya hangat.
“Antoni…” panggil Alif berbisik dengan tatapan tajamnya.
“Ya..?” jawabku yang masih terhipnotis dengan pesona itu. Tak ada jawaban, hanya suara hembusan nafas kami yang bicara.
Perlahan Alif mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kurasakan nafasnya semakin hangat memburu di depanku. Aku diam tak bergeming. Malah kupejamkan mataku untuk dapat merasakan ciuman itu. Sedikit lagi bibir Alif menyentuh bibirku yang sedang menunggu untuk dipagut.
`TIDAK!!`... suara pikiranku terlintas. `Tidak!! Aku masih normal`. Suara pikiranku menyadarkan kekhlifanku. Untuk sesaat aku segera tersadar apa yang sedang terjadi.
Aku membuka mataku dan terbelalak mendapat wajah Alif yang sangat dekat denganku serta matanya yang terpejam. Aku memundurkan wajah kebelakang dan mendorong tubuh Alif dengan kasar. Aku mundur beberapa langkah dan syok dengan kejadian barusan. Untunglah bibirnya tak sampai melumat bibirku.
“Tidak!!” pekikku. “Ini…ini…ini tidak mungkin terjadi.” Kataku. Keringat mengalir deras ditubuhku.
“Antoni? kenapa?” tanya Alif melihat perubahan sikapku. Ia langsung mendekatiku.
“Jangan mendekat!!” Sergahku kasar. Alif langsung terdiam ditempatnya.
*****
“Kau kenapa?” tanyanya khawatir.
“Kau yang kenapa!?, apa kau tidak sadar!?, kau nyaris menciumku!.” Kata Antoni serak. Ia tak percaya dengan kejadian barusan. Alif terdiam.
“Astaga!! Sudah jadi apa aku ini!? Aku masih normal!! Aku masih normal!!.” Kata Antoni mencoba meyakini dirinya dengan susah payah. Alif hanya menatap Antoni dengan cemas dan heran.
“Kenapa !? kenapa aku selalu memikirkanmu terus !? kenapa aku selalu tergiur untuk berdekatan denganmu!? Kenapa aku menikmati tatapanmu !” Kata Antoni pada Alif. Ia langsung berbalik dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Antoni tampak depresif dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Alif terpaku.
“Apa kau juga mersakannya ?” Tanya Alif yang berdiri dibelakang Antoni. Antoni tergugu dan menurunkan kedua tangannya dari wajahnya.
“Merasakan apa?” tanya Antoni lemah tanpa membalikkan tubuhnya.
“Sebuah rasa…” Alif bergumam sambil perlahan melangkahkan kakinya. “Rasa dimana kau haus akan rindu dan selalu teringat dengan wajahku.” Kata Alif. Antoni terdiam sesaat mencoba menepis rasa itu.
“Tapi, itu karena aku melihat adikku pada dirimu! Aku dekat denganmu karena kau mirip adikku.” Kata Antoni meyakinkan dirinya yang sepertinya sia-sia meski ia bersikeras.
“Awalnya aku juga menganggapnya demikian. Aku kira aku mencintaimu karena aku rindu sosok seorang ayah yang kudapati pada dirimu. Tapi… ada sebuah getaran yang berbeda saat aku disampingmu.” Kata Alif, ia semakin mendekati Antoni yang membelakanginya. “Kuyakin kau juga mersakannya…” Antoni terdiam menunduk malu untuk mengakui fakta.
“Tapi ternyata, itu bukan rindu belaka. Aku tidak hanya merasakan kasih sayang ayahku pada dirimu, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin terlarang yang tumbuh dalam hati ini…” kata Alif.
“Apa itu? Apa yang dimaksud dengan `sesuatu` itu?” tanya Antoni meskipun ia tak siap dengan kelanjutan kata-katanya. Dan, plok!, Antoni terkejut saat tangan Alif menepuk pelan bahunya.
“Sebuah rasa, yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama.” Gumam Alif tajam.
“TIDAKK!!” Antoni menepis tangan Alif dibahunya dan lansgung berlari menghindari Alif. Ia menghindar beberapa langkah seolah Alif adalah monster yang menakutkan. Antoni berbalik menatap tajam kearah Alif dan disaat itulah Alif dapat melihat airmata yang menetes dimata Antoni. Alif terpaku, seorang Antoni yang memiliki tubuh sekokoh kaisar Romawi, begitu rapuh saat ia tak bisa menerima nasib.
“Tidak!!, aku masih normal !!, tolong jangan buat aku berkhianat pada takdirku!! Aku masih mencintai perempuan !!.” kata Antoni dengan airmata yang semakin deras. Alif tediam.
“Maaf Antoni, tak bisa kuhentikan perasaan itu.” Kata Alif tertunduk.
“Kenapa kau seolah menerima ketidak-normalan itu!!? Apa ini hanya akal-akalanmu saja !?, kau ini normal, kan?” Pekik Antoni. Amarah Alif mulai naik. Ia mengepalkan tinjunya.
“Heh !! kau pikir aku tidak tersiksa dengan perasaan ini!? Aku juga menangis sepanjang malam saat menyadari perasaan yang amat menyiksa ini !!. kau pikir aku tidak tersiksa dengan getaran yang terarah padamu !?. aku juga tak berdaya menghadapi ini semua !!. Tapi tak ada yang bisa kulakukan, rasa itu telah tumbuh mengakar kuat dalam hatiku !.” gumam Alif.
“Tidak…” Antoni masih mencoba menyangkal dengan airmata yang terus berderai.
“Terimalah Antoni, terimalah kenyataan bahwa cinta terlarang itu juga ada dihatimu.” Kata Alif sendu.
“TIDAK!!” Antoni langsung berlari meninggalkan Alif.
“Antoni tunggu !!.” Panggil Alif yang mengejar Antoni. Namun Antoni secepat mungkin berlari untuk mencoba menghindari Alif. Ia bahkan dengan asal memungut tasnya dan tanpa sengaja meninggalkan kaos dan sepatunya.
Ia berlari dan membiarkan airmatnya jatuh deras. Melewati lorong gelap dan menjauhi bangunan tua itu. Ia tak peduli lagi pada kakinya yang berdarah akibat tertusuk kerikil dan aspal tajam karena ia tak menggunakan alas kaki saat berlari.
Saat ia berada di trotoar, Antoni menghentikan sebuah taksi dan bergegas masuk kedalamnya. Ia menyuruh Si supir untuk bergegas pergi dan tak peduli pada Alif yang mengejar dibelakangnya.
“Antoni !!!” Sayup-sayup terdengar suara Alif memanggil Antoni yang mengejar dibelakang mobil. Antoni tak menghiraukannya. Ia menutup telinganya rapat-rapat tak mau mendengarnya dan memejamkan matanya sangat rapat.
Alif sudah tak kuat mengejar lagi. Ia tersungkur di aspal dengan bertumpu pada lututnya. Nafasnya terasa berat dan lelah akibat mengejar Antoni. keringatnya seolah memandikan tubuh indahnya dan membuat kaosnya basah.
“Tuhan, bantu aku menghadapi semua.” Gumam Alif sambil menengadah ke langit. Ia tak sanggup lagi mengejar taksi yang perlahan menghilang dari pandangan.
Di taksi, Antoni menangis sekeras-kerasnya. Ia tak peduli pada supir taksi yang menatapnya heran. Ia tak percaya pada perasaannya. Baru kali ini ia menangis histeris dan seolah memaki dirinya sendiri. Suaranya serak akibat rintihan tangisan yang dikeluarkannya. Tubuhnya bermandikan peluh membuatnya tampak kumal dan kotor.
Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. “Aku normal!, Aku normal!” Antoni terus menerus meyakini dirinya dan menangisi perasaannya pada Alif, orang yang telah membuat hatinya menjadi buah yang terlarang untuk dipetik meski telah ranum.
~Mengapa harus berlari?
Mengapa harus menangis?
Untuk apa malu menjadi tidak normal?
Bukankah sudah lama jika nafsu manusia sudah melewati batas normal?~
*****
Sippp,, thx y.. G suka ama ceritanya.. Sempet save udah lama, tapi baru sempet baca.. Gak taunya OK (ceritanya)...
Tadinya g pikir si Antoni tuh udah dewasa, gak taunya masih anak sekolahan, sempet agak turunin minat ama dia waktu pertama kali baca hahaha....
Updatenya rutin y bro ƗƗɐƗƗɐƗƗɐƗƗɐ