It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Hilal_nulal ingin mengundang teman-teman semuanya baca ceritaku... mohon maaf klu udah ganggu
salam persahabatan....
I will read ur stories brother...
Tq...
ceritanya bagus. Banget malah.
cuma perlu koreksi kata2 yg mungkin slah ketik.
Jangan lama2 lanjutannya ya...!!!
thanks dah invite me.
~RAIN~
"Mau aku ajari cara berenang?" sebuah suara menggugahku untuk mengangkat kepala dari tatapan beriak air yang menyapu kaki telanjangku. Aku menoleh. Fahry?
Dengan bermantel boxer basah, tubuhnya mengkilap diterpa cahaya sore. Fahry sungguh menawan. Otot dadanya yang membentangkan puting-puting susu kecoklat-coklatanya itu membuatku merinding tanpa sebab.
"Bagaimana? Mau aku ajari gak?" Fahry bertanya kembali, mencari jawaban atas pertanyaannya.
Aku bergerak-gerak kegatelan. Bukan gatel karena nafsu, tapi bokongku terasa seperti mau ambeyen. "Memang kamu bisa mengajariku?" Apa aku meremehkannya? Kata-kataku mengandung sinisme? Tapi, dia terpingkal-pingkal setelah mendengar jawabanku barusan.
"Wah... Kamu telah menurunkan derajatku. Kamu kira aku ini gak bisa ngajarin kamu gitu? Ngapain, aku menawarkan belajar renang kepadamu, kalau aku sendiri belum tahu renang." Benarkah dia tersinggung? dari bicaranya sih... agak.
Aku kelabakan. "Bukan gitu maksudku. Hanya saja, kamu mampu ngajarin orang yang bodohnya kayak aku ini." Aku memberikan sedikit aksentuasi pada intonasi suaraku.
Fahry menadahkan tangan ke udara dan mengankat bahunya. "Apa salahnya dicoba. Lagi pula, kesini tujuannya untuk renang, kan? Bukan jadi model kolam renang. Coba lihat itu!" Tanganya melintang di wajahku. Aku ikuti arah telunjuk Fahry yang menunjuk sebuah patung bocah gundul yang secara vulgar memperlihatkan tititnya mengeluarkan air ke kolam. Tak sedikit dari teman-temanku bergerombol dibawah guyurannya, berebutan dan saling senggol-senggolan. Ada pula yang menengadahkan mulutnya, menangkap cucuran airnya, kemudian dimuntahkan ke kolam, terus begitu berulang kali.
Aku yang melihatnya jijik tingkat kayangan. Bagaimana kalau seumpama patung itu nyata, kencinnya beneran? Parahnya, berapa kiloliter air kolam yang sudah mereka cemari? Anak-anak mana mau menghiraukannya, mereka have fun-have fun aja. Tak sadar mereka sedang menyelam bercampur berbagai jenis air seni disini - ini menurut bakat intuisiku. Mendadak aku mual.
"Lekas turun ayo!" seru Fahry, membuyarkan lamunan perihal ke-doso-an teman-temanku. Dia telah mengapung di air.
Aku behati-hati membawa badanku ke dalam air. Jangan sampai kejadian yang hampir meregang nyawa itu terulang, bisa-bisa aku tinggal nama doang. Kupegangi penyanggah di pinggiran bibir kolam. Sesakali, air membentur leher hingga pipiku.
"Pertama, latihan mengapung. Goyangkan kakimu pelan, usahakan tidak menyentuh lantai." Fahry memeggangi kedua tanganku, dia membawaku ke tengah-tengah kolam. Lantas melepaskanku seketika.
Aku mencoba mengayun-ayunkan kaki, namun kepalaku masih tetap nakal minta masuk ke dalam air. Dengan sigap, aku melonjak dan langsung merangkuh leher Fahry. "Aku kaga' bisa praktekin. Aku bakalan nelen air segalon kalau kaya' gini caranya." Sungutku dengan nafas terengah-engah.
Fahry tertawa kecil. "Baiklah... Ringankan tubuhmu, ambil nafas panjang-panjang. Jangan percaya istilah 'menyelam sambil minum air', perutmu akan kembung nanti. Selepas itu, lentangkan badanmu, biar aku yang memegangi pinggangmu." Intruksinya menyuruhku bertelentang. Aku pun mengiyakan. Fahry mulai menahan pinggangku. "Sekarang, kibaskan kakimu, tanganmu juga." Titahnya.
Aku melayang-layang di permukaan. Setidaknya, aku sedikit mahir dalam operasi terapung. Ringan dan rileks rasanya. Cahaya sore yang sedikit mendung dapat aku pandang dari posisiku. Fahry setia menggiringku dari pojok ke pojok. Sampai aku benar-benar memahami gaya apung ini. Lambat laun aku terbiasa, kemudian aku beralih gaya lain, dan begitupun seterusnya. Alhasil, aku harus mengangkat kedua jempolku pada Fahry. Dia berhasil menolongku dari julukan 'si tikus kecebur'.
Di lain sisi, sudut mataku memergoki sosok yang duduk dengan kaki ditekuk di tepian. Matanya menyipit, menautkan alis-alisnya. Air mukanya menampakkan ketidaksukaan yang tak mampu disiratkan oleh logika. Toyyib? Kenapa dia?
##@##
Sore semakin menyergag belahan bumi yang aku pijaki. Lukisan-lukisan jingga kemerah-merahan menyatu, berpadu bersama saputan awan mendung. Angin pembawa penanda hujan, menampar-nampar pipi lembutku. Aku menyadari jikalau cowok yang memboncengiku kali ini turut menunjukkan mimik kesuraman. Tak kalah suramnya dengan awan kelam di atas sana. Aku heran, apa yang menyebabkannya bersungut-sungut?
"Heh... Dari tadi aku tanya gak dijawab. Gak biasanya kamu diemin aku. Memangnya kamu kenapa? Apa ada yang salah denganku?" Ini ke-25 kalinya aku menanyakan pertanyaan, setelah 24 kali aku menghujaninya dengan pertanyaan yang sama. Namun nihil, satu huruf sajapun tak keluar dari mulutnya. Aku geram. Aku memutar-mutar bola mata sambil menghela nafas.
"Kamu bisu atau tenggorokanmu sedang panas dalam ya? Orang nanya' malah dicuekin." Aku mendumel penuh sarkatis. Tapi, Toyyib sama sekali tak ingin mengubah pendiriannya. Dia merenggangkan otot leher, seraya menggeleng-gelengkan kepala ke kanan ke kiri, berpura-pura tuli dan tidak mengubrisku.
Aku timbuk kepalanya dengan telapak tanganku sekeras-kerasnya. Dia melenguh kesakitan dan menghentikan laju motornya yang oleng. Terdengar suara menceritcit di telingaku. Sangat memekakkan.
"Apa-apan kamu nih... Main pukul kepala orang saja." Protesnya sambil mengelus-elus kepalannya.
"Kau yang apa-apaan. Di jawab dong! Kalau ada orang nanya'. Songong sekali dirimu," aku menyiratkan tatapan 'ana-ente-wafat' padanya.
Toyyib mengguman tak jelas. "Aku sudah cape' dengernya. Pertanyaan tak berkualitas macam itu sebaiknya tak perlu kamu ulang-ulang, aku semakin muak mendengarnya." cetus Toyyib disela-sela bunyi knalpot motor.
Lidahku menjeplak-jeplak. "Wah parah... Minta' dibacok ni orang." lawanku. Aku melipatkan tanganku di dada. Mengancamnya.
"Ancaman kadaluarsamu itu sama sekali tak membuatku gentar." What? Apa yang baru dia katakan? Ancaman kadaluarsa? Dasar manusia tiga perempat iblis, rutukku membatin.
Toyyib meneruskan motornya lagi. Kecepatannya stabil. Teman-temanku semua telah raib dari radius pandangan. Kali ini dia mengendari dengan lambat. Aku hanya menikmati panorama-panorama rumah di sekeliling jalan. Entah aku merasa ada yang aneh saja dibonceng layaknya siput kehausan. Sangat lambat sekali. Tiba-tiba saja Toyyib berhenti, dia melihat ke bawah, ke arah ban motor.
"SHIT! Bannya kempes." seru Toyyib sembari menoleh kepada ku dan menyeringai tak bersalah. Aku merunduk, memastikan betul apa tidak. Uf! Pantesan lajunya lambat, dikarenakan bannya kempes. Bukan semata-mata karena disengaja. Oke! Aku harus jalan kaki
Di sepanjang jalan, kami tak menemukan bengkel satu pun. Aku mulai merasa lesu. Hari semakin mendekati maghrib dan aku belum tiba di rumah. "Kita sudah berjalan berapa kilo meter sih? Kok masih belum nemuin bengkel dekat sini." Komplintku, Toyyib terus mendorog motornya.
"Bagaimana kita cepat menemukan bengkel, kalau kamu mendorongnya dengan telunjuk."
"Yee... Ini sepedanya siapa? Masalah buat aku?"
"Tapi kamu menumpang gratis, jadi jangan bawel."
Aku merengut kesal. "Andaikan aku gak nolak tawaran Fahry yang mau mengajakku pulang bareng. Mungkin gak terjadi hal semacam ini deh..." sadar tak sadar aku telah menyindir Toyyib. Ku akui, aku memang ditawarkan Fahry untuk pulang bersamanya tadi namun aku tolak, karena aku merasa tidak enak dengan Toyyib.
Toyyib menghentikan langkahnya dan menatapku penuh intimidasi. "Ya sudah, kamu pergi sana, sama pangeran kodokmu itu." Dia melengos.
"Bila aku pinter ngeramal, aku bakalan pilih tawaran Fahry. Dasar lutung kasarung!" tandasku. Aku tertawa puas seusai mengoloknya. Lalu dia memelototiku geram. "Hai... Kenapa pandangi aku seperti itu? Seakan-akan kamu ingin menelanku..."
"Makanya jangan banyak komentar. Cepat dorong!" bentak Toyyib.
Lantas kami bersama-sama menjejalkan langkah lagi. Suara gemuruh meronta-ronta di langit. Nampaknya, akan segera turun hujan.
"Sial! Mana mau hujan lagi." rutuk Toyyib. Jaket hitamnya berkibar di terpa angin. Sedangkan aku, membekap tubuhku dengan melipatkan tangan.
"Masih belum hujan mas..." aku mengingatnya. Dan selepas kata-kataku yang baru terlontar. Gemiris mulai jatuh membuliri jalanan dan dedaunan. Satu per satu bulir-bulir kecil dari langit berjatuhan. Aku mendongak ke atas langit yang sedang bermelankolis. Cakrawala dibatas pandang, menggantungkan semburat awan mendung. Ratusan, jutaan, dan bermiliar-miliaran rintik hujan mulai menyerbu kami. Refleks kami segegas mungkin mencari tempat teduhan.
Kami berteduh di sebuah pos atau gardu kecil. Tubuhku agak basah kuyup serta dingin. Kulihat Toyyib menanggalkan jaket hitamnya, dan merajahkannya kepadaku.
"Gak usah... pake' kamu aja." kataku sembari ingin melepaskannya.
Toyyib mencegatku. "Pakailah! Aku lihat kamu kedinginan. Aku gak mau kamu terbujur kaku diranjang karena kehujanan."
"Terima kasih..." aku merapatkan kembali jaketnya. Telapak tangan ku gosok-gosokkan, demi menetralisir kedinginan. Kemudian, menempelkan ke muka. Hangat.
"Bull-shit! Hujan tak kenal waktu. Sungguh aku membencinya." aku sedikit mengangkat kepala, mendengar gerundelan Toyyib yang murka akan hujan.
"Kenapa kamu mengutuk hujan? Bukankan hujan adalah rahmat yang diturunkan Tuhan." kataku, menasehatinya perihal ke-negative thinking-annya akan hujan.
"Bagimu rahmat, tapi tidak untukku," ucapnya.
"Maksudmu, kamu menentang pemberian Tuhan? Kualat nanti kau." Intonasi suaraku kian meninggi.
"Aku gak menentangnya, hanya saja... Aku tak suka hujan. Sepuluh tahun yang lalu, ibuku meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, dan kamu tahu... saat itu hujan begitu deras-derasnya. Itu lah yang membuatku mengutuk hujan... setiap kali hujan turun, aku teringat ibuku, teringat akan cintanya, kasih sayangnya...mengapa Tuhan mengambilnya dariku?" Toyyib menjelaskan penuh kegetiran. Hembusan nafas yang berat beralun tak teratur. Aku melihat matanya memburam. Dia bukan Toyyib yang aku kenal.
Aku menangkupkan kedua tanganku ke pipi Toyyib. Dan menggiringnya ke arah mataku. Sejenak mata kami saling beradu. "Ingat! Hidup dan mati seseorang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Kita tidak dapat menundanya ataupun mendahuluinya. Bagaimanapun, ibumu sudah ditakdirkan untuk meninggal hari itu. Jangan salahkan hujan, karena dia tak bersalah. Dan kenapa Tuhan mengambil nyawa ibumu? Mungkin ini demi kebaikanmu juga... Dia sedang mengujimu... menguji seberapa sabarkah kamu merelakan seseorang yang berharga bagimu."
Aku menurunkan tanganku dari pipi yang bestektur halus itu. Dadaku sesak, terhenyak dengan kalimat-kalimatku sendiri. Aku kepikiran Bunda, bagaimana bila aku tak melihat Bunda di dunia lagi? Mungkinkah aku bisa ikhlas melepaskannya? Ah, aku tak mampu membayangkannya.
Aku mendongak ke atas langit. Tetasan hujan masih menjarumi bumi. "Aku berbeda denganmu, Toy. Aku sangat menyukai hujan. Bunda selalu bilang, bahwa aku terlahir ke bumi ketika hujan turun..." ada jeda, "Tiap kali melihat hujan, Seolah-olah kehidupanku bermula disitu."
"Bahasamu terlalu ketinggian." celetuk Toyyib sambil menyeringai. Aku yang berdiri didekatnya dibuat risih.
"Terserahlah kalau menurutmu perkataanku gak penting. Tapi aku ingin membuktikan sesuatu padamu..." Aku memandangannya sekilas seraya tersenyum mencurigakan. Kening Toyyib berlipat. Aku berjalan mendekati jalan dalam guyuran hujan, lalu memulai aksi berbasah-basah ria. Tak kuhiraukan teriakan-teriakannya yang memanggilku.
Toyyib beringsut dari posisinya, kemudian mengikuti aksiku. "Kamu apa-apan sih... Kamu bisa sakit kalau maen hujan-hujanan." teriaknya yang berpadu suara berisik air.
Aku meligat, berputar-putar, berjingkat-jingkat serta merentangkan tangan. "Toyyib... Ini yang ingin aku buktikan ke kamu jika sebenarnya... bermain hujan-hujan itu menyenanangkan." kataku sedikit berteriak.
"Tapi kamu bakalan sakit..."
"Ah gak mungkin."
"Kamu susah dibilangin ya."
"Biarin... Masalah buat loe!" aku berkelekar dalam rinai-rinai hujan yang menyerbuku.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi gedebuk halus disebelahku. Toyyib rubuh, tepatnya di kakiku. Aku terlonjak kaget. Sontak kutekukkan tubuhku. "Toy... Toy... Are you okey?" kataku agak panik. Aku menyikut lengannya, namun dia sama sekali tak merespon. Aku mulai khawatir. Jangan-jangan dia... pinsan? Oh... My God! Ku tarik tubuhnya ke pangkuanku sambil menampar-nampar pipinya. "Toy... Jangan maen-maen denganku!" meski terdengar mengancam, aku sangat kalang kabut."Bangun...Toy! Ngapain kamu pake' acara pinsan segala sih... mana gak ada kendaraan lewat lagi... huh... merepotkan sekali hidupmu, Toy." Mataku berkeliaran kemana-mana. Sepi, apalagi saat hujan begini. Tak kutemui satu makhluk pun yang nampak batang hidungnya.
"Kamu mengkhawatirkanku ya?" sekonyong-konyongnya Toyyib bersuara tatkala aku berniat memapahnya ke gardu kembali. Dia tersenyum usil.
"Brengseek! Ternyata kamu hanya pura-pura. Ini gak lucu." Aku memberangsang lalu mendorongnya ke aspal.
"Aww... Kejam banget sih..." ringkihnya sambil nyengir jahil. "Kamu terlihat lucu sekali, Hilal." Bahu Toyyib naik turun diguncang tawa.
Aku berhasrat mencekiknya kali ini begitu mendengar kelakarnya. Tanganku membentang, merajahkannya ke leher lebar Toyyib. Dia bergerak mundur, sehingga kami jatuh tersuruk ke aspal. Badan kami berhimpitan. Sedetik, dua detik, tiga detik serta detik-detik berikutnya, jantungku ditabuhi geteran-getaran hebat. Wajah kami nyaris bertubrukan. Tetes demi tetes air yang mengalir melalui celah-celah kulit wajahku, terjatuh ke wajahnya.
Aku berkedip-kedip, berusaha untuk tidak terhipnotis. Noktah-noktah cahaya mata kucingnya Toyyib begitu terang, membuatku tak betah dengan posisi seperti ini. Aku hendek menegak, namun sebuah cekalan menghimpitku. Toyyib menekan tubuhku. "Hai... Lepasin! Kamu apa-apaan sih?" Aku meronta-meronta mencoba bangkit, tetapi tetap saja Toyyib tidak mau melepaskan cengkaram pinggangku. Jantungku semakin berdebar-debar. "Jangan main-main denganku! Awas kau kalau bertindak macem-macem padaku!"
"Kamu takut jika aku bakalan merenggut keperawanan bibirmu?" Pertanyaan serupa bisikan. Toyyib meletakkan pandangannya ke arah bibirku. Sementara aku membelalak alang kepalang.
"Cukup, Toy! Sekarang bukan saatnya bercanda." Kucoba tepis tangannya, lagi-lagi dia keukeuh menjeratku.
"Hilal... Maafkan aku. Terpaksa jika aku... CUUUPPP..." Toyyib menarik tengkukku, kemudian menyambar bibirku. Aku kalut sekalutnya. Dan itu terekspresi oleh mataku yang membulat dahsyat. SHIT!**
~~@~~
Aku memegangi bibirku terus-menerus. Membayangkan kelakuan spontanitas Toyyib tadi sore. Kami pulang dalam keadaan canggung masing-masing. Ya, tak jauh dari tempat kami berteduh ada sebuah bengkel disana. Setelah itu, kami melanjutkan pulang. Aku menawarinya bermalam di rumah, tapi dia menolaknya. Syukurlah, sebab itu baik untukku.
"Hil... Bisa bantu temeni kakak ke super market sebentar? Ada beberapa barang yang ingin kakak beli." ujar Kak Yusuf di sela-sela kecarut-marutan perasaanku.
Aku hanya menimpalinya dengan anggukan mengiyakan.
Kami melaju ke super market dekat rumah. Kak Yusuf membeli beberapa perlengkapan barang yang entah apa isi-isinya. Pikiranku sedang tak berada disini, melainkan berkeliaran tak tentu arah. Semuanya masih di penuhi Toyyib, Toyyib dan Toyyib.
"Ehm... Kayaknya ada yang kelupaan deh Hil. Kamu pegang ini dulu ya!" Kak Yusuf menyerahkan jinjingannya padaku. Dia segegas mungkin berlalu, mencari sesuatu. Tak lama kemudian, kak Yusuf sudah menemukan benda yang dia cari. Sebuah buku gambar.
"Kakak suka menggambar ya?" tanyaku.
"Ya... Begitulah." jawabnya singkat. Bibirku hanya membentuk huruf O. "Sini! Barang-barangnya kakak yang bawa'."
"Gak usah biar aku aja yang bawa'. Sekali-kali aku bantuin kakak."
Kak Yusuf melengkungkan bibirnya. "Thanks ya, Hil! Btw, kamu lagi mikirin seseorang ya? Atau kamu sedang jatuh cinta?" Jebakan yang tepat sasaran. Darimana dia tau kalau aku gundah gulana?
"Ah, perasaan kakak aja." kilahku.
"Masa'? Tuh lihat di jidatmu! Tumbuh jerawat."
"Hah? Yang bener, kak?" tanyaku sembari meraba-raba kening. Ternyata benar. Ada satu jerawat yang mengganjal. Kupikir ini kutil, tak tahunya Jerawat.
"Jerawat tandanya jatuh cinta, Hil. Ayo, siapa yang berhasil membuatmu kasmaran? Ceritain sama kakak!" sekali lagi dia menjebakku.
"Ah... Nggak!"
"Gak usah bo'ong."
"Emang bener! Hilal gak jatuh cinta."
"Ya, mana ada orang jatuh cinta mau jujur."
"Ih... Kak Yusuf menyebalkan." aku meninju lengannya tapi meleset.
"Wee... Gak kenak." ejeknya, lalu berlari ketika sadar aku bakalan mengejarnya. Di saat berlari, kaki tersandung batu hingga aku terjerunuk. Lutukku menjadi tumpuan pertama mendarat di kasarnya aspal. Tercurai burailah barang-barang milik kak Yusuf yang aku tenteng. Isinya tak lain tak bukan ialah : sampo, sabun, parfum, sikat gigi, ordol de el el.
Kak Yusuf menghampiriku. "Aduh... Kasihan banget barang-barangku ini." Hah? Dia lebih mementingkan barangnya dari pada aku.
"Kak Yusuf gimana sih... Orang kesandung, malah mentingin yang lain. Dasar! Tak berperikemanusiaan!" cekakku bersungut-sungut.
"Ya deh... Kakak minta maaf. Berdiri yuk anak manis."
"Bagaimana mau berdiri? Lututku berdarah nih..." kataku berapi-api. Kak Yusuf diam sejenak, lalu serius memeriksa lukaku.
"Lukanya parah, Hil..." ucapnya mengandung ringisan di ujung kalimatnya. Jelas parah lah, aspalnya sekasar bulu landak, omelku dalam hati. "Harus digotong pake' ambulan." tambahnya sok ngerti. Padahal, aku yang tadinya melencungkan bibir kini terpaksa menancapkan seuntai kata sarkatis. "Damn it!"
Dia terkekeh keras. Dadanya dipegang. "Mari kakak gendong, anak manis!" dia membalik, mempersembahkan punggung bungkuknya. Aku mempertemukan alisku. Heran dipadati kekikukan.
"Ini akan menjadi tumpangan teristimewa dalam sejarahmu, Hil." Dia menukilkan ungkapan seper aneh dalam ensiklopedia hidupku. Apa maksud 'tumpangan teristimewa' katanya?
"Kakak gak keberatan kan bila Hilal nanti membuat punggung kakak retak-retak." Aku menolak halus.
Dia menjiplak-jiplak kulit punggung berlapis kemajanya itu, mengisyarakkan 'lekas-naiklah-kepunggung-nan-kokoh-ini'. "Tak masalah. Kakak tidak akan terserang osteoporosis dini, karena menggendongmu." Hiperbola banget.
Aku ragu-ragu melabuhkan diriku ke punggungnya. Lutut terasa dikuliti, apabila menungging. Kak Yusuf mengalifkan badan. "Berapa hari kamu gak makan, Hil? Aku sampai kelabakan berdiri." sindirnya lagi dan lagi.
"Masalah buat Kakak?"
Dia tergelak. Tubuhku bergoncang oleh gelaknya. "Kamu sangat manja, Hil. Mengingatkan pada adik kakak.
"Oh... Kakak punya adik?"
"Bukan adik kandung, tapi adik satu panti."
"Loh? Kakak anak ya..." belum sempat melanjutkan, Kak Yusuf memotong.
"Yatim piatu... Kakak gak punya ibu-ayah, atau pun sodara. Kakak tinggal di panti selama 15 tahun lamanya. Dan pergi dari panti 3 tahun yang lalu." ucapnya parau.
"Maafkan aku kak... tapi kalau aku boleh tau, kenapa kakak memutuskan meninggalkan panti?" Aku ingin mengorek pribadi masa lalunya.
"Aku ingin kebebasan, Hil. Aku bertekat untuk mandiri. Karena itu aku rela mencampakkan adik kesayanganku."
Instingku memerintah agar aku bertanya kembali. "Aku tak yakin kakak pergi dari panti karena butuh kebebasan. Pasti ada hal lain yang kakak rahasiakan. Benarkan?" gayaku tak kalah pintar layaknya seorang diktator. Imajinasiki bekerja kreatif.
Kak Yusuf berhenti, lalu menarik nafas panjang-panjang dan mengeluarkannya sekaligus. "Hmm... Kasih tau nggak ya?" candanya. Padahal aku mulai menjelikan telingaku. Bersiap-siap menerima apa yang akan dia katakan. Aku mengeratkan rangkulan tanganku membikin dia kesakitan.
"Uh... Jangan dicekik leher kakak dong!"
"Suruh siapa jawab maen-maen."
"He... Lain kali bakal kakak ceritain. Tapi tidak sekarang."
##@##
Ku lirik jam dinding kelasku. 06.55 WIB. Belum kutemukan si rambut jabrik pagi ini. Kemana bocah itu? Dia tak masuk sekolah? Jika Iya, apa penyebab ketidakhadirannya hari ini? Tunggu... Apa karena hujan-hujanan kemarin, sehingga dia sakit? Benarkah?
Ku palingkan kepalaku ke kanan. Tempat duduk itu kosong. Tiba-tiba bayangan Toyyib timbul di sebelahku. Memvisualisasikan senyum sambil menyapa : "Hai Asistenku! Apa kabar dirimu pagi ini?"
Aku mengerjab-erjab. Tentu saja, barusan adalah halusinasi belaka. Tapi kenapa ada yang hilang saat dirinya tak disampingku? Aku merindunya? Aku rindu senyumnya? Rindu perhatiannya? Rindu sentuhanya? Argh, mengapa begitu banyak kata 'rindu' di memori otakku. Baiklah, sepulang sekolah aku akan bertandang ke rumahnya, memastikan rasa rindu ini memang untuknya.
~~@~~
Aku menyelatani jalanan yang membentang lurus membelah kota. Mataku berbelanja pada rumah-rumah elit di sekitar tepi jalan dan tertuju pada sebuah rumah tujuan kakiku melangkah. Berpagar besi dan bertugu nomer 25. Dengan segenap perasaan grogi, kutekan tombol penginformasi kedatanganku tiga kali. Tiga menit kemudian, munculah seorang setengah uzur membuka grendel pagar.
"Maaf dek, nyari siapa ya?" tanya bibi' itu ketika tubuh gempalnya menyelinap di pagar besi.
"Saya mau ketemu Toyyib, bi'. Saya temennya." Kataku to the point.
"Oh... Den Zilzan ya? Dia sedang di taman belakang. Adek bisa langsung ke sana." kata bibi' itu, sambil menunjukkan letak tamannya. Baru aku tahu, kalau dia punya panggilan beda di rumah pamannya. Zilzan, nama yang cukup bagus.
Bibi' itu berlalu. Dan aku mulai menjejari bagian-bagian bangunan ini. Saat itu aku menemukan dia duduk bersandar di kursi. Oh... Setengah hari tak melihat wajahnya, sungguh membuatku galau setengah mati. Dia tidak sendiri, dia bersama seorang cewek yang duduk disebelahnya. Entah kenapa perasaanku jadi tak menentu ketika melihatnya tersenyum sumringah kepada cewek itu. Ulu hatiku ngilu. Apa ini? Cemburukah?
BERSAMBUNG…
mohon dinikmati....