It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gak kayak d part2 sblm nya, klo sblm2 nya bagus, bkin senyum2 sendiri..
(.^^.)V
apa mungkin karena percakapan nya yang terasa kaku atau karna dialog nya pake bahasa formal jadi kayak yang udah pada kerja, bukan anak2 sekolah lagi. hehehe
tapi ceritanya bagus kok. ini hanya ungkapan yang aku rasakan aja . hehehe
mau di perhatikan ya terimakasih, nggak juga gak apa2. hehehe
lanjutkaann...
"Aku jadi Ibumu, Kamu jadi Ayahku."
Setuju
~DATING~
Aku menemukan Toyyib duduk di pangkuan kursi panjang tanpa lengan. Wajahnya yang diteduhi bayangan pohon, begitu sejuk bila dipandang. Oh... berapa lamanya aku tak melihat senyum menentramkannya itu? Cuma setengah hari. Tetapi, kenapa seperti sudah seminggu tak jumpa? Oh Tuhan... Senyumnya mengalihkan duniaku.
Tapi, tunggu! Dia tak sendiri. Dia bersama seorang cewek? Tiba-tiba, dadaku terasa sesak, begitu sulit bernapas. Melihat Toyyib tertawa lepas bersama cewek itu membuat ulu hatiku ngilu. Bagai menohok ke dasar hati, bahkan merajam. Segumpal rasa gelisah mengodam perasaan. Cemburu? Tidak mungkin?
Selama ini, SAKIT GIGI adalah urutan pertama dari list penyakit menyakitkan dalam indeks kamus hidupku. Tapi, ini beda... semacam sesal, putus asa, marah, GALAU terpadu menjadi satu, yakni rasa sakit. Sakit yang menyebabkan aku lupa cara bernapas kembali. Bukan fisik yang tersiksa, melainkan batin. Ada apa dengan diriku? Apa aku punya hak untuk cemburu? Toyyib bukan pacarku.
Aku membuangkan mukaku ke mana saja. Yang terpenting, aku tidak menyaksikan hal yang tidak ingin aku saksikan. Sangat perih jika harus menahan lompokan ke-gundah-gulana-an-ku. Dan secara tak sengaja, aku teringat akan kedatanganku ke sini. Mengembalikan jaket Toyyib.
=((
Yah, wajib bagi Toyyib akui, kalau kali ini dia benar-benar kasmaran. Kasmaran akan sosok polos dari seorang Hilal. Apalagi memikirkan kejadian spontanitasnya kemarin sore. Aneh, jelas-jelas tak sampai satu harian penuh tidak menjumpainya, tapi mengapa begitu terasa lama? Dia tersenyum kecil. Bagaimana kabarnya hari ini?
Namun, sudut matanya menangkap siluit sosok yang tengah berdiri di samping yang berjarak agak jauh dari tempat duduknya. Dia menoleh. Tepat pada saat itulah, dia melihat sosok itu. Sosok yang selama ini telah hadir dalam unconcious mind-nya. Toyyib mengerjab-erjabkan matanya. Benarkah... Benarkah itu? Dia tidak berhalusinasi, kan? Ya, ini nyata. Sosok itu menyampingkan wajahnya. Kening Toyyib mengernyit. Kenapa wajahnya terlihat sendu?
"Hai... Kamu sedang apa disana?" seru Toyyib tatkala dia mengalifkan badanya dari kursi.
Hilal terkesiap. Buru-buru dia edarkan pandangnya ke asal-muaasal suara itu. Oh my God! Toyyib tersenyum sumringah. Senyum yang mendamaikan bagi Hilal. He miss his smile bad.
Toyyib mendekat. "Ini bener asistenku, kan?" katanya, dengan nada lembut dan alis yang terpencing serta tampang tanpa dosa.
Hilal menancapkan matanya ke sosok jangkung di depanya. Dan melisutkan jidat. "Lalu, kamu pikir aku ini patung pancuran apa? Sudah jelas kalo aku manusia, malah ngajukan pertanyaan yang gak berbobot." Ada keketusan dari intonasinya.
Toyyib terkekeh. Ini dia yang Toyyib tunggu-tunggu, mendapati ekspresi polos, lugu dan juteknya Hilal.
"Napa ketawa-ketawa? Ada yang lucu, hah?" masih bernada ketus.
Toyyib berhenti tertawa. Padahal, dalam hatinya dia ingin sekali mencubit pipi tembem Hilal. "Ye.. Maap deh.. Atas dasar apa kamu datang kemari?"
Hilal menyodorkan sebuah bingkisan. Toyyib lagi-lagi harus mempertemukan kedua alisnya. "Aku datang untuk mengembalikan jaketmu," Toyyib mengambil bingkisan itu, kemudian Hilal menambahkan, "Aku udah menyetrikanya."
Toyyib membuka bingkisan itu, lalu mengeluarkan isinya. Jaket hitam miliknya telah tertata rapi dan... Wangi. Wanginya berkhas.
"Ya.. Udah. Kalo gitu, aku mau pulang aja deh. Lagi pula tujuanku kesini cuma mengembalikan itu." Katanya datar sambil menggerakkan dagunya ke arah jaket yang dipegang Toyyib.
Jangan pergi.. Jangan! Toyyib sepertinya tak rela Hilal meninggalkannya. "Hah? Hanya itu?" tanyanya, berusaha mencegat aksi Hilal.
"Apa?"
"Kamu datang hanya untuk ini?" Toyyib mengangkat sedikit jaketnya ke udara.
Hilal diam tak bergeming. Otaknya meligat liar, menerka maksud Toyyib sebenarnya. Nampaknya Hilal menarik oksigen dalam-dalam, mengisi kekosongan paru-paru yang baru tercekik oleh kalimat-kalimatnya. Andaikan Hilal berani, tak paling dia sudah mengatakan 'aku kesini, hanya ingin melihat wajahmu, senyummu, pesonamu dan semua yang melekat di dirimu.'
Di saat yang tak terduga, cewek yang duduk bersama Toyyib mencuat dari balik punggung Toyyib sambil membawa pandangan tanda tanya tipis di antara otot alis yang terangkat. Hilal menatap cewek itu. 'Ada hubungan apa kau dengan Toyyib?'-begitulah tatapan tersirat yang Hilal ajukan pada cewek itu.
Menyadari Hilal memendarkan matanya ke belekang, Toyyib segera memutar kepala. Oh... Dia hampir lupa, jika dia telah meng-kambing-conge'-kan cewek itu. Toyyib kembali melihat Hilal. Sepintas, dia menangkap rona ketidaksukaan Hilal pada cewek itu. Ah, mungkin hanya perasaannya saja.
"Oh... Hilal, kenalin ini Nilna.. Sepupuku." Toyyib memperkenalkan cewek itu kepada Hilal.
Ekspresi Hilal berubah seketika. Sepupunya? Jadi, mengenai 'CURIGATION' antara Toyyib dan cewek yang bernawa Nilna, salah besar. Oh.. Betapa leganya hati Hilal ketika mendengarnya. Horee!
"Nilna.." tangannya terulur.
Namanya sesuai dengan rambut panjang yang dikucir kuda tertarik kencang ke belakang. Hilal merespon. "Hilal.." ucapnya gugup serba salah.
"kayaknya.. Kita pernah ketemu deh.. Hmm.. tapi aku lupa.." Bola mata Nilna terbang dari ubun-ubun Hilal turun ke bawah, lalu hinggap ke mata bulatnya. "Oh.. Aku ingat, kamu yang dulu pernah nimbuk kepala Toy pake' sandal kan?"
Tak tanggung-tanggung Hilal membelelak bukan main, setelah tebakan Nilna kontan meremangkan mukanya. Ya Tuhan.. cewek ini adalah cewek yang memergokinya waktu peristiwa 'sandal melayang' itu. Pantesan cewek ini sangat tak asing di matanya. Uh, muka Hilal layak dikategorikan 'kepiting rebus', meski dirinya tak pernah tahu semerona apa wajahnya.
"Aku sungguh geli melihat kalian bertengkar. Kalian kaya' pasangan yang serasi." ucap Nilna sembari tersenyum usil.
Hei? Apa yang dia bilang? Pasangan serasi? Sontak Hilal dan Toyyib tercengang. Bingung. Mereka mendelik ke arah Nilna. Cepat-cepat Nilna menambahkan, "Maksudku, kalian seperti tikus dan kucing. Sering berkelahi, seperti Tom & Jerry... Tapi, kalo' melihat kalian akrab ini. Kesannya kaya' suami istri deh.."
Berapa kali lagi Hilal menampakkan wajah merahnya? Nilna sukses memenorkan pipi Hilal. Sementara Toyyib, menunduk. Mereka gak boleh tahu, jika dia tengah menyembunyikan wajah semunya. Oh! SHIT...
"Ya udah.. Aku mau ke dalam aja deh.. Kalian terusin aja bincang-bincangnya. Okey!" Bagus, jangan ganggu mereka berdua. Mereka ingin mengobati keriduan mereka masing-masing.
Hening.
"Sampe' dimana tadi?" Toyyib memecah kesenyapan antara mereka.
Hilal mengangkat kepala yang tadinya menekuk dan menatap lekat rekat laki-laki ini. "Apa?" tanyanya berlagak tolol.
"Itu.. Percakapan kita.. sampa' mana tadi?"
"Oh.. e-" Hilal kehilangan kata-kata atau, dia tidak dapat berkata-kata?
"Jadi, kamu kesini hanya untuk mengembalikan jaket ini?" Toyyib memotong telak kecanggungannya.
"Eh- ya.." singkat namun mengecewakan. Sesungguhnya, bukan itu yang Toyyib dengar dari mulutnya.
Toyyib mendengus. Dengusan yang menyesal. "Kamu tidak mau menanyakan kabarku hari ini?" ada sedikit kekecewaan yang menyergap relung hatinya.
"Untuk apa? Kamu terlihat baik hari ini. Gak ada yang perlu dipertannyakan." duh.. Hilal... Kamu bodoh atau tak dapat mengerti jalan pikiran Toyyib sih? Ayolah..
"Kamu sama sekali tidak peduli denganku. Mau aku sakit kek.. mati kek.. hidup kek.. gak ada gunanya di kamu. Aku bolos sekolah karena sakit. Tau gak?" Toyyib meninggikan nada bicaranya.
"Nggak." jawab Hilal lugu. Gelengan kepalanya meyakinkan jika dia benar-benar bloon.
Toyyib semakin bersungut-sungut. Kali ini, dia ingin menelan bulat-bulat cowok ini. Dia geram. "Sudahlah... nggak penting berdebat denganmu. Bisa gila aku nanti."
Hilal bengong sejenak, kemudian tersenyum usil pada Toyyib. "Yee.. belajar ngambek nich ye.. ckckck."
"Siapa yang ngambek, aku gak ngambek." kilahnya, masih ketus, datar tanpa intonasi.
"Kamu kepingin aku mengatakan kalau aku kangen sama kamu gitu." Hilal mencoba mengerjai Toyyib. Nakal sekali dia.
Toyyib diam membisu, tepatnya salah tingkah. Dia bersikeras agar tak terlihat kegelagapannya di mata cowok ini. Akuilah, Toy.. Sebenarnya ini yang ingin kamu dengar, bukan? "Arg.. lupakan.. lupakan. Kamu tidak serius bicara denganku."
Bibir Hilal melengkung. Dia nyaris tertawa, kalau saja dirinya mampu dikendalikan. Habis.. tampang innocent Toyyib begitu menggemaskan. Ingin sekali dia menarik hidung mancungnya.
Dan waktu itu pun, Toyyib tengah meliriknya. Untuk sepersekian detik, dunia terasa berhenti, berputar, dan berevolusi. Mereka terlibat adu pandang yang begitu dalam. Toyyib langsung mengalihkan mata bandelnya, berusaha menjernihkan pikirannya kembali. Sejenak dia teringat sesuatu, lantas memendarkan matanya ke depan, Hilal. Dua jenak kemudian, dia mendudukkannya di kursi. Tiga jenak sesudahnya, segegas mungkin, dia berlari menuju biliknya.
Sedangkan Hilal, tidak ngeh dengan tindak-tanduk Toyyib. Mata julingnya berotasi, jari telunjuk mengetuk dagunya. Otaknya meligat liar, berpikir kemungkinan-kemungkinan kejutan apa yang akan Toyyib lakukan.
Beberapa saat kemudian, Toyyib keluar menghampiri Hilal. Jaketnya kini telah memanteli badannya. Dahi Hilal berkerut. Toyyib sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dibalik punggung.
"Aku punya sesuatu buatmu." Ucap Toyyib.
"Apa?"
Perlahan tangan Toyyib mencuat dari punggungnya. Hilal tambah penasaran. Di tangan kanan Toyyib tergeletak sebuah kotak berukuran sedang, berbalut kain kado yang lucu. Dia memberikannya pada Hilal. "Cepat buka!"
Pikiran-pikiran kreativ Hilal bekerja sangat aktiv. Di lain sisi, dia mengira ini adalah uang dan di sisi lain, dia mengira ini adalah emas. Duh, khayalan termuluk selalu tiba di kala yang tak memungkinkan. Pelan-pelan dia merobek sampul kado itu, lalu membuka kotak. Dan.. What the hell? Berisi apa kotak itu? Otot di sekitar alisnya berkontraksi. Betapa terkejutnya Hilal, ketika mendapati seonggok Handphone di dalamnya. Handphone? Di berikan untuk Hilal?
"Ini.." ucapan yang sukar Hilal ucapkan. Dia memandang cowok ini. Meminta penjelasan.
"Ya.. Itu buatmu. Sengaja memang, aku membelinya sama dengan milikku. Biar kelihatan kembar aja. O ya.. Nada deringnya juga aku samain kaya' punyaku."
"Bukan itu yang aku tanyakan."
"Lalu?"
"Apa ini gak berlebihan? Aku rasa lebih baik gak perlu. Menghambur-hamburkan uang demi membeli ini, gak baik loh." Hilal keberatan rupanya. Wajarlah karena perhatian Toyyib terlalu memanjakannya. Bukan dia menolak, hanya saja dia merasa tak enak.
"Gak apa-apa! Anggap itu pemberian dari atasan pada bawahannya." ucapnya santai. "Kupikir ada untungnya juga bagiku. ya supaya aku bisa hubungin kamu kapan aja. Ingat kamu udah janji mau jadi ibuku, kan?" lanjutnya.
Menolak? Jangan deh.. Hilal terpaksa menuruti perintahnya. Dasar! Manusia tak mau rugi, gerutunya dalam hati.
"Aku masih punya sesuatu untukmu. Ayo.. Ikut aku!" Toyyib menarik tangan Hilal, menyeretnya keluar dari taman. Mm, kejutan apa lagi ini?
">
Toyyib menggiringku ke dalam mobil. Geez! Dia tidak menggunakan motornya, tapi mobil. Ada yang istimewakah? Setidaknya, naluriku bakat dalam mempertahankan argumennya. Ya, there's a special.
"Kemana?" tanyaku ragu-ragu.
"Nanti kamu tahu.." jawaban yang tak relevan, tapi aku merasa jawaban itu mengandung sesuatu yang tak terungkap.
Langit menjingga. Matahari mulai menyusutkan diri, bersemayam nuju medan peraduannya. Awan-awan bergerombol membentuk koloni. Lampu-lampu pinggir jalan menyinari ke hiruk pikukan dunia kotaku. Hamparan insan melumuri trotoar. Sesekali ku jenguk mereka melalui jendela berbatas kaca mobil. Mondar-mandir tebar pesosa, sampai segerombolan pemuda pengangguran yang diceramahi ibu-ibu. Mobil berbelok ke tikungan kanan dan berhenti mendadak di depan sebuah toko konveksi, Butik.
"Turun!" Titah Toyyib seraya melepaskan sabuk pengaman.
Kami menyumbul bersamaan dari badan mobil. Sekali lagi tanganku dicekal Toyyib, lantas menyeretku ke dalam butik. "Butik mewah," dua kata yang kontras untuk menggambarkan isi ruangan ini. Mahal, berkualitas, dan elegant. Ketiga kata itu cocok menggambarkan barang-barang yang ada didalamnya. Aku dan Toyyib naik ke lantai dua. Toyyib mencari-cari pakaian disana. Tak jarang dia memintaku memilih baju yang pantas dia kenakan.
"Bagaimana yang ini?" tawarku selepas tanganku menggaet sebuah kemaja yang unik, bercorak putih dan bermotif kotak-kotak. Ini mungkin cocok untuk Toyyib, pikirku.
"Menurutmu gimana? Bagus?"
"Tentu!" aku memperlihatkan kemeja itu dengan mengelus-elusnya, kemudian menempelkannya ke dada Toyyib. "Lihat! Cocok untuk kamu pakai."
Toyyib menimbang-nimbang sebelum mengucapkan, "Boleh juga aku pakai." Dia mengambilnya dariku dengan sebelah tangan. Tangan yang sebelahnya memegang sebuah setelan pakaian. "Lebih bagus mana, yang ini.." tangan yang memegangi baju pilihanku terangkat, "atau yang ini?" gilirin tangan satunya yang memarkan setelan pilihannya.
Aku menyapu bersih pandanganku ke setelan pakaian yang berompi coklat, kemeja putih, dan celana berwarna coklat. "Bagus sih.. tapi terlalu kecil untuk seukuranmu."
"Mm, gini aja.. aku pake' baju yang kamu pilih. Lalu kamu pake' yang pilihanku." Toyyib menyedorkan setelan itu padaku.
Aku bengong. Ini sudah yang ke berapa kalinnya dahiku berkerut? "Maksudmu.. Kamu memintaku mencobanya?"
"He'em.." itulah yang terucap. Deheman membingungkan. Aku menggaruk kepala, memasang tampang bodoh. Sambil menjejali langkah ke dalam Fitting Room. Kuganti pakaianku dengan pakaian ini, dan harus ku akui baju ini very.. very.. very bagus. Ala gaya korea gitu.
"Udah belum?" tanya Toyyib dari luar.
"Ya.. tunggu bentar." aku menyibak tirai ruang ganti. Dan memergoki Toyyib telah mengganti pakaiannya serta tengah menatapku keheran-heranan. Hm, apa aku mempesona sampai-sampai dia terperangah dengan penampilanku? Mimpi kale.
"Sekarang.. tinggal sepatunya.."
8-|
"Kamu gak usah banyak omong. Kamu tau sendiri nanti." Toyyib menengokku. Matanya menampakkan keusilan yang luar biasa. Lalu dia menghidupkan mobilnya, kemudian melesat. Di luar hari sudah gelap. Udara malam terasa menusuk pori-pori. Untunglah mobil ini ber-AC, jadi aku tidak kedinginan.
Toyyib memarkirkan mobilnya, sesaat setelah 15 menit lamanya kami meluncur di atas aspal. Toyyib mengajakku makan malam di sebuah restoran bergaya Asia. Dan.. Logikaku bekerja keras, mengatur beberapa kalimat yang berkecamuk di memori otakku. Kencan?.. Argumen yang tak disangka-sangka terproses di pikiran. Toyyib mengencaniku? Astaga.. Sungguh?
"Heh.. Kok bengong! Ngapain disitu? Kayak orang kesambet aja. Cepat kemari!" Gertakan Toyyib barusan sukses menyensor adegan monolog antara batin dan jiwaku. Aku menengok Toyyib yang menyelipkan tangannya pada saku celananya. Dia tampak keren. Aku mengekor di belakangnya tatkala dia membuka pintu. Restoran ini sangat kental ke-jepang-jepang-annya.
"Kamu sering makan di tempat yang beginian, ya?" tanyaku setiba kami menduduku meja makan di pojok kanan ruangan ini.
"Memangnya kenapa?" Toyyib balik tanya. Aku tidak berinisiatif meneruskan kata-kataku ketika seorang pelayan menghampiri kami. Pelayan itu menyodorkan buku menu berisi daftar-daftar makanan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
"Jangan lama-lama milih makanan. Pelayannya kesemutan tuh nungguin kamu." celutuk Toyyib di sela-sela keseriusanku membaca nama-nama makanan yang begitu asing di telingaku.
Aku memautkan alisku ketika menemukan sebuah nama menu makanan yang unik bin aneh, "Shabu-shabu". Setauku shabu-shabu adalah narkoba yang terbuat dari tai kebo yang difermentasi dan didestilasi kemudian dijemur selama 3 jam serta ditambahkan oli bekas dari mesin bencak. Pada proses kristalisasi ada sebagian kandungan katalisator, semisal bawang, terasi, cabe, garam yang ikut bereaksi. Argh! Mau menjalar kemana akal kotorku ini. Hilal! Ingat! Perbedaannya terletak pada huruf 'h'-nya. Shabu-shabu & sabu-sabu beda jauh. Ini makanan bukan racun dunia. Okey! Aku kepingin mencicipi makanan ini. Aku mengonfirmasikan kepada pelayaan mengenai pesananku. Pelayan itu memperhatikanku agak aneh, lantas tersenyum simpul.
"Jangan kampungan donk! Mesan makanan setahun lamanya. Kaya' yang gak pernah ke restorant ajah." sindiran yang mengerucutkan bibir sexy-ku. Walau ternyata, aku tak mahir menutupi sikap ke-kamseupayan-ku.
"Aku emang ngak pernah makan di restaurant. Puass... kamu?" cekakku. Toyyib terkikih. Jengah ku melihatnya. Tetapi, melihatnya tertawa renyah, membuatku serasa damai. Dia keyeen abiss-begitu bahasa gaulnya. Cara berjalan, bersolek, berpakaian, berbicara, serta segala ber ber lainnya terkesan nyentrik. Tidak akan bosan memandanginya.
"Makananya udah dateng. Cepat dilahap!" titah Toyyib menguapkan lamunanku.
Di depan mataku, aku disuguhkan makanan yang tidak layak dimakan. Aku meneguk ludah. Bagaimana caranya aku menghabiskannya? Melihatnya saja sudah pengen muntah. Toyyib asyik melahap makanannya. Aku bagaikan orang bloon peringkat pertama di sini.
"Kenapa gak dimakan? Gak suka?" Tanpa terjawab, Toyyib langsung menyampingkan makanan itu. "Itu daging sapi mentah yang diiris-iris tipis. Makan punya ku aja." Daging mentah? Hoeks.. Toyyib menyorong makananya. Aku tetap tidak mau memakannya.
"Kamu juga nggak menyukainnya? Ini sushi loh.. jarang-jarang kamu makan yang beginian."
Toy.. Sebetulnya... "Aku nggak terbiasa makan pake' sumpit." bisikku pelan seakan-akan suara semut yang kulontarkan. Toyyib gedek-gedek menimpali ketololanku.
Sepasang sumpit yang tegelatak di atas piring langsung Toyyib gapai, dan mengapit salah satu sushi, menggantungkan ke depan mukaku. "Buka mulutmu!"
"Hah?"
"Lama-lama penyakit kesambetmu ini semakin parah ya? Kamu gimana sih.. katanya nggak bisa makan pake' sumpit. Giliran aku mau nyuapin. Kamunya malah berpuru-pura gak ngerti."
Di luar skenario perkiraanku akan perihal kencan hari ini. Ya, memang di luar dugaanku. "Bukan gitu maksudku... Mm, sudahlah!" dengan tanpa persiapan aku mengedepankan wajahku, memasukkan sushi yang menggantung di udara ke mulutku. Lirikan demi lerikan pelanggan menggeropyok kami. Mata mereka menyipit, sehingga alis-alis mereka berciuman.
"Toy.. Aku malu diperhatiin banyak orang." dengan volume suara kecil, aku berucap.
Toyyib membelanjakan matanya ke sekeliling. Matanya berhenti ke bapak-bapak yang duduk di samping kami. "Maaf.. pak. Dia nggak bisa makan pake' sumpit." katanya serampangan. Bapak-bapak mengangguk gazebo.
Sementara aku hanya dapat mengutuk kelakuan ceplas ceplos Toyyib dalam hati. Bangsat! Damn it! Shit!
"Thanks.. karena kamu udah bersedia meluangkan waktumu untuk sekedar makan malam bersamaku." kata Toyyib. Terabadikanlah seutas senyum di bibirnya. Mau tak mau, aku harus mendengar kesibukan jantungku yang berglady resik mempersiapkan konser dangdut dadakan akibat sentuhan Toyyib barusan. "Tunggu! Aku punya sesuatu buatmu. Jangan marah ya, meski nanti 'sesuatunya' menyinggung kamu," lanjutnya.
Sesuatu? Apakah sesuatu itu adalah "Ciuman"? Oh.. No way.. Karena kencan tanpa ciuman bagai sambel tanpa cabe. Toyyib mengolengkan dirinya ke belakang. Tangan kirinya mengambil benda panjang di dekat setir mobil. Samar-samar penglihatanku mencuri benda panjang itu. Sumpit?
"Aku mau, kamu belajar makan pake' sumpit. Biar gantian nyuapinnya. Kamu kan ibuku, sepatutnya menyuapi anaknya." Toyyib meletakkan sumpit itu ke dalam genggamanku. Demimu, apapun akan kulakukan. Sadar atau tidak, aku membatinkan kalimat itu.
Aku diam seribu bahasa hingga mobil membawaku ke rumah Toyyib. Aku menginap di rumahnya. Masalah Bunda? Tenang.. Aku telah meminta bang Nurul menyampaikan izinku pada Bunda jika aku menginap di rumah Toyyib. Kok bisa? Mungkin pertanyaan ini yang ada di pikiran pembacan. Jangan lupakan kalo aku sudah punya hp.
Di kamar..
Kamar Toyyib tak terlalu luas. Dua kali lebih besar di banding kamarku. Padahal, aku mengira kamarnya seluas ruang tamuku. Sprimbet yang muat ditiduri 5 orang sekaligus. Meja belajar yang bersebelahan gorden. Diatasnya terdapat seperangkat komputer beserta entek-enteknya. Dan sebuah gitar yang teronggak manis di bawahnya.
"Kamu suka main gitar?" tanyaku, setelah menunjuk alat musik dawai itu.
"Udah tau masih nanyak. Untuk apa aku menyimpannya kalo' gak dimainin."
"Aku nggak akan percaya sebelum melihat kamu memainkannya dengan mata kepalaku sendiri." Nada perintahku berbelit-belit.
"Bilang aja kolo' kamu pengen denger aku nyanyi. Gak usah bertele-tele." Toyyib menggapai leher gitar itu. "Duduk yang manis ya bocah! Dengerin aku baik-baik okey! Jangan kaget jika nanti kamu terkesima dengernya." Toyyib mendorong dadaku ke hempasan kasur nan empuk ini, dan memetik-metik senar gitarnya. Aku merapatkan tubuhku disisi Toyyib yang sama-sama duduk di pinggir kasur. Suara-suara yang timbul beritme menggetarkan udara, memantul-mantul, dan menggema di telinga. Toyyib menarik nafas lalu menyakinkan sebuah lagu.
~~~
Sendiri aku disabtu ini..
Pandangi bintang dampingi bulan..
Terdengar sayup angin bernyanyi..
Ketika hening malam t'lah datang
Aku menanti sebuah harapan
Perubahan di dalam hidupku
Dengarlah.. Oh dengarlah
Pinta hati kecilku
Agar aku raih bahagia...
Tuhan berikan aku kekasih
Yang terbaik untuk hidupku
Yang bisa menerimaku apa adanya
Tunjukkan aku kisah cinta
Yang lamu kau tunda
Jadi sebuah anugrah
Anugrah terindah dalam hidupku..
~~~
Tak tahu pasti kapan Toyyib mengakhiri lagunya.. Namun segala macam penat serta beban pikiran yang menderuku, secara pelan-pelan menguap. Tenang dan damai... Aku terlelap di bahunya...
8->