It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"BUNDA... BANG NURUL UDAH PULANG!"
Aku beringsut dari peraduanku saat pendengaranku menangkap lengkingan adikku membahana di depan. Ku jejalkan pandanganku ke ruang tamu. Dan kutemukan Bang Nurul beserta seorang lelaki. Bukan, kelihatannya seorang cowok tengah menyalami Diah.
Lantas aku menghablur keluar ke arah abang tersayangku dan ikut menyalaminya, termasuk cowok yang berdiri di samping abang Nurul. "Aku kangen, bang." Manjaku. Kali ini aku telah merangkulnya. Betapa rindunya aku pada abangku. Sejak kepulanganya 6 bulan yang lalu, dan lepas landas lagi ke Bali, rasa rinduku terobati setelah melihat kepulanganya ini.
"Diah juga kangen sama abang." Adikku tak mau kalah rindunya. Dia bergelung di sekitar pinggan Bang Nurul.
"Adik-adikku yang cakep dan cantik... Abang beratus-ratus bahkan beribu-ribu lebih kangen sama kalian semua."
"Kalau abang kangen pasti abang bawa oleh-oleh buat Diah nih..." Diah memang cerdas untuk urusan seperti ini.
Bang Nurul sedikit membungkuk, lalu mencubit kedua pipi Diah. Gemas. "Mana boleh abang melanggar ultimatum bos kecil. Apa jadinya nanti?" Bang Nurul menurunkan ranselnya. "Ini bos..." kata bang Nurul sambil merogoh sesuatu di dalamnya, kemudian memberikannya pada Diah. Coklat.
"SIIPPP... dah," ucap adikku polos. Satu jempolan tanganya menggantung di udara.
"Kok coklat sih bang?" aku komplint. Kalimat ini seolah mengandung kedengkian, bukan? Tapi jangan salah sangka.
"Ih... Abang... syirik tandanya ngidam loh" sindirnya. Diah terkekeh, memperperjelas geligi-geligi hitam berkaratnya yang nyaris tanggal semua. Dan sisanya, hanya tinggal menunggu nasib.
Aku menjitaknya. "Heh... Gigimu sudah menderita karena makanan ini. Dan kamu mau menyiksanya lagi, hah?"
"Bilang aja, abang pengen, kan? Tapi sayang, Diah gak rela coklat ini dibagi-bagi." Timpalan adikku barusan seakan memanaskan mukaku saja. Hidungku mendengus. Dengusanya terdengar seperti bison liar siap menyeruduk musuhnya.
Aku yang berinisiatif menjewer kupingnya harus tertahan saat bunda mencuat dari bibir pintu. Si Manis, my loving cat, juga turut membuntuti Bunda. Apa Manis juga rindu sama Bang Nurul? Jika betul, aku saranin... Dia memakai pakaian pelampung sebelum didamprat bang Nurul ke selokan. Bang Nurulku alergi bulu kucing.
"Eh...eh... Abanya baru pulang kok malah disambut dengan berantem." kata Bunda membatalkan aksiku menjewer Diah.
Abang Nurul langsung bersalaman pada Bunda, begitupun si cowok yang sedari tadi mematung tegak di samping Abang. Cowok itu tak banyak bicara. Apa bisu? Ah, kejam sekali bila aku beranggapan seperti itu. Tapi, dia memang pendiam.
Bunda menyuruh Abang dan temannya masuk ke ruang tamu.
"Kenapa telat pulangnya, rul...?" pertanyaan pertama dari Bunda.
"Masih ada masalah kecil di sana, bun. Tapi udah kelar kok," jawab bang Nurul, "oh... ya, bun... Ini Yusuf, dia temen Nurul yang bakalan bantu aku buka usaha sablon digital di sini." lanjutnya, memperkenalkan cowok pendiam itu.
Namanya Yusuf? Oke, seperti namanya. Tampan dan bersih,
mengingatkan aku kepada salah satu Nabi yang memang dikenal luar biasa ketampanannya. Rambutnya yang dibelah dua, sama sekali mendukung wajahnya yang polos. Kulitnya bersih dan terawat. Tubuhnya, tinggi dan proporsional menambah kesan menarik dirinya. Cocok untuk aku masukkan ke dalam tahap "MAKING HAPPY" kriteria lelaki idamanku. Heeiitzz... Aku selalu menilai seseorang secara fisik. Dasar!
"Kamu sudah memantapkan pilihanmu membuka usaha di sini?" tanya Bunda jeri. Otot di sekitar alisnya terpencing.
Bang Nurul tersenyum kecil, dia mengalihkan pandanganya kearah bang... Yusuf. Dan kembali mengarah ke Bunda. Sekilas bang Yusuf menimpali senyumannya. "Asal bunda mengijinkan Nurul buka usaha ini,"
Ku lihat Bunda mengedipkan matanya sekali. Lalu menarik nafas perlahan. "Bunda tak pernah melarangmu buka usaha. Asal pekerjaanmu itu menguntungkanmu dan halal. Bunda salalu berharap yang terbaik buatmu, rul." Bunda mengingatkan. "Sudahlah, kita bahas lain waktu aja. Kita makan dulu, Bunda udah nyiapin makanan." Kami berempat, ditambah Si Manis berjalan ke ruang makan.
"Panggil aku kakak atau namaku saja, atau apalah... jangan pangil aku abang. Kesannya ketuan." Akhirnya, cowok ini bisa berkata-kata setelah beberapa jam lamanya membisu.
Aku memandangnya. "Iya bang... eh... kak." kataku tergagap.
Dia tersenyum. Senyuman yang kedua kalinya, setelah senyum perdananya di ruang tamu tadi.
"Oh ya bang... eh... maksudku... Kakak. Kakak bisa meletekkan pakaian-pakaian kak Yusuf di almari," Aku menunjuk lemari yang berdekatan meja belajar, kemudian, "Dan kakak bisa tidur sekarang. Aku mau ke kamar mandi sebentar." ujarku pada cowok bertampang polos ini.
Tak lama aku membuang sisa metabolismeku. Aku bergegas kembali ke dalam kamar. Dan... Betapa terkejutnya aku saat pintu kamar ku buka, Kak Yusuf tengah berpose dalam balutan underware-nya. Aku menelan ludah. Kaki-kakiku terasa lemas, tak punya kekuatan untuk menopang tubuh. Aku mengelosohkan setengah bahuku ke sandaran tembok. Sedangkan tangan kananku berpegangan pada kusen pintu.
Apakah ini yang disebut 'Rezeki Mata'? Mendapatkan pemandangan langka yang menggairahkan. Ku lihat, Kak Yusuf mengelus pantatnya. Tanganny turun naik didaerah bokong montok itu. *Adegan ini layak disensor bagi anak di bawah 17 tahun*. Tubuhku lumpuh mendadak. Aku tersiksa dengan pemandangan eksotis ini.
Apa aku harus mengakhirinya? Aku sangat berdosa jika terus berdiri disini. Tapi, aku akan rugi jika tak menggubrisnya.
Hilal... Cepat akhiri! Kau akan menyesali atas perbuatan tercelamu ini.
Hilal... Ini kesempatan baik yang diberikan Tuhan untukmu. Jarang-jarang kau memdapatkan yang beginian, bukan?
Arrghh... Setam hitam vs setan putih berkecamuk di pikiranku. Memperebutkan akalku. Tanpa pikir panjang, aku berbalik dan menyandar di tembok. Perasaanku dipenuhi sekelumit rasa penyesalan, rugi, dan... entahlah. Jantungku berdebar-debar serta membutuhkan waktu agak lama untuk menekan gejolak-gejolak batin. Sampai-sampai aku tersekat ketika Kak Yusuf keluar dalam keadaan berlilitkan handuk.
"Nah... loh... Ngapain di sini?" tanyanya.
"Ah... Tidak, Kak... Aku hanya pengen..." ya Tuhan... Aku kehilangan kata-kata. "Oh... Ini Kak... Tadi ada nyamuk hinggap di dinding. Jadi, aku bermaksud menebasnya, tapi nyamuknya kabur duluan." Sangat tak berbobot. Tampang sudah bloon, ditambah kilahan macam anak TK kepergok mencuri mangga tetangga. Rahang-rahangku bergemeletukkan.
Kak Yusuf tersenyum tipis. "Kakak mau mandi dulu. Biar gak nganggu hidung kamu nanti. Kayaknya Kakak bau asem nih..." dia mengangkat tangan dan mencium bau bagian ketiaknya. Oh... Ketiaknya? Don't make me horny, Okey. Kak Yusuf beranjak dari radius pandangku. Sementara, aku bagai orang bodoh sambil menggit bibir bawahku. Aku bersalah padanya...
^_^
Bagaimana rasanya tidur bersama cowok cakep yang baru kita kenal? Jawabanya, benar-benar tidak nyaman. Seolah-olah berada dalam perut paus. Ya, ini akibatanya kesalahan yang tidak terencana tadi. Andaikan, aku tidak menuruti nafsu tak akan jadi begini. Dan bagaimana versi tidur bareng cowok cakep menerut pendapat kalian? Jawabanya, jawablah sendiri. Silahkan kalian coba mempraktekkanya bersama binatang peliharaanmu, semisal anjing atau kucingmu, atau bisa pula ayammu, lumayan sebagai pengganti alarm pagimu. Anggaplah dia si cowok cakep. Rasakan apa yang terjadi pada diri kalian. Dan jangan salahkan aku, manakala peliharaanmu menggigit buah selangkanganmu, mencakar mukamu atau parahnya lagi menyumbat mulutmu dengan kotorannya karena kau mengganggu tidur malamnya oleh dengkuran kerasmu. [tertawa penuh paksaan].
Aku prediksi, malam ini aku tak akan tidur senyenyak malam-malam sebelumnya. Kak Yusuf sudah terpejam lima belas menit yang lalu. Aku mendengar deru nafasnya naik turun. Lalu mataku jatuh pada dadanya yang kembang kempis dan sesuatu yang mengganjal di daerah bawah pusarnya.
"Kamu belum tidur?" Kata kak Yusuf mengagetkanku. Dia masih memejamkan matanya.
Buru-buru kupejamkan mata. "Sudah kok." bodoh atau amnesia tingkat dewa aku, ya? Kenapa aku menjawabnya.
Ku dengar dia tertawa pelan. "Kamu lucu, ya... Tidurlah, besok kamu harus sekolah, kan?"
Aku sedikit merem melek, mengintip Kak Yusuf yang konsistem dalam posisi telentang serta mata tertutup. Dia sukses membuatka tersipu malu.
^_^
"Tumben pake' motor." singkatku berbasa-basi ketika sudah berada di boncengan motor.
"Jangan banyak omong." timpal Toyyib di balik helmnya, membuat bibir sexy-ku merengut.
Toyyib melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Aku dibuat kalut. Aku berteriak-teriak agar dia mengurangi kecepatannya. Namun nihil, dia malah menambah kecepatannya. Kutepuk-tepuk pundaknya, namun tetap saja. Baiklah, bila tak mampan. Maka aku menggunakan cara unik berikut, menulis kalimat di punggung bidangnya.
"PELAN-PELAN"
Sepertinya dia tetap kukuh. Aku menulis kembali. Tiga kata.
"AKU MAU PIPIS"
Sontak Toyyib mengerem mendadak. Kepalaku kebenjut helmnya, membikin aku meringis kesakitan. "Aww... Bisakah kamu mengeremnya pelan-pelan. Lihatlah kepalaku sakit." hardikku.
Toyyib memalingkan kepala ke samping, lantas melepaskan helemnya. Rambut jabriknya agak berantakan."Katanya kamu mau pipis. Sudahlah, turun sana!"
"Aku gak mau pipis." berhenti sebentar, aku ingin melihat ekspresinya herannya. "Aku cuma pengen kamu mengurangi kecepatan. Kau tahu, butuh berapa lama aku merapikan rambutku ini." Aku menyisir rambutku dengan jari-jari tangan. "Dan, siapa juga yang mau pipis di tempat beginian. Tidak efisien." lanjutku. Giliran mataku yang menyisiri sekitar jalanan.
Dia mendengus. Dengusan yang mengejek. "Alah... lagakmu sok... Justru tempat inilah yang efisien buat buang air kecil. Tidak mengurangi persediaan air bersih." Katanya seraya memasang helmnya kembali. "Siap-siap! Pegangan yang erat! Oke."
Toyyib memasukkan gigi perseling, dan menancapkan gas dengan cepat. Aku hampir kehilangan keseimbang serta oleng ke belakang. Refleks aku memeluk Toyyib. Dasar! Dia mencari-cari kesempatan dalam kesempitan.
Sepanjang jalan, aku tetap memposisikan tanganku merangkul pinggangnya. Aku tidak mampu berkonsentrasi. Aku mabuk. Mabuk oleh bau parfum 'body spray'-nya Toyyib. Oh... Wangi sexy-nya bikin aku lupa diri. Bukan, tapi lupa daratan tepatnya. Setiba di parkiran, wanginya pun masih tetap kentara.
~~~
"Pencemaran suara disebabkan oleh suara bising yang yang terus menerus. Pencamaran ini dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Dan... bla...bla...bla..." terang pak Joe, selaku guru mata pelajaran IPA. Materinya sama persis dengan apa yang tengah ia lakukan. Lengkingan-lengkingan suaranya, bagiku bagaikan pencemaran udara. Bising dan berbahaya bagi kepakaan indra pendengaranku.
Aku malas menerima pelajaran hari ini. Apalagi dihujani ratusan desibel pekikan guru tukang jamu-ku itu. Saat itu pun, punggung tanganku menyentuh tangan Toyyib yang asyik molor. Dear God! Pagi-pagi bawaannya mau tidur melulu. Huh, dasar si Toyyib.
Namun, aku tak berkomitmen untuk membangunkannya. Entah aku sepertinya menyukai dia dikala sebelah wajahnya di topangkan ke atas meja yang beralaskan tangan kanannya. Sebab, aku dapat melihat mimik wajahnya yang imut dan menggemaskan itu dengan jelas.
Aku meniru, menelungkupkan mukaku ke meja seraya memandang lekat-lekat ke arahnya. Dia tampan, lucu, imut di waktu molor. Aku.... Arrghh... KENAPA DENGANKU?!! Aku tak mungkin men... argghh...
Aku menampik imajinasi-imajinasi konyolku sembari mengerjab-ngerjabkan kelopak mata. Hingga aku tak sadar, tatkala sebuah tutup spidol Boardmarker melayang lalu jatuh ke meja kami. Kami tersentak berbarengan. Pak Joe melototkan mata merahnya yang berurat-urat bagaikan benang kusut kepada kami. Aku dan Toyyib menciut seketika.
"Lain kali, kalau mau tidur usahain bawa bantal dari rumah." tandasnya, membuat muka kami mendidih malu.
SHIITT...
"Ayo buka bajumu." Perkataan Toyyib mengundang perhatianku. Aku agak terkejut ketika Toyyib tengah bertelanjang dada. Oh my! Tuhan sungguh hebat menciptakan makhluk se-sexy dirinya.
"Maksudmu?" tanyaku singkat.
"Hanya orang sinting yang bakalan jawab pertanyaan bodohmu itu. Disini kolam renang, bukan pasar swalayan." ucapnya santai. Aku mengedarkan pandanganku kesekeliling. Anak-anak pada ber-tarzan-ria dengan celena pendeknya. Ada pula yang berenang memakai kaos, padahal sudah jelas dilarang memakai kaos saat berenang. Mungkin saja mereka sedang korengan, kurapan atau semacam itulah. Sehingga tidak mau terekspos kehalayak umum, takut jadi gosip dikalangan anak-anak bermulut rombeng.
"Kok bengong? Buka bajumu cepat."
"Bawel banget. Sabar napa? Pengen lihat badan sexy ku?"
"Tubuh kayak teripleks itu dipamerin-pamerin."
Aku mendecak kesal. Aku buka pakaianku dan berpolos ria dengan boxerku. Aku mendekat ke arah kolam. Materi renangnya, yakni renang pertolongan. Apa aku bisa melakukannya? Atau nanti bukan aku yang menolong, malah aku yang minta tolong.
Huh... Aku benci saat-saat seperti ini. Ku pandangi teman-temanku sudah pada mencebur duluan. Dan disitu... Aku melihatnya. Fahry tengah berdiri mengambil ancang-ancang untuk melompat ke kolam. Belitan boxer yang memanteli titik-titiknya itu, seakan nampak di mataku. Aku berandai-andai, sepanjang apakah senjatanya? Selebat apakah hutannya? Segede apakah telurnya? Dan se...
JEEGGERR...
Kakiku tergelincir ketika tak menyadari bahwa aku melangkah dengan tercenung. Aku tercebur ke kolam saat pikiran-pikiran liarku bekerja. Oh... Ganjaran setimpal bagi akal busukku. Aku terselam menyerguk air, luar biasa perih dan nyeri merajam lubang hidung. Aku yang notabane-nya tak bisa beranang, hanya berusaha sekuat tenaga menggerak-gerakkan kaki beserta tanganku, namun sia-sia. Perutku menggelembung, paru-paruku sebentarlagi terkoyak.
Suatu gelungan kokoh merangkul leherku yang nyaris lemas. Detik selanjutnya, satu tarikan menyeretku naik ke permukaan. Sejenak mataku dapat melihat cahaya sore yang terhalang rabunan air kolam. Aku didekap oleh tangan seseorang, kepalaku sedikit mendongak. Toyyib, dewa penyelamatku.
Toyyib menepikanku ke pinggiran kolam, kemudian menaikkanku ke atas. Rasa perih dan nyeri kentara di hidung dan mataku. Entah berapa lama aku berada di dalam air, lambungku terisi banyak air. Tuhan menghukumku kali ini. Aku janji tidak akan mengulangi pikiran-pikiran brutalku, ikrarku dalam hati.
"Kamu gak kenapa-napa kan? Mana yang sakit?" suara Toyyib terdengar cemas. Aku muntah-muntah gelegak air.
"Hilal... Kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi, kembali dengan nada cemas.
Mataku perlahan dapat melihat jelas. Ku tengok Toyyib yang sangat khawatiran. "Gak pa-pa kok," jawabku lemah.
"Jangan berenang kalau tidak tahu caranya. Berbaya sekali. Aku gak mau kamu kenapa-napa."
"Don't worry." kataku.
Cekakak-cekikik penuh hinaan, memenuhi seisi gedung. Ada sebagian anak-anak yang diam. Aku merasa wajahku seperti gurita rebus idup-idup. Malu, makan ati, ketakutan dan banyaklah... Ingin aku teggelam ke dalam samudra terdalam atau berteriak di atas gunung dengan ketinggian sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan meter diatas permukaan air laut sambil meneriaki kalimat... "TERKUTUK KALIAN SEMUA!"
"DIAM KALIAN! TIDAKKAH KALIAN KASIHAN PADANYA. INI BUKAN LELUCON YANG BIASANYA KALIAN TONTON DI TELEVISI" Toyyib menghardik anak-anak yang mencoba menertawaiku. Aku patut berterima kasih padanya.
PRIIITTT... PRIIITTT
Tawa anak-anak menciut seketika saat Pak Faisol meniup peluitnya. Pak Faisol memelopori anak-anak agar berenang kembali.
"Diam saja. Jangan ikut berenang." Toyyib menasehati. Ekspresinya masih khawatir.
"Toy..."
Dia menoleh.
"Terima kasih..."
Dijawab oleh senyuman. Senyuman yang menentramkan.
Beberapa lama kemudian...
Kulihat anak-anak bersenda gurau, tertawa lepas, berenang-renang ke sana ke mari. Aku semakin iri melihat kepiawaian mereka.
"Hilal... Kasihan dirimu tak dapat menikmati moment-moment indah ini. Poor you." sindir Haris tiba-tiba begitu kepalanya nongol dari dalam air.
"Aku turut berbela sungkawa atas ketidaktahuanmu berenang, Hil... Berlatihlah sebelum menyelam." Nuris menyumbul di balik Haris.
Aku sungguh ingin memutilasi kedua bersaudara itu. Mencincang-cincingnya, kemudiam memaketkan potongan tubuh mereka, seperti adegan pembunuhan sadis ala monster psikopat Luka Magnotta yang lagi buming-bumingnya. Aku menghentak-hentakkan air ke mereka dengan kakiku. Si kembar malah tertawa puas. Shit!
Aku alingkan wajahku ke sebelah. Kutemukan Ary tersenyum sumringah. Nih bocah, setiap kali diperhadapkan orang, bawaanya selalu tersenyum dan tersenyum. Prinsip hidupnya yaitu "Senyum adalah sodhakoh", tak ayal tiada hari tanpa senyuman.
"Kamu gak ikutan renang?" tanyaku dengan senyuman.
Dia tersenyum. "Ane tak suka berenang. Berenang tidak mendatangkan pahala melainkan berdosa. Lihatlah! Banyak dari mereka yang berpakaian di luar batas keauratan. Maksiat hukumnya haram. Dan akan dipertanggung jawabkan diakhirat kelak."
Sabda ikhwan gombal-gembel terlontar terang-terangan tanpa memberdulikan dirinya yang juga ikut-ikutan bermaksiat ria. Ikhwan satu ini, sangat religius, bahkan over religius. Sampai-sampai aku tergelitik mendengarnya. "Memang benar? Terus, kenapa kamu mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang tengah kamu lakukan sekarang." aku bersabda.
Ary mikir dulu. "Adakalanya sesuatu yang tidak dianjurkan, dapat dihalalkan kalau dalam kondisi darurat, bukan?"
Aku tambah geli. "Owh! Itu menurut ajaran siapa?"
"Menurut Ustadz Ary bin Sulaiman Afgani." Dia membusungkan dadanya.
"Iya pak ustadz yang alimnya selangit. Saking alimnya, ayam yang seharusnya bertelur besok terpaksa harus brojol duluan mendengarkan dakwah pak ustadz." kelekarku.
Bibir Ary mengerucut beberapa senti dan mendumel tak jelas. Perutku terasa terkocok melihat tampang kesalnya. Begitulah, sesekali aku dibuat terpingkal-pingkal oleh tingkah super tahunya itu. Apalagi tubuhnya yang bak ondel-ondel. Bagaimana jadinya jika Ary menceburkan dirinya ke kolam dan tak muncul ke atas lagi, karena kelebihan bobot beratnya. Tidak seperti si kembar Haris & Nuris, yang badannya setipis kulit bawang, dapat mengambambang lihai di permukaan air.
"Ente gak berenang ya? oh... Ane lupa, ente tadi kan hampir tenggelam ya?" tanyan Ary berupa sindiran.
Bukan hampir, tapi benar-benar tenggelam, batinku. "masalah buat ente?"
"Hehehe... Gitu aja udah sewoot."
Anj**tt
~~~
Ya, aku wajib menebalkan muka ketika anak-anak pada mengusiliku. Ini pengalaman terburuk dalam cerita hidupku.
"Mau aku ajari cara berenang?" nada bariton itu menhenyakkanku dari menekuri air yang beriak-riak. Aku menoleh. Ya Tuhan... Fahry sudah duduk di sebelahku.
BERSAMBUNG...