BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

CINTA SEHARGA RP. 250.000,- [CHAPTER 08]

1356715

Comments

  • hmmm sebenarnya ceritanya bagus. cuma, kok bahasa indonesianya agak aneh ya? banyak kata yang gak sesuai di kalimatnya. seperti meng-interupsikan (?), raib, mencuat, pangling (nggak mengenali?), jangkun < lol. okkots. kamu orang makassar ya? dari bahasa nya kok kayak orang makassar, just guessing. lebih bagus kalau bahasa penulisannya santai aja. soalnya kalau kadang santai kadang baku jadi agak aneh bacanya. no offense ya, cuma kritik dan saran. thanks!
  • edited June 2012
    :)) =))

    pertanyaanku udah ditanya @fadlii d atas. byk kata2 yg terasa aneh.... tp mgkn TS terburu-buru saat typing. btw ceritana. bagus.
  • fadlii. wrote: »
    hmmm sebenarnya ceritanya bagus. cuma, kok bahasa indonesianya agak aneh ya? banyak kata yang gak sesuai di kalimatnya. seperti meng-interupsikan (?), raib, mencuat, pangling (nggak mengenali?), jangkun < lol. okkots. kamu orang makassar ya? dari bahasa nya kok kayak orang makassar, just guessing. lebih bagus kalau bahasa penulisannya santai aja. soalnya kalau kadang santai kadang baku jadi agak aneh bacanya. no offense ya, cuma kritik dan saran. thanks!
  • CINTA SEHARGA RP. 250.000,- [CHAPTER 03]
    Apa yang bakal terjadi padaku? Aku berkali-kali
    membatinkan kalimat ini. Walau saat ini, saraf-saraf
    ototku menegang. Mulutku bergetar tanpa terucap
    sebait kata. Kepalan tangan melembab akibat
    tekanan hawa atmosfir dalam ruangan ini.
    Setidaknya, aku masih tak henti-hentinya
    memikirkan hukuman apa yang akan dialamatkan
    oleh Pak Edy kepadaku.
    “Maafkan saya, pak… andaikan saya bisa
    mengontrol emosi. Hal macam ini, gak bakal
    terjadi.” Ucapku gemetar sambil merunduk. Aku
    tetap tidak ingin membentrokkan mataku pada Pak
    Edy, selaku kepala sekolahku.
    Pak Edy menarik nafas. Aku mendengernya. “Saya
    mengerti,” ada jeda, “yang saya herankan, kenapa
    kamu bisa melakukannya? Setahu saya, kamu
    orangnya polos dan pendiam sekali.” Ujarnya
    memembuat perasaanku tercampur aduk.
    Aku mulai mengangkat kepalaku. “Aku melakukanya,
    karena aku marah pada seseorang, pak.”
    “Tapi tidak dengan melampiaskan keamarahan pada
    kaca jendela. Itu namanya muka buruk cermin
    dibanting.”
    Aku menciut mendengarkan filosofi Pak Edy.
    “Sebenarnya… saya juga gak tau kalau bola itu
    bakal terplanting ke arah kaca jendela, pak.” Aku
    berusaha mempertahankan diri.
    “Baiklah, bapak tidak ingin banyak berkoar-koar,”
    Pak Edy menarik nafas panjang. “Sebagai hukuman,
    bapak minta kamu mengganti biaya kaca yang kamu
    pecahkan.”
    “Tapi pak…”
    “Saya tidak mau tahu. Kamu harus bertanggung
    jawab atas perbuatanmu. Bapak bukanya mau
    menyiksa kamu, tapi saya tidak ingin anak didik
    saya bermental lemah.”
    Kata-kata Pak Edy terucap bagai menohok tepat
    di ulu hati. Bagaimanapun seseorang siswa tidak
    akan mampu menahahan sikap ‘lempar-batu-
    sembunyi-tangan’-nya jika Pak Edy sudah
    berfilosofi. Aku benar-benar mati kutu.
    “Kira-kira… berapa biaya yang harus saya ganti,
    pak?” tanyaku dengan nada masygul.
    Pak Edy mencomot secarik kertas. Kemudian,
    menuliskan angka-angka yang aku tebak harga kaca
    pecah itu. “Sekolah sebenarnya punya uang
    menggantinya,” Pak Edy menyerong kertas
    bertuliskan angka-angka menakutkan itu padaku.
    “Tetapi, saya berharap kamu mempelajari maksud
    bapak.”
    Aku menerima kertas itu, lalu menancapkan mataku
    lekat rekat pada tulisan itu. Ya Tuhan…!! aku
    membelalak bukan alang kepalang. Senilai RP.
    250.000,-? Oh… tenggorokanku tersendat ketika
    kumpulan ludah ku paksa telan karena jika ditinggal
    sedetik lagi mungkin jatuh menjelumer serta bakal
    ngacir lewat sudut-sudut bibirku. Uang sebesar itu,
    mampu membeli tiga buah sepatu buatku, atau
    dapat mengganti tas operasianku, dan juga bisa
    membeli sekarung celana dalam untuk persedian
    tahun-tahun berikutnya. Aku menggiring
    pandangku ke wajah Pak Edy. Kumis tebalnya yang
    nyaris memahkotai hampir 90% bibirnya
    memperjelas ke-tidak-tahuan-ku. Apa dia sedang
    tersenyum atau sedang merajut? Yang jelas, aku
    tidak tahu berapa senti panjang kumisnya.
    “Itu tidak termasuk biaya pemasangannya.” Kata
    pak Edy seraya mengankat dagunya ke kertas
    yang tengah tertaut di tanganku.
    Aku mendesah. “Apa gak terlalu banyak, pak?”
    Pak Edy hanya merespon dengan menadahkan ke
    dua tangannya bersamaan bahunya terangkat. Aku
    memahami dan kembali menatap kertas itu. “Saya
    beri waktu kamu satu minggu untuk melunasinya.
    Sekarang kembalilah ke kelasmu!” perintah pak Edy.
    Aku berjalan terseok-seok. Pikiranku terisi penuh
    angka-angka mengerikan itu. Tiba-tiba saja
    kepalaku pusing, berdenyut-denyut, dan nafasku
    tersekat. Tubuhku gontai, sehingga aku perlu
    merehabilitirnya. Kuhempaskan pantatku pada
    tadahan kursi. Oh, Tuhan… kenapa Kau berikan
    ganjaran ini terhadapku? Apa malaikat salah mem-
    format file-file kelakuanku? Ah, gak mungkin. Tak
    mungkin salah.
    Aku terus berkelahi dengan alam pikiranku. Bingung.
    Aku menelangkupkan telapak tangan ke wajah.
    Meredam ke-carut-marutan keadaanku. Uh…
    “Kamu gak apa-apa?” sekonyong-konyongnya
    suara usil itu menguar di dekatku. Aku menengadah.
    Toyyib berdiri sambil melisutkan keningnya. Lalu
    bayangan-bayangan kesialan mengantri di benak.
    Dia yang mengakibatkanku berurusan dengan
    Kapsek. Dia membuatku menanggung malu lantaran
    pecahnya kaca jendela, aku jadi bully-bully-an
    anak.
    Aku mendengus keras, lantas memgalifkan posisi
    badanku. Sekilas, aku menatapnya bengis.
    Menampakkan urat-urat merah syaraf pelupuk
    mataku.
    Toyyib mengkeret. “Tidak bisakah kamu menatapku
    biasa saja?” katanya, “Kau sungguh marah
    padaku?”
    “Sangat!” tandasku. Instingku berbisik, supaya aku
    cepat-cepat menyeret kakiku menjauh darinya.
    Sebelum itu, kurasakan cekalan melilit di
    pergelangan tangan. Reflek, aku membalik. Toyyib
    tengah menjegat aku.
    “Lepaskan!” berontak aku.
    “Aku gak bakal lepasin kamu, kalau kamu marah
    gitu.”
    “Apa-apaan kamu ini? Cepat… lepasin tidak?” tak
    henti-hentinya aku menepis jeratan tangannya.
    Namun, sia-sia. Kekuatanku kalah saing oleh
    tenaganya.
    “Asal jangan marah ya…!”
    “Kamu gak berhak merintah-merintah aku. Aku
    begini, gara-gara kamu. Jangan ganggu aku lagi,
    sudah banyak kesialan yang aku dapat dari ulahmu.”
    “Yeee… Dengerin dulu dong! Aku gak bermaksud
    melambungkan bola ke kepalamu. Aku-” ucapannya
    terpotong tatkala aku memberangsangkan
    buncahan amarahku melalu tumpahan umpatan
    mulutku.
    “Berengsek!! Gak ada yang perlu didengerin. Lepasin
    gak!”
    “Aku belum selesai ngomong. Sungguh aku-”
    PLAAKKK…
    Astaga! Apa yang telah aku perbuat? Aku
    menampar Toyyib. Kali pertama tanganku
    menginjeksikan tamparan pada seseorang. Aku tak
    terkendali.
    “Hilal… Kamu menamparku…” kata Toyyib pelan dan
    hampir tak terdengar. Pipinya dielus.
    Aku hampir rubuh ke belakang. Persendianku lemas.
    Aku memandang ke lima jari kiriku yang bergetar.
    Keringat dingin mengucuri sekejur tubuhku. God!
    Aku berdosa.
    “Maafkan aku,” ucapku padanya. Tangannya
    memang telah melepaskan cekalan dari pergelangan
    tanganku. Aku melangkah meninggalkannya. Aku
    tidak mudah melukiskan apa yang aku rasakan.
    Kacau balau. Saat berjalanpun, pikiranku berlari-lari
    entah kemana. Maafkan aku Toyyib… maafkan aku.
    ###><###
    Aku menekuri jejalan kerak langkahku. Kala
    pulangpun, tetap saja, aku memikirkan kejadian
    spontanitasku itu. Aku bersalah pada Toyyib.
    Sangat. Aku merutuk diriku sendiri. Apa yang harus
    aku lakuin?
    “Asskum…” aku menyerukan salam ketika tiba
    dirumah. Ku lihat Bundaku lagi sibuk menyetrika.
    Bunda mengangkat kepalanya. “Wasskum… udah
    pulang, cung?” tanya Bunda.
    Aku tersenyum sembari menyalaminya. Tak
    disangka, memori otakku memutar angka-angka
    sebesar RP. 250.000,- lagi. Uf, dasar tidak tahu
    waktu.
    “Bunda masakin makanan kesukaanmu tuh… lekas
    makan dulu sana.”
    “Hilal belum laper, bun…” balasku. Bunda
    memandangiku sebentar kemudian kembali
    menyibukkan diri menyetrika pakaian. “Bun…”
    paggilku. Bunda mengangkat muka dan mata kami
    bertemu pandangan. Aku berkaca di matanya,
    wajah separo uzur itu… Ah, aku emoh meredupkan
    ekspresi bahagia ibu kali ini. Ya, itu tergambar dari
    simpulan bibir yang selalu tersungging.
    “E…hmm… biar Hilal bantu, ya Bun..!” aku mengalih
    topik yang akan aku cuapkan. Lebih baik tidak
    dibicarakan dulu. Ya, kurasa begitu, mantapku dalam
    hati. Aku merebut alat penghilang kerutan pakaian
    dari Bunda.
    Dia menggeser tubuhnya, memberi ruang leluasa
    untuk kegiatan menyetrikaku. “Hilal… Ada apa
    denganmu, nak? Kenapa wajahmu tak arif seperti
    biasanya? Ada masalah?”
    Tembakan-tembakan pertanyaan meluncur dari bibir
    Bunda. Nyatanya, Bunda bakat membaca raut
    melangkolis wajahku, meski aku telah berupaya
    sewajar mungkin agar Bunda tidak curiga.
    Aku terkesiap. “Ah, nggak… paling perasaan Bunda
    aja.” jawabku sedikit kaku.
    “Hmm, kamu anak Bunda. Bunda yang ngeblojorin
    dan ngebasarin kamu hingga jadi besar gini.”
    nasihat Bunda. “Sepatutnya, hati Ibu peka pada
    anak-anaknya kalau sedang ada masalah. Ayo,
    bicara sama Bunda, barangkali Bunda bisa bantu.”
    Aku menghentikan aktivatas menyetrikaku. Jangan!
    Jangan sekarang. “Gak ada apa-apa kok, bun…”
    Bunda menghembuskan nafas. “Ya, ya… Bunda gak
    mau maksa. Sudahlal, biar Bunda yang meneruskan
    setrikaannya.” Bunda menyerah kemudian meraih
    setrika di tanganku. “Kamu butuh kursus,
    bagaimana jadi ibu rumah tangga. Nyetrika aja gak
    bisa, malah tambah ngelusuhin baju.” tambahnya
    semacam gerundelan unik.
    Aku tersenyum masam. Bunda adalah seorang
    wanita perkasa. Semenjak, ayah meninggal tujuh
    tahun silam, bundalah yang menjadi kepala
    keluarga. Lewat tangan kekarnya, dia
    mengkompensasikan nyawanya mencari nafkah demi
    anak-anaknya. Secercah harapanya yakni agar kami
    bisa lebih beruntung darinya.
    “O ya, Bang Nurulmu besok mau pulang. Tadi pagi,
    bunda dapat kabar dari pamanmu, katanya dia akan
    tiba dari Bali besok malam.”
    Alisku terpencing. “Benarkah bun?”
    Bunda mengangguk diiringi senyum rekah.
    Ya… Aku masih punya satu saudara kandung lagi.
    Abang Nurul, abang pertama dan terakhirku. Dia
    bekerja di Bali sebagai buruh di sana. Bang Nurul
    pula yang ikut andil memperurat otot-ototnya
    untuk kesejahteraan kami. Aku merindukannya.
    Sekali. “Syukurlah,” ucapku diselingi suara gedebuk
    halus di dekatku. Tepatnya, suara hempasan
    pantat yang keras dari sofa.
    Aku menoleh. Menggiring pandanganku ke sana.
    Bunda pun demikian. Terlihat adikku mendongkol.
    Entah apa yang membikin mood-nya buruk kali ini.
    Karena, jarang kutemui adikku bermurung ria.
    “Kenapa…?” sahutku yang kontan mengejutkan
    Diah.
    Diah beringsut sembari menyembunyikan sesuatu di
    balik punggung.
    Aku melirik benda yang dia sembunyikan. Keningku
    berlipat-lipat. Buku? “Apa itu?” tanyaku.
    Diah membisu tidak bersuara. Dia semakin berusaha
    menyembunyikannya. Itu semakin membuatku
    penasaran.
    “Abang mau lihat!” ujarku. Namun Diah tetap kukuh.
    Aku mendelik seketika dan cara ini mampu
    menciutkannya. Dia memberikan buku itu padaku.
    Aku membuka halaman per halaman. Tulisan tangan
    Diah, artinya miliknya. Mataku terhenti pada
    tulisan terakhir buku ini. WHAAT? Aku melotot.
    Diah mendapat nilai 2? OMG!
    Aku menghardik, “Kok bisa dapet bebek sih?”
    “Eh… anu…. Itu gara-gara Andi, bang?”
    “Kok?”
    “Andi yang ngerjain semua itu bang, katanya itu
    bener semua.” ucapnya tergugu.
    Aku menelaah tiap tulisannya. Ya, Tuhan… aku
    wajib ber-istighfar. Pasalnya, jawaban-jawaban
    soal ini begitu menggelikan dan mengerikan.
    =====
    SOAL PERTAMA : Ketika kamu belanja ke warung,
    kamu menerima kembalian berlebih. Sikap kamu
    sebaiknya…
    JAWABANYA : Diam saja
    =====
    “Kenapa jawabannya ‘diam saja’, di?” tanyaku
    padanya.
    Diah menjawab, “Kalau dapet kembalian lebih
    katanya itu rezeky. Rezeky kan gak boleh di tolak
    bang, jadi kata Andi sebaiknya diam aja.”
    Huh, dasar anak kecil. Baiklah itu masih biasa.
    Bagaimana dengan yang ini.
    =====
    PERTANYAAN KEDUA : Kakek dan nenek biasanya
    minta dilayani, maka apa yang harus kita lakukan?
    JAWABANYA : Memarahinya.
    =====
    God! Ampunilah dosa adikku. ” Jawaban nomer dua
    seharusnya ‘melayaninya’, bukan ‘memarahinya’.
    Kamu mau jadi anak durhaka, hah?” bentakku.
    Tapi diah malah membalasnya, “Kita memarahinya,
    agar kakek sama nenek kapok nyuruh kita
    ngelayaninya. Nantinya, kita kan gak cepet capek,
    bang.”
    Pandai sekali kau bersilat lidah, rupanya. Oke! Itu
    masih belum mengerikan, jika soal selanjutnya ini.
    =====
    PERTANYAAN SELANJUTNYA : Apabila ada
    seseorang yang sakit, maka kita harus…
    JAWABANYA: Membunuhnya.
    =====
    Sadis! Very, very, very sadis. Jangan ditiru,
    adegan ini sangat berbahaya. “Membunuhnya?
    Astaga, kamu bakal jadi calon neraka bila
    membunuh orang, di?” aku berteriak nyaring
    sehingga Diah menyumbat kedua telinganya.
    “Dari pada nyusahin orang, mending mati sekalian
    aja kan, bang?” dalih Diah.
    Aku dibuat gila betul. Sabar, Hilal! Sabar!
    Sebenarnya, masih banyak soal-soal beserta
    jawaban yang perlu disensor. Dan aku tak
    berhasrat meneruskan membacanya. Takut
    terserang apilepsi dan tewas setelah itu. Ironis
    sekali bukan? Setidaknya, adikku sudah menguapkan
    segala beban pikiran tuk sementara ini.
    Kulihat Bunda hanya menebah dadanya seraya
    gedek-gedek kepala. Yakin, dia juga bakal
    jantungan jikalau aku terus berkoar-koar
    kesetanan.
    “Em… bau apa ini?” hidungku mencium aroma tak
    sedap. Semacam bau bakar. Ya, bau gosong. Bunda
    turut melebarkan ke dua lupang hidungnya. Mencari
    sumber ke-tidak-sedap-an udara rumah ini. “Bunda
    gak masak-masak apa kan?”
    “Seingat Bunda tidak, lal…” jawab Bunda.
    Mataku beralih ke meja setrika. “OH! BUNDA…
    BAJUNYA KEBAKAR!!” aku memekik keras saat ku
    ketahui pakaian yang disetrika hangus terbakar.
    Bunda menandak-nandak. “Astagfirullah…” lalu
    mengangkat baja panas itu dari atas baju.
    Astaga! Itu kemajaku. Yah… Bolong deh!
    ###><###
    Malam-malam sebelumnya, aku insomnia karena
    kasmaran. Namun, malam ini aku sulit tidur bukan
    karena gila birahi. Sebab-musababnya tak lain tak
    bukan adalah masalah uang sebesar RP. 250.000,-.
    Dari mana aku bisa mendapatkannya? Dan dengan
    cara apa?
    Aku menelungkupkan mukaku ke bantal. Ah, gak kira
    merubah keadaan. Aku bangkit, lantas mencari
    Diary-ku. Sikuku menyenggol sebuah benda sampai
    jatuh.
    PRAKKK…
    HARMONIKA..
    Instrumen musik tiup yang terdiri dari plat-plat
    getar
    dari logam yang disusun secara
    horozontal tergeletak bersejajar dekat kaki
    kananku. Kugapai benda mungil pemberian seseorang
    itu. Benda ini punya sejarah penting dalam hidupku.
    Tiba-tiba, aku bernostalgia dalam kilasan kenangan.
    “Selagi kamu sedih, tiuplah benda ini. Saat kau
    meniupnya, benda ini mampu mendamaikan
    perasaanmu, menghilangkan dan menyerap segala
    emosimu.”
    Itu kalimatnya ketika aku sedang dilanda kesedihan
    karena kehilangan sosok ayah. Aku tidak begitu
    ingat wajahnya, tapi aku ingat ketika dia
    memberikan harmonika ini padaku.
    Aku tersenyum. Aku meniup lubang-lubang kecil
    yang terjejer mendatar lalu menghisapnya
    perlahan. Keluarlah nada-nada sumbang bercampur
    partikel-partikel udara. Aku tak terlalu pandai
    memainkannya. Hasilnya, aku benar-benar tenang,
    nyaman, dan damai. Walaupun nada yang dihasilkan
    buruk, namun cukup membantuku memejamkan
    mataku sedikit demi sedikit. Kesadaran
    mulai beranjak menjauh. Aku merebahkan tubuhku
    hingga akhirnya aku terlelap bersama harmonika di
    genggamanku.
    ###><###
    Lebih baik mempunyai satu sahabat yang
    memahamiku dari pada seribu teman yang
    mementingkan diri sendiri.
    Mau tak mau, aku mengumpatkan kata-kata ini
    berulang kali. Aku muak dengan tingkah senewen
    temanku. Niatnya ingin minta tolong, nyatanya
    memperoleh cacian sarkatis. Beginilah, sekalipun
    batinku sering gondok, bagaimanapun aku tidak
    boleh memaksakan kehendak mereka meminjamkan
    uang kepadaku.
    Ilham? Sahabatku. Rasanya, tega mengutang
    padanya. Ah, aku harus bagaimana?
    Aku mengelosoh, lalu menopang dagu pada tumpuan
    siku. Kemudian melipatkan tangan di atas meja, lalu
    membantalkan dagu, kemudian mengetukkan jari di
    bangku, lalu memiringkan kepala, kemudian
    menelungkupkan mukaku. Sepertinya lalu-kemudian
    yang hanya mendominasi gerak-gerikku hari ini.
    Pada akhirnya, aku terusik oleh bunyi derapan
    sepatu seseorang mendekatiku. Aku mengangkap
    kepalaku dan… aku tersentak karena wajah Toyyib
    terpaut sejengkal wajahku. Aku menarik badanku ke
    belakang. “Heh… Kamu-?”
    Toyyib nyengir lebar. Dia berdiri. “Aku kesini mau
    minta maaf dan mau bantu kamu.”
    Semestinya ‘maaf’ yang berlaka buatku. Aku kan
    menggamparnya kemarin.
    “Kamu butuh uang, kan? Itu sudah pasti.”
    “Memangnya napa?”
    “Hmm… Bolehkah aku meminjamkan uang untukmu?”
    Dahiku mengernyit. “Serius?”
    Toyyib memutar-mutarkan bola matanya sambil
    mengangkat bahu. “Apa aku kelihatan bohong?”
    tanyanya.
    Entah mengapa, aku melihat kejujuran darinya.
    “Asal kamu bisa mengabulkan satu syarat.”
    tambahnya.
    Huh… Aku memang sudah menduganya.
    “Tenang… aku gak akan menyuruhmu memetikkan
    bintang di langit, menguras air laut, atau
    menerbitkan matahari dari barat.”
    Yee… memang aku mau mengabulkan syarat-syarat
    konyol itu. “Dasar! gak mau rugi.” tungkasku.
    “Eh…eh… ya udah kalau gak mau. Dua ratus lima
    puluh ribu loh.” Toyyib tersenyum licik.
    “Apa syaratnya?”
    Toyyib menerbangkan pandangnya ke langit-langit.
    Setelah itu, mendaratkanya padaku. “Jadilah
    asistantku selama seminggu!”
    “Apa?”
    Toyyib agak kaget mendengar lenkinganku.
    “Kecilkan volume suaramu!”
    “Gak ada syarat lain selain menjadi asistenmu?”
    Toyyib menggeleng.
    Terima gak ya? Ah, jadi asistenya? Uang RP.
    250.000,-? “Oke! Aku terima.” finally, seusai
    berdebat dengan akal budiku. Aku memamtapkan
    bahwa aku memilih Iya.
    “Eitzz… wait!” Toyyib merogoh selembar kertas.
    Dia menuliskan sesuatu disana. Sekali lagi jidatku
    berkerut.
    Setelah 10 menit lamanya dia berkutat bersama
    alat tulis. Toyyib menyerahkannya padaku. “Tanda
    tangani dulu perjanjian itu.” perintahnya.
    Aku mencomot kertas itu, terus membacanya.
    =====
    Yang bertanda tangan dibawah ini adalah :
    NAMA : AHSANUL HILAL
    Dengan ini menyatakan bahwa sanya saya
    bersumpah menjadi asisten Saudara Muhammad
    Toyyib Abdillah Zilzain selama satu minggu.
    Demikian pernyataan ini saya buat dengan
    sesungguhnya, dan apabila dikemudian hari terbukti
    pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
    disiksa di neraka paling bawah serta arwah saya
    bergentangan di alam baka kelak.
    Tertanda
    ~Ahsanul Hilal~
    =====
    Ya ampuuunnn… pake’ surat pernyataan segala.
    Dia pikir aku bakalan mengingkari janjiku. “Ngapain
    ada surat-surat kayak gini segala. Kamu pikir aku
    penipu kelas kakap, hah…?”
    “Gak ada yang gak mungkin. Bisa aja kamu cuma
    memanfaatiku.”
    Hadeeh… Oke! Oke! Intuisiku mengatan : be
    patient!!! Be patient!!! Don’t be angry! Yang
    terpenting, dia tidak menyuruhmu menggadaikan
    koleksi sempakmu sebagai jaminannya.
    Aku menandatangani surat itu dan
    menyerahkannya pada Toyyib.
    “Kamu kerja mulai hari ini.” kata Toyyib. Dia
    berjalan menuju pintu.
    “Toy…” panggilku.
    Reflek Dia behenti, kemudian dia memendarkan
    matanya padaku.
    “Soal, kemarin… aku minta maaf.” ucapku pelan
    mengingatkannya ke insiden gamparan kemarin.
    Terabadikanlah seulas senyuman di bibirnya. Oh,
    baru ku tahu, dia memiliki lesung pipi. “It’s okey.
    Tamparanmu amat mengasyikkan.”
    Telingaku melebar. Mengasyikkan? Kupingku sedang
    tak budek, kan? Toyyib sukses men-traffick light
    wajahku. Malu.
    ###><###
    Aku melangkah keluar dari gedung bioskop. Saat
    setelah, alat pendengaranku terasa disumbat
    beribu-ribu jeritan penonton. Ya! Intinya, aku
    diajak nonton film thriller bergenre horor oleh
    Toyyib-ini pula bagian tugasku sebagai asistent-
    nya.
    “Seru ya film-nya? Menegangkan…” Toyyib
    mengawali perbincangan.
    “Seru…seru apanya? Lain kali aku gak mau diajak
    nonton film-film begituan.” keluhku.
    “Bilang saja jika kamu parno….hehehe.”
    Aku baru menimpalinya ketika Hp-nya berdering.
    “Ya…ada apa?… iya tar lagi… gak sampe’ tengah
    malam kok… he’eh… aku udah gede, gak kira
    tersesat… ya udah… Wasskum.” Toyyib menutup
    pembicaraanya.
    “Siapa, Toy?”
    “Paman menyuruhku cepet pulang.”
    “Ooo… ya udah kamu pulang aja sana. Aku bisa
    pulang sendiri.” ujar ku sambil mataku menyisiri
    jalan. Malam ini sepi banget.
    “Gak baik, biar aku antar kamu dulu.”
    “Gak usah, lagi pula rumahku gak jauh dari sini.” aku
    tetap mengeyel.
    “Beneran…? gak takut pulang sendirian?” jebak
    Toyyib.
    “Ah, tidak apa-apa. Setanya paling takut sama
    aku.” aku mencoba berkelekar.
    Toyyib mendesah. “Well! Terserah deh. Tapi jangan
    pingsan tengah jalan ya.”
    Aku tak mengubrisnya. Kemudian aku berjalari
    menyusuri trotoar. Sempat aku memalingkan muka
    ke arah Toyyib yang melambaikan tanganya.
    Cowok itu rada-rada menggemaskan.
    Malam begitu menakutkan. Lampu-lampu merkuri
    menjadikan suasana remang-remang disekitar
    jalanan. Aku memeluk tubuhku dan menapaki
    permukaa tanah. Tidak ada kendaraan berlalu-
    lalang. Ku tafsirkan ini sudah jam 10 malam.
    Aku terus menderapkan kedua kakiku. Sesakali aku
    menangkap suara-suara aneh yang menakutkan.
    Sial! Ini efek film horor tadi.
    Samar-samar terdengar derapan langkah seseorang.
    Aduh, andai aku tidak menolak tawaran Toyyib
    tadi, mungkin aku tak separno ini. Tanganku lembab.
    Aku berlari-lari kecil demi menjauh dari seseorang
    dibelakangku. Namun, suara hentakan kaki itu
    semakin terdengar. Ya Tuhan lindungilah aku!
  • hehhe peace kak
  • ah paling c toyyib lg nakut-nakutin, yar ntar bs pelukan.... :-P
  • fadlii. wrote: »
    hmmm sebenarnya ceritanya bagus. cuma, kok bahasa indonesianya agak aneh ya? banyak kata yang gak sesuai di kalimatnya. seperti meng-interupsikan (?), raib, mencuat, pangling (nggak mengenali?), jangkun < lol. okkots. kamu orang makassar ya? dari bahasa nya kok kayak orang makassar, just guessing. lebih bagus kalau bahasa penulisannya santai aja. soalnya kalau kadang santai kadang baku jadi agak aneh bacanya. no offense ya, cuma kritik dan saran. thanks!

    masalah buat lo
    *sambil bawa golok
  • edited June 2012
    ge...ge...ge...
    gegege no ge :-O

    #kok jd dasrielaldo c? #-o :-S
  • @dasrielaldo copas dari blog sebelah ya. dah ijin ama yg punya lom?
  • bi_ngung wrote: »
    @dasrielaldo copas dari blog sebelah ya. dah ijin ama yg punya lom?

  • blm ckiki kan ada by nya tuh dcntumkan ckiki
    piace kak hilal
  • blm ckiki kan ada by nya tuh dcntumkan ckiki
    piace kak hilal

  • bi_ngung wrote: »
    @dasrielaldo copas dari blog sebelah ya. dah ijin ama yg punya lom?

Sign In or Register to comment.