It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lembuswana, @ken89, @ziezey_fatt, @adinu, @idanstrue, @rudyaiwa9, @pahlevy_roni, @rioadiansyah, @Just_PJ, @lockerA, @aji_dharma, @al's, @bocahnakal96, @rulli arto, @Rivaldo_Nugroho
@Dhika_smg @05nov1991 @revian97 @yuzz @dirpra @the_angel_of_hell @Fanofboy @chi_lung @iamyogi96 @chris_200192 @idans_true @fends @ularuskasurius @joenior68
mohon di komentari ya...
~BROWNIES~
Pagi secara alami membangunkanku yang bergumul dalam pelukan Toyyib. Sejatinya, deru nafasnya menyapu wajahku, menghangatkan lapisan-lapisan kulit ari. Aku tak sadar jika aku sedang membantalkan kepalaku di lengan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, melilit pinggangku. Aku mengelor sedikit ke belakang. Toyyib menarik bila sedang tidur. Gemas dan unyu'. Bibirnya dimonyongkan, sangat menggoda batin. Aku menurunkan penglihatanku ke bagian lehernya. Di sana terlihat benjolan jakunya yang indah. Penglihatanku kembali kuturunkan ke dadanya yang turun naik. Tanganku secara nakal telah menempel di situ. Mengukur detak-detak jantungnya.
Tiba-tiba saja saraf ototku mengeras. Ereksi? Oh jangan sampai. Cepat-cepat kutarik tanganku. Pagiku tidak boleh diawali hal-hal yang berbau kotor. Lalu kulepaskan rangkulan Toyyib dari tubuhku. Toyyib mengeliat dengan gumanan-gumanan tak jelas. Aku mencoba membalikkan tubuhku pelan-pelan agar dia tidak bangun. Segegas mungkin aku beringsut dari peraduan menuju ke luar kamar. Kamar Toyyib tidak memiki kamar mandi. Itu artinya, aku harus melangkah menyusiri rumah bak istana yang ngajubileh luasnya ini.
Setidaknya 15 menit aku memutari seisi ruangan ini. Namun, aku tak berhasil menemukan kamar mandi. Seharusnya, Toyyib menyediakan peta bagi orang yang baru bertandang kemari, supaya tak tersesat maksudnya. Karena, nyaris saja aku menerobos kamar bibi, pembantu Toyyib tatkala kepala bibi menyumbul dari balik pintu.
"Sedang apa dek?" tanya si bibi dengan tampang heran.
"E-anu.. bi, saya mau ke kamar mandi. Tapi, saya bingung dimana arah tempatnya." jawabku terbata.
Si bibi tersenyum. "Kamar kecilnya ada di sana, sebelahnya dapur. Adek bisa langsung jalan lurus saja." kata si bibi, menunjuk lorong lurus ke sebuah pintu. Jempolnya dilengkungkan. Wanita separo baya ini sopan dan santun. Ciri khas peembantu yang dididik menjadi seorang pembantu yang profesional.
Aku mengangguk. Si bibi menimpali anggukanku seraya tersenyum renyah dan menundukkan kepala. "Ngomog-ngomong, den Zilzan belum bangun?" si bibi kembali bertanya.
"Sepertinya Zilzan sedang kecapaian, bi. Tadi malam kami habis ken.." hampir saja aku mengucapkan kalau semalam kami berkencan, bisa gaswat. Si bibi mungkin mingira ada sesuatu diantara kami nantinya. "eh- maksudku.. kami pulang agak malam. Jadi saya nggak tega membangunkan Zilzan, bi." lanjutku. Tanpa sadar menyebut nama khusus Toyyib.
Si bibi manggut-manggut seolah memaklumi. Semoga kalimat 'ken..'-ku tadi tak menimbulkan tanda tanya kecil di pikiran bibi. Tapi pentin gak sih bagi seorang pembantu mengetahui asmara majikannya? "Ya sudah kalau begitu.. Bibi mau lanjutin tugas rutin bibi." si bibi langsung berlalu dari hadapanku yang masih memandangi jejak punggun gempalnya hingga benar-benar menghilang.
Aku meneruskan tujuan kakiku ke dekat pintu itu. Saat tangan menyentuh handle pintu, aku mendengar suara kelontang, seperti suara nampan jatuh. Suaranya berasal dari ruang sebelah. Rasa penasaranku muncul seketika. Bibi bilang kamar kecil berdekatan dengan dapur. Jangan-jangan itu si makhluk termanis yang lagi bereaksi mencuri makanan. Oh! Shit! Aku membawa diriku mendekat ke dapur. Dan betapa terkejutnya aku ketika yang kutemui adalah sosok yang selama ini kukenal dekat. Wajahnya belepotan dilapisi tepung serta mulutnya menggerundelkan rutukan-rutukan atas dirinya. Kedua tangannya memeganggi sebuah baskom berisi tepung. Apa yang dia lakukan disana? "Fahry..?" sapaku yang terdengar seperti pertanyaan. Ini demi memastikan dia benar Fahry atau tidak.
Dia menoleh dan kulihat ketercenganya yang menatapku telah berada di hadapannya. Untuk beberapa detik, kami saling bersitatap. Tertegun dalam diri masing-masing. "Hilal..?" ucapnya, nyaris menyamai sapaanku tadi.
Keyakinanku akan dia sudah terjawab. Dia betul Fahry. Tapi, Kenapa dia bisa masuk kesini? Jika dilihat dari apa yang dia tengah kerjakan, aku berspekulasi kalau dia pembantu di sini juga. Ah, masak iya? Cowok sekeren dia berprofesi sebagai PRT. Tidak cukupkah satu pembantu mengurusi rumah ini? Mustahil besar. "Kamu... Pembantu... di rumah ini?" astaga... Kekuatan dari mana, sampai aku mengucapkan kata-kata yang tak patut dikoarkan? 'Kekuatan terhadap keingintahuanmu tentang aktivitas yang Fahry geluti sekarang', intuisiki menjawab relevan.
Fahry menyipitkan mata. Tepung yang melapisi jidatnya meluntur. "Tampangku kayak pembantu ya? Hm, padahal aku bangun pagi-pagi demi membuat kejutan untukmu." nada sesal kentara dari perkataanya.
Kejutan? Untukku? Telingaku terasa melebar. "Maksudmu?" tanyaku penasaran.
"Ya, kejutan kecil di pagi harimu yang indah ini. Special for you, aku membuatkan sesuatu buatmu. Kamu tahu sendiri apa yang akan aku buat nanti."
"Hm.. Lalu kenapa kamu bisa tahu kalau aku menginap disini? Terus, ada hubungan apa kamu dengan pemilik rumah ini? Kenapa kamu bisa seenaknya menggunakan barang-barang milik orang lain? Dan kalau kamu bukan seorang pembantu, tidak mungkin kamu mengerjakan hal-hal yang menjadi tugas seorang PRT." beberapa pertanyaan menyeruak tanpa jeda.
Fahry meletakkan baskom di atas meja yang dipenuhi bahan-bahan pembuat kue. Tepung, telur, gula, garam, susu kental, minyak goreng, mentega dan semacamnya. Juga tak luput, sebuah pasta coklat teronggok di sebelah sisi spatula. Fahry mengambil nafas. "Dari mana dulu aku menjawab pertanya-pertanyaanmu?"
Aku tak bergeming, tepatnya bengong. Sesekali, mataku mengerjep-erjab, layaknya orang tolol.
"Baiklah... Aku bukan seorang pembantu, Hilal. Pemilik rumah ini adalah ayahku. Lalu, aku tahu kamu menginap di sini itu... dari Nilna."
Aku mengernyitkan dahi. "Ayahmu?"
Fahry menyimpulkan bibirnya, tertera barisan gigi putih bersejajar rapi melekat di antara gusi-gusinya. "Masih tidak percaya?"
"Eh... Tidak.. Tidak. Maksudku kamu bersaudara dengan Toyyib?" sekali lagi aku bertanya dengan tampang bodoh. Andaikan ada air seember, aku mungkin telah menyiram tubuhku demi mengenyahkan penyakit sarafanku.
"Toyyib sepupuku. Ayahku adalah kakak dari ayahnya." jawab Fahry. Aku mengangguk ngerti. Namun, aku tak habis pikir, kenapa Toyyib tak pernah bercerita soal Fahry. Lagi pula, aku jarang melihat Toyyib dan Fahry berjalau atau sekedar ngobrol bersama.
"Kebetulan, karena kamu sudah di sini, bagaimana kamu membantuku sekarang?" tawarnya, menginjeksikan tatapan memohon.
Bagiku tidak sulit mengakatan 'setuju' bagi sosok berkharisma tinggi seperti Fahry. Tanpa dia suruh pun, aku dengan senang hati mempromosikan diri untuk menawarkan bantuan. "With pleasure." Ucapku sambil memberikan senyum termanisku. "Dari mana aku harus memulainya?" aku menyapukan mataku di sekeliling meja yang teronggok beberapa macam bahan pembuatan kue.
"Masukan telur, gula, emulsifer, garam dan pasta coklat ke dalam baskom ini. Lalu kocok hingga mengembang dan kaku. Oke!" tuturnya, lalu menambahkan, "aku mau mencairkan mentega dan coklat dulu."
Aku paham langsung. Dengan cekatan, kumasusukkan dan kukocok bahan yang Fahry sebutkan. Perlahan namun pasti,adonan mulai mengembang. Fahry mencampurkan tepung dan coklat bubuk, kemudian dia menuangkan lelehan margarin. Aku kembali mengaduk pelan-pelan.
"Aduknya jangan begitu... kuenya bakalan cekung." Serta merta Fahry meraih spatula di tanganku membikin tangan kami bersentuhan. Dear God! Fahry serasa mengaduk-aduk jantungku, walau kenyataan adonannyalah yang diaduk. Tubuhku bergetar akibat kocokan tangannya yang mengocok adonan. Uh, paru-paruku kehabisan oksigen nih. Aku mendongak menatap garis-garis wajahnya. Saat itu pula, mata kami saling terpaut satu sama lain. Tangan Fahry berhenti mengocok. Segera kualihkan pandangku ke baskom. Oh Tuhan... Kenapa aku bisa sekalut ini?
Acara masak kali ini dibumbuhi adegan salah tingkah diantara kami, meskipun adonan telah dikukus di dalam oven. Konsentrasi buyar entah kemana larinya, sampai-sampai kue siap di hidangkan. Fahry menyodorkan sebuah kue berbentuk hati yang ditaburi berbagai hiasan diatasnya.
"Ini kejutan yang aku janjikan buatmu, brownis coklat cinta." ucapnya seraya membelah kue brownis menjadi potongan kecil-kecil.
"Brownies Coklat Cinta? Setahuku, aku tak pernah makan brownies dengan nama unik ini." kataku sok tahu. Aku jarang bahkan belum sama sekali menemukan brownies coklat cinta dalam daftar menu makanan di memori otakku. Atau Fahry sendiri menamai brownies bentuk hati ini.
"Sampai kiamat pun kamu nggak akan nemu brownies seperti ini. Ini special aku yang memberikan nama."
Benar dugaanku. "Kenapa kamu memilih nama itu? Apa arti 'cinta' pada brownies buatanmu?"
"Yang jelas, brownies ini dibuat dengan cinta dan kasih sayang. Dilihat dari bentuknya, brownies ini cocok untuk kuberi nama Brownis Coklat Cinta, karana berbentuk hati." Fahry mencomot potongan kue itu, lantas memberikannya kepadaku. "Ini... Coba dimakan dulu."
Aku menggapai kue itu. "Sayangnya, aku lebih menyukai brownies selai kacang."
"Oh... Jadi kamu nggak suka? Sini! biar aku yang makan aja." Fahry mendadah.
Aku menolak. "Siapa bilang aku nggak suka? Lagi pula, aku nggak mengatakan kalo' aku tak mau memakannya, bukan?" aku memasukkan kue itu ke dalam mulutku.
Fahry mendengus pelan. Dengusannya seolah-olah kesal.
"Kamu hobi masak juga, ya?" tanyaku, bernonsense.
"Ya.. begitulah. kadang aku minta bantuan pembantuku dan Nilna, saudara kembarku."
"Eumphh..." hampir saja brownies yang tertelan nyangkut di tenggorokan, sesaat setelah Fahry mengutarakan kalimat-kalimatnya baru saja. "Nil-nilna... Saudara kembarmu? beneran?"
"Emang kenapa? Gak mirip?" dia berbalik tanya. Alisnya berkontraksi.
"Nggak habis pikir aja, kamu kembarannya Nilna." Nadaku sedikit meninggi.
Fahry tersenyum mendengar keterherananku. Dia tetap melanjutkan acara makan-makannya. Sedangkan aku, tak mampu menyembunyikan reaksi mukaku, mulut ternganga, pupil mata melebar. Hidup penuh keajaiban.
@~
"Toy... Kamu kok nggak bilang kalau Fahry itu sepupumu. Dan Nilna itu kembarannya si Fahry?" suaruku menembus suara bising knalpot motor Toyyib ketika melaju di jalanan.
"Kamu nggak nanyak." tukas Toyyib bersambut umpatan kecil dari mulutku.
"Setidaknya... Kamu kasih tau aku, kalau dia itu sepupumu."
"Yang terpenting, sekarang kamu udah tau fakta yang sebenarnya, bukan? Cepat turun. Kita sudah nyampek di depan rumahmu." titah Toyyib tatkala motor memasuki pekarangan rumahku.
Aku turun dari motornya. Sambil menawarinya berkunjung ke rumah sebentar. "Kamu tidak mampir dulu?"
Nampaknya aku tak digubrisnya. Toyyib memandangi sosok yang berdiri di teras rumah. Sosok itu melambaikan tangannya ke arahku, dan kutimpali sebuah senyuman untuknya.
"Siapa dia?" celutuk Toyyib dengan suara datar tanpa intonasi. Kulirik Toyyib yang tengah mengernyitkan keningnya.
"Oh... Itu kak Yusuf, teman abangku."
"Hm..." dia mengangguk. Entah aku merasakan energi ketidak sukaanya pada Kak Yusuf ketika melihat mimiknya. "Aku mau pulang saja. O ya... ingat pesanku! Sering-sering belajar makan pake' sumpit! Bajunya dijaga, jangan sampek rusak atau sobek. Satu lagi, kalau aku nelfon, lekas diangkat."
Ya Tuhan... Pesan yang tak bermutu. Aku merasa terganggu oleh kuliahnya. Seandainya ada bakiak kakek, sudah kusumbal tuh mulutnya. "Udah kelah nasihatnya, pak?"
"Uh, kamu nih... Susah diomongin." Toyyib menarik cuping hidungku.
Sontak aku menepis tanganya. "Kamu pikir hidungku jepitan jemuran, apa?"
Dia nyengir kuda. "Abis... Kamu lucu kalau sedang ngambek." Toyyib menghidupkan mesin motornya, lalu menekan gigi perseling. Dia tak lupa men-dhadha padaku sebelum menancapkan gas.
Aku tersenyum masam. Ada sedikit penyesalan saat dia memutuskan pulang. Sebentar lagi, aku takkan melihatnya lagi. Lambat laun Toyyib menciut dan menghilang di tikungan. Batinku serasa kosong kembali. Ah, Toyyib cuma pergi untuk pulang, bukan pergi selamanya. Kenapa aku selalu berada didekatnya? Arrgghh...
@~
Bel sekolah memekik tiga kali, bertanda kegiatan belajar mengajar hari ini telah usai. Aku menengok ke laci meja, ketika teman-temanku berebutan keluar pintu-kebisaanku tatkala ingin berbenah diri, semata-mata demi memastikan buku-buku tak di-anak-yatim-piatukan. Indra penglihatanku terusik oleh sebuah amplop hijau bergambar anime-anime lucu. Kuraih benda pengusik mataku itu.
Aku meneliti amplop itu. Sepasang cowok anime saling berangkulan bahu tergambar memperindah tampilannya. Surat? Ya, biasanya surat seperti ini diperuntukkan kepada seseorang yang dicintai. Hah.. Dicintai? Benar nggak sih surat cinta ini untukku. Mungkin pengirimnya salah alamat. Tapi, di balik surat ini, tepatnya di sisi kanan atas terdapat tulisan TO : HILAL yang memang dialamatkan kepadaku.
Aku semakin penasaran. Kuletakkan tumpukan buku yang sedari kudekap dipangkuan tangan. Jemari-jemariku berkeliaran, menarik kertas yang terselip dalam amplop. Aku membuka lipatan kertas itu. Sebuah tulisan tangan rapi. Dan... Wow... Sebuah foto close-up mini diriku yang tengah menggigit jari. Foto ini diambil dikala aku duduk di bibir kolam, berbelitkan boxer dengan kaki yang menjuntai ke permukaan air.
Fotoku tertempel dan terbingkai oleh hiasan-hiasan pita hijau yang melekat di tepi atas. Aku tersenyum. Surat cinta terunik. Mataku kini bergerilya menelaah tiap-tiap alinie tulisan, lalu kubaca dalam hati.
"Tahukah kau ada saat dimana aku takut akan gelapnya malam? Apakah kau sadar sepenuhnya, bila aku menggil ketika angin dingin menyergap tubuh rentanku? Ataukah suara petir yang tiba-tiba menggetarkan jiwaku? - itu semua, karena aku tak tahu perasaanmu padaku..."
Paragraf pertama dari tulisan kertas ini, bikin aku bingung. Penulis surat ini tipe orang yang bertele-tele.
"Sulit memang, menafsirkan perasaan ini. Bahkan sangat GILA jika ini diutarakan. Bodoh sekali... Kenapa aku harus terjerumus dalam buaian asmara yang memuakkan ini."
Masih dengan kening berlipat. Kian lama, kian pusing kepalaku mencerna bait-bait dari alinea kedua.
"Aku lelaki... Aku yang tak pernah tersesat dari jalan benar. Aku yang belum pernah tersesat dari prinsip-prinsipku. Aku yang mengira kepantasan berarti segalanya di dunia. Tapi, aku salah besar. Aku mulai menyukaimu, yang seorang pria."
Glek. Aku meneguk ludah. Titik terang terungkap. Surat ini berasal dari seorang cowok.
"Hilal... Selama ini, belum pernah ada yang menghentakkan hatiku. Bagaimana kau bisa membuatku seperti ini? Bagaimana bisa kamu menjadi bagian hatiku begitu cepat?..."
Lagi-lagi aku terperangah akan kalimat-kalimatnya. Terdengar gombal, namun penuh penghayatan. Ya Tuhan... Siapa pengirim misterius ini? Aku melanjutkan membaca.
"Hilal... Aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk terus menipu diriku sendiri. Bisakah kau sedikit memberikan kepercayaan hatimu untukku? Kalau mau, aku tunggu kamu di halaman belakang sekolah."
Kakiku terasa lemas, bergetar dan kaku. Oh my... seorang cowok jatuh cinta kepadaku. Aku menapuk-napuk pipiku. Ini nyata, bukan mimpi belaka. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Kosong nan sepi. Tanpa pikir panjang, aku beringsut keluar menuju halaman belakang. Aku tak peduli jika aku menginjak buntut seekor kucing yang sekilas melintas. Siapa suruh menghalangiku yang sedang berbunga-bunga.
Setiba di tempat tujuan, tak kutemukan seorang pun di sana. Namun mataku menangkap samar-samar sebuah kotak yang tergelor di kursi tak berlengan di bawah sejuknya pohon waru. Aku berjalan menyusuri celah-celah rumput liar. Kotak kecil berlapis kertas kado bercorak hijau. Aku mengamati tulisan yang terpampang di atas tutup kotak itu.
"Maafkan aku karena aku mencintaimu, Hilal. Sebagai pemberian tanda maafku, aku memberikan sebuah kado kecil untukmu. Bukalah!"
Sejenak otakku bekerja keras. Ucapan maaf karena mencintaiku, aneh. Dua jenak tanganku bergerak membuka kotak itu. Brownies? Astaga... Aku terbelak. Jangan-jangan ini pemberian Fahry? Bukankah kemarin Fahry membuatkan brownies untukku? Dan kotak ini berisi brownies favoritku, brownies selai kacang. Ya, tidak salah lagi.
Saraf-saraf lututku seakan mati rasa. Tak mampu menumpukan badanku yang beritme keras. Lalu ku hempaskan pantatku ke kursi. Mataku menjelajahi seisi halaman, tapi sekali lagi aku tak menemukan batang hidungnya. Aku menarik nafas, dunia seolah-olah berhenti berputar. Kembali kutancapkan penglihatanku ke kotak berisi brownies ini. Sesuatu mengusikku. Ada sebuah note kecil terjepit diantara potongan-potongan brownies.
"Now... Berbaliklah. Aku menunggu di belakang punggungmu."
Buru-buru kubalikkan tubuhku. Terlihatlah sosok yang ingin mendapatkan sedikit kepercayaan hatiku. Berdiri dengan menvisualisasikan seutas senyum. Daun-daun kering sesekali malang-malintang dihempaskan angin seolah menyambut kehadirannya. Fahry melipat tangan. Aku menegak sambil memegang kotak hijau.
"Aku tak tahu harus memulainya dari mana dulu." Dia bersuara. "Tapi aku ingat maksudku menyuruhmu datang kemari."
"Sejak kapan kamu memiliki perasaanmu terhadapku?" desisku di sela-sela ketegangan otot. Nafasku seperti tercekik.
Fahry menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaanku. "Sejak kapan? Sejak kamu menginjakkan kakimu di sekolah ini. Sejak kamu berkenalan pertama kali denganku. Sejak aku mengajari berenang. Sejak kamu membantuku membuat brownis dan sejak kamu menyentuh relung hatiku." Dia menebah dadanya.
"Bagaimana bisa kamu mencintaiku yang seorang cowok?"
"Bisa saja... Cinta nggak memandang jenis kelamin, Hil. Dan aku tahu kalau perbuatanku ini salah. "Dia mendekat. "Hilal.. Kalau cinta sudah melekat, tai monyet rasa brownies."
Andaikan ini bukan di situasi kursial. Mungkin aku akan terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata saking lucunya Fahry. Aku diam seribu bahasa. Menstatiskan segalanya dengan terpaku. Kurasakan bahuku dicengkramnya.
"Tak perlu aku ulangi pertanyaanku di surat itu lagi. Aku hanya perlu jawabanmu. Jawaban Ya atau Tidak untukku." Wajah Fahry semakin mendekat ke wajahku. Alunan nafasnya yang turun naik menyapu leku-lekuk mukaku. Jujur, aku tak pernah bermasalah dengan jantung. Tapi, jantungku menggebu-gebu serasa mau copot.
"A-aku..." hey! Aku keselutan bicara. "A-aku.." oh.. No! Kerongkonganku tercekat. Sebenarnya, aku sanggup mengungkapkan rangkaian kata yang ingin kuutarakan, namun kali ini hatiku berbicara lain. Entah, apa itu? Yang jelas, bukan kalimat 'aku mencintaimu juga'.
Fahry semakin mempererat cengkramannya. "Katakan! Apa jawabanmu." lirihnya yang serupa bisikan.
Sekuat yang aku mampu, kucoba menjawabnya. Tetapi, tertunda oleh suara gedebuk halus di sampingku. Fahry sepertinya juga dengar. Kugiring kepalaku ke sana. Terlihat seseorang tengah tersuruk sambil menggerutu dekat pohon waru yang agak jauh dari kami. Astaga... Toyyib? Aku membelalang bukan kepalang. Sedang apa dia disana?
BERSAMBUNG...
jadi aku menulis di sela-sela ketidak sehatanku...
mungkin di chapter ini agak tidak memuaskan teman2 semua...
nice story...
lanjut.... ^^
Cuma ada yg aneh rumah mewah kok kamarnya tidak ada kamar mandinya...tolong bisa disesuaikan sereal mungkin...dan cepat sembuh bro.....