It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
suka sama cerpen nya.. huhuhu
reader kecewa.
Chapter 3-2 : Rival Hunter!
Fadil sudah menghilang dalam kerumunan manusia. Rasanya ingin aku kejar dan menjelaskan semuanya kepada dia. Entah dia mau memukul atau bahkan menjatuhkanku dari lantai tertinggi mall ini aku tidak akan meyalahkannya. Tapi, aku juga harus memikirkan nasib pak unyu, Deva dan Mira. Jika ada seseorang yang tahu kutukan ini maka kita semua akan lenyap.
Aku berjalan agak gontai di belakang pak unyu dan Deva. Mira dan Fee sudah menghilang entah kemana. Tubuhku rasanya sangat lemas dan nyaris tak bisa digerakkan.
“Pak belum ada rival lagi?” aku berusaha berjalan secepat jalan pak unyu.
Dia cuma menggeleng.
Dari jauh Mira sudah melambai-lambai dengan wajah sumringah. Sepertinya dia sudah mendapatkan rivalnya. Fee yang bersamanya juga tampak antusias.
“Lihat dia?” Mira menunjuk pada pria memakai kaos biru. Sekilas dia terlihat manis dengan bibir yang ranum. Aku yakin, tak hanya kaum hawa yamg menginginkan bibir merah seperti itu.
“Bagaimana kita mengambil nafasnya?” tanyaku langsung kepada Mira. Dia cuma meringis misterius. Sepertinya memang sudah memikirkan apa yang akan dilakukan.
“Tenang saja.”
Mira berjalan menuju pria itu. Terjadi percakapan cukup akrab. Aku tak menduga dia sangat lihai dalam menggaet pria. Padahal tak seorangpun di sekolah mau jadi pacarnya. Kali ini, hanya beberapa kecap saja ia bisa terlihat sangat akrab. Bahkan sudah nempel-nempel di lengan pria itu. Pak unyu yang melihat dari kejauhan cuma bisa geleng-geleng kepala. Dari jauh dia memberi kode oke dengan tangannya. Lalu ia berlalu menuju barisan fotobox.
Aku masih mengembuskan nafas dengan agak berat. Fee memegangi taganku agar bisa berjalan dengan sangat cepat. Kali ini aku dan rombongan bergerak menyisir bagian barat mall. Menuju dudukan pada foodcourt sembari menunggu Mira.
“Baiklah, berarti sudah dua manusia yang mencuri nafas. Tinggal bro Brian dan Deva. Semoga berjalan dengan lancar.” Fee terlihat risih dengan bajunya. Beberapa kali punggungnya mengembung. Aku yakin ia sudah ingin melayang-layang lagi.
“Deva, coba kamu cari ke lantai selanjutnya. Biar aku saja yang menemani semua orang sembari menunggu Mira.” Pak unyu meminta Deva segera mencari rivalnya.
“Aku ikut!” Fee selalu semangat jika harus mencari rival.
“Baiklah kalian pergi saja sana. Biar aku dan Yashin yang menunggu Mira.”
Deva dan Fee berlenggang menaiki eskalator. Sempat aku melihat Fee melambai ke arahku dengan ekspresi sangat senang. Pak unyu meninggalkanku. Ia membeli makan di deteran foodcourt. Mataku mendadak buram melihat kerumunan orang yang lalu lalang.
Dari jauh, aku melihat Fadil sedang bersama seorang cewek. Dia terlihat sedang tertawa dengan lebar. Cewek itu beberapa kali mencuri cium ke pipi Fadil. Aku masih mengamati mereka berdua dengan dada yang makin bergemuruh. Fadil menggosokkan benda seperti tisu ke mulutnya dengan agak keras. Lalu meremas dan membuang benda itu ke tong sampah.
Ada sedikit desiran aneh yang muncul. Rasanya sakit sekali melihat dia melakukan itu. Aku seperti tak dihargai sama sekali. Tapi, buat apa juga aku sakit. Toh yang bersalah juga aku. Yang mencium paksa dia juga aku. Agar aku bisa tetap hidup. Jika aku sudah jahat kepada dia, buat apa aku harus sakit.
“Shin, minum teh.” Pak unyu membuyarkan lamunanku. Segelas Es teh sudah dia letakkan di depannu. Dia sendiri sedang menyeruput jus berwarna merah. Mungkin stroberi.
“Terima kasih pak.”
“Mira belum kembali?” aku menggeleng. “Kamu tunggu disini ya, biar aku mencari Mira. Aku jadi khawatir jika dia nanti diapa-apakan sama cowok tadi.” Aku mengangguk. Rasanya aku malas sekali untuk bersuara.
Pak unyu menghilang. Sekarang aku benar-benar sendiri. Aku toleh lagi ke arah Fadil dan ceweknya. Namun, sudah tidak ada lagi mereka. Sepertinya sudah berganti tempat. Syukurlah kalau begitu. Setidaknya tidak akan ada lagi yang mengganggu pikiranku.
Aku sruput beberapa kali es teh yang dibelikan pak Unyu. Segar langsung menyebar ke seluruh mulut dan tenggorokanku. Untuk beberapa saat, aku bisa tenang akibat aroma teh yang terhirup.
“Yashin!!” ada suara wanita di depanku.
“Rima? Kamu?” aku kaget dan berusaha mengenali dia.
“Tentu saja, masa kalu sudah lupa. Sayang sini deh. Kenalkan ini temanku SMP.” Dia menarik seseorang yang sedang mengantri sesuatu di depanku.
“Mana?”
“Itu dia, namanya Yashin.”
Aku beku. Nafasku putus-putus.
“Yashin dia namanya Fadil”
Aku kian beku, rasanya susah untuk membuka mulut. Atau berlari dari hadapan mereka. Aku tak ingin berada di situasi ini. sama sekali tak ingin melihat dia.
“Halo, aku Fadil,” tangannya mengulur. Aku makin tercekat.
“Aku Yashin, sa....salam kenal ya!” aku langsung membuang muka untuk mengambil nafas.
“Yashin, bagaimana pacarku yang ini? Dia cakep tidak?” Aku cuma tersenyum dan mengangguk. Fadil terlihat biasa di depanku. Seperti tidak terjadi apa-apa diantara aku dan dia.
“Kau bagaimana kabarnya?” aku mencoba berbasa-basi agar tak terus memandangi Fadil.
“Tentu saja baik. Oh, aku minta nomor ponselmu. Yang lama terhapus. Aku masih ingin bercerita banyak tentangmu, tapi nanti.
“Beb aku pinjam ponselmu ya buat masukin nomor ponsel Yashin.” Mira merogoh ponsel di saku celana Fadil. Lalu menyerahkannya kepadaku.
Aku ketikkan dengan cepat dan mengembalikan lagi ponselnya.
“Dinamai apa ini?” Fadil membuka mulutnya. Dia memandangku lekat.
“Yashin lah beb. Memangnya mau kita beri nama apa?” aku tersenyum separuh.
“Yasudah ayo kita pergi beb, katanya mau ngajak aku ke rumahmu.” Fadil mengangguk dan tersenyum.
Singkat cerita, mereka berdua berpamitan. Aku sempat berjabat tangan lagi dengan Fadil. Tangannya sangat dingin ketika menyentuh tanganku. Aku seperti tersetrum. Aku melihat mereka berdua berjalan hingga hilang masuk ke dalam lift.
Setelah beberapa saat, aku melihat Fee sudah melambai dari kejauhan. Dia menarik Yashin yang bermuka masam. Sementara itu pak unyu dan Mira juga berjalan ke arahku. Mira terlihat lebih bercahaya.
“Sukses ya?” Mira tersenyum dan terus memegangi bibirnya.
“Fee apaan sih, aku belum selesai dengan dia. Dia masih ingin terus menciumku tadi.” Deva mendengus kesal. Sepertinya ia dipaksa Fee selesai padahal sedang asik mengambil nafas.
“Memangnya siapa yang dia ambil nafasnya?”
“Tadi ada wanita cantik dengan wajah agak sedikit tua.” Oh ternyata Deva sangat suka dengan bangsa tante girang. Pantesan wajahnya sangat masam ketika dipaksa Fee agar segera kembali.
“Kalau kau Mir?”
Wajahnya bersemu merah. “Ciuman pertamaku sangat hebat. Dia tadi membuatku melayang-layang. Dia sempat memberiku nomor ponselnya agar bisa dihubungi.” Ternyata gigolo yang menjadi rival Mira tadi. Sudah jelas dia lihai dalam melumpuhkan sasaran.
Semua murid sudah. Tinggal Pak unyu saja yang belum menyelesaikan misinya.
“Kita makan siang saja dahulu. Pasti kalian sangat capek hari ini. Pesan saja biar aku yang bayar.” Pak unyu berseru dengan sangat semangat. Deva dan Mira langsung saja berlalu menuju deretan makanan. Mereka seperti orang kesetanan.
Fee duduk di sampingku. Tangannya langsung menyahut es teh dan menyeruputnya. “Ini minuman apa Yashin? Rasanya kok aneh sekali. Beda dengan kopi yang kemarin aku minum.” Dia terus menghabiskan minumanku.
“Tentu saja, minuman itu teh lemon, yang kemarin kopi susu. Lagian yang ini dingin dan yang kemarin panas, makanya beda.” Fee manggut-manggut.
Makhluk ini semakin memanusia saja.
“I love you, baby i’m not a monster...” Ponselku mendadak berbunyi. “Maaf aku ada telfon, sebentar ya.” Aku beranjak dan menuju pojok yang lebih sepi.
“Ya hati-hati, cepat kembali.” Seru pak unyu yang asik menghabiskan jus stroberinya.
----
“Halo, ini siapa ya? Nomor kamu belum tersimpan.”
“Ini aku, Fadil.” Nafasku mendadak sesak.
“Iya. Ada apa Fadil, ad...ada yang bisa aku bantu.” Aku berusaha menjaga diri agar suaraku tak bergetar. Tapi masih saja terbata-bata.
“Hanya mencoba nomor saja. pacarku yang menyuruhnya.”
“Oh iya.”
Tidak ada suara dalam telepon nyaris lima menit.
“Besok pagi aku ingin kita berbicara masalah tadi.” Nada suaranya parau. Terdengar sangat dingin di telingaku.
“Maaf.” Entah kenapa cuma kata itu yang bisa aku ucap.
“Baiklah sampai ketemu besok.”
Sambungan terputus.
----
Keringat dingin langsung mengalir disekujur tubuhku. Tanganku sedikit bergetar. Aku terduduk sebentar mencoba menahan emosi. Jujur. Aku sekarang sangat ketakutan. Takut jika orang yang sudah lama aku suka mendadak membenciku karena tindakan bodohku tadi. Bukan, lebih tepatnya tindakan penyelelamatan diri. Harusnya aku tidak memilih dia sebagai rivalku. Aku rasa masih banyak sekali manusia dengan aura serupa Fadil yang bisa aku ambil nafasnya.
Aku berpegangan pada pagar yang sedang aku sandari untuk berdiri. Aku pandang dari kejauhan. Semua orang sedang bersuka cita telah menemukan rivalnya. Mungkin hanya aku yang menyisakan beban mental. Rasanya aku ingin meloncat keluar pagar pembatas ini.
“Yashin cepat kemari!” Pak unyu melambai. Terpaksa aku segera beranjak. Padahal aku sudah merasa nyaman bersantar sendiri disini.
“Iya pak!”
Aku bergerak dan kembali ke posisi dudukku tadi.
“Jadi yang belum adalah bro Brian. Langsung kita cari sekarang atau bagaimana? Aku ikut saja sama pak guru.” Fee menjajal semua minuman yang tersedia di meja satu persatu.
“Besok saja bagaimana? Aku sudah capek sekali Fee. Lagian masih ada tanggungan mengoreksi nilai anak-anak.”
“Baiklah kalau begitu.” Fee menghabiskan minumanku hingga bersendawa.
Deva terus memegangi bibirnya sambil tersenyum. Mira lebih ekstrim. Dia memasukkan jarinya kemulut lalu mengulumnya. Apa anak ini tadi cuma ciuman saja, batinku jijik. Kenapa harus berlagak seperti cewek nakal. Dua orang ini melewati fase kedua dengan sangat brilian dan tentunya gembira.
Pak unyu sebenarnya tidak jenak dari tadi. Meski tak terlihat dengan jelas, tapi aku bisa mengartikan apa yang ia khawatirkan. Dia ingin pulang secepatnya. Entah apa yang terjadi. Sedikit aneh melihat pancaran kekhawatiran dari wajah pak unyu. Tapi apapun wajahnya, dia tetap saja tampan.
“Selesai makan kita langsung pulang ya Pak?” Mira masih menghabiskan makanannya separuh jalan.
“Iya kita langsung pulang saja. Fee, kamu nanti ke rumah Deva saja ya.”
“Oke deh!”
“Cepat dihabiskan dan kita akan pulang.”
“Siap pak!”
***
Hujan turun deras lagi malam ini. Sepulang dari Mall aku putuskan untuk mengurung diri di kamar. Beberapa teman sejak sore sudah menghubungiku untuk bermain game di warnet. Tapi semuanya aku tolak karena alasan ‘malas’. Memang benar, aku malas melakukan apa saja jika suasana hatiku menjadi sangat kacau. Bawaannya selalu ingin tidur, karena tubuh menjadi sangat lemas.
Aku semakin kepikiran dengan kejadian tadi pagi, apalagi sejak Fadli menelponku dan meminta bertemu. Apa yang harus aku katakan kepadanya. Bagaimana jika dia mendadak murka dan mengataiku yang aneh-aneh. Bagaimana jika dia membenciku selamanya. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana rasanya dibenci oleh orang yang kita sukai. Bayangan buruk yang akan terjadi, semakin membuat kepalaku menjadi berat dan serasa mau meledak. Aku terus berhalusinasi akan hal-hal yang buruk.
“Aku bisa gila!” teriakku sembil membenamkan bantal ke wajahku, semoga tidak bisa nafas dan segera terlelap.
---
Mataku menyipit melihat jam digital pada layar ponsel. 05.08, aku langsung melonjak dari tempat tidur dan segera menuju kamar mandi. Senin adalah hari dimana akan terjadi perebutan kamar mandi. Aku harus segera mandi sepagi mungkin.
Melewati kamar pak unyu aku terhenti sebentar. Lampu yang ada di kamarnya sudah mati. padahal biasanya dia tak pernah mematikan sepagi ini. aku tak perduli dan langsung berlanjut ke kamar mandi yang masih belum terlihat antrian.
Segera aku mandi sekilat-kilatnya agar dingin enggan menempel. Kuguyur badanku hingga basah kuyup. Bersabun lalu berbilas lagi. Segera aku lingkarkan handuk dan beranjak menuju kamarku lagi.
“Yashin!” Fee langsung menubrukku begitu masuk ke dalam kamar yang sengaja tak aku kunci. Aku nyaris jatuh jatuh dan abruk ke kasur karena oleng.
“Fee apaan sih, lepasin tidak?” Aku berusa melepaskan pelukan Fee yang erat.
Fee langsung terbang di ruangan dan berputar-putar. Kebiasaan yang aneh.
“Bro Brian tidak ada di kamarnya ya? Aku tak mengintip kok tidak ada orangnya?” Fee duduk di atas almari sambil terus memandangku.
Aku segera berbalik dan memakai pakaian sekolahku. Gawat kalau Fee macam-macam. Dia itu semakin penasaran dengan hal-hal berbau manusia. Pasti dia akan penasaran dengan apa yang ada di balik bajuku. Dasar hantu mesum.
“Memang Pak Brian kemana?” Fee cuma menggeleng.
Sejak pulang dari acara konyol di mall kemarin memang aku tak sempat melihat pak unyu lagi. Mungkin kamarnya juga tak ia tempati semalam. Apa dia pulang ke rumah orang tuanya di desa. Tapi biasanya selalu pamit sama ank kos lain jika pulang, termasuk aku.
Aku memakai sepatu sekolahku sambil terus berpikir. Fee masih berputar kian tak jelas di ruang kamarku. Ponselku juga tak ada pesan darinya. Lalu pak unyu kemana? Apa dia mencari rivalnya sendiri semalaman. Tapi rasanya tak mungkin, kita sudah berjanji mencari rival secara bersama-sama agar lebih mudah.
“Aku berangkat ke sekolah dulu ya Fee. Kau di kamarku saja atau ke kamar Pak Brian kalau mau. Kalau kau ingin jalan-jalan jangan lupa plester dulu sayapmu agar semua orang tidak heboh.” Fee cuma mengangguk. Aku segera menyamber tas dan pergi meninggalkan kos.
Sepanjang jalan jatungku kian cepat berdetak. Jika aku punya penyakit jantung mungkin sekarang sudah jaruh karena kumat. Tapi sungguh, rasanya ada energi yang memompanya hingga saat aku raba terasa getarannya.
Semalaman aku sudah berpikir keras hingga ketiduran. Aku akan biarkan Fadil melakukan apa saja kepadaku jika memang dia senang. Paling tidak bisa menghapuskan rasa bersalahku kepada dia. Aku tak akan memikirkan diriku lagi sekarang. Sudahlah, biar apa kata dia saja. Aku sudah terlampau pusing jika harus memikirkan kematian dan apa yang akan dilakukan Fadil kepadaku.
Setelah telepon kemarin, Fadil mengirimiku satu pesan singkat. Isinya tentang jam kita bertemu. Dia ingin aku datang ke sekolah pukul enam pagi. Tempatnya di dekat aula. Aku mengiyakan apa yang ia inginkan. Agar semua selesai. Jika akan berakhir dia membenciku, tak masalah. Kali ini aku memang harus egois dengan memikirkan keselamatanku. Jika ia tak marah, maka aku janji tidak akan pernah menganggu, atau bahkan menampakkan diri di depannya lagi. Selamanya.
Berjalan lima belas menit akhirnya aku sampai pada halaman sekolah. Jam enam kurang lima menit. Sekolah masih terlihat sepi. Hanya ada pak kebon yang menyapu area Texas yang banyak pohon beringinnya. Aku melangkah memotong jalan ke arah lapangan agar bisa cepat sampai ke aula.
Dari kejauhan sudah tampak Fadil duduk di pelataran aula.
Aku terhenti sejenak. Rasanya kakiku enggan untuk digerakkan lagi.
“Yashin!” Fadil melambai ke arahku. Aku cuma tersenyum dan melanjutkan lagi berjalan ke arahnya.
“Pagi, sudah lama ya!” sahutku basa-basi. Asli. Aku sekarang ingin ambruk saja.
Fadil mendekat menuju arahku. “Tidak, baru saja datang. Aku kira kau tidak akan datang hari ini.” aku menunduk saat ia memandang wajahku.
“Maaf!” aku cuma bisa mengatakan itu.
Aku langsung ditariknya ke arah belakang mushola. Kasar sekali. Tanganku terasa sangat panas sekali. Aku sempat melihat sorot matanya yang menyeramkan. Seketika tubuhku langsung mendingin.
“Kita selesaikan saja sekarang!” ia menghempaskanku hingga nyaris jatuh ke tanah.
“Maaf, aku cuma bisa bilang ini kepadamu.”
“Kau kira dengan minta maaf maka semuanya akan selesai dengan mudah? Tidak! Kau sudah melakukan hal menjijikkan kepadaku. Sadar tidak sih?” nada suaranya semakin kasar. Aku tak pernah mengira, dia menjadi sekasar ini.
Tubuhku makin bergetar. Dia semakin jijik melihatku.
“Mau kamu apa Fadil?” aku berusaha memandang wajahnya.
“Yang kau inginkan bukannya ini homo!”
Dia mendorongku hingga jatuh pada semak. Setelah itu dia melepas bajunya perlahan. Mendekat ke arahku dengan beringas.
“Bukankah kau suka dengan ini?”
Dia mendekatiku terus. Aku memundurkan badan dan berusaha untuk berdiri. Tapi dia selalu menarik tanganku agar jatuh lagi. sesaat kemudia ia melepas celananya hingga benar-benar telanjang dia berjalan ke arahku semabil menangis.
“Bukankah ini yang kau inginkan sejak dulu. Aku sudah telanjang di depanmu. Puaskan saja sekarang. Cepat!” dia semakin sesegukan. Aku menutup mataku dan meringkuk tak berani memandangnya. Aku sungguh takut dengan apa yang Fadil lakukan.
“Cepar perkosa aku dan semuanya akan selesai. Aku akan menganggap tidak terjadi apa-apa. Aku juga tidak akan membencimu.” Fadil meringkuk telanjang di sampingku.
“Aku tidak mau. Maaf sudah menciummu kemarin.”
“Apa kau sadar akan apa yang sudah kau lakukan? Kau sudah membangkitkan lagi traumaku yang sudah aku kubur dalam-dalam. Kau membuatku mengingat kejadian masa lalu yang nyaris membuatku gila. Aku selalu ingat itu jika dicium oleh seorang pria. Jadi, lebih baik aku jadi gila daripada terus-menerus mengingat sakit.”
“Fadil maaf!”
“Cepat lalukan yang kau mau kepadaku. Biar aku merasakan sakit yang nyata.” Dia berusaha merebahakan tubuhnya ke atasku. Aku dorong hingga aku mampu berdiri.
Dia terus mendekat.
“Jangan lakukan ini!” Spontan tanganku memukul perutnya dengan sangat keras. Dia merintih lalu roboh.
Aku panik dan langsung meraihnya ke dalam pelukanku.
***
Udah noh, maap modem gada isinya ahaha @chi_lung @xchoco_monsterx
@xchoco_monsterx @bi_ngung @adacerita
@touch @FendyAdjie_ @awansiwon @arieat
@rizal_M2 @kiki_h_n @kyu_kyuw @Elninos
@yuzz @rafevn @ularuskasurius
@andreaboyz @Delirnzyr @revian97
@nip_eel @lembuswana @arcclay @lockerA @pokemon @chi_lung @uditaboti
@Liliant_Jess @Just_PJ @rarasipau
@dhika_smg @metropolichz
hahaha.....
banyak kata yg salah ketik, n sepertinya ada kalimat yg belum tuntas. Coba dicheck ulang ya @gr3yboy !!!
@arieat coba tanya ama fadil deh bro ahahahah
Makasih @chi_lung oke aku buat pengakuan. Cerita di atas belum aku sunting sama sekali. Ini mumpung leptop adik nganggur aku posting deh -,-a semingguan nggak bisa ol leptopku soalnya huaaaaaa