It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Chapter 3-1 : Rival Hunter!
Tak pernah terlintas sebelumnya. Hidupku terancam. Tak tahu siapa yang harus ku salahkan. Semua berjalan begitu cepat. Nyaris seperti terlempar ke dasar jurang. Aku sudah malas hidup jika seminggu kemudian mati juga, dan aku tahu.
Dua minggu yang lalu, aku sangat girang. Ternyata sekolah tak melupakan nasibku. Memang, sebenarnya aku cuma dianggap pengganjal. Tapi aku tetap menghargai, mungkin sudah saatnya belajar dengan baik. Kasihan emak di kampung jika sampai aku tak lulus juga.
Namun, semuanya jadi terbalik sekarang. Mau aku semangat ataupun tidak juga percuma. Aku benci dengan ini semua. Mungkin jika aku bunuh diri semua akan selesai.
"Woy, ngelamun saja dari tadi. Cepat kerjakan. Nanti kelompok kita tidak kelar tugasnya!" Fatimah memukul kepalaku pakai buku. Aku masih diam dan sedikit mendengus.
"Malas aku Mah, kerjakan saja semuanya. Aku titip nama saja." tubuhku semakin aus. Tak ada daya sama sekali. Aku ingin pingsan saja. Atau mati, setidaknya bukan mati karena kutukan sialan itu.
"Enak saja kamu. Ayo kerjakan satu nomor saja." Fatimah masih saja memaksa. Aku menjadi sedikit geram. Ingin berteriak di kelas.
"Ayolah Mah, nanti aku belikan lolipop deh. Oke?" kukedipkan mataku. Sepertinya dia terpikat. Kepalanya mengangguk.
"Tapi empat ya! Kalau cuma satu, nanti aku bilang ke si F anak kelas sebelah kalau kamu naksir sama dia." aku tersedak dengan ludahku sendiri. Melirik Fatimah sinis.
Kulempar bukuku ke arah muka Fatimah, "Oke deal. Awas kalau bilang yang aneh-aneh. Aku cincang kau!" Fatimah cuma nyengir.
Sepanjang sejam lebih aku cuma diam di dekat temanku ter-rese sekeles. Dia rajin sekali mengerjakan tugas sebegitu banyak hanya dengan iming permen. Dua ribu saja. Sebenarnya bodohan mana aku dengan Fatimah?
Di sudut kiri dari tempatku duduk, ada Mira. Mukanya masam tertekuk. Sama sepertiku mungkin. Tapi dia masih bersemangat dan mau mengerjakan tugas. Beberapa kali aku menangkap ketakutan di matanya.
Sejak terungkapnya kutukan pada tubuhku, semua kebiasaanku berubah. Aku tak nafsu lagi melihat anak-anak bermain game. Meski sedikit bermain PS dengan Fee di kamarku. Yang jelas, aku sudah kehilangan setengah nyawa. Tubuhku kopong tak berisi.
Gairahku akan keindahan lamat-lamat pudar. Tak sebegitu ludahku mengalir lagi melihat si mancung berkeliaran di depanku. Semua gara-gara kutukan ini. Rasanya aku ingin membakar buku yang dibawa oleh Fee itu. Lalu abunya aku minum. Kelakuan konyol dan aneh semakin membuatku gila. Efek tekanan kutukan ini memang dasyat.
Bahkan sering disuatu malam aku mendengar seseorang memanggilku. Itu bukan suara Fee yang kadang minta diantar ke toilet. Meski aku tak tahu apa yang dilakukannya di sana. Suara itu seperti mengajakku berkomunikasi. Tanpa harus berucap.
Memakai telepati.
Seseorang yang tak aku tahu wujudnya seperti memberitahu suatu hal. Tapi suaranya terlalu lemah. Juga aku lebih sering menolak suara itu masuk ke pikiranku. Hingga begitu saja padam dan suasana jadi hening kembali.
Biasanya setelah mengalami kejadian ini aku jadi lemas. Kerap dulu waktu masih kecil aku mendadak pingsan. Sampai-sampai aku dikira kena epilepsi atau penyakit jantungan. Seminggu bisa dua kali pingsan. Guru masa SD ku selalu parno jika aku sudah merintih. Pasti ujung-ujungnya tepar.
Simbah malah lima kali membawaku ke dukun. Yang paling aku ingat ketika dukun itu menyemburku pakai air kencingnya. Katanya biar setan di tubuhku ilang. Tapi tetap saja, seminggu kemudian penyakin pingsanku kambuh. Karena inginnya agar aku cepat sembuh, simbah membawa ke dukun lagi. Kali ini lebih parah. Aku nyaris diperkosa dukun janda itu. Gila, pedofilia yang menyamar dukun.
Namun sejak SMP perlahan aku bisa mengendalikan diri. Sudah bisa menolak apa saja yang akan masuk ke kepalaku. Aku bisa merasakan aura yang masuk, hangat atau dingin. Hangat berarti aku terima, biasanya ada suara-suara wejangan. Jika dingin aku tolak. Biasanya ancaman. Dan sampai sekarang aku tak tahu itu dari siapa.
Untuk pertama kalinya dua tahun lalu. Aku bercerita kepada simbah akan yang terjadi kepadaku. Sempat dia memarahiku karena kenapa sejak awal tak bilang jika aku bisa melakukan komunikasi dengan telepati. Walau untuk sekarang masih searah saja. Aku bisa menerima tapi tak mampu untuk mengirimkan jawabanku.
Sejak itu, simbah semakin ketat denganku. Dia membaeriku jimat, rajah dan sejenisnya ke dalam bajuku. Aku sering membuangnya. Katanya aku akan dikuasai setan jika tak pakai jimat.
"Hey onyet, ayo ke kantin. Belikan aku lolipop. Ingat ya, empat! Tidak kurang tapi boleh lebih." Fatimah membuayarkan lamunanku. Dia sudah menarik celanaku agar mau mengikutinya.
"Pelan kenapa ah, itu tangan lepas. Sengaja ya pegang-pegang? Nyari kesempatan?" aku mendengus tetap ogah-ogahan.
"Enak saja! Aku rugi, tanganku ternoda kamu yang enak!" wajahnya memerah dan langsung ngacir keluar kelas.
Aku cekikikan sendiri lalu mengikuti di belakang.
Di kantin, Fatimah sudah melambai-lambai. Tangannya sudah memegang 4 lolipop. Wajahnya bersinar. Perlu diinformasikan, Fatimah bisa hidup dengan satu lolipop sehari. Jadi jika aku membelikan 4, hemat uang makan 4hari. Hemat beb?
Aku celingukan mencari Pak Brian. Katanya saat jam istirahat mau mengumpulkan kita semua. Rapat penting. Sekilas hanya ada Deva yang sudah mojok dengan wajah buram. Seperti biasanya.
"Shin, kita kumpulnya di depan ruang osis. Pak Brian sudah ada di sana." Mira muncul di depanku. Dia melambaikan tangannya ke arah Deva.
Pemuda itu mendekat.
"Ayo kita ke depan ruangan OSIS, kasihan pak Brian sudah nunggu lama." Mira menggandeng kami berdua.
Dari kejauhan pak Brian sudah melambai-lambai. Wajahnya sedikit lebih pucat. Untung hidungnya masih mancung seperti biasanYa.
"Nanti sore kalian kumpul di Kos ya. Kita akan diskusikan semuanya. Fee juga sudah aku paksa buat bercerita." Pak Brian bangkit dan berjalan ke depanku.
"Kok dia mau cerita pak? Bapak apain?" aku penasaran sekali. Fee itu bedebah bisu.
"Mau aku usir. Aku bentak dia juga sampai kemarin menangis."
Aku tertegun. Tersenyum kecut. Seseram apa memang Pak Brian jika mengamuk. FYI lagi, pak Brian itu the cutest teacher di SMA ini. Semua guru di SMA ini kebanyakan lanjut usia. Ibarat padang pasir, Pak Brian ini oasenya. Menyegarkan.
"Baiklah kalau begitu! Saya beli soto dulu pak, lapar!" Mira langsung kabur ke warung pinggir. Makan soto terenak sesekolah.
"Saya pamit juga pak, mau bayar permennya si Fatimah." pak Brian menangguk dan beliau juga berjalan kembali ke kantor.
Deva berjalan ke arah perpustakaan.
"Ciye, geng matika ngumpul. Eh Shin, nitip salam napa ke Pak Unyu itu. Jangan diembat sendiri. Bagi dikit." sejak ada berita aku akan mendapat bimbingan bersama dua manusia terkutuk. Fatimah heboh. Apalagi ada si pak Unyu, sebutan dia buat Pak Brian.
"Berisik ah, ayo ke kantin Buk Yan. Aku lapar sekali. Mau makan pecel dua piring!" Fatimah masih ngemut lolinya dengan sangat... mesra.
Rencananya nanti sore aku akan pulang ke kampung. Emak sudah beberapa kali telpon. Katanya simbah kangen banget denganku. Sempat mogok makan juga karena teleponnya keburu ditutup padahal simbah ngebet ngobrol denganku. Gosipnya simbah naksir janda kampung sebelah. Temannya ke Kantor Pos saat ambil pensiunan.
Tapi karena ada masalah ini, jadwal bubar. Emak padahal sudah janji mau masak opor ayam dengan mengurangi ayam di kandang. Simbah sudah sumringah, mau curhat. Tapi terpaksa aku batalkan. Bukankah aku sangat berdosa kepada mereka?
"Nih pecelnya nyet, cepat dihabiskan. Habis bel katanya pulang. Karena ada guru yang syukuran." Fatimah mengambilkanku sepiring pecel. Minumnya teh anget.
"Masa sih Mah? Kamu nggak makan juga?" aku mencoba memberinya suapan pertama di piringku.
"Diet nyet. Kamu makan saja sampai habis."
Jadi dietnya si Fatimah adalah dengan makan permen saja. Mungkin jenis diet baru selain diet golongan darah dan diet karbo. Dia asik berkeliling sembari menunggu aku selesai makan.
Cewek sarap bin tidak jelas ini sudah tahu aku luar dalam. Istilahnya jika dia mendadak jadi musuh maka aku tamat. Biasanya sih sehabis ngegame di warnet kita nongkrong di dekat SMK. Cuci mata sekalian ngecengi junior-junior yang masih unyu. Kalau kata si Fatimah sih Unyu Dew, sebutan buat brondong.
Memang sih seger, kayak embun. Apalagi yang Man-cung.
Ternyata nafsu makanku hanya sepiring. Mengalami penurunan yang sangat tajam. Sehabis membayar dan ngutang seribu di Buk Yan aku putuskan untuk segera kembali ke kelas. As Always, Fatimah selalu seperti ibu peri. Kemana saja sambil menari di depanku. Aku curiga saat kecil dia sering jatuh dari gendongan ibunya.
Beberapa anak sudah duduk di depan dengan membawa tas. Oh, ternyata bukan goisp kalau hari ini akan ada syukuran dan pulang cepat.
"Onyet cepat! Kita harus segera beres-beres. Oh iya, makasih lolinya. Besok belikan lagi ya!" Aku ingin menggantung cewek ini di atas tembok. Lalu aku masak dan kuberikan pada Fee.
"Iye..."
Aku masukkan beberapa buku ke tas. Buku paket aku taruh di bawah meja. Agar tak berat dengan buku setebal itu. Tas aku sampirkan ke lengan dan ikut nongkrong di depan kelas.
Tettt.. Tettt...
Semua murid hambur. Fatimah sudah raib duluan. Aku masih duduk di bangku depan kelas. Mengamati satu persatu manusia sekolahan. Bukan sih, lebih tepatnya nunggu si F lewat.
"Woy Shin! Nanti ke kos kalian jam berapa?"
"Lho? Tahu kalau aku satu kos sama pak Brian?" padahal ini rahasia lo. Aku tidak mau ada yang tahu satupun jika sekos dengan pak Unyu.
"Taulah, udah santai." dia memukul pundakku pelan.
"Nanti jam 3. Yaudah aku cabut dulu. Si F nggak lewat."
"Siapa itu?"
"Adadeh..."
***
Minggu pagi. Rasanya tubuhku berat sekali. Semalaman suara itu menggangguku lagi. Mungkin efek dari terbukanya batiniahku oleh Fee kemarin sore.
Aku berguling-guling.
"Yashin! Cepat mandi. Nanti kita akan berburu rival jam 8." Fee menggedor pintu kamarku. Ia langsung masuk begitu saja ketika aku lunglai membuka pintunya.
"Masuk Fee, Pak Brian memangnya sudah mandi kah?" Aku merebah lagi. Rasanya malas sekali akan melalui hari ini.
"Bro Brian sudah mandi. Aku intip tadi. Tapi dia memukulku pakai gayung. Lihat ini agak benjol." ternyata Fee kesini karena ingin lapor sudah dianiaya pak unyu.
"Kasihan banget Fee." aku tersenyum licik.
Fee terbang berputar di kamarku. Lalu duduk di atas meja.
"Nanti aku ikut mandi ya sama Yashin!"
"Nggak! Enak saja kau. Mandi sendiri."
"Takut ah kalau sendiri."
Aku lempar bantal ke arah wajahnya. Sejak kapan ada setan mesum. Bukankah biasanya cuma di film horor esek esek.
"Yaudah deh." dia berjalan lunglai keluar kamarku.
Segera aku ambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Mumpung Fee lagi ngambek. Jadi mandiku bisa aman kali ini.
***
Jam 9 lewat sepuluh menit. Aku tak pernah takjub jika telat sejam lebih. Hal biasa. Lagian mall tempat hunting juga baru buka. Aku dan pak unyu serta Fee datang duluan. Kali ini Fee pakai bajunya pak unyu. Sayapnya bisa disembunyikan. Sebelumnya pakai korset. Lalu Deva jam setengah 9. Mira paling telat, kilahnya sih belajar masak dulu di rumah.
Kita berkumpul di dudukan depan Mall besar itu. Pak unyu ternyata sudah membuat rencana yang keren. Jadi kita tidak bingung dengan apa yang akan dilakukan.
"Kita nanti bekerjanya berkelompok. Cari target pertama dahulu. Karena yang agak sulit tipe Yashin. Jadi kita barengan saja. Jika melihat yang aura ungu. Segera bertindak." pak unyu memberi briefing terlebih dahulu.
"Jadi aku dulu ya pak?"
"Nanti kita bantu kamu agar bisa mencium target. Mungkin akan memegangi target agar tidak lepas." aku manggut saja.
Busyet, tindakan yang sangat ekstrem. Sudah seperti adekan penculikan lalu dicabuli. Mengertikan! Bagaimana jika ketangkap polisi, kalau sampai kacau. Tamat sudah riwayatku.
"Seru sekali!" Mira melonjak girang. Aku yakin pasti yang ada dipikirannya sangat jorok. Sudah membayangkan pria cakep bibir seksi yang akan diciuminya. What the hell!
"Anu pak, apa nggak ada cara yang lebih kalem. Kesannya kriminal banget." jelas aku gugup juga takut juga sih. Bagaimana mungkin aku melakukan tindakan tak senonoh. Guru juga membantu. Jika tidaj tahu akan adanya kutukan pasti dikira bobrok guru dan muridnya.
Aku jadi bahan uji coba.
"Tenang saja. Aman kok."
Aman dari hongkong!
"Oke Yashin, sekarang kita mencari saja. Karena kamu seorang plinplan. Demen cewek dan cowok. Maka kita akan cari sedapatnya. Mau cowok yes, mau cewek juga ok." Fee benar-benar memalukanku. Tidak perlu dijelaskan semedetail itu.
Mira cekikikan saja mendengar Fee mengocek. Deva sok-sokan tak dengar. Pak unyu juga sok cool. Aku gigitin satu-satu baru tahu rasa.
Fee pakai baju pak unyu jadi lebih rapi. Matanya yang dua warna dengan wajah oriental membuatku gemas. Untung hidungnya nggak begitu mancung. Aman kau Fee. Tak akan aku mangsa.
"Onyet, itu ada yang warna ungu!" Mira menunjuk cewek yang sedang berjalan di tangga naik mall.
"Heh mak ijah, nggak usah ikut si dongdong Fatimah panggil aku onyet deh." Mira malah ngakak semakin keras. Kurang ajar.
Oke target pertama. Kesimpulanku. Ogah! Masa aku disuruh cium orang tua kayak gitu. Masih cakepan mpok Nori. Sumpah deh. Mending ciuman sama pohon. Atau aspal saja deh!
"Pasti nggak mau!" celetuk pak unyu singkat.
"Yaeyalah pak!" aku melengos dan langsung berjalan masuk ke dalam mall.
Aku langsung meluncur menuju toko buku. Biasanya jika hari minggu, toko buku pasti banyak orangnya. Paling tidak ada dua atau tiga target.
Empat orang di belakangku masih sibuk mencari targetku di luar sana. Fee berlari kecil ke arahku. Sepertinya dia ingin terbang biar cepat ke arahku. Sayang sayapnya ada dalam balutan korset. Aku berjalan di deretan buku best seller. Ada buku bagus. Antologi Boyzforum (hehe).
Fee menggeret tanganku. Dia menunjuk ke arah tumpukan komik. "Yashin, ada yang ungu tuh." Fee berbisik pelan. Kontan aku langsung melongok. Sesaat aku langsung lemas.
"Yang lain saja Fee, jangan dia."
"Mumpung dia nggak manula kayak tadi lo Shin, itu masih muda. Seumuran sama kamu. Ayo kita jerat target." justru Fee yang heboh. Siapa yang mau nyuri nafas. Kok dia yang senewen bin genit.
"Ayo keluar saja Fee!"
"Bro Brian! Kesini!"
Sial! Kalau ada pak unyu bisa berabe. Pasti dia minta agar cepat-cepat selesai. Masa aku harus cium dia? Ciuman pertamaku. Dunia bakalan runtuh.
"Bro Brian itu ada ungu. Yashin tapi tidak mau cium. Padahal kalau mau nanti aku bantu." Fee sok-sok bijak. Masa aku harus nyium Si F. Setidaknya kalau mau ciuman pas dinner atau yang romatis lah. Masa cium si F dalam rangka kutukan.
Ini menyalahi kaidah permoralan!
"Ehem. Yashin! Waktu adalah hidup. Jangan menyia-nyiakan. Oke?" aku cuma mengangguk saja kalau pak unyu sudah ceramah.
"Iye baiklah!"
Mira berbinar. Dia demen banget aku harus nyium si F. Kenapa dia harus ada di sini!!
"Teknisnya, nanti aku akan menyuruh dia mendekat. Dia sudah beberapa kali aku suruh membantu di kelas. Jadi aku sudah mengenalnya dengan sangat baik.
"Kalian tunggu di parkiran saja!"
Aku mengangguk. Makin lemas, grogi dan sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Tapi sungguh, itu bukan nafsu.
Selang lima belas menit. Pak unyu datang dengan si F. Mereka terlihat seperti bercakap sangat akrab. Aku makin lemas. Aku ingin pingsan saja. Dari jauh pak unyu sudah memberi tanda. Fee sudah siap-siap di balik mobil. Deva juga siap membunuh. Matanya itu lo serem.
Deva sudah berlari menuju pak unyu. Dia berada di sisi kiri dan pak unyu sisi kanan. Mereka berdua langsung memegang kuat tangannya.
"Woy Yashin cepat!" pak unyu dan Deva meneriakikiu.
"Cepat curi nafasnya! Cepat cium!"
Si F berontak. Tapi Fee langsung menekan bagian lehernya hingga tak bisa bersuara. Aku mendekat pelan.
"Maaf Fadil." aku dekatkan bibirku ke bibirnya. Aku serap udaranya.
Aku ambruk.
Sekilas aku lihat mata Fadil. Ada kebencian di sana. Seakan mengumpat ke arahku walau ia tak bersuara. Akhirnya setelah nyaris empat tahun aku membuntutinya. Bahkan berusaha jadi temannya. Pupus. Aku yakin sekarang dia membenciku.
Secara logika. Mana ada cowok mau dicium cowok tanpa sebab.
"Fadil, maaf sebelumnya. Bukan bermaksud melecehkan. Tapi ini masalah hidup mati. Aku tak bisa memberi tahu kamu. Tapi setelah sebulan. Terserah kamu mau apa. Mau lapor terserah. Aku tak melarang. Aku dikeluarkan dari sekolah tak mengapa juga." pak unyu pintar juga bikin orang trenyuh.
Fadil masih diam. Tapi raut mukanya lebih hangat.
"Bapak jelaskan semuanya jika masalah kami selesai. Maaf sebelumnya."
Dia mengangguk.
Hebat pak unyu. Apa dia punya ilmu gendam dan sejenisnya. Masa iya cuma digitukan saja nurut. Aku saja jika mendadak dicium pasti marah. Kalaupun tidak harus ada kompensasinya.
"Ini ciuman pertamaku pak."
Aku makin lemas. Atas nama bumi dan langit. Aku ingin menangis dan minta maaf. Mencuri ciuman pertama orang yang aku suka!!
"Aku pergi dulu." dia berlalu.
"Oke satu orang sudah beres." Fee lonjak-lonjak. Aku serasa tak kuat berdiri.
"Kalau dia cerita gimana pak? Kita semua jadi kasus di sekolah." Aku pegangan pada tubuh Fee untuk berdiri.
Pak unyu seperti berpikir sebentar.
"Kita sihir saja satu sekolah kalau sampai ketahuan." sahut Fee.
"Sihir?"
Fee tersenyum. Sangat misterius.
@xchoco_monsterx @bi_ngung @adacerita @touch @FendyAdjie_ @awansiwon @arieat @rizal_M2 @kiki_h_n @kyu_kyuw @Elninos @yuzz @rafevn @ularuskasurius @andreaboyz @Delirnzyr @revian97 @nip_eel @lembuswana @arcclay @lockerA @pokemon @chi_lung @uditaboti @Liliant_Jess @Just_PJ @rarasipau @dhika_smg @metropolichz
Maaf om @gr3yboy.
Bacanya langsung ke ujung. Ntar aku baca dari awal lagi deh. Hehehe....
Bagus kok. Updatenya jangan ma-lama ya. hehe....
SEMANGAT...!!!
biar jadi doa antologi kita ntar best seller wkwwkwkkw @xchoco_monsterx
makasih ya @chi_lung hehehe, nanti dibaca dari awal ya :P
@xchoco_monsterx dah lama gak ngintip kebo, kabarnya gimana ye,
udahhh neng
keinget sapa? aahahahha
Love Signal
Aku melihatnya. Berjalan dengan seorang gadis. Terlihat sangat hangat, pancaran bahagianya terkembang sempurna di mataku. Aku terus diam, menikmati mereka berdua yang mesra. Sesekali aku tangkap, ia mencubit pipi gadis itu. Kadang juga secara diam-diam mencuri cium. Sungguh, melihatnya saja aku bahagia.
Kusunggingkan senyum kecil dan berlalu.
Jelang malam hujan turun cukup deras. Beberapa kali terlihat kilat yang berakhir dentuman besar di langit. “ Langit mengerti.” Gumamku kecil dibarengi air yang membasahi tubuh. Mungkin juga rembes ke dalam sana yang tandus. Di hatiku.
Disaat lampu jalanan menyala dan warna mulai memendar, justru aku merasa begitu gelap. Mataku terasa pekat dan hitam. Aku tersesat dalam ingar-bingar. Aku sendiri dalam ranah seramai ini. Bahkan, aku tak bisa mendengar suara rintik. Tak merasa dingin meski gigiku mematut gigil.
***
“Happy Anniversary sayang, semoga hubungan kita bertahan lebih lama lagi.” Dia mengecup keningku. Membelai pelan rambutku. Jemari kita bersatu, sangat erat. Lalu dia memberiku benda berkilau. Dipasang di jariku.
“Terima kasih.” Aku memeluknya erat.
Hari ini genap lima tahun hubunganku dengannya.
Aku masih asik memeluknya. Dia cuma tersenyum kecil, tapi sungguh, hanya melihatnya tersenyum saja hatiku bisa berdetak lebih cepat. Merasakan bibirnya dikeningku bisa membuatku tak sadarkan diri. Dan jika dia sudah manja, aku cuma bisa berkata iya sepanjang waktu.
“Sayang, mulai minggu depan aku sudah harus pindah ke luar kota. Orang tuaku dan pekerjaanku ada di sana semua.” Aku sedikit tercekat. Diam sesaat. Lalu aku umbar lagi senyum kecilku.
Malam ini terasa sangat beda. Percampuran antara senang dan sedih. Baru kali ini aku merasakan dua rasa bersilangan dalam sekali waktu. Sedikit membuatku mati rasa. Ada konslet di belahan-belahan otakku.
“Kamu janji akan mengunjungiku kan?” dia mengangguk. Aku menatap jauh di dalam matanya. Aku tahu yang kau rasa. Bahkan saat kau rapi menutupinya.
“Tentu.”
“Kapan?” aku terus menekan lewat pandangan mataku.
“Mungkin sebulan sekali. Akan selalu kuusahakan.” Sempat terdengar nada getir bercampur ucapannya yang mantap. Aku memeluknya lagi. Kali ini lebih erat dari biasanya. Aku genggam tangannya, lebih kuat dari biasanya.
Tiga bulan berlalu dan aku tak melihatnya.
Bahkan bau keringatnya saja.
Nyaris setiap minggu, disela aku bekerja aku edarkan mataku. Dimana saja tempat kita biasanya menghabiskan waktu. Aku kesana sendiri. Tapi tak pernah ada informasi akan keberadaannya. Tak ada jejak yang ia tinggalkan untukku. Benar-benar lenyap.
Ponselnya tak bisa kuhubungi. Semua jejaring sosialnya nonaktif. Satu hal aku sesali sekarang. Aku tak pernah dikenalkan ke temannya. Sekarang memang benar-benar tak ada jalan mencarinya walau sekecil lubang jarum.
Sebulan lalu aku bahkan berkunjung ke kotanya. Dari pagi hingga tengah malam aku mencarinya. Walau aku yakin hasilnya akan nihil. Aku cuma mendapatkan lelah dan kerinduan yang menumpuk-numpuk.
“Sudahlah, lupakan saja dia. Memang sejak awal dia itu tak serius denganmu!” Sahabat terdekatku sering mencoba membuatku menyerah. Katanya, dia tak ingin melihatku muram dan layu karena terus mencari orang hilang. Tapi dia salah aku mencarinya agar aku bisa bernafas. Kesana kemari membau bayangnya adalah energiku untuk menghidupi tubuhku.
“Aku harus menemukannya. Lima tahun bukan waktu sebentar untuk sekedar menimati dunia. Aku yakin dia tulus terhadapku.” Inilah jawaban pamungkas yang selalu membuat temanku diam, dengan telak.
“Terserah kamu saja. Aku hanya tak ingin melihatmu sengsara.”
Aku paham yang ia rasa.
Menginjak bulan keempat tubuhku terasa sangat lelah. Ada energi maha dasyat di dalam sana yang menggempur pertahananku. Aku sering terbangun tengah malam hanya untuk membasahi pipiku. Mataku yang tiga bulan ini bertahan akhirnya jebol. Air terus merembes di pelupuk mataku.
Hingga hari ini, tanpa ada firasat apapun. Aku bertemu dengannya. Di tempat yang lima tahun lalu dia menyatakan cintanya diam-diam. Tempat aku mengangguk mengiyakan dalam diam. Tempat aku mengutarakan sayangku cuma dengan mata, tanpa ada kata. Dia pun mengerti. Kita bercinta dalam imaji di keramaian.
Sekarang dia terlihat lebih bahagia. Tangan yang tak pernah menyentuhku di tempat itu. Kini mengelus lembut rambut gadis itu. Bibir yang hanya menciumku dalam angan kini menemukan kehangatan, lebih nyata. “Aku sayang padamu!” yang dulu aku ucap dengan pandangan kini diucap gadis itu dengan sangat gamblang. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia melihatnya.
Aku sudah berjanji pada hatiku. Jika dia bahagia maka aku juga.
Cincin kembar di jemarinya sudah beda. Tidak bulatan sederhana, tapi ada permata di sana. Betapa indah jika tesorot berkas lampu di atas mereka. Kulepas cincin sederhana di jariku. Aku genggam di depan dadaku.
Kupandang terus tubuhnya. Perlahan aku kirim rinduku kepadanya. Seperti dulu. Tanpa pernah ada kata. Aku cuma berharap dia menoleh dan memandangku. Mengucapkan “Aku juga merindumu.” Untuk terakhir kalinya menolehlah. Apa sensormu sudah mati sekarang untuk menerima partikel rinduku?
***
Tubuhku kian menggigil. Aku berjalan terus menerjang hujan. Melewati jalan dengan puluhan mobil dan motor menyemburkan air hujan ke tubuhku. Aku tidak yakin rupa apa diriku sekarang dengan semua ini. Mungkin memang seperti ini yang patut aku dapatkan.
Tangisku berbaur dengan hujan. Sesegukku bersimfoni dengan angin yang menggesek daun. Ada rasa lega di sudut sempit sana. Akhirnya mataku melihatnya dengan nyata. Tapi juga ada yang menyayati perlahan. Aku bisa mendengar hatiku mulai merintih.
Mataku kian buram. Tubuhku bergetar. Aku limbung.
“Apa kau tak apa-apa?” seseorang memegangi tubuhku yang nyaris ambruk dan masuk ke dalam kubangan air.
Aku menggeleng dan lanjut berjalan lagi. Dia masih mengikutiku.
Tuhan, jika dia seorang penjahat. Perkenankan dia mengakhiri hidupku.
Aku berbalik dan menatap dia dalam-dalam. “Aku juga merindukanmu.” Begitu katanya meski aku nyaris tak jelas mendengarnya. “Aku sangat merindukanmu!” dia menubrukku. Memelukku dengan sangat erat. Hangat. Tubuhku terasa sangat hangat, bahkan rasa rinduku lenyap.
“Biarkan aku sendiri. Aku bisa mengerti.” Kulepaskan peluknya. Berbalik dan berjalan lagi. membiarkannya yang masih terdiam.
“Maafkan aku!”
Aku terus berjalan. Nafasku kian sesak. Air mataku hambur lagi.
“Aku tak bisa memilihmu! Maafkan aku!”
Kupercepat langkahku, aku juga mulai berlari dengan cepat. Namun suaranya masih saja terdengar hingga nyaris menyelubungiku. Aku tak tahu arah lagi.
“Tunggu aku!” aku dengar suaranya datang mendekat dengan sangat keras. Dadaku makin sesak. Beberapa kali nafasku terasa terhenti.
“Tunggu!” dia meraih tanganku. Aku terhenti.
“Pergilah! Aku tidak akan pernah mencarimu lagi!” Tanganku begitu saja memukul wajahnya. Beberapa alir darah terlihat mengalir dari pinggir bibirnya. Dia hanya terdiam dan berusaha memelukku.
“Tolonglah, jangan seperti ini!” dia berteriak sangat keras. Aku mengkerut dan cuma bisa terus menangis.
Tangisku kian menjadi. Dia membiarkanku terus memukuli tubuhnya. Aku tidak bisa menghitung lagi berapa pukulan yang sudah aku daratkan ke tubuhnya. Ini kali pertama aku kasar kepadanya. Mungkin juga untuk terakhir kalinya.
“Tinggalkan aku. Aku sudah tidak menyukaimu lagi.” aku bangkit dan berjalan meninggalkannya lagi untuk kesekian kali. “Selama ini aku tak pernah tulus denganmu. Bahagialah kau dengannya. Seperti yang kulihat tadi.” Terasa kelu aku berucap itu.
“Aku yakin dan sangat yakin. Sekarang hanya aku yang aku sayang. Hanya aku yang kau cinta!” dia berteriak dari belakang.
“Tidak! Aku hanya memanfaatkanmu! Karena kau bodoh! Bodoh!”
“Tidak! Hanya kau orang yang menyayangiku paling besar, hanya kau yang tahu apa inginku. Hanya kau yang tahu aku luar dalam. Hanya kau!”
Dadaku bergemuruh. Tangisku terasa sudah tak berair lagi. aku ingin memekik kuat-kuat hingga pita suaraku putus. Kenapa rasanya begitu sakit hingga nyaris mematikan syaraf rasaku.
“Kita sekarang berakhir!” kalimat pedih terakhir yang aku ucap. Aku lebih tenang dan lega setelah mengucap itu. Nafasku perlahan lebih ringan.
Dia berlari. Memelukku lagi.
“Jika kau mau, sekarang juga kita bisa pergi dari kota ini. Kita bisa menjauh dari semuanya. Memulai hidup kita sendiri. Kalau perlu, kau berhentilah bekerja dan aku yang akan membiayai semua hidupmu.” Dia terisak dipelukanku.
“Tidak, kau harus tetap dengannya. Sungguh aku benar rela dengan masa depan kalian. Aku akan melupakanmu.” Aku ikut memeluknya tangannya dengan sangat erat.
“Aku benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi.” dia menyusupkan kepalannya lebih dalam ke punggungku. Ingin rasanya aku kembali ke masa lima tahun lagi.
Ku tarik tangannya. Lalu kucium pelan.
“Apa aku boleh tanya sesuatu kepadamu?” kulepas pelukannya, kutatap wajahnya dalam-dalam. Dia masih terlihat sesegukan.
“Apa?” dia terus menggenggam tanganku erat.
“Apa kau sangat menyayangiku?”
Diam mengecuk keningku tiga kali. “Tentu saja.”
“Kalau begitu, buat dia bahagia untukku. Aku akan bahagia jika kau bahagia denganya.” Aku memeluknya lagi dengan erat.
Aku sela dia sebelum berkomentar. Aku yakin pasti dia akan menolak. Bukan bermaksud berbesar kepala. Tapi aku yakin. “Bolehkah aku terus menyayangimu? Aku tak perduli akan apa yang terjadi. Cuma, biarkan aku terus menyayangimu. Dari jauh.”
“Tapi aku tidak mau. Aku sudah membatmu menderita beberapa bulan ini.”
“Kita harus berpisah sekarang!”
“Aku tidak bisa. Bukankah kau sudah bersusah payah mencariku kemana saja. bahkan kau rela ku luar kota hanya untuk mencariku. Aku selalu tahu apa yang kau lakukan. Aku selalu mengikuti kemana saja kau pergi mencariku. Aku sangat menyayangimu. Hari ini pun saat kau ke sini. Itu semua karenaku. Aku mengirimu sinyal agar kau datang. Aku berharap kau mendatangiku tadi dan membawaku pergi dari sana. Aku tidak bisa jika seperti ini!”
Aku kian lemas.
“Kita berpisah saja!” kuhela nafas panjang.
“Kenapa?”
“Tidak perlu lagi alasan!”
“Kenapa???”
“Karena kita berdua pria! Apa aku harus mengatakannya dengan keras?”
Aku melepaskan pelukanku. Berjalan lebih cepat meninggalkannya. Perasaanku sudah campur aduk tak karuan. Ada batu besar yang menyumbat dadaku. Kepalaku terasa ingin meledak. Semuanya harus berakhir!.
“Aku sangat menyayangimu!”
Kata itu membuatku berhenti. Berbalik. Walau aku dapati dia berjalan berlawanan arah denganku. Dia kian menjauh. Ya, benar-benar jauh. Dan selesai.
“Terima kasih sudah membiarkanku selama lima tahun ini bersamammu. Akan terus aku ingat. Dan selamanya aku akan menyimpan utuh sayangku di dasar sana. Agar tetap aman dan tak termakan usia.”
Baru kusadari, jika menjadi bahagia itu sulit. Terlebih dengan kondisiku.
Untuk yang disana. Aku menyayangimu.
Kupejamkan mataku.
Mengirim sinyal sayangku kepadanya.
Im touch a love signal!
Sesusah itukah kebahagiaan u/ seorang gay? (˘̩̩_˘̩̩̩ )