Bercerita tentang seorang guru dan ketiga muridnya yang mengalami kejadian supranatural di sekolah. Mulai dari itulah perlahan-lahan meraka berempat akan mampu menguak tabir yang terjadi di sekolahnya. Diceritakan dengan sudut pandang pertama dengan posisi pusatnya adalah Brian, seorang guru muda. Dia memilik tiga murid dengan tiga kemampuan yang berbeda. Alur akan berkembang dengan bermunculan konflik yang akan berhubungan dengan mistis. Juga akan dibaluk beberapa romansa. Karena sedari awal penulis menginginkan tulisan ini berjenis fantasi dan romantis.
Berikut beberapa tokoh yang akan muncul dalam cerita ini.
1. Brian, seorang guru muda. secara tidak sadar dia mampu melihat kejadian yang belum terjadi.
2. Deva, seorang pendiam yang ternyata mampu melihat dan berkomunikasi dengan makhluk metafisika.
3. Mira, walaupun tumpul di matematika. Secera mengejutkan punya kemampuan analisi yang akurasinya tinggi.
4. Yashin, dapat berkomunikasi jarak jauh, sehingga kadang berbicara dan tertawa sendiri.
5. Fee, ...
6. ...
Cerita akan segera di rilis
--- Denah Sekolah ---
Comments
Turun subuh udara tak juga merangkak naik. Padahal jam di dinding kamar sudah nyaris menyentuh angka lima. Suara kendaraan sayup-sayup mulai terdengar di depan gang. Beberapa kamar lain di rumah kos sudah memulai aktivitas paginya : berteriak-teriak antri kamar mandi. Sebenarnya aku heran, kos dengan sekitar 15 kamar hanya ada satu kamar mandi. Jika lebih dari 5 anak kuliah pagi, aku biasa menyebutnya bencana. Pagi hari di kos sama artinya menyiksa telinga.
Sejenak setelah menuntaskan ritual pagi kuputuskan untuk jogging keliling kompleks. Mencari udara segar sekaligus mengurangi timbunan lemak di perut yang makin menyiksa. Sudah ada enam anak kos yang mestabihkanku "gendutan". Kata tabu yang bisa membuatku tak nafsu makan selama berhari-hari. Pagi ini aku akan menyisir daerah belakang kompleks tempat aku kos.
"Pagi pak Brian, mau lari pagi lagi?" terdengar suara keras memanggilku, sejurus kemudian sosok besar muncul dari kegelapan.
"Kamu Shin? Bikin aku kaget saja! Dari mana saja kamu? Jam segini sudah kelayapan keluar kos. Nggak pulang ya semalam?" Aku bangkit setelah selesai membetulkan tali pada sepatu.
"Boro-boro mau dugem pak! Lihat kostumku begini, pakai sarung! Barusan dari Masjid ikut kuliah subuh. Pak Ahmad sudah ngancam bakal ngasi nilai jelek kalau aku tidak ikut jamaah subuh dan mencatat ceramahnya." Walau agak gelap nampak bibir Yashin agak monyong-monyong karena kesal.
"Kok malah curcol ya bau-baunya?" Aku lirik dia yang terus ngoceh. "Ah, itu sih salahmu sendiri Shin. Suka kabur kalau ada jadwal sholat di sekolah. Nikmatin saja hukumannya! Hahah."
Dia menghela nafas panjang dan mulai berjalan menuju kamarnya, "Pak Brian sama sekali tak membantu!" gerutunya berlalu dari hadapanku.
"Haha sabar Shin!" candaku sambil mulai berlari keluar gang.
Begitu keluar dari gang aku langsung disambut kerumunan orang ke pasar. Beberapa becak mengangkut sayuran hingga nyaris menutupi pengayuhnya. Pickup dengan bagian belakang penuh ibu-ibu tak ketinggalan meramaikan pagi yang masih mendinginkan daun telingaku.
Aku percepat tempo lariku. Kali ini memutar sekitaran persawahan. Masih sepi. Hanya terlihat beberapa petani yang mulai menjangkul. Ada juga beberapa anak kecil yang mandi di kali tengah sawah. Terakhir, ada retakan oranye di ufuk timur. Matahari mulai terbit. Aku berhenti. Menyelonjorkan kaki pada rumput yang agak basah sambil mengamatinya hingga nampak utuh. Saat pematang di sawah sudah terlihat dengan jelas aku putuskan untuk kembali ke kos, mandi, makan dan bersiap menjalani profesi.
***
Namaku Brian. Seorang fresh graduate yang sekarang berprofesi sebagai guru muda SMA. Mengajar pelajaran yang selalu dilaknat. Matematika.
Sejak dua bulan yang lalu aku mulai aktif mengajar. Karena belum menjadi guru tetap maka jadwal mengajarku masih sedikit. Namun, sedikit bukan berarti kerjanya santai. Salah besar. Aku dibebani tugas bergunung dari para senior. Sepertinya dominasi senior tanya hanya berlaku di kalangan militer. Dunia didik-mendidik tak ketinggalan menerapkan. Mungkin dengan dalih lebih rapi, "Ini coba kamu belajar buat rencana pembelajaran, biar tambah pinter dan berpengalaman." Atau dengan agak frontal. "Mas, buatkan RPP nanti aku beri uang pulsa."
Sebenarnya tak masalah bagiku. Aku senang-senang saja mengerjakan tugas mereka. Namun, dengan aku berbuat begitu justru mereka semakin senang denganku. Senang terus meminta bantuan. Padahal yang aku bayangkan adalah guru junior akan dibimbing guru senior. Ok! Fine! Mungkin memang jaman sudah terbalik.
"Selamat pagi Pak Brian!" segerombolan murid cewek menyapaku dengan malu-malu. Aku balas cuma dengan senyum kecil sambil melambaikan tangan. Diantara meraka malah ada yang sengaja mengedipkan mata.
"Pagi pak!" Yashin masuk gerbang sekolah dan langsung menyalami dan mencium tanganku dengan lemas.
Hari ini adalah jumat. Hari aku menjalankan piket sekolah. Jangankan murid, guru juga ada pembagian piket. Mungkin untuk guru biasanya standby di depan gerbang. Menyambut anak-anak yang datang dengan ragam ekspresi. Ada yang selalu semangat. ada yang matanya sendu dan banyak yang melanggar aturan.
"Naikkan kaos kaki! Pakai dasi! Jangan pelorotin rok! Gelang di lepas!" Aku sampai hafal apa yang dikatakan pak satpam yang merangkap seksi keamanan. Dan yang paling seru adalah jika ada siswa cowok berambut panjang. "Berhenti! Mau jadi apa kau berambut panjang! Berandal! Duduk dan ambilkan gunting!"
Kadang banyak yang sengaja berbalik. Mungkin membolos. Ketimbang berakhir gundul.
Kegiatan pagi yang menyenangkan. Atau tidak jika musim flu tiba. Bisa dibayangkan , ratusan siswa kena flu menciumi tanganku. Pasti ada satu hingga dua yang meninggalkan "sesuatu" di tangan.
"Pagi dek Brian!" Seorang guru seni musik selalu ikut-ikutan menyalamiku. Agak lama dan sengaja menggenggam nakal tanganku. Mungkin aku menyebutnya Miss centil. Dia doyan sekali menyapaku dimana saja. Paling seramnya, dia sedang mencari calon suami.
"Pagi Bu Fika!" aku tersenyum agak terpaksa. Sementara antrian sudah mengular untuk menyalamiku satu-satu.
"Oiya dek Brian, kemarin wakasek titip pesen, nanti saat jam istirahat disuruh ke kantornya. Katanya ada perlu!" Dan dia masih terus memegang tanganku. "Pak Brian di skip saja cepat sana masuk kelas!" Ekspresi judesnya keluar.
"Huuuu.." beberapa murid cewek melengos ke arah bu Fika.
"Iya Bu Fika! Terimakasih infonya!"
"Yasudah saya pergi dulu dek Brian! Kalau tidak ada murid panggil mbak Fika saja ya!" dia berbisik lalu melambaikan tangannya ke arahku. Ya Tuhan, semoga bu Fika cepat menikah dalam beberapa bulan kedepan, agar aku aman.
Prosesi salaman pagi berlanjut dengan lancar selepas Bu Fika hilang dari pandangan. Semakin siang, maka siswa yang datang akan semakin tua. Terlihat dari badge yang berangsur dari hijau, kuning lalu merah. Hipotesisku, semakin tua siswa semakin siswa itu malas berangkat pagi.
Jam tujuh kurang lima gerbang di tutup. Tugas menyambut murid berakhir hari ini. Selanjutnya aku harus menjaga bel. Setiap empat puluh lima menit harus menekan sekali tombol bel, pertanda pergantain jam. Mengurusi surat izin guru, juga tugas-tugas titipan. Satu yang aku pelajari. Guru juga hobi titip absen, persis mahasiswa. Atau mungkin kebiasaan kuliah yang masih terus dilanjutkan bahkan saat sudah jadi abdi negara.
Sehabis bel aku duduk di ruangan jaga. Bagian kecil dari ruang guru. Ada dua komputer dan sebuah printer. Membuka email sekolah, siapa tahu ada guru titip tugas via email. Menghubungi kelas-kelas melalui interkom untuk mengambil tugas mereka. Setidaknya yang satu ini aku sedikit dimudahkan ketimbang mengelilingi kelas-kelas untuk mencari ruangan.
"Pak Brian! Tolong ini dicetak ya!"
"Iya Pak!" Segera aku masukkan flashdisc ke komputer. "Yang mana pak?"
"Itu file kedua dari atas. Cetak lima kali ya, lalu digandakan jadi limapuluh kali!" Aku mengangguk dan mulai mencetak file.
"Iya pak! Oiya kata bu Fika bapak mencari saya. Ada apa pak? Sekalian disini saja jika tidak keberatan." Aku menghitung kertas yang sudah tercetak dan keluar printer.
Pak Tino mengambil kursi dan duduk di sampingku.
"Begini Pak Brian. Sebenarnya saya mau meminta bantuan sama anda. Karena ada salah satu guru kelas 12 sedang cuti. Padahal beliau ada tugas untuk memberi tambahan pelajaran pada beberapa siswa. Untuk itu, saya mau minta tolong. Itupun jika Pak Brian tidak sibuk." Nada bicara Pak Tino jadi lebih rendah.
"Mungkin mulai senin depan pak Brian! Detailnya nanti siang saja sekalian dengan anak-anaknya juga. Di koridor kantor, nanti berkumpul di situ. Yasudah biar saya saja yang menggandakan. Terima kasih ya!" Aku mengangguk dan tersenyum.
Sebenarnya tak usah bilang aku bisa menerima atau tidak. Karena sudah jelas pasti akan aku terima semua tawaran dari Pak Tino. Dia sendiri dulu yang menawariku bekerja di sekolah ini. Dia juga yang mengatur jadwal mengajarku. Jadi bagaimana mungkin aku bisa menolaknya. Aku kan tahu balas budi.
***
Pukul dua siang sekolah bubar. Sesuai kesepakatan aku langsung menuju koridor untuk menunggu Pak Tino dan beberapa siswa. Aku duduk pada kursi di depan ruang Tata usaha. Selang lima menit ada seorang siswa cewek duduk di ujung koridor. Di susul pak Tino yang membawa beberapa berkas di tangan.
"Sudah lama Pak Brian?" Aku menggeleng dan langsung berdiri menyalami beliau.
"Mira! Mana Deva dan Yashin?"
"Deva sebentar lagi kemari pak. Kalau Yashin sepertinya sedang ke Mushola. Ada tugas dari Pak Ahmad." Gadis kuncir dua itu berlari kecil mendekat. Bersalaman dengan pak Tino, juga melirikku.
"Pak Brian, kita langsung saja pada pokok masalahnya saja. Satu dari tiga anak ini nanti yang akan bapak bimbing selama beberapa bulan kedepan. Mira, Deva dan Yashin. Mereka mendapatkan tambahan pelajaran karena nilai pelajaran Matematika selalu nyaris mendekati SKM pak. Jadi kami semua, dewan guru memutuskan memberikan bimbingan khusus buat mereka. Instilahnya persiapan sejak dini."
"Semacam bimbel tambahan ya Pak?"
Pak Tino mengangguk.
"Seminggu 2-3 kali, sesuai dengan kesepakatan Pak Brian dan anak-anak nanti."
"Selamat siang!" Yashin datang sambil berlari dari arah Mushola. Wajahnya sudah tampak bersemangat siang ini. Beda saat tadi pagi aku bertemu dengannya.
"Cepat Shin kemari, bapak mau ada acara!" Pak Tino melambai Yashin agar segera mendekat.
Di sisi timur aku melihat ada satu anak yang berjalan ke arah kami. Seorang pemuda dengan perawakan tinggi besar. Rambutnya dipotong cepak sekali. Prediksiku dia kena poprolan. Mungkin kemarin. Matanya nampak sayu tak ada semangat. Berjalanpun lebih banyak menunduk, meski sesekali melihat depan untuk melirik kami.
"Deva cepat kemari!" Dia masih berjalan dengan santai ketika Mira melambai-lambainya.
"Pak Brian, maaf saya tinggal dulu ya. Ada acara sebentar lagi di kantor Dikbud."
"Iya pak silakan. Anak-anak juga sudah berkumpul."
Pak Tino melenggang dan hilang di parkiran. Sementara sekarang aku duduk sambil di kelilingi tiga siswa yang harus aku bimbing.
Mira, seorang gadis mungil. Jika bertemu di jalan aku yakin akan mengiranya anak yang baru masuk SMP. Perangainya masih anak-anak sekali. Tidak ada sifat dewasa yang ia tunjukkan, padahal dia kelas XII. Tas yang dikenakan sangat girly, motif barbie dan sejenisnya. Prediksiku dia sangat childish.
Yashin, pemuda yang penuh semangat. Tak pernah dia berkata dengan nada rendah. Selalu heroik. Sehari-hari yang dia lakukan sehabis sekolah adalah bermain game di kos. Kadang aku menjadi lawannya saat bermain di kamarnya. Karena tak mengajar dia jadi aku tak tahu bagaimana peta nilai dia selama bersekolah di sini. Satu yang aku rasa dominan pada Yashin, dia moody.
Deva, aku tak bisa membaca bagaimana sifatnya. Dari yang aku lihat adalah dia tertutup. Banyak diam dan satu kata yang melambangkannya, mysterious.
"Jadi bagaimana? Seminggu berapa kali kita belajarnya?" Aku mulai memberi penawaran. Karena aku hari apa saja bisa. Asal jangan sabtu. Karena jadwal pulang ke rumah untuk menghabiskan akhir pekan.
"Mulai minggu depan saja pak, Senin, Rabu dan Jumat." Mira mengambil insiatif untuk segera berdiskusi.
"Kamu Shin?" Aku melirik Yashin yang sedang asik memainkan ponselnya.
"Apa saja boleh. Aku ikut saja pak!" serunya sebentar, lalu sibuk bermain dengan ponselnya lagi.
Deva mengangkat wajahnya. Sepertinya dia mulai mengucap sesuatu. "Aku cuma bisa hari Senin dan Rabu. Maaf aku harus pulang dahulu." Dia berlari menuju parkiran.
“Bagaimana?" Aku memberi penawaran lagi.
"Sementara itu dulu pak, Untuk jamnya mungkin Jam 3 sore saja. Bagaimana?" Aku mengangguk pelan, disusul Yashin.
"Baiklah, mari kita pulang saja. Ketemu lagi hari senin."
Diskusi akhirnya diakhir dengan cepat. Aku dan kedua anak ini berjalan bersama hingga ke pintu gerbang. Mira dijemput ibunya. Yashin sepertinya sudah terjebak game di warnet. Aku sendiri berjalan santai menuju kos.
Jarak antara kos dan sekolah hanya sepuluh menit berjalan kaki. Sengaja aku mencari kos di dekat sekolah agar tidak mengeluarkan akomodasi lagi. Pun area sekolah juga dekat dengan kampus. Hingga harga kos semakin melangit.
Aku berjalan sepanjang trotoar. Beberapa kali berpapasan juga dengan siswa yang aku ajar. Nampaknya anak jaman sekarang lebih sibuk dari jamanku dulu. Dulu, sewaktu pulang sekolah, aku langsung menuju rumah. Malamnya baru membuka tas mengecek tugas. Anak sekarang, pulang sekolah kalau tidak les pasti ke warnet untuk sekedar mengecek akun jejaring sosial dan bermain game. Jaman memang berubah. Jika dulu adanya cuma wartel. Sekarang waret berjajar-jajar.
Trotoar berakhir pada belokan. Selanjutnya aku harus menapaki jalanan aspal menuju kompleks perumahan kosku. Sebuah gerbang perumahan dengan sebuah taman kecil membelah jalan. Pada pojok gerbang ada sebuah pohon beringin. Sangat besar dan mencolok. Menurut desas-desus, pohon itu sangat wingit. Makanya saat pembangunan perumahan tak disentuh oleh pengembang.
"Selamat sore dek Brian! Tumben pulangnya agak sore?" Seorang satpam kompleks menyapaku. Dia sedang asik bermain catur dengan beberapa tukang ojek sekitar perumahan.
"Iya Pak Joko, tadi ada urusan di sekolah. Jadi pulangnya agak molor." Aku sempatkan untuk mampir sejenak. Mengamati permainan catur Pak Joko dan salah satu pria yang belum aku kenal.
"Sana minum-minum dulu dek Brian. Di dalam ada teh, tadi dibuatkan sama simbok satu wadah besar." Aku cuma mengangguk dan tersenyum.
Aku mengamati sejenak permainan mereka. "Pak jangan digerakkan kesana. Tuh kan kalah! Seharusnya ini kesana tiga langkah pasti bisa menang! Kalah pak sekarang!" aku mendumel sendiri mengamati mereka bermain.
"Hah? Aku masih belum gerak dek Brian! Kok sudah kalah?" Pak Joko menepuk pundakku perlahan.
Aku tersadar. Mengamati papan dan pion. Bahkan tak selangkah Pak Joko menggerakkan Pionnya. Tapi sungguh, aku tadi melihatnya. Pak Joko kalah dalam permainan ini.
"Entahlah pak agak pusing saya, jadi ngomongnya ngawur. Aku minta tehnya ya pak!" Aku masih mengucek mataku. Kapalaku menjadi sedikit berat. Tapi sumpah, demi yang di atas dan yang di bawah aku tadi melihat jelas permainan mereka.
Aku rebahkan tubuhku pada sebuah kursi goyang di dalam kantor. Pikiranku masih melayang. Ini sudah untuk beberapa kali selama sebulan ini. Apa yang sudah aku lihat ternyata cuma bayangan saja. Dan sialnya selalu terjadi beberapa saat kemudian.
Terakhir kemarin lusa saat aku hendak berangkat ke sekolah. Aku melihat ada sebuah tabrakan di kelokan dekat sekolah. Aku tersadar. Sepuluh menit kemudian terjadi kecelakaan juga. Untungnya tidak ada korban jiwa.
Aku beranjak mengambil tas yang aku taruh di atas meja.
"Pak Joko saya pulang dulu ya, Kepalaku agak pusing." Aku melangkah gontai. Setiap melihat kejadian seperti ini aku jadi pusing. Juga lemas.
"Iya dek Brian. Hati-hati di jalan!"
Aku mengangguk. Tersenyum kecil dan berlalu.
***
Sejak habis magrib hujan turun dengan sangat deras. Beberapa kali terdengar guntur yang sempat menggetarkan kaca kamarku. Sehabis pulang dari sekolah badanku sedikit anget. Badan meriang. Kuhabiskan berjam-jam dengan bersembunyi di bawah selimut hingga badan lebih nyaman.
Mataku sedikit meremang. Aku sedikit takut untuk sekedar memejamkan mata. Setiap mulai terpejam ada bayangan kejadian lagi. Aku takut jika ada hal buruk yang aku lihat akhirnya benar-benar terjadi.
Pintu kamarku terketuk pelan.
"Pak Brian! Pak!"
Aku masih diam. Mengenali suara.
"Pak bisa buka pintunya?"
"Ada apa Shin?" aku buka kamar pelan. Yashin menunduk, bibirnya agak biru dan menggigil. Seragam masih menempel di badannya yang basah.
"Takut pak!" Dia langsung menerobos pintu lalu bersembunyi di bawah selimutku. "Tutup pintunya pak!" Yashin terteriak histeris.
Kututup pintunya segera. Yashin masih merancau tak jelas. Nada suaranya sangat lemah.
"Ada apa Shin? Apa kau tak apa-apa?" dia diam, terus berujar tak jelas.
"Shin!"
Dia menyibak selimut dan memelukku erat. Aku diam mendengar dia terus berkata semakin ngawur. Badanku terasa dingin. Basah perlahan.
Mataku mendadak buram. Aku lelap.
"Hua subuh! Subuh!" Tubuhku terasa berguncang. "Hua! Pak Brian apa yang kau lakukan di sini?" Yashin makin histeris.
"Berisik kau Shin. Masih setengah empat sekarang. Sana kembali ke kamarmu!"
"Kamarku?" nada suara Yashin merendah.
"Iya sana kembali ke kamarmu. Aku masih ingin tidur lagi sejam!"
"Pak? Apa semalam aku tidur denganmu?"
Aku mengangguk ogah-ogahan. "Kau memelukku erat. Semalaman aku tak bisa bernafas tahu. Mana badanmu basah!" Gerutuku sambil menarik selimut untuk tidur lagi.
"Memeluk? Huaa! Maaf pak tidak bermaksud apa-apa" Yashin kabur dari kamarku.
Hening dan tenang lagi.
***
Badanku kembali sehat setelah akhir pekan sakit di rumah. Hampir selama seharian penuh kuhabiskan dengan tidur. Makan pun cuma dua kali, itupun karena dibangunkan oleh ibu. Kata dokter aku terkena gejala Typus. Makanya sejak hari sabtu tubuhku sudah lemas bahkan sampai sekarang.
Dengan sedikit memaksakan diri hari ini aku masuk sekolah. Aku memiliki tanggungan yang banyak hari ini. Tak mungkin aku tinggalkan hanya karena masih sakit yang menurutku masih ringan. Sebenarnya Ibu sudah melarangku masuk, bahkan bapak mengancam jika sampai aku sakit tambah parah dia tak akan mengurusi. Tapi membayangkan seharian berbaring di rumah sudah membuatku bosan.
Hari ini aku mengajar sehabis istrirahat. Jangka waktu sekitar 2 jam aku gunakan untuk beristirahat di UKS. Membuka beberapa data dan koreksian yang sudah menggunung.
“Lho, Pak Brian disini?” Mira masuk ke UKS dengan wajah sedikit kaget. Dia memapah seorang siswa cewek lain yang sepertinya sedang sakit ke UKS.
“Iya, aku agak sakit. Kamu tidak ada kelas Mir?” dia menggeleng sambil memapah temannya ke kasur di sebelahku.
‘Tidak pak. Pak Bima lagi keluar, lagian juga tidak ada tugas. Kebetulan lagi hari ini jadwalnya aku jaga UKS pak. Jadi ya berkeliling kelas, kali aja ada yang lemes. Seperti dia.” Mira menunjuk temannya yang sudah teler sambil memegangi perutnya. “Biasa pak, jadwal bulanan.” Aku hanya tersenyum kecil lalu kembali menyibukkan diri dengan koreksian.
“Nanti kita sudah mulai bimbingan kan?”
“Iya pak, nanti jam 3 sore ya. Ruangannya sudah saya carikan yang kosong kok pak. Di dekat toilet sana pak di Laboratorium IPS. Pak Toni juga sudah menyetujui. Mohon bantuannya ya pak!” Mira meringis sambil mengoleskan minyak angin ke perut temannya.
“Sip deh! Yashin dan Deva sudah kamu beritahu kan? Jangan sampai mereka lupa dan malah kabur sendiri.”
“Deva belum pak, kalau si Yashin kebetulan dia sekelas denganku. Tadi sudah aku beritahu.”
“Yasudah terima kasih. Aku titip berkasku ini. Aku mau keliling sebentar mencari udara segar keluar. Awas jangan diintipin!” Aku masukkan beberapa koreksian ke dalam tas kerja lalu beranjak dari kasur. Kepalaku rasanya masih agak pusing dan sepanjang ruas tangan kaki ngilu.
“Haha sip pak!”
Aku berjalan di sekitar UKS. Memutar sedikit hingga mencapai sebuah taman di belakang gedung sekolah. Ada sebuah air mancur disana. Jika memandang lurus searah air mancur itu, langsung bisa menatap sebuah mushola kecil. Selama menjadi guru di sini, taman ini adalah tempat favorit untuk dikunjungi. Lelah setelah berteriak-teriak mengajar, atau karena pusing dengan nilai siswa yang tak selalu baik, sirna jika sudah duduk dan mengamati tanaman hias.
Pada taman inipun juga ada sebuah pohon jambu biji yang buahnya sangat lebat. Sayang sekali tidak ada yang memanen. Hingga banyak yang jatuh dan busuk di tanah. Pada sisi kanan taman ada sebuah batu besar yang dibiarkan begitu saja. Sedikit tersamarkan dengan beberapa rumput dan tanaman sulur hijau di atasnya.
Aku rogoh sebuah tisu di saku. Aku bersihkan sebuah dudukan yang agak kotor akibat hujan. Setelah itu baru aku duduk dan berjelonjor di kursi.
“Awh sakit!” Kakiku seperti menendang sesuatu di rimbunan hijau.
Sosok itu berdiri. Menatapku.
“Deva? Kenapa kamu di sini?” Deva terlihat asik memakan buah jambu. Terlihat dari mulutnya yang terlihat mengunyah dengan nikmat. Sesaat kemudian dia menunduk lagi. Padahal aku sempat melihat air muka dia yang lebih cerah.
Dia masih saja diam dan terus berdiri. Tak bergerak.
“Kamu tidak ada kelas Dev?” Sepertinya dia semakin mengarca batu. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Mungkin jika ada lomba diam-diaman pasti dia akan keluar jadi juara tetap.
“Dev? Apa kamu mendengarkanku?”
Terdengar ada sesegukan. Dan Deva menangis tanpa sebab. Sesaat kemudian dia memandangku. Bukan, lebih tepatnya memandang sebelahku. Sangat tajam. Aku sempat takut saat matanya berpapas dengan mataku.
“Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku! Pergi!” dia histeris. Masih bingung dengan yang terjadi. Apa dia sedang mengusirku?
“Deva, apa kau tak apa-apa?” Aku goyangkan tubuhnya pelan, tak ada reaksi. “Dev bangun!” Aku panik. Segara aku bopong hingga dari taman menuju ke UKS.
Di dalam UKS masih ada Mira dan temannya tadi. Mira langsung tanggap dan berusaha membantuku menidurkan Deva ke kasur. Aku langsung duduk agak ngos-ngosan. Tubuh Deva terlalu besar untuk aku angkat sendiri.
“Tolong kamu rawat dia Mir!” Nafasku sedikit susah. Mataku sedikit berkunang.
“Dia tadi kenapa pak? Kok bisa pingsan dan bapak angkat ke mari?”
Aku menghembuskan nafas panjang. Menutup mata sebentar lalu membuka lagi. Keringat mulai mengalir di mukaku. “Dia tadi pingsan di taman belakang sana!” jawabku putus-putus sembari mengatur nafas.
“Belakang pak?” Mira agak terkejut.
Aku mengangguk pelan. Berusaha menyeka keringat agar tidak mengalir mengenai mata dan mulut. “Memang kenapa?”
“Angker pak. Sudah sering yang mendadak pingsan di sana. Bukan sekali dua kali saja. makanya taman itu jarang dikunjungi meski bagus dan sejuk.”
Aku masih terdiam mendengarkan penjelasan Mira.
“Sering terjadi penampakan juga di sana pak!”
Nafasku semakin sesak. Bulu kudukku berdiri. Kerngat dingin semakin mengucur deras. “Yasudah, tolong buat dia cepat sadar ya Mir!” Aku beranjak dan berjalan menuju tasku.
Tanganku sedikit bergetar.
“Kemana pak?”
“Aku mau ke kelas sebentar lagi. Nanti tolong beritahu aku jika Deva sudah sadar. Aku ingin bertanya sesuatu kepadanya.” Mira mengangguk dan berusaha membawakan tasku hingga pintu keluar.
Sepanjang jalan pikiranku masih diliputi rasa takut. Jangan-jangan Deva berteriak tadi ada sesuatu di sampingku. Karena pandangannya tak ke arah mataku. Apa benar jika tempat tadi sangat angker. Berarti tadi Deva melihat sesuatu di sampingku. Apa dia melihat hantu? Ahhhhh! Aku bisa gila jika suasana hati mendadak kacau seperti ini.
Aku merancau sendiri sepanjang jalan. Pikiranku memang selalu kacau jika sudah diceritai hal berbau mistis. Makanya sejak jama SD, jenis film yang aku benci adalah film horor. Mereka (si setan) selalu saja terngiang di pikiranku. Mereka itu nakal sekali.
“Awhh!” sebuah bola basket mengenai kepalaku. Aku ambruk di koridor menuju kelas. Mataku sedikit kabur sesaat sebelum akhirnya terlihat jelas.
Aku masih berdiri di dekat tiang penyangga. Di sampingku tak ada bola basket. Kertas yang berserakan yang tadi samar kulihat juga tak ada. Hanya terdengar suara anak bermain basket di ujung sana. Sesaat kemudian semua berteriak menyuruh aku menghindar. Sebuah bola nyaris membentur kepalaku.
Nafas ku tarih kuat-kuat lalu melanjutkan berjalan lagi. Dan lagi kejadian aneh itu muncul disaat yang tidak tepat. Pikiranku semakin kacau. Aku tak lagi konsen dengan konsep pembelajaran yang akan aku gunakan sekarang.
Sampai di kelas aku duduk dahulu di depan ruangan. Menunggu seorang guru yang sedang mengajar. Sejenak aku pejamkan mataku dan menikmati angin yang tiba-tiba menyilir dengan sejuk.
“Pak Brian!”
“Hah? Iya, apa?” aku buka mataku. Kudapati Yashin nampak malu-malu menyapaku. Pipinya sedikit merah walau sedikit tersamar.
“Ada apa Shin? Tumben kamu mendadak muncul di depanku.”
“Anuu pakk, hmm. Aku mau minta maaf soalnya yang tempo hari itu. Sudah tidur di kamarnya bapak sama sudah...” dia tak melanjutkan lagi. Wajahnya kian merah. Aku ingin tertawa, tapi sengaja aku tahan agar dia tidak semakin salah tingkah.
“Sudah jangan dipikirkan!” jawabku santai sambil terus memandangi wajahnya yang makin terlihat lucu.
“Hmm, yasudah pak. Aku mau ke kelas dulu. Sampai ketemu lagi!” dia berlari dengan berirama.
Anak itu kenapa mendadak aneh. Apa dia salah makan atau bagaimana. Entahlah, yang jelas suasana hatiku sudah lumayan membaik sejak melihat wajah lucu Yashin. Bahkan selama satu kos denganya, tak pernah melihatnya berlagak lucu seperti itu.
“Sudah lama menunggunya pak Brian?” seorang guru memegang pundakku.
“Tidak pak, lagian cuma mau menaruh tas. Soalnya saya mengajar habis istirahat.” Aku segera berdiri. Tak etis sebenarnya ada guru senior berdiri sementara aku masih enak-enak duduk.
“Yasudah sana masuk. Maaf tadi aku memberi tugas sebentar jadi agak telat keluarnya.” Aku cuma tersenyum dan langsung masuk ke dalam kelas.
Dalam kelas anak-anak masih sibuk mencatat tugas di papan tulis. Ada sekitar sepuluh soal yang panjang-panjang. Aku duduk di kursi sambil melihat siswa yang asik mencatat soal. Terlihat sangat serius. Bahkan mereka tak menyambutku.
“Serius sekali mencatatnya!” celetukku sembari mengecek daftar presensi.
“Benar-benar guru itu senang sekali menyiksa muridnya!”
“Hush, aku laporin lo!” sahutku sambil tersenyum kecil ke arah anak-anak yang langsung mamandangku semuanya.
Semua kompak. “Huuu, Pak Brian nggak friend lagi sama kita!”
“Hahaha, yasudah. Aku mau ke kantin sebentar. Titip tas dulu ya!
“Sip pak!” semua berseru.
***
Sepuluh menit jelang istrirahat, deretan foodcourt sudah mulai ramai. Terbanyak adalah siswa yang baru berlahraga. Di sekolah ini ada tiga foodcourt yang berjajar di belakang laboratorium fisika dan biologi. Pada sisi kiri terdapat sebuah greenhouse, pada sisi kanan terdapat deretan kran dan sebuah toilet yang sering digunakan untuk kamar ganti.
Aku berjalan menuju pada warung pinggir kanan. Jika masih sepagi ini paling enak adalah sarapan nasi pecel dan minumnya es beras kencur. Penjualnya biasa dipanggil Bu Yan. Wanita super tambun dengan suami super mini. Jika dilihat-lihat sebenarnya mirip ibu dan anak, bukan suami dan istri.
“Bu Yan, nasi pecel sama minumnya seperti biasa ya!” aku duduk pada bangku deretan depan. Terpisah dengan gerombolan anak-anak yang masih bau keringat.
“Iya dek Brian! Pakai tempe apa tahu lauknya?”
“Tahu saja Bu Yan.” Aku rogoh ponsel dari saku kiri celanaku. Mengecek beberapa sms masuk. Paling banyak dari ibu. Menanyakan tentang kesehatanku.
Sebenarnya bukannya aku tidak mau dikhawatirkan oleh orang tua. Namun umurku sekarang sudah dua puluh dua. Bukan anak kecil lagi yang harus diingatkan makan atau minum obat. Enthalah, sejak dulu ibu selalu lebih suka memanjaku ketimbang adik. Adik akhirnya lebih dekat ke ayah dan aku ke Ibu. Yah, aku anak ibu dan adik anak ayah.
“Ini dek Brian makanannya.”
“Makasih bu!”
Sepiring nasi pecel dengan lauk tahu dan remah-remah peyek. Nasi memang sengaja sedikit dan sayur lebih banyak. Walau situasinya bagaimana pun aku masih sadar akan lemak di perut. Lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur. Sampai-sampai oleh anak kos aku dijuluki vegetarian. Karena setiap beli apa saja pasti cuma sayur dan buah. Itu juga yang mendasari aku selalu nongkrong di warung Bu Yan. Karena dua warung lain menjual bakso dan soto ayam.
Aku mulai memasukkan sesuap nasi. Pedas langsung menyebar ke penjuru mulut. Dicampur remah-remah peyek yang masih renyah. Nikmat! Setelah itu ditutup setegak es berat kencur yang segar agak asam. Salah satu nikmat dunia yang ada di sekolah ini.
“Hoy cepat sembunyikan celananya!” kata anak berkacamata itu kepada temannya yang sudah menyambar celana temannya lain yang sedang asik membersihkan kaki pada kran.
“Asem celanaku mau di bawa kemana!”
“Ambil kalau bisa!” anak yang membawa celana mengejek. Terjadi prosesi kejar-mengejar antara dua murid laki-laki yang tubuhnya terlihat besar. Mungkin mereka sudah kelas XII.
Aku makan sambil mengamati tingkah mereka. Sama sekali tidak ada bedanya dengan anak SD. Sudah seumur itu kelakuannya tetap kekanak-kanakan. Tapi yasudahlah. Setidaknya ada lucu-lucuan saat menikmati sarapan.
“Lepaskan celananya gak!” sekarang sudah pada adekan tarik-menarik.
“Nggak!.”
“Lepas monyet!” beberapa anak lain justru sengaja mendorong mereka yang sedang tarik-tarikan. Bruuk!
Keduanya jatuh dengan posisi menumpuk. Samar terlihat. Tapi aku sempat menangkap ada kontak pada wajah meraka. Setelah itu langsung dibarengi teriakan temannya yang cewek. Morning service, gumamku sambil menghabiskan sarapan.
Suasana kembali tenang lagi. kedua anak tadi sudah heboh ke kran untuk mencuci muka masing-masing. Cewek-cewek yang heboh sudah mulai menyantai makanan mereka. Kebanyakan pada stan bakso. Sedangkan pada cowok pada bagian soto.
“Pak Brian!”
Aku menolah ke arah samping. Deva berdiri agak bergetar.
“Dev, sudah sadar?” dia mengangguk pelan. “Duduk sini, nanti kamu pingsan lagi. repot bawanya ke UKS.” Dia berjalan lunglai duduk di depanku.
“Terima kasih pak sudah menolong tadi!”
Aku mengambil beberapa roti kecil di saping meja. “Makan dulu ini. Santai saja Dev. Yang penting kamu sudah tidak apa-apa.” Dia tersenyum kecil ke arahku. Tangannya mengambil roti yang kuberikan. Lalu memakannya dengan lahap.
Apa anak ini tak diberi makan. Sampai selahap ini memakan rotinya.
“Sudah dihabiskan saja dulu rotinya, jangan banyak omong nanti tersedak.” Aku berjalan mengambil segelas teh hangat. “ Ini minumannya.” Dia mengangguk dan segera menegaknya sampai habis.
“Oiya. Kamu tadi kenapa kok bisa sampai menangis dan pingsan?”
Deva masih terdiam. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.
“Dev?”
“Tidak kenapa-kenapa pak, mungkin gilaku sedang kumat.” Jawabnya asal. Tapi aku tahu jika dia sengaja tak mengatakan kepadaku sebenarnya. Dan ya, sebenarnya dugaan terbesarku adalah dia tadi melihat penampakan. Jika dia benar-benar gila at least akan menampar atau menjambak kepalaku. Tapi bukankah dia tadi histeris lalu pingsan.
Aku iyakan saja jawabannya. Anggap saja membuat dia lebih tenang. Karena mugkin barangkali dia akan dikejar lagi oleh penapakan tadi jika dia menceritakan rupanya. Bisa jadi karena seram atau amat lucu mengikuti trend alay anak jaman sekarang. Entahlah yang penting dia sudah sadar dan tidak kenapa-napa.
Aku amati wajah Deva yang kembali ke dia sehari-hari. Pendiam dan sorot matanya benar-benar penuh misteri. Padahal pada saat aku pergoki dia nyolong jambu di taman tadi wajahnya sangat bening saat mengunyah banyak-banyak jambu biji. Semoga dia buka manusia bermuka ganda. Berubah sesuai situasi, kondisi, toleransi, pandangan dan jangkauan. Yah pokoknya itu, aku tidak mau menyingkat.
“Yasudah Dev, kamu kembali saja ke kelas. Bapak cuma sedikit khawatir, soalnya tadi kamu pingsannya sama bapak. Bukan karena melihat perutku yang agak buncit kan?” aku lontarkan perkataan konyol. Ya minimal agar suasana tak beku dan Deva bisa lebih nyaman. Karena jika melihat dia diam begitu mata rasanya capek sendiri. Sungguh, buktikan kalau tak percaya.
“Sekali lagi terima kasih pak!” Aku tepuk pundaknya sambil tersenyum.
Setelah menuntaskan makan aku sempatkan lagi berjalan menuju taman belakang. Aku berjalan pelan mengamati setiap detil yang ada di sana. Sama sekali tidak ada yang aneh dan janggal. Lalu mataku melirik pada batu yang tertutup sulur hijau. Apa mungkin penunggu batu itu. Bisa jadi iya. Karena bagian terjanggal dari taman ini adalah batu itu.
Sesaat ada embusan angin ke tengkukku. Mendadak dingin seperti menyebar ke tubuh. Nafasku sedikit berat. Seperti ada sesuatu di sampingku. Meski dari siluet tak nampak tapi aku yakin ada benda meski kasat mata.
“Ngapunten mbak, putune badhe liwat.” Sejurus kemudian aku langsung berbalik lalu berlari hingga ke mushola. Dengan sedikit terengah-engah aku sandarkan badanku pada sebuah tiang dengan duduk. Aku amati lagi taman tadi dari jarak yang agak jauh.
Nekat! Kenapa tadi aku kembali lagi ke taman itu. Sudah jelas-jelas Mira bilang jika angker. Pun sudah ada korban pingsan. Tapi mau bagaimana lagi. penasaran tingkat akut yang kuderita membolehkan aku melakukan itu. Minimal aku harus melihatnya sendiri. Dan benar, sepertinya tadi aku disambut.
Mushola cukup ramai saat jam istirahat. Tak hanya yang menjalankan ibdah. Tapi juga untuk berguaru. Memang tempat ini begitu sejuk dan tenang. Cocok untuk sekedar mengobrol dan atau belajar. Pertanyaanku adalah: apakah ngerumpi di mushola diperbolehkan?
“Pak Brian tumben ke sini. Ada apa?” aku menoleh. Seorang guru pria dengan kumis hitam yang agak tebal berdiri di atasku.
“Eh? Iya pak Ahmad. Tadi jalan-jalan saja dari sana jadi mampir buat ngadem.” Langsung aku salami beliau.
Sekedar informasi saja. Pak Ahmad adalah guru yang paling ditakuti seantero sekolah. Banyak juga guru yang begitu melihatnya langsung menghindar. Apalagi murd-murid. Mereka bisa langsung berlarian jika ada kabar berita kedatangan pak Ahmad. Jika melanggar ketentuannya, ganjarannya adalah sebulan mengumpulkan salinan ceramah di masjid. Persis yang dialami oleh Yashin.
“Yasudah saya tinggal dulu. Mua lihat tugas anak-anak yang harus dikumpulkan hari ini. Kalau mau cuci muka atau ambil air wudlu saja di sana.” Aku cuma tersenyum dan mengangguk. Lalu beliau hilang dari hadapanku.
Sejenak aku atur nafasku lagi. Menatap taman yang memang sedari tadi tak berubah. Mataku masih saja mencari-cari sesuatu disana. Ya beginilah, meski sudah ditiup tengkukku, tapi rasa penasaranku makin menjadi-jadi. Apa benar di sana ada penunggunya.
Aku bangkit lagi dan berjalan. Kali ini aku sengaja tak lewat di depan taman. Aku tak mau mengambil resiko jika sewaktu-waktu ada yang mencegatku. Lalu parahnya lagi memita kenalan denganku. Iya jika wujudnya rupawan. Jika lidahnya panjang semeter bisa kejang ditempat aku dibuatnya.
Jalanku sekarang memutari kelas. Melewati aula sekolah. Tapi taman itu masih terlihat dengan jelas. Aku berjalan mundur sampai di pojokan kelas. Lalu aku lanjutkan lagi hingga ke kantor guru tanpa menengok ke belakang.
Sumpah, tadi itu benar-benar dingin. Pernah tidak merasakan sebuah es balok di taruh ditengkuk. Sebelas duabelas lah. Walau tak basah, tapi minim dinginnya seperti itu. Lalu sepersekian detik dinginnya langsung menyebar ke tubuh. Ke tangan, ke kaki bahkan seperti menjalar ke bola mataku. Rasanya aku seperti tersihir menjadi beku.
Bel dua kali berbunyi. Setelah menegak beberapa gelas air aku putuskan untuk segera ke kelas. Walau sebenarnya telah sepuluh menit juga tak masalah. Karena kalaupun sekarang aku masuk pasti kelas belum pernah penuh. Banyak sekali siswa cowok yang memang telat masuk. Kadang aku mencium seletingan bau rokok. Baiklah tidak usah dibahas darimana datangnya bau itu.
Seperti dugaan. Kelas masih sepi. Banyak murid yang masih berkeliaran. Atau menghabiskan jajan mereka di luar kelas. Yang sudah pasti berada di kelas adalah pengurus kelas dan grup cowok alim yang berada di deret depan. Sisanya akan datang satu persatu lima menit kemudian. Kebanyakan beralasan karena antri di kantin jadi baru bisa makan saat bel berbunyi. Sebagian lagi berdalih tidak mendengar bel karena asik membaca buku diperpustakaan. Padahal jelas-jelas setiap ruangan termasuk perpustakaan ada sebuah interkom yang berfungsi juga sebagai bel.
“Apa pelajarannya sudah bisa kita mulai?” aku lirik kurang dua bangku di pojok belakang. Tempat duduk si Jono dan Mada. Jagoan kelas ini. Untung saja mereka jago matematika. Jika tidak sudah aku hajar sampai kapok jika telat masuk kelas seperti ini.
“Permisi pak, maaf telat. Tadi toiletnya antri banyak.” Dua cecunguk itu langsung masuk dan duduk. Perasaan dari bel istirahat sampai sekarang ada tempo nyaris setengah jam. Rata-rata cowok pipis itu lima menit. Di sana ada enam urinoir dan dua WC. Jadi sekitar 8 tempat buang air. Rasanya jika berabrengan 8 anak. Berarti ada 6 gelombang. Dikali tempatnya ada 48 siswa peserta buang air. Kau rasa tak mungkin antri 48 anak di toilet.
Terakhir yang membuatku sangat curiga adalah: alasan ini digunakan setiap telat di jam pelajaranku. Mau setelah istirahat atau saat jam terakhir. Yasudahlah, yang jelas nilai mereka salalu bagus. Jarang-jarang ada cowok demen matematika. Yah karena pelajaran ini begitu dibenci dan tak disukai. Masih syukur semua anak dikelas ini tak membenciku, paling seram lagi, takut denganku.
“Pekerjaan rumahnya dikumpulin di depan. Dari belakang diberikan ke depan. Begitu seterusnya. Yang paling depan mengumpulkan ke mejaku.” Aku berdiri dan berjalan pada sisi bangku. Aku lirik masih banyak yang heboh mengerjakan tugas. Saling tarik-tarikam berebut contekan.
Ternyata masa dulu saat jamanku sekolah dengan masa sekarang saat aku menjadi guru tak jauh beda. Tradisi yang secera tak langsung mengakar begitu terlihat jelas. Mungkin sejak jaman sekolah pertama didirikan sudah ada praktik seperti ini.
“Lima, empat...!” aku berjalan kebelakang dengan santai.“Jangan sampai jika hitungan sudah nol tak ada buku di depan. Jika telat nilai kali ini aku diskon 50%.” Aku berjalan lagi ke depan.
“Tigaaa..”
Semua langsung berlarian mengumpul tugas di mejaku. Beberapa masih berusaha mengerjakan tugas walau aku yakin tak akan selesai. Mungkin buat syarat saja agar buku yang dikumpulkan tidak kosong melompong. Minimal aku selalu menghargai. Memberi nilai enam paling jelek untuk tugas. Sebagai gurupun juga akan susah jika nilainya njeblok semua. Males jika harus menjalankan program remedial. Koreksian bertumpuk.
“Oke. Untuk hari ini mungkin tidak usah ada pelajaran dulu. Badanku agak tidak enak. Mungkin kita mengorol santai saja. ada yang setuju?” aku duduk dan menatap luas ke penjuru kelas.
Sedetik. Dua detik. Semua mengacungkan tangan. Aku sudah menduga sebelumnya. Siswa normal mana yang tak akan suka jika situasinya seperti sekarang. Maksudku bukan menganggap yang tak suka abnormal ya. Namun aku yakin tidak ada anak yang nggak suka. Kecuali, dia benar-benar maniak belajar. Aku rasa di kelasku tak ada tipe itu. Semua sangat kompak.
“Ada tema?”
“Bahas Smash saja pak!” gerombolan cewek si berat langsung bersorak. “You know me so well...” mereka bersenandung. Sementara itu grup cowok pojok belakang, Jono cs tak mau kalah. “Itu saja pak yang dari korea seksi itu lo siapa ya namanya. Yang lagunya: be bring the boys up!”
“Iya Girls Generation dodol masa nggak tahu.” Mada mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan video musik ke gerombolannya. “Ini kan? Aku punya semua video Girls Generation.”
“Minta bos!” Jono merebut paksa ponsel Mada. “Aku copy semua ya!”
“Eits tidak gratis bro! Aku saja susah downloadnya! Gini saja deh. Nanti saja kamu ke rumah. Aku transfer dari komputerku. Syaratnya bawa apel sekilo. Deal?” Mada diam-diam bakat dagang juga. Muridku benar-benar punya banyak bakat.
Baiklah kita lupakan sejenak gerombolan cowok. Sekarang kita beralih ke kubu cewek. Ok! Sepertinya lebih semarak lagi. Ada fans Smash dan fans boyband korea. Kalian tahukan jika fans dan antis saling ejek? Seru sekali, aku yakin jika tidak ada aku pasti akan jambak-jambakan. Atau cakar-cakaran.
“Halah! Semes itu niru-niru Super Junior! Lihat nih Siwon oppa. Sexy sekali badannya. Absnya bikin ngiler. Semes mana ada yang kotak-kota gini. Wajah saja pas-pasan. Malah ada yang rambut poni semua.” Kubu antis mulai berorasi. Aku cuma duduk di dekat pintu sambil geleng-geleng.
“Hello! Kalian ini orang mana sih? Hargain produk Indonesia dong. Jika tidak kita yang hargai siapa lagi? Majulah Smash!” Sepertinya jika terjadi perdebatan yang berhubung dengan Smash pasti mainnya di produk dalam negeri. Sepertinya itu cukup ampun untuk sejenak mendiamkan antis. Tapi toh selang beberapa menit antis menyusun kata lagi dan membalas.
“Enak saja dikatain nggak kreatif. Morgan, Rangga,...” Aku tidak hafal apa yang mereka sebut. “Mereka itu hebat dan kreatif!”
Beginilah peserta didik. Begitu semangat jika disuruh membahas selain pelajaran. Terlebih boyband atau girlband kesayangan masing-masing. Semangat mereka begitu membara. Luar biasa pengaruhnya!
“Oke tema apa yang akan kita diskusikan? Kok malah ribut sendiri. Jika dalam sepuluh menit tidak ada tema aku beri soal saja lalu dikerjakan.” Guru memang selalu punya cara untuk menjadi penguasa dikelas. Karena sebenarnya murid yang normal. Aku lebih suka menyebut siswa bukan rajin dengan sebutan normal. Pasti akan takut. Apalagi ada embel-embel ‘dikumpulkan’.
“Apa ya? Bagaimana jika bahas tentang area angker di sekolah?” ketua kelas sepertinya sangat pandai menyatukan kelas lagi. Buktinya, banyak sekali yang mengangkat tangan setuju.
Baiklah, kenapa harus membahas dunia perangkeran di sekolah. Kejadian hari ini sudah cukup membuatku terengah-engah. Walau masih ada penasaran. Sumpah aku itu orangnya penasaran sekali. Tapi juga kadang penakut. Sialnya penasaran selalu lebih besar dari takut, tapi jika sudah di tempat takutnya jadi dominan dan penasarannya kabur takut dikejar setan.
Beberapa siswa yang bertengkar tentang semes dan suju akhirnya damai. Semua jadi bisik-bisik mengenai tempat angker di sekolah. Ada lima objek dengar dikelas. Semua bercerita dengan ekspresi seolah-olah berkata---hey setan di sekolah kita ini banyak lo. Ada bermacam jenis dan rupa. Sepertinya harus ada pengindexan setan di sekolah. Bukankah mereka juga aset inventaris sekolah?
“Siapa mau cerita dahulu?”
“Aku pak aku!” Jono langsung bangkit dan mengacungkan tangannya.
“Jono lagi? Oke ayo cerita!” aku langsung duduk ke bangkuku lagi dan bersiku siap mendengar Jono bercerita. Seperti biasa. Anak terekspresif ini menyiapkan wajahnya untuk mulai bercerita.
“Eh teman-teman pernah dengar tidak jika di laboratorium IPS. Sana yang dekat dengan Kamar mandi. Sekitar sepuluh tahun lalu ada siswa cewek yang gantung diri di sana. Memang sih dulu cuma gudang saja. Sehabis kejadian itu, ruangan langsung direnovasi jadi laboratorium. Makanya ruangan lebih sering kosong. Cuma digunakan untuk beberapa keperluan mendadak saja.”
“Emang ada setannya Jon?”
“Tentu saja. Biasanya setiap tanggal dia gantung dan akhirnya mati suka ada penampakan. Biasanya suara cewek menangis. Lalu muncul bercak darah di lantai. Kabarnya dia habis aborsi dan langsung gantung diri.”
Beberapa siswa cewek langsung mengkerut semua. Jono terlihat sedikit cekikikan melihat beberapa ekspresi ketakutan temannya. Aku sendiri sedikit merinding. Tahu kan kenapa aku menjadi merinding mendengar cerita Jono.?
“Kapan Jon itu tanggalnya?” semua terlihat serius melihat Jono. Aku juga.
“Sekarang!” semua berteriak.
Tubuhku dingin.
“Oke! Ganti yang lain bercerita!” Aku tak mau Jono melanjutkan lagi. Aku bisa histeris sendiri nanti mendengarkan ceritanya yang sangat ekspresif.
“Aku pak cerita!”
“Oke silahkan Fika yang cerita.”
“Begini lho teman-teman. Tahu kan itu taman bagus dekat mushola?” Semua manggut-manggut termasuk aku. “Di sana ada batu yang sangat besar. Nah kabarnya ada penunggunya. Seorang pak tua dengan rambut panjang putih. Jika berbuat aneh disana bisa langsung dibuat pingsan.”
Tunggu, si Fika tidak menyebut Mr.X nya punya lidah panjang semeter kan? Atau menyebut matanya besar belolok. Syukurlah kalau begitu. Setidaknya jika nanti aku bertemu dengannya pingsanku tidak akan cepat terjadi. Karena wajahnya tak begitu seram. Actually, walau secantik apapun atau setampan apapun itu setan tetap saja begitu melihatnya bisa membuatku pingsan.
“Tadi ada kakak kelas yang pingsan disana gara-gara setan!”
“Hiii..” suasana kelas makin mengkerut.
“Oke siapa lagi yang mau lanjut bercerita?” aku melempar kesemepatan untuk melakukan storytelling lagi dengan tema hantu sekolah kita.
“Akuh akuh akuh!” ternyata si Novi, atau yang biasa disebut anak kelas ini biang alay. “Akuh ada cerita tentang hantuh sekolah inih.” Entah kenapa setiap kata berakhiran huruf vocal selalu ada tambahan huruf H hingga terkesan mendesah-desah.
“Silahkan Novih.” Sejenak dia langsung berdiri dan bersiap bercerita.
“Teman-teman tahuh tidak area pojok timur sekolah inih? Ituh yang adah lapangan basket dan laboratorium kimiah. Nah, pada bawah pohon yang mengitarih lapangan basket adah kuburan. Jaman PKI duluh tuh, dih sanah tempat penjagalan orang-orang. Ada yang dipotong tangannyah, kakih dan kepalah juga. Makanyah dih sanah tuh angker banget.”
“Area Texas itu ya?”
Aku sendiri tak menahu bagaimana sejarahnya. Karena memang bukan alumni sekolah ini. Namun yang patut dipertanyakan adalah kenapa namanya sentro, unity, texas dan takwa. Kenapa tidak mengambil tema saja, misal binatang. Depan area kucing, belakang area kudanil, timur area burung hantu dan barat area kupu-kupu. Kenapa semarawut seperti itu.
“Benar sekalih! Areah sanah tuh! Duluh adah acarah setan-setan tv yang syuting disanah loh. Namah acaranya huklah huklah apa hulah hulah begituh lah.” Novi berusaha menjawab satu persatu pertanyaan temannya.
“Keren ya sekolah kita!”
“Iya keren juga masuk TV dan banyak setannya!”
Ya Tuhan yang menguasai bumi dan langit. Mereka malah menganggap sekolah dengan banyak sekali setannya hebat. Oh mereka benar-benar siswa yang normal! Karena jika tidak normal pasti mereka bangga jika sekolahnya punya potensi akademik atau olah raga. Tunggu, tapi sepetinya ini juga prestasi tapi bidang supranatural. Bolehlah kalau begitu.
Bel ganti pelajaran akhirnya berdenting. Jika aku hitung, setelah setan area texas ternyata masih ada setan di area takwa dan terakhir di area timur tapi bagian green house. Jadi hari ini aku menginventaris lima area bermistis di sekolah. Rasanya aku ingin segera menulisnya di blog atau aku share di kaskus. Siapa tahu sekolah menjadi mendadak terkenal.
“Tolong bantu angkat buku ini ke meja bapak di kantor ya! Hallo ketua kelas, sudah jangan cerita hantu lagi. sebentar lagi waktunya pak Ahmad kan? Mau ya sebulan mencatat ceramah?” aku langsung berjalan keluar diikuti sang ketua kelas dan wakilnya membawa tumpukan buku untuk aku koreksi.
Mejaku terletak paling belakang. Dekat dengan pintu keluar. Aku taruh tas dibanku lalu menyuruh mereka menata buku di meja. ada tiga tumpuk tebal koreksian untuk hari ini.Rasanya malas sekali. Karena jujur tiga kelas yang aku ajar hanya 25% tulisannya yang bagus.
“Titip disampaikan ke anak-anak. Ini ada lima soal. Dikerjakan di lembaran. Minggu depan dikumpulkan. Anggap saja take home test. Jangan lupa nanti diperbanyak ya untuk sekelas.” Aku ambil selembar kertas di atas mejaku.
“Iya pak.” Jawab mereka berdua lemas. Kesenagan kalian tadi aku tukar dengan tugas. Rasakanlah! Tapi sebenarnya juga aku disiksa dengan mereka. Nyaris ada 110 buku yang harus aku koreksi sekarang. Tapi malas.
Aku tidur saja di UKS. Urusan beres.
***
Setengah tiga lewat sedikit aku duduk di koridor dekat kantor. Tempatnya lumayan terbuka dan terang karena terlihat langsung dari jalan. Baiklah, sebenarnya aku sudah harus berada di ruangan laboratorium IPS dekat kamar mandi. Tapi aku urungkan niat kesana. Lebih baik menunggu mereka semua di sini. Setidaknya disini lebih aman. Ya, aman dan tidak menyeramkan tentunya.
Sore seperti ini sekolah terlihat cukup lengang. Hanya beberapa kali berseliweran guru yang bertugas sama denganku. Juga beberapa siswa yang sedang ada kegiatan ekstrakurikuler di deretan depan sekolah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana suasana ketika malam hari. Pasti rame juga, tapi dengan penghuni yang lain.
Pernahkah kalian bertanya mengapa di sekolahan itu selalu banyak setan. Bahkan sejak aku SD dan kuliah selalu saja tempat untuk sekolah selalu berhantu. Bukankah itu aneh? Atau hal yang lumrah terjadi? Oke tidak usah dijawab.
Selang sepuluh menit aku sudah mendengar suara Yashin yang menggema dari arah mushola. Dia berjalan satai ke arahku. Aku pandang dia dan tersenyum kecil. Namun dia langsung menunduk dan wajahnya memerah. Anak yang aneh. Kenapa harus malu jika bertemu denganku. Deva juga terlihat berjalan menuju ruangan laboratorium, sengaja tidak menghampiriku. Sementara itu, Mira berlarian dari arah gerbang sekolah. Dia sudah mengganti bajunya menjadi lebih kasual dan santai.
“Mari pak kita ke ruangannya!” Mira sudah menarik-narikku dari posisi dudukku. Sebenarnya aku ingin memulai bimbingannya disini saja. aku tidak mau ke ruangan itu. Nanti bagaimana jika ada darah di lantai. Jika mendadak ada yang menggantung di atap dan berkedip ke arahku. Lagi, jika tiba-tiba dia turun dan menggigit leherku.
“Ayo pak Brian!” Yashin ikut menarikku hingga akhirnya aku berdiri. Dengan terpaksa akhirnya aku berjalan ke arah tempat itu bersama Mira dan Yashin. Kakiku rasanya sangat berat. Ingin pingsan saja seperti Deva tadi pagi agar tak jadi bimbingan. Atau-atau aku pura-pura sakit perut lalu kabur balik ke kos. Sial, tinggal beberapa meter lagi sudah sampai di laboratorium IPS. Bagaiamana cara agar bimbingan tak jadi di ruang itu.
“Pak Brian sudah datang! Silakan masuk pak!” kenapa pak Tino malah ada di ruangan itu. Padahal sudah jelas-jelas tadi beliau pulang. Tak mungkin aku kabur dengan berbagai alasan lagi.
“I-iya pak Tino.” Aku segera masuk ruangan dan diikuti oleh Mira dan Yashin. Deva sudah duduk diam pada pojokan ruangan. Terlihat asik memainkan ponselnya.
“Saya tidak lama pak, cuma memberikan materi apa saja yang harus bapak ajarkan kepada mereka.” Pak Tino menyerahkan beberapa lembar kertas print kepadaku. Sekilas kulihat isinya adalah kisi-kisi yang harus diajarkan kepada mereka.
“Iya pak terimakasih.”
Sekarang aku sudah duduk di bangku guru. Ketiga siswa ini sudah terlihat siap menerima dengan ekspresi serius. Si Deva di pojok belakang lalu Yashin tengah dan Mira di depan. Mungkin mereka benar-benar menerapkan prinsip bagi rata. Menempati depan tangah dan belakang.
Pak Tino lima menit lalu sudah pergi dari ruangan ini. “Hati-hati ya pak!” begitu katanya sebelum pergi. Maksudnya apa beliau berkata begitu. Aku sedang ada di ruangan untuk mengajar. Aku harus waspada dengan apa? Apa dengan yang aku dengar pada sesi story telling.
“Baiklah kita mulai saja langsung. Dari materi yang diberikan oleh pak Tino tadi kita akan belajar tentang logika matematika. Materi kelas X. Ada yang masih ingat tidak ini materinya bagaimana?”
Hening. Hanya bola mata Mira yang terlihat bergerak ke kiri dan kanan. Yasin sendiri cuma senyum-senyum malu ketika aku lihat. Deva tambah parah, dia menunduk. Hey, apa dia tidur? Ah ternyata tidak, dia sedang membuka-buka buku yang ditarus di lorong meja. sesaat kemudian dia mencoba memandangku.
“Iya Dev?” Aku paham jika dia ingin mengutarakan jawabannya.
“Yang benar dan salah pak!” jawabnya pelan sambil menggaruk-garul rambutnya. Yah, setidaknya dia lebih pandai dari dua temannya yang cuma bisa cengengesan tidak jelas.
Aku jadi curiga, bagaimana mereka dulu bisa naik kelas jika tak tahu materi sama sekali.
Aku mengacungkan jempolku. Lalu berjalan ke papan tulis untuk menuliskan beberapa materi yang ada di kertas. Setidaknya mereka harus tahu apa-apa saja yang harus mereka pelajari. Dan buku apa saja yang harus dibawa. Suasana mendadak jadi dingin oleh angin yang berhembus kuat. Mendung gelap pun mendadak datang begitu saja. Bahkan petir menyambar dengan begitu keras hingga kaca jendela sedikit bergetar.
Tanganku masih saja menulis dengan cepat. Hujan turun perlaham dan menjadi deras dengan cepat. Semenit lalu Deva sudah menghidupkan lampunya. Susana menjadi begitu hening. Suara gesekan spidol pada whiteboard terdengar jelas olehku. Aku lirik ke belakang. Semua masih nampak serius mencatat.
Jujur, sebenarnya aku sekarang sedang sangat takut. Suasana ruangan mendadak dingin dan ada selentingan bau pengap. Sepertinya tak hanya mata dan pikiranku yang mengalami halusinasi. Hidungku juga mulai berhalusinasi. Seperti mencium bau anyir. Namun aku mencoba menerima jika itu hanya bau tanah basah atau bau aspal panas yang mendadak kena hujan.
Semoga tidak ada yang berkunjung hingga aku selesai mengajar.
“Wah pak bocor!” Mira memekik. Telat, ada air yang mengenai kepalaku. Refleks aku segera membersihkan kepalaku. Dan mengibaskan ke lantai. Aku kembali berbalik dan menulis lagi.
Tanganku ada noda merah. Anyir.
Aku raba lagi kepalaku. Telapak tanganku merah semua. Aku sedikit melongok ke atas. Ada tetesan merah yang jatuh ke lantai. Nafasku menjadi sedikit sesak. Tangan perlahan aku dekatkan ke hidung.
Ini darah.
Aku perlahan mundur hingga tubuhku menyentuh meja. tubuhku mendadak menggigil. Mira sepertinya melihat tanganku dan beberapa darah yang mengalir di rubuhku. Dia berteriak histeris. Aku jatuh perlahan sambil terus memandangi alir-alir darah di lantai.
“Pergi! Pergi!” Deva mendadak berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arah atap. Ya Tuhan jangan sampai Deva pingsan lagi. bisa repot nanti urusannya. “Jangan ganggu kami!” Deva melempar bukunya ke atas. Entah kenapa plavon atap jebol.
Sebuah ampul berisi darah jatuh dari atas.
Ada sebuah buku tebal menyusul jatuh kemudian.
“Pergiiiii!” Deva melempar tasnya hinga seluruh isinya hambur. Aku menjadi semakin kaku. Rasanya rahangku kaku, kakiku dingin. Mira yang di atasku mendadak menangis. Tangannya menggebrak-gebrak meja. Rasanya nafasku mau habis.
Setengah jam aku seperti ini, terus menggigil. Anak-anak juga sudah mulai tenang. Deva tak berteriak dan melempar-lempar lagi. Sementara itu, hujan di luar kina deras. Beberapa kali aku sempat mendengar seperti pohon patah dari luar. Ya Tuhan rasanya aku ingin menangis.
Buku di depanku mendadak bergetar. Ada angin yang berhembus hingga terbuka perlahan. Isinya kosong, aku dapat melihat dengan sangat jelas. Namun ada yang aneh, darah yang bercecer itu mendadak seperti mengalir ke atas buku. Seperti membentuk sebuah tulisan, tapi aku tak bisa membaca. Darah yang ada di tangan dan kepalaku juga sesaat menguap menjadi seperti kabut merah dan menyusup ke dalam buku itu. Dengan cepat buku itu terbalik dan tertulisi dengan darah itu.
“Itu tulisan Drachta pak!” Mira mendesis. Mata terlihat dengen detil setiap kertas yang berbalik-balik. Perlahan Mira bergerak ke depan dan mengambul buku itu. Masih terjadi gerakan kertas terbalik dan mendadak ada tulisan warna merah. Dengan cepat Mira langsung menutup buku itu.
Seperti ada embusan angin menerjang tubuhku.
Lalu Mira roboh.
“Mir, kamu tak apa-apa? Mir?” Aku guncangkan tubuhnya. Dia masih saja memejamkan matanya. Tubuhnya terlihat lemas.
Aku panik. Segera aku bopong dia menuju keluar.
“Apa maksudmu? Apa?” Yashin berteriak. Dia memegangi tangannya sambil terus meloncat-loncat. “Apa maksudmu? Buku? Buku yang mana?” langkahku terhenti. Kembali bergerak ke arah Yashin.
“Shin, kamu tak apa-apa?”
“Argh! Apa maksudmu? Aku tak paham! Kenapa dengan buku itu?”
“Shin!” aku berteriak ke arah telinganya.
“Ya oke! Jangan siksa aku! Baiklah aku akan buka bukunya!”
Yashin segera berlari dan mengambil buku yang masih tergeletak di lantai. Perlahan dia membuka lembar pertama. Matanya mendadak merah. Aku bisa melihat lirikannya begitu menyeramkan. Wajah Yashin pun juga pucat.
Aku tak mengerti apa yang ia baca. Suaranya sangat pelan dan cepat. Namun aku yakin itu seperti semacam mantra. Tubuhku sekarang kaku. Sama sekali tak bisa bergerak. Dari dalam buku muncul simbol. Yah, entah apa itu yang jelas seperti ada yang berputar-putar dan mengelilingi Yashin.
“Ya—Yas---“ susah sekali menggerakkan mulut. Lidahku terasa kaku.
“Voda!”
“Vatra!”
“Sveto!”
“Svaxa!”
Yashin terus melengking. Simbol-simbol yang bertebaran itu bergerak dengan sangat cepat. Aku nyaris tak bisa melihatnya lagi. menjadi seperti bentuk hitam. Sangat pekat.
“Voda!”
“Vatra!”
“Sveto!”
“Svaxa!”
Cahaya biru meluncur mengenai Mira. Dia berteriak dengan sangat keras. Matanya bercahaya biru. Cahaya merah meloncat dari pusaran hitam menuju ke arah Deva. Matanya bercahaya merah. Menyeramkan. Cahaya hitam dan hitam meluncur ke luar ruangan. Nafasku mulai normal. Tubuhku bisa digerakkan lagi.
“Argh!” Aku terdorong ke belakang. Cahaya putih berbalik dan mengenai tubuhku. Terasa begitu hangat. Seperti ada aliran energi di sekujur tubuhku. Pandanganku menjadi putih. Aku seperti melayang-layang pada suatu dataran yang luas.
“Sveto!”
Aku tersadar mendadak. Ketiga muridku sudah berapa di depanku.
“Pak anda tidak apa-apa pak?” aku tersenyum.
“Kalian tidak apa-apa?” ketiganya menggeleng.
“Tapi ada dia pak!” Mira menunjuk ke arah Pintu.
Makhluk besar. Dua matanya sipit berwarna merah dan biru. Dia tersenyum ke arahku. Dia mendekatiku perlahan tanpa menapak.
“Apa kabar Brian?”
“Fee?”
Dia tersenyum lagi sambil mengepakkan sayapnya.
Kenapa gak @bi_ngung saja?
baik pak guru saya tunggu cintamu eh salah ceritamu )