BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Lost Secret - Chapter 3-4 : Rival Hunter!

1141517192026

Comments

  • SUPER..!! Kalo kata mario teguh
    Ide nya bagus gr3y..beda bgt dari yg lain
    Kalo masalah teknik penulisan sih gak perlu di ragu kan lagi..udah Pantes bikin buku novel sendiri
    Chapter selanjut nya ttg brian ya..dah ada tebakan sih siapa yg akan di cium nya, tapi lebih baik mingkem aja dulu deh aku biar gak merusak ide mu Tuk membuat pembaca surprise

    @metropolichz heheheh makasih bro, aku jg lagi belajar. Chapter 3 ini punya Yashin. Chapter 4 baru Brian. Pokoknya gantian antara Brian dan Yashin :) dua tokoh centre.
  • Fadil....oh....Fadil....t.t

    @xchoco_monsterx kenapah tantee? Hahah
  • Padahal baru selesai di baca semua Kmrn tapi hari ini aku kangen lagi sama fee si cool ghost itu..Bete deh Kalo udah demen sama sebuah cerita bersambung kayak gini gr3y..jadi sakau Kalo gak ada update an baru nya..
    Jgn lama gr3y
  • fee nya, ga di buat mati kan endingnya ? *pembaca ga tau diri

  • Chapter 3-3 : Rival Hunter!
    YASHIN



    Tubuh Fadil terlihat begitu lemas. Lingkar matanya hitam, mirip orang yang semalaman begadang. Atau orang yang sedang banyak pikiran. Tubuhnya membujur tak bergerak pada salah satu kasur di ruang UKS. Setelah pingsan, aku langsung membawanya menuju UKS. Beruntung, pagi ini Mira yang jaga, sehingga bisa menolong Fadil dengan cepat.

    Setengah jam kami berusaha menyadarkan Fadil.

    “Sudahlah Shin, kamu ke kelas saja. Biar aku saja yang menjaga Fadil.” Mira mencoba memberi penawaran. Aku cuma tersenyum kecut lalu menggeleng.

    “Aku saja yang jaga. Aku harus tanggung jawab sudah buat Fadil pingsan.”

    “Kalian bertengkar ya?”

    Aku terdiam.

    “Shin? Kalian bertengkar ya?”

    Aku menggeleng lalu memegang tangan Fadil yang dingin. Perlahan aku gesekkan tanganku agar ia merasa lebih hangat dan sadar.

    Tamat sudah riwayatku. Aku sangat yakin kali ini, Fadil akan membenciku. Jika tidak, maka dia sudah gila atau idiot. Nanti saat Fadil sudah sadar, aku akan meminta maaf dan selamanya menghilang dari hadapannya. Itu janjiku sekarang pada diriku sendiri.

    Di hadapanku, Mira cuma memandang dengan ekspresi datar. Matanya selalu berputar seperti sedang memikirkan sesuatu. Bibirnya kadang tersenyum seperempat sempurna.

    “Yasudahlah Shin, aku ke kelas dulu. Nanti aku bilang kamu juga lagi sakit di UKS sehingga nggak ikut jam pertama.” Mira langsung meraih tasnya dan melangkah keluar UKS.

    “Makasih ya Mir.” Dia cuma megangkat tangannya tanpa memandangku.
    Kini tinggal aku dan dia.

    “Maaf Dil, tolonglah cepat sadar. Aku akan semakin merasa berdosa jika kau tetap tak bergerak seperti ini.” aku bisikkan pelan ke telinganya. Setelah itu aku mengembus kuat-kuat, ingin membuang semua beban yang menempel di pikiranku.

    Aku pandangi lagi wajah Fadil. Sayu sekali. Jika sudah seperti ini aku sangat merindukan senyumannya. Tak setampan Pak unyu. Tapi senyum dengan deretan gigi gingsul membuatnya manis. Lesung pipinya juga sering menghiasi wajahnya.

    Wajahnya agak bulat, meski pipinya tak tembem. Badannya tak kurus juga tak tambun. Berambut sedikit jabrik walau sering awut-awutan tak disisir. Di pergelangan tangannya selalu ada gelang dari benang warna biru.

    Fadil sangat suka makan soto ayam. Hobinya mengoleksi kartu. Apa saja jenis kartu. Bahkan dia berbinar saat aku beri satu set kwartet. Walau tak akrab, tapi sesekali aku masih suka terlibat percakapan meski tak lama. Satu lagi yang membuatku suka kepada Fadil. Dia selalu memandang mataku dalam-dalam saat kita berbincang. Rasanya aku ingin pingsan di tempat jika mengobrol dengannya.

    Matanya sungguh elang.

    “Aku di mana?” lamunanku buyar.

    “Kamu di UKS Dil, kamu sudah sadar?” pertanyaan yang bodoh. Aku bingung sendiri mau melakukan apa sekarang. Antara ingin keluar karena takut dan ingin bertanya karena aku sangat khawatir dengan Fadil.

    Aku memundurkan badan hingga mepet dengan tembok, kepalaku menunduk. Suasana ruang UKS jadi hening. Aku tak berani memandang wajah Fadil.

    “Terima kasih ya!” sahutnya singkat. Ia bangkit dan berjalan agak sempoyongan ke arahku.

    Tubuhku kian membeku.

    Dia seperti memandangku sejenak. Aku masih menunduk. Hanya kakinya yang berani aku pandang. Aku merasakan tangannya menyentuh bahuku, lalu meremasnya perlahan. Tubuhku makin terpepet ke tembok.

    “Fadil, sakit.” Rintihku pelan.

    ***

    Aku berlari menuju toilet. Ku cuci mukaku dengan sangat cepat. Tubuhku terasa sakit semua. Juga ada ganjalan yang kuat pada dadaku. Sesak sekali. Nafasku terasa ingin berhenti. Kucelupkan kepalaku ke wadah air hingga aku tak bisa nafas. Aku ulangi terus hingga aku tak kuat lagi dan menggigil pada pojokan toilet. Mataku tak terbendung lagi dengan luapannya. Meski tak bersuara, aku menjerit-jerit dalam hatiku.

    Setelah cukup lama, aku bangkit dan berjalan pelan menyisir belakang toilet. Berjalan menuju pada rumput di sisi kiri mushola. Di sana aku duduk pada sebuah dudukan kayu di bawah pohon jambu. Melamun.

    “Yashin!” Fee mendadak muncul di depanku. Wajahnya selalu ceria.
    Aku masih diam. Enggan menanggapi.

    “Yashin! Kok diam saja? Lagi sakit?” aku menggeleng.

    “Yashinnn!”

    Aku meraih Fee dan langsung menangis sambil memeluknya. Fee cuma diam dan membiarkanku memeluknya. Sesaat aku merasakan ia membelai rambutku. Aku makin menangis sejadi-jadinya. Aku hanya ingin mengadu. Aku tak tahu harus bercerita kepada siapa lagi.

    “Aku mengerti. Kau sudah menceritakannya barusan kepadaku.” Fee berbisik ke telingaku. Tangannya menepuk-nepuk pundakku hingga aku semakin nyaman.

    “Makasih Fee.”

    Hampir setengah jam aku menangis di pelukan Fee. Aku lihat baju yang ia kenakan basah di bagian dadanya. Aku sempat malu karena tanpa sadar telah berbuat tidak baik kepada Fee. Sementara itu Fee cuma tersenyum kecil dan memandang wajahku lekat. Hingga pipiku bersemu.

    “Bro Brian tidak masuk sekolah hari ini. Tadi aku mengintip ke kelasnya. Dia tidak ada di sana Yashin.” Wajah Fee tampak khawatir.

    “Benarkah?”

    “Iya, harusnya senin pagi dia mengajar di ruang sana kan?” Fee menunjuk pada salah satu kelas yang diampu pak unyu.

    “Yasudah nanti aku tanyakan ke ruang guru. Fee, aku kembali ke kelas dulu. Kamu jangan sampai ketahuan, karena ini pagi. Semua orang bisa melihatmu.” Dia mengangguk lemah.

    “Aku sudah pakai baju dan celana bro Brian. Jadi nggak akan ketahuan. Kalau ketahuan, aku sihir orangnya.” Senyumnya sangat mendamaikan.

    “Oiya Fee, terimakasih.”

    “Tak masalah Yashin.” Fee memamerkan giginya yang rapi.

    Aku segera berlari menuju kelas yang ternyata tidak ada gurunya. Dengan lunglai aku duduk dan merobohkan kepalaku ke bangku. Kupejamkan mataku. Membiarkan seisi kelas ramai sendiri.

    “Onyet, kamu dari mana saja? Tidak terjadi apa-apa kan?” Fatimah menggoyang-goyangkan badanku. Aku masih tak merespon.

    “Hoy Yashin dudul, bangun. Cerita ke aku! Cepat!” dengan tenaga yang kuat Fatimah mengangkat kepalaku. Kita jadi saling berhadapan.

    “Aku tidak apa-apa.” Dengusku kesal dan balik ke posisi semula.

    “Kamu nangis ya? Mata kamu merah.”

    Aku menggeleng.

    “Baiklah kalau begitu. Nih makan dulu.” Fatimah menjambak rambutku hingga refleks aku mendongak. Sebuah lolipop disumpelkan ke mulutku. “Makan yang manis biasanya mampu mengendalikan stres lo onyet. Percaya sama aku.” Terpaksa aku mengangguk.

    “Makasih ya Mah.”

    Dari pojok lain Mira melambai ke arahku. Seperti memberi kode agar aku keluar ruangan. Ada yang ingin dia obrolkan lagi. Aku mengangguk dan segera keluar menuju dudukan di taman dekat UKS.

    “Fadil sudah sadar?” aku cuma berdehem dan membuang muka.

    “Ada apa Mir? Apa ada sesuatu yang penting?” aku mengalihkan pembicaraaan.

    Tak ada jawaban. Mira seperti menelpon seseorang sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku. “Maaf Shin, habis menghubungi Deva. Sebentar lagi dia akan datang ke sini.” Aku cuma memandang Mira sekilas.

    “Sebenarnya kita mau ngobrolin Pak Brian. Kata pak Kepsek, Pak Brian cuti satu minggu dan dia kembali ke desa. Ada masalah pelik yang harus ia selesaikan.” Mira mendengus lemah. Kemudian dia ikut duduk di sebelahku.

    “Kenapa dia tidak memberi tahu kita?”

    Mira menggeleng.

    “Yo!” Deva melambai dari kejauhan. Fee sudah berada di sampingnya sambil tersenyum ke arahku.

    “Kita harus menyusul Pak Brian!” seru Mira tiba-tiba.

    “Maksudmu Mir?” Deva menggaruk kepalanya kebingungan.

    “Ya kita akan ke desanya Pak Brian. Mungkin buat membujuknya agar mau pulang kembali ke sekolah.” Mira menunjukkan secarik kertas kecil. Isinya alamat. “Mungkin sehari atau dua hari kita ke rumah Pak Brian. Bagaimana?” Mira langsung memandangku penuh harap.

    Aku terdiam. Berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Mira. Memang sih, jika mendadak pak Brian hilang seperti ini bakalan gawat. Dia adalah otak utama dalam misi-misi pembebasan kutukan ini. bagaimana mungkin aku bertiga bisa berjalan tanpa ide dan pemikirannya.

    Dengan pelan aku mengangguk.

    “Dev?”

    “Aku ikut kata Yashin saja.” Mira semakin berbinar.

    “Baiklah, kita bertemu besok pagi. Jangan lupa buat surat Izin.”

    “Sip!”

    ***

    Pukul enam pagi. Aku sudah duduk pada halte. Merangkul tas yang bersisi baju ganti secukupnya. Sebelumnya, aku sudah menitipkan surat pada pak kebon untuk memberikannya pada guru piket. Sepuluh menit, tak juga ada bau Mira dan Deva akan datang. Aku sudah mulai bosan menunggu.

    “Yashin!” Deva berlari ke arahku, diikuti dengan Fee.

    “Mana Mira?” aku menggeleng. “Yasudah kita tunggu saja sebentar.”

    “Yashin! Yashin! Aku tadi makan sama nasi goreng di rumah Deva. Enak rasanya. Walau pedas sekali.” Aku tersenyum kecil lalu mengacak-acak rambut Fee.

    “Sejak kapan kau pakai wax agar rambutmu rapi?” tanyaku menggodanya.

    Fee sempat berpikir sejenak mencerna pertanyaanku. “Tadi cuma ikut-ikut Deva saja. Katanya jika pakai ini aku jadi tambah seperti manusia. Makanya aku pakai.” Dia meregoh sesuatu dari kantongnya. “Ini tadi aku mengambilnya di kulkas buat Yashin, kata Deva namanya Apel.”

    “Makasih ya Fee.” Langsung aku makan apelnya segigitan. Lalu aku berikan lagi kepada Fee. Dia langsung menghabiskan sisanya.

    “Helo! Maaf telat. Tadi latihan masak dulu.” Mira tak pernah bisa membuat alasan selain belajar memasak.

    “Kita naik Bus arah ini kan?” Mira mengangguk.

    “Perjalanannya mungkin sekitar dua jam. Jadi persiapkan mental kalian, jangan sampai mabuk.” Aku tersenyum kecil dan kembali memeluk tasku.

    Lima menit kemudian Bus datang. Masih lengang hingga aku bisa memilih duduk dengan leluasa. Aku duduk di dekat kaca, agar bisa melihat keluar. Deva di pojok belakang. Fee sudah digaet Mira agar mau duduk dengannya.

    Aku sumpel telingaku dengan headset. Musik dari ponsel terputar keras di telingaku. Pandanganku kosong menatap keluar saat bus sudah mulai berjalan. Kupakai ponco dari jaket. Kini aku lebih nyaman. Aku akan mabuk jika di bus tubuhku merasa tak nyaman.

    Jalanan menuju rumah Pak Unyu sungguh indah. Hutan gemijau masih memenuhi mataku yang mengekor tak pernah lelah. Tebing-tebing dan jalanan gunung berkelok membuat sensasi perjalanan semakin menyenangkan. Fee sempat berteraik-teriak karena pusimg saat bus berkelok pada jalan spiral.

    “Yashin! Yashin! Aku duduk sama kamu saja ya!” Fee langsung duduk dan menyandarkan kepalanya ke ke pundakku. Aku biarkan saja, hingga ia tertidur.

    Sepertinya aku memang tak harus menganggap Fee seorang makhluk aneh. Bahkan hantu. Dia sebenarnya manusia, namun dengan wujud lain. Itu saja bedanya.

    Bus bergerak dengan cepat menerobos kerumunan hutan jati.

    “Karcisnya Mas!” kondektur Bus menepuk pundakku.

    “Berapa pak?”

    “Dua sama dia dua puluh ribu.” Segera aku rogohkan uang di dompet dan menyerahkan kepada kondektur yang dari tadi memandangi aku dan Fee. Memangnya ada yang aneh dengan kita berdua ya?

    Deva di pojok asik tertidur lagi. Mira makan manisan pencit dan tahu asin yang ia beli dari asongan. Aku sendiri cuma diam melihat jalanan sembari membenarkan posisi kepala Fee agar tak jatuh. Tidurnya sangat pulas.

    “Apa kamu pusing Fee? Capek?” aku bisikkan ke telinganya.”

    Dia cuma mengangguk dan memelukku erat.

    Jam sembilan lebih sepuluh kita sampai di terminal. Selanjutnya kita mencari warung untuk sarapan. Perutku rasanya sudah keroncongan. Aku bakalan lemas jika tidak segera menelan beberapa sendok nasi.

    “Kita cari makan yuk!” Ajakku yang langsung diamini semanya.

    “Aku ingin makan pecel saja.” Mira berseru.

    “Masa jauh-jauh kesini cuma ingin makan itu saja, payah ah!” Deva mengejek yang dibalas lengosan muka Mira.

    “Yashin! Yashin! Aku ingin apel.” Fee menunjuk jajaran penjual apel yang banyak berjajar di daerah ini.

    Aku berjalan menggandeng Fee menuju salah satu penjual Apel. “Sam, Apelnya satu kilo berapa?” tanyaku sambil memilih apel.

    “Sekilo sepuluh saja lah, pagi-pagi buat pelarisan!” aku berpikir sejenak.

    “Tujuh ribu saja lah sam. Yang tiga ribu mau aku buat beli makan. Ayolah sam, aku doakan laris deh hari ini.” aku masih berusaha merayu tukang apelnya.

    “Iya baiklah!”

    Yes, batinku dalam hati. Fee sudah tak sabar ingin memakan apelnya.

    “Nih sam uangnya, makasih ya!” langsung aku serahkan sebungkus apel. Dia memberiku satu. Deva satu dan juga Mira.

    Kita berempat duduk pada pinggiran jalan. Memakan apel. Mirip sekali dengan anak yang sedang hilang. Fee paling semangat. Dia sudah apel tiga biji.

    Fee mendadak terdiam. Meremas lenganku.

    “Fee, kamu tidak apa-apa?”

    Aku panik, Fee mendadak kejang. Matanya bercahaya redup. Tubuhnya sangat dingin. Diikuti cuaca yang mendadak jadi mendung.

    “Ire hyancito deouz!” mulut Fee menganga.

    Mendadak semua menjadi gelap.






  • Padahal baru selesai di baca semua Kmrn tapi hari ini aku kangen lagi sama fee si cool ghost itu..Bete deh Kalo udah demen sama sebuah cerita bersambung kayak gini gr3y..jadi sakau Kalo gak ada update an baru nya..
    Jgn lama gr3y

    @metropolichz dicariin Fee tu, hehehe
    AkselEE wrote: »
    fee nya, ga di buat mati kan endingnya ? *pembaca ga tau diri

    @akselEE fee terlalu imut untuk dimatikan wkwkwkwk
  • Horeeee pertamax..tapi baca dulu ah
  • nyimak dulu,...
  • Horeeee pertamax..tapi baca dulu ah
    AkselEE wrote: »
    nyimak dulu,...

    Monggo silakan @akselEE @metropolichz
  • nip_eel wrote: »
    nanti kalo uda tamat baru mention aza :p

    pada tanggung ceritanya lol

    @nip_eel wkwkwk tamatnya beberapa bulan lg. Atau tahun depan, hihihi
  • Yaaa kok sedikit gr3y (gak tau diri mode on) yaaa Tgu lama lagi deh.
    Hehe baru tau rasanya menunggu lama sebuah update cerita jadi nya
  • Yaaa kok sedikit gr3y (gak tau diri mode on) yaaa Tgu lama lagi deh.
    Hehe baru tau rasanya menunggu lama sebuah update cerita jadi nya

    @metropolichz wkwkwkwk ceritamu aja juga lamooo updatenya :P
  • gr3yboy wrote: »
    Yaaa kok sedikit gr3y (gak tau diri mode on) yaaa Tgu lama lagi deh.
    Hehe baru tau rasanya menunggu lama sebuah update cerita jadi nya

    @metropolichz wkwkwkwk ceritamu aja juga lamooo updatenya :P

    Xixixi maaf deeeeh..udah bikin sengsara orang...bukan bermaksud yaaa tapi emang gak sempet..
  • @metropolichz hahahah santai. Aye juga disempet2in soalnya. Banyak proyek nulis juga di negeri seberang :P
Sign In or Register to comment.