It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
euhh seru banget crtanya..
>_<
kira2 ada unsur G nya gak ya.. mdah2an si yashin ni ama si guru jadian. wkwkwk
wakakak kayak neng choco ya?
desiran angin wkwkwkwkwk
hehehehe makasih ya
makasih semua yang udah baca hehehe, silakan menunggu chapter lanjutannya..
wkwkwkwk kesian disalahin mulu...
ohemjiii sumpehloooo? aahah
hahahahha incest dong namanya wkwkwk
makasih masbrooo..
huaaaa gak apa2 deh.
or s guru sama si fee aja.
hehehehe
cepet lanjut dong mas gr3
#plak
[-(
Mkasih Um @gr3yboy udah d mensyen pas launching.
Bagus cerita'y. Cma msh da typo.
Chapter 2-3 - The Book!
“Tidak penting aku mengatakannya di depan kalian semua. Sudah kita lanjutkan saja pembicaraannya.” Aku segera beranjak keluar dari ruangan. Fee membuntutiku dari belakang dengan berjalan.
“Bro Brian cepat katakan! Bisikin aku saja deh biar yang lain nggak tahu. Mau aku bantu apa tidak. Apa aku biarkan saja kamu membusuk beberapa minggu lagi.” sial! Aku malah diancam oleh makhluk sok tak berdosa itu. Jika sekarang aku memegang pisau sudah aku hunus tepat di jantungnya. Eh, tapi apa dia punya jantung?
Aku berjalan menuju dapur umum di samping kamarnya Yashin. Sebuah ruangan petak 3x4 meter. Cukup besar untuk dijadikan dapur. Meski kebanyakan penghuni kos tak bisa memasak semua. Aku, Yashin dan beberapa anak kos lantai satu yang kadang memakai untuk sekedar membuat minuman hangat.
Fee masih berkeliaran di depanku, kadang di atasku juga. Dia memegang buku aneh itu dan sebuah pena. Mulutnya terus saja mendesis minta aku untuk memberitahu apa jenis manusia dalam desiranku. Maksudku, untuk apa dia perlu tahu, toh semua proses juga aku yang menjalankan. Dia itu disini sebenarnya tiada guna.
“Kalau aku tidak kasih tahu, memang ada perubahan?”
“Tidak!” jawabnya santai sambil ikut-ikut mengaduk kopi instant yang kubuat. “Aku juga buatkan satu ya! Jangan manis-manis.” Apa salah jika aku gemas dan ingin memukulnya hingga babak beluar? Kelakuannya jadi manusiawi sekali.
“Baiklah tapi bantu aku angkat semua minuman ini ke kamarku. Mengerti?”
Dia tersenyum dengan girang.
Akhirnya setelah jeda setengah jam diskusi aneh ini dimulai lagi. sebelumnya aku telah berbisik kepada Fee dan dia mencatatnya. Sekarang semua menegak minuman hangat yang kubuat sembari menunggu Fee yang girang menegak kopi pertamanya.
“Baiklah fase pertama kami semua sudah paham Fee, sekarang sebutkan cara fase yang kedua. Jangan mengolor-olor waktu!”
“Benar sekali Fee.” Yashin mengamini pernyataanku.
Masih seperti sebelumnya. Fee berputar-putar sebelum akhirnya turun dan mulai bercerita. Kali ini dia terlihat lebih serius. Mungkin efek hangat dari kopi yang aku berikan.
“Kalian perhatikan aku, aku tidak akan mengulangi setiap perkataan. Fase kedua adalah kalian harus bisa menemukan aura orang yang bertolak belakang dengan aura kalian. Fase ini gampang-gampang susah. Tapi jika kalian semua memang sungguh-sungguh ingin cepat bisa makan semuanya akan berjalan sesuai dengan yang kalian harapkan.
“Voda berarti Air!”
“Vatra berarti Api!”
“Sveto berarti Cahaya!”
“Svaxa berarti Kegelapan!”
“Jadi aku apa? Tanda yang ada pada tubuhku bukan hitam, melainkan warna ungu. Jadi mantra apa yang harus aku gunakan?” Yashin menganggat tangannya.
“Sebenarnya kau adalah pembaca buku. Jadi tak perlu ada rival. Tapi nasibmu ditentukan oleh semua manusia ini.” Fee menunjuk tepat dijatku. “Tapi jikalau kau ingin menemukan rivalmu, tak masalah. Tak perlu pakai mantra atau sejenisnya.” Yashin manggut-manggut.
“Jadi aku harus mencari orang dengan aura warna hitam?” sambungku, Fee mengangguk mantap. Dia terlihat membaca bukunya lagi sekilas.
“Mira, coba kamu ke depan sini. Duduklah bersila.” Mira langsung mengikuti pa yang disuruh oleh Fee. “Taruh kedua tanganmu pada paha. Hadapkan ke atas terlebih dahulu. Pusatkan pikiranmu pada kedua tanganmu itu. Perlahan lipat jarimu ke atas. Tutup juga matamu perlahan juga.” Dengan tenang, Mira mengikuti setiap instruksi dari Fee.
Aku terus mengamati apa yang sudah Mira lakukan. Yahin sengaja merekam apa yang terjadi menggunakan video diponselnya. Deva sudah ikut-ikutan apa yang sedang dilakukan oleh Mira.
“Embuskan nafasmu perlahan, rasakan udara keluar masuk. Biasakan dengan keadaan itu. Embus. Keluarkan. Begitu seterusnya. Jika sudah, coba kau cari titik terang di sana. Ucapkan kata yang sesuai dengan auramu perlahan. Cari dengan hatimu. Aku akan sedikit membantu.” Fee memegang pundak Mira juga Deva. “Rasakan hangat dari tanganku, perlahan cari titik terang. Lalu raih. Jika sudah teraih buka mata kalian perlahan.”
Sudah lima belas menit sejak Fee memegang pundak dua anak ini. Deva yang pertama kali membuka mata. Disusul Mira yang membuka mata lalu menangis. Aku masih diam dan perlahan mencerna apa yang terjadi kepada mereka berdua.
“Apa yang kau lihat Mira?” Fee langsung berdiri di depan Mira.
Mira masih sesegukan.
“Tadi aku melihat secercah cahaya, aku dekati dan raih. Sekejap aku langsung seperti berada pada sebuah daratan yang sangat luas. Aku melihat seekor anjing kecil yang kakinya berdarah-darah. Dia meringkih kesakitan. Aku coba tolong, aku tali kakinya yang ternyata patah. Lalu anjing itu tak bergerak. Aku sempat mendekatkan kepala pada perutnya. Tak ada detak jantung. Tiba-tiba aku menangis dan terbangun sendiri. “ Fee tersenyum kecil lalu berlalu ke arah Deva.
“Kalau kau? Melihat apa?”
“Setelah memegang sinar putih itu, aku merasa seperti ada pada ruangan kecil. Sangat pengap. Gelap dan hanya ada cahaya lilin. Perlahan tempat itu seperti terasa menghimpitku. Aku berontak dan memukulinya dengan keras. Tapi tak juga mau berhenti. Lalu aku berteriak dan memanggil nama ibuku. Lalu aku tersadar.” Lagi-lagi Fee tersenyum.
Apakah ada sesuatu dari apa yang mereka lihat. Mungkin pertanda dari alam bawah sadar mereka. Menurutku apa yang dilihat mereka adalah cerminan yang mereka rasakan sekarang. Atau cuma halusinasi yang diciptakan oleh pancaran aura masing-masing. Bisa juga suatu ketakutan yang ditranfer oleh Fee agar mereka bisa membuka kemampuan melihat aura rivalnya.
Fee sungguh membantu sekarang ini.
“Bro Brian dan Yashin. Sekarang giliran kalian untuk membuka kemampuan kalian. Ingat ya, aku hanya membantu mengarahkan jalan. Kalian sendiri yang nantinya akan meraih cahaya itu. Apa kalian mengerti?” Aku mengangguk, Yashin masih terlihat bingung.
Aku duduk dan langsung mempraktekan instruksi dari Fee. Aku tutup mataku perlahan bersamaan dengan melipat jari. Aku embuskan perlahan-lahan nafasku hingga aku benar-benar berkonsentrasi. Pundakku terasa sangat hangat. Fee sudah mengalirkan energinya ke tubuhku.
Ada cahaya putih.
Aku melihat sebuah kelebatan cahaya. Bukan, lebih tepatnya seperti makhluk kecil yang memendarkan cahaya. Bentuknya seperti burung, tetapi matanya bercahaya putih. Ada rasa dingin saat dia bergerak di depanku. Aku berusaha mengejar dan mencekalnya, tetapi selalu lepas. Dia mencoba mengejekku. Aku beberapa kali harus terjauh hingga jungkir balik. Dia tak juga mendekat, kian tinggi dan membuatku sulit hanya untuk melihatnya.
“Mendekatlah, aku mohon!”
“Dapat apa jika aku mendekat, tidak akan ada untungnya buatku!” sahutnya menampak lalu menghilang lagi bak kilat.
“Memang, aku tak bisa memberimu apa-apa. Tapi bukankah kau adalah bagian dari diriku. Aku hanya menyuruhmu mendekat, aku tidak akan pernah menyakiti apa yang aku punya. Mungkin kehangatan tubuhku bisa menjadi tempatmu tinggalkan. Kau adalah hatiku. Datanglah cepat!”
Ada cahaya putih melingkar, seperti pusaran. Sesaat kemudian menubrukku dengan sangat cepat. Aku merasa seperti terlempar. Ambruk pada sebuah jalanan. Suasananya sangat aku kenal.
“Apa kau janji akan menungguku?”
“Tentu saja, janji jika akan terus hidup bersama meski kau akan pergi jauh. Mungkin suatu saat kita akan bertemu. Aku hanya ingin kau simpan hatiku, jangan berikan ini kepada orang lain.”
“Uhm, aku akan mencarimu jika sudah besar nanti.”
Aku ambruk di dekat dua anak kecil yang sepertinya tak melihatku. Pelupukku terus saja basah. Aku tahu siapa mereka berdua. Aku ingat dengan kejadian ini. Aku...
“Bro Brian, apa kau tak apa-apa?” Fee sudah di depanku. Menatapku aneh, lalu dia tersenyum tipis.
“Tentu saja aku tak apa-apa.” Aku hapus lelehan air mata yang ternyata jatuh di alam sadarku. Yashin masih belum tersadar saat aku menoleh ke arahnya. Nafasku sedikit terngah. Perasaanku mendadak sangat kacau. Aku ingat lagi kejadian itu. Ketakutan yang sampai sekarang terus membuntutiku.
“Sudah berapa lama aku tadi memejam?” kugeser dudukku agak kebelakang dan bersandar pada tembok.
“Setengah jam pak,” Sahut Mira singkat.
Fee masih memegang pundak Yashin. Lebih erat. Beberapa saat kemudian yashin terbangun dan ketakutan. Dia sedikit menggigil. Aku pernah sekali melihatnya seperti ini tempo hari.
“Kau melihat apa?”
Yashin menggeleng dan membenamkan matanya pada bantal.
“Baiklah kalau begitu, Aku yakin kalian semua sudah bisa melihat aura rival kalian. Caranya adalah langsung melihat kepada objek. Akan lebih terlihat jelas jika objeknya ada pada jarak dekat dan dibelakangnya ada benda putih. Tapi itu opsional saja. yang perlu kalian lakukan adalaj mengamati pinggiran tubuhnya. Jika konsentrasi kalian baik, akan ada selubung energi cahaya. Itulah warna aura dari rival kalian.
“Jika belum bisa melihat coba kalian memejamkan mata dahulu sebentar. Lalu lihat lagi objek itu. Perlahan akan terlihat aura warna dar tubuhnya. Mulai besok kalian harus segera mencarinya.”
“Lalu tahap selanjutnya apa Fee? Mungkin setelah kami berhasil menemukan dan mengambil nafas mereka.”
“Memang kalian sudah tahu bagaimana cara mengambil nafas tanpa membunuh rival kalian semua?” Fee melengos, terbang lagi di atas kami.
Benar sekali. Aku nyaris melupakan bagaimana cara mencuri nafasnya.
“Ada ide? Yang kasih ide nanti aku beri nilai bagus!” tawarku sekenanya.
“Nafasnya saja kan Fee?”
Fee mengacungkan jempolnya.
“Jika aku mencium targetku dan menghisap udara dari mulutnya? Nafas bisa terjadi di hidung dan dimulut. Jadi tetap saja nafas. Bagaimana?” Yashin berkata dengan wajah nakalnya. Gila juga anak ini. sudah ada pada situasi sangat genting. Masih saja berusaha memesumkan suasana.
“Cerdas. Mungkin itu juga salah satu cara mencuri nafas rival kalian.” Fee sumringah sekali. Wajahnya langsung terlihat lebih bercahaya.
Jangan bilang ini salah satu cara yang harus dilakukan. Mencium seseorang. Tanpa ada ikatan cinta. Bagiku itu sungguh sangat memalukan. Bagaimana kutukan jadi hal sekonyol ini. Bukankah ini sejak awal memang didesain agar terjadi kemesuman. Ciuman itu adalah awal dari petaka. Bagaimana jika saat ciuman tiba-tiba terjadi setruman dan berujung maksiatisme.
“Aku setuju pakai cara ini! setidaknya kita tak perlu menghabisi nyawa orang lain yang tak berdosa.” Mira yang seorang cewek juga girang. Aku lihat Deva juga malu-malu, tapi dari raut wajahnya, dia sangat setuju. Oh ini sangat menjijikkan.
“Diskusi selesai untuk hari ini. siapakan tenaga kalian untuk besok. Minggu besok seharian kita akan sama-sama menjelajah kota untuk mencari rival kalian semua. Apa kalain siap?” Fee seperti orang berkampanye saja.
“Siap!” ketiga muridku terprovokasi.
Hanya aku yang lemas.
***
Fee izin untuk menginap di rumah Deva. Ruangan kamarku kembali hening seperti sebelum Fee mengacau. Yashin yang kerasan di kamarku juga sudah kembali ke ruangannya untuk tidur. Pukul sepiluh malam, hujan turun lagi dengan sangat deras. Mataku mengamati titik air yang menciprat pada jendela kaca.
Suasana dingin langsung menyeruak. Aku dudk pada pojokan kasur sambil berselimut. Petir yang menyambar sedikit membuatku takut. Benda di dalam kamar ikut sedikit bergetar. Pikiranku melayang entah kemana. Yang aku rasa hanya titik kesedihan yang mendadak memendar.
Aku menangis. Lagi.
Bayangan akan kejadian yang kulihat tadi siang seperti terputar lagi dengan sangat sempurna. Aku bisa mendengar dengan sangat jelas apa yang terucap dari bibir mereka. Ekspresi wajah mereka. Bahkan merasakan hati mereka. Aku sangat tahu benar kejadian itu. Kenapa ketakutanku menguap lagi. aku sudah lama memasungnya hingga tak ada kemungkinan muncul dan menyiksaku sekarang.
“Apa kau janji akan menungguku?”
Aku meremas bantal hingga tanganku terasa panas. Suara itu menggema dengan sangat jelas. Sekuat apapun aku menutup telinga suara itu masih kuat menyusup.
“Tentu aku akan menggumu...” desisku lirih
Tubuhku terasa ringan. Aku seperti melayang.
Chapter 3-1 : Rival Hunter!
.....
"Yashin cepat!" Aku dan Deva memegangi pemuda itu.
"Cepat curi nafasnya! cepat cium!"
.....
@uditaboti ahahahahah kan seru ini drpada poci.. *bagus2in makhluk ciptaan sendiri*