BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

[MultiChaptered - IF I LOVE YOU TOO?] ~ 130612- (COMPLETED)

1679111232

Comments

  • waah, blm di-update ya?
    Levi, apa kbr?
  • waduh... maap skrg blm bisa balesin satu2. hehe. makasih banyak yg udah mampir. kemaren2 long weekend-an dlu. ini emg belum tamat koq, kan blm saya kasi tanda END jg ;) well, nanti malem lanjut ya. yg minta side story-nya william, saya usahain. see ya soon dears! =)
  • hyaaaaaaaa... alhamdulillah akhirnya si mas @rieyo626 nongol juga.
    #cipika cipiki

    uh kangen sumpah sama s adniel . huhu
  • [#7 – Deeply]

    Bisa di tebak, bagaimana hari-hariku sekarang… it’s beautiful. Haha. Setelah hampir 2 tahun aku selalu sendiri dan banyak menghabiskan waktu dengan teman-temanku saja, sekarang aku sudah punya seseorang lagi yang bisa aku perhatikan dengan spesial, yang pasti akan balik memperhatikanku dengan spesial juga.

    Having someone who cares of you is really great.

    Pikiranku tentang Levi, membuat aku tak berkonsentrasi dengan mata kuliah Akuntansi Publik yang sedang dijelaskan oleh dosenku. Aku malah menyandarkan pipi ku diatas tangan yang aku lipat diatas meja dan memfokuskan mata ku ke arah Levi yang duduk di seberang depan – seperti biasa cukup jauh dengan tempatku.

    Tapi entah karena hati kita yang sudah terlanjur menyatu atau apa, seolah aku mengirimkan sinyal telepati melalu tatapanku – Levi pun akan menengokkan wajahnya ke arahku.

    Deg deg deg.

    Damn, I love this kind of heart beats.

    Sumpahnya, aku suka sekali merasakan debaran di dadaku yang akan berdegup sekencang ini begitu mata Levi menemukan mata ku yang sejak tadi sedang asik memandanginya. Ditambah dia pun mengulas senyumannya yang lembut padaku.

    Oh dear God, yes I’m in love with him… so deeply.

    “Prawira!”

    Aku baru akan membalas senyuman Levi, ketika ku lihat dia malah mengalihkan lagi wajahnya ke depan.

    “Prawira!”

    “Niel…” desisan dan sikutan dari temanku, membuat aku membetulkan posisi dudukku, lalu baru tersadar kalau sejak tadi, dosenku sedang memandang tajam ke arahku. Oh shit, aku lupa kalau dosen satu ini biasa memanggil nama belakangku, karena dia bilang nama depanku terlalu ribet.

    “Kenapa kamu ngelamun?” tanya Pak Budi – nama dosenku.

    “Eh, nggak kok Pak” jawabku sambil mencoba tersenyum, gugup. Dia jangan-jangan meng-gap aku yang sedang flirting jarak jauh dengan Levi.

    “Kalo gitu, coba terangin ulang yang barusan saya bilang”

    Aku terpana beberapa detik, sebelum kemudian sibuk membuka-buka catatanku yang sebenarnya kosong . Anjrit. Aku bermaksud meminjam catatan milik temanku, tapi mereka juga tidak mencatat apapun. Argh.

    Hingga tiba-tiba sebuah binder yang diulurkan dari belakang, menyelamatkanku. Aku langsung mengambilnya tanpa peduli dulu siapa penyelamatku. Yang penting, aku lumayan selamat dari bulan-bulanan Pak Budi, meski dia masih saja agak meledekku. Aku tidak terlalu ambil pusing, cukup memberinya senyuman garing.

    Aku melihat pada binder yang masih ada diatas meja, bermaksud mengembalikan sambil bilang terima kasih – tapi aku baru sadar kalau aku hapal tulisannya dan cover binder bergambar vokalis Coldplay itu.

    Ini binder Dara. Ah, damn.

    Memang sejak kejadian besar itu, aku tak pernah bicara lagi dengannya. Mungkin aku benci padanya karena aku terlanjur kecewa. Meski sebenarnya tidak nyaman, tapi aku juga belum bisa kembali akrab dengannya seperti dulu. Tidak semudah itu.

    “Thanks” ucapku pendek, sambil berbalik sekilas dan menyimpan binder itu di meja Dara, tanpa melihat wajahnya.

    Dan ketika mata ku melihat ke arah Levi, dia sedang melihat padaku lagi. Dia masih tersenyum, kali ini aku sempat membalas senyumannya.

    - - - - -

    “Kamu tuh ya, yang serius dong kalo lagi kuliah” ujar Levi begitu kami tiba di parkiran.

    “Gue serius kok” sahutku cuek sambil mencari-cari kunci motor di dalam tas.

    “Apanya yang serius, kamu ngeliatin aku terus” kata Levi dengan pede-nya.

    Aku menemukan kunci motorku, lalu memandang lekat pada pacarku itu.

    “Siapa yang liatin kamu?” tanyaku, memasang muka serius. Sejak aku menyatakan perasaanku juga padanya, aku memang sudah mengganti panggilan ‘elo’ dengan ‘kamu’, biar lebih manis.

    “Ya kamu”

    “Dih, ge-er!” sergahku cepat.

    Levi merubah raut wajahnya yang tadi sempat terlihat bangga. Aku memasangkan kunci motorku, lalu mengambil helm ku yang dipegang Levi.

    “Emang kamu beneran gak liatin aku?” tanya Levi pula, terdengar terluka.

    “Nggak lah” aku masih mengerjainya.

    “Terus, kamu liatin siapa?” Levi mulai mengernyitkan keningnya, termakan omonganku.

    “Liatin yang sebelah kamu” jawabku, asal.

    Kening Levi semakin berkerut, tanda ia berpikir dan tidak terima.

    “Kamu… liatin Utari?” tanya nya lagi, memastikan. “Atau Firdaus?”

    Tadi dia memang duduk di tengah-tengah, diantara dua anak yang dia sebutkan. Rasanya aku ingin ketawa, apalagi melihat wajah Levi yang jadi agak menegang. Dia juga tak biasanya, tidak langsung naik ke atas motorku, dan malah berdiri disana, masih menunggu jawabanku. Mungkin kalau aku benar-benar bilang; aku memang memperhatikan salah satu dari dua orang itu, Levi akan memilih tidak jadi pulang denganku. Ini pasti cukup serius untuknya.

    “Dua-duanya” jawabku akhirnya.

    “Hah?”

    “Aku liatin mereka, siapa tau macem-macem sama pacarku yang pinter. Cepet naek!” kata ku lagi cuek dan mulai menyalakan mesin motorku.

    Levi masih berdiri disana, terpana. Aku memandangnya dan tertawa.

    “Naek gak? Apa mau gue tinggal?” kata ku lagi setelah enak tertawa.

    Levi mendecak sambil menahan senyuman di bibirnya, pura-pura ngambek . Tapi kemudian dia memasang helm-nya dan duduk di belakangku. Aku menarik tangannya yang hanya dia simpan samar-samar di pinggangku, agar lebih memelukku seperti biasa.

    Memang, sejak hari itu ketika aku nekat come out di depan sebagian penghuni kampus, Levi malah jadi banyak mengurangi gerakan mesranya denganku. Dia selalu saja bilang kalau kita ada di tempat umum. Dia mengingatkanku, karena mulai sekarang orang-orang akan jadi lebih memperhatikan kita. So what?! Selama kita tidak mengganggu mereka dan mereka tidak mengganggu kita, aku rasa sah-sah saja.

    “Niel!”

    Aku baru akan menjalankan motorku, ketika seseorang memanggil dan menghadangku agak di depan.

    Dara.

    Aku merasakan Levi melepaskan tangannya di badanku.

    “Sebentar aja, gue mau ngomong” pinta Dara pula. Ini pertama kalinya lagi kami berhadapan, setelah beberapa minggu.

    Dengan agak enggan, aku pun membuka kaca helm ku.

    “Kenapa?” tanyaku dingin.

    “Gue mau minta tolong…”

    Aku menunggu Dara menyelesaikan kata-katanya.

    “Lo inget Bona kan?” tanyanya, menyebutkan nama ikan badut yang dulu pernah aku belikan untuknya di hari ulang tahun dia yang ke-19. Dara bilang, dia suka sekali Nemo, dan dia ingin memelihara ikan jenis itu. Kebetulan, saudaraku ada yang memilikinya, aku pun membeli ikan itu dan memberikannya jadi hadiah untuk Dara. Memang so sweet, tapi itu dulu – ketika aku masih merasa dia adalah sahabat terbaik ku sekaligus pengganti adik ku yang jauh.

    “Oh inget, kenapa dia?”

    “Akuarium nya udah gak bagus. Gue beli yang baru, tapi gue gak ngerti ngurusnya. Bantuin gue, boleh kan Niel?”

    Aku terdiam beberapa detik, lalu melirik Levi yang dari tadi hanya diam menyimak. Dia ternyata malah tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Argh, ini yang kadang aku sebal dari Levi – kenapa dia baik sekali jadi manusia?!

    “Gue boleh ikut kan, Ra?” tanya Levi tiba-tiba.

    “Iya, boleh banget Lev” jawab Dara, agak gugup.

    “Ok, gue sama Adniel nanti ke kosan lo”

    Aku mengernyitkan kening. Levi seenaknya mengiyakan, padahal aku sendiri belum memutuskan untuk membantu. Ayolah, itu cuma masalah akuarium, dan semua orang bisa membantu Dara. Setau ku juga, dia punya banyak temen cowok, jadi kenapa mesti aku?!

    “Ok, makasih ya. Gue tunggu di kosan” Dara pun berlalu, dengan agak salah tingkah.

    Aku melirik Levi setelah kami hanya tinggal berdua lagi.

    “Kenapa?” tanya Levi, menyadari keberatanku. “Nolong orang itu dapet pahala, Niel” katanya pula, dan mengembangkan lagi senyumannya. Sebelum membiarkan aku menyahut, dia pun kembali memelukku dengan lebih erat – sengaja agar aku tak bisa membantahnya.

    Ck.
    - - - - -

    Kost-an tempat Dara tinggal, terasa jadi asing bagiku. Padahal biasanya aku menjadikan tempat ini sebagai tempat pelarian (baca: bolos). Kalau misalnya jenuh dengan satu mata kuliah, belum mengerjakan tugas atau juga mengantuk gara-gara semalaman begadang.

    Jika mau di bahas lebih detil, di tempat ini memang cukup banyak kenangan manis dan lucu nya. Tapi sudah tak penting lagi untuk di ingat-ingat sekarang.

    “Masuk guys” aja Dara, begitu aku dan Levi sampai disana.

    Tanpa banyak berbasa-basi lagi, aku langsung meminta Dara menunjukkan Bona dan akurium baru nya.

    Karena Bona adalah jenis ikan laut, jadi air nya pun tak bisa air sembarangan. Akuarium nya pun harus khusus yang bisa menyaring air lautnya terus-terusan.

    “Lucu banget” komentar Levi, mencairkan suasana dingin diantara kami. Dia mengamati ikan badut di dalam akuarium baru yang sedang aku betulkan.

    “Itu dulu Adniel yang beliin” sahut Dara tiba-tiba, yang menurutku tidak begitu perlu untuk diceritakan.

    “Oh ya?”

    “Iya, gue dapet dari Om gue Lev. Kamu mau? Nanti gue beliin” sahutku cepat.

    “Ah aku gak bisa ngurusnya, Niel”

    “Gue bantuin”

    Levi melihat padaku, dan aku juga melihat padanya. Kami saling melempar senyum disana, selalu saja merasa dunia milik berdua – tak ingat kalau Dara ada di belakang kami, sedang memperhatikan. I don’t care anyway.

    “Nggak ah, aku kayaknya lebih pengen melihara anak kura-kura, Niel” kata Levi pula, lebih dulu memalingkan wajahnya untuk kembali mengamati Bona.

    “Boleh juga, nanti gue cariin”

    “Aku namain Niel nanti…”

    “Hah? Nama gue?”

    “Iya” ujar Levi sambil menjulurkan lidahnya padaku. Rawr, rasanya ingin aku gigit.

    “Kenapa harus kura-kura?” aku bertanya lagi, baru tersadar. “Jangan bilang karena gue lelet? Huh?”

    Levi malah tertawa dengan renyahnya, aku pun mengacak rambut halusnya. Dia membalas dengan mencubit pinggangku.

    Kami jadi asik bercanda berdua.

    “Ehm, guys”

    Suara deheman dan panggilan Dara, membuat kami berhenti. Untung aku sudah selesai mengurusi akurium baru Dara ini.

    “Eh ya, ini udah beres Ra” kata ku sambil melihat pada Dara yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.

    Dara mengangguk.

    “Makasih. Pada minum dulu ya?” tawarnya sambil mengeluarkan dua kaleng minuman ringan dari dalam lemari es mini nya.

    “Kita mau langsung—“

    “Thanks Ra” Levi memotong ucapanku, dengan mengambil satu kaleng minuman ringan dan duduk disamping Dara.

    Aku pun menghela nafas, lalu terpaksa untuk ikut minum dulu. Aku memilih duduk di bawah, di atas karpet sambil memandang lurus pada tivi yang tadi dinyalakan Dara. Kami terdiam beberapa saat. Suasana canggung memang tak bisa dielakkan.

    “Leviandra…” Dara akhirnya memecah keheningan.

    “Ya?”

    “Gue… mau minta maaf sama lo”

    Aku membalikkan badanku untuk melihat pada mereka yang duduk agak di belakangku.

    “Gak usah di bahas lagi, Ra. Gue udah lupain itu…”

    “Tapi gue belum” sahut ku cuek. Dara dan Levi melihat padaku, nyaris bersamaan.

    “Niel…” kata Levi, seperti mengingatkan, tapi aku tak peduli.

    “Menurut lo, semuanya bisa dimaafin semudah itu, Ra?” kata ku dingin dan datar. “Gue masih kecewa sama lo”

    Dara tampak sedih memandang ke arahku.

    “Lo gak usah mikir yang aneh-aneh, Ra. Kalo Adniel udah gak peduli sama lo, dia gak akan mau bantuin lo lagi, kan? Percaya sama gue, dia selalu care sama lo” cetus Levi, menenangkan Dara.

    “Gak usah sok tau, Lev” ujar ku, sambil meneguk minumanku sampai habis.

    “Ya, dan lo gak usah sok baik sama gue…” kata Dara pula sambil melihat pada Levi.

    “Tuh kan, dia gak bisa dibaikin dikit” sela ku pula. Aku berdiri dari duduk ku dan bermaksud pergi saja. “Udah, kita pulang Lev!”

    “Gue gak sok baik sama lo…” Levi tak menggubrisku dan terus bicara dengan Dara.

    “Lo pasti benci sama gue, kan?”

    “Gue emang sempet sakit hati, tapi gue gak benci lo”

    “Kenapa?”

    “Karena itu gak ada gunanya. Asal lo udah sadar dan gak jahat lagi, itu udah cukup”

    Dara tampak menggigit bibirnya, seperti menahan tangis.

    “Lo baik banget Lev…” desahnya kemudian.

    “Nggak, gue cuma ngelakuin apa yang gue pikir dan gue rasain” ujar Levi, simple. “Kita lupain aja yang udah-udah, Ra”

    Aku melihat Levi memegang tangan Dara, menepuk-nepuknya pelan. Aku menarik nafas saja, bukan saatnya untuk cemburu.

    “Jujur, Lev… gue suka sama Adniel, gue sayang sama dia” kata Dara tiba-tiba, setelah beberapa detik, dia menundukkan kepalanya.

    Aku melebarkan kedua mata ku. Oh shit, Dara punya rencana apa lagi ini?!

    “Dara…” kata ku bermaksud menyela.

    “Terus?” Lagi-lagi Levi tak membiarkan aku mencampuri obrolan mereka.

    “Gue… mau lo berbagi dia sama gue”

    “Hey!” aku kembali bermaksud menyela.

    “Niel, bisa tunggu diluar gak?!” kata Levi akhirnya sambil melihat padaku. Tatapannya serius.

    “Nggak!” jawab ku tegas. “Kalian ngomongin gue, jadi gue berhak terlibat disini!”

    Dara melihat pada ku, masih dengan tatapan sedihnya.

    “Lo jangan mulai lagi ya Ra!” kata ku pula pada temanku itu, aku tak mempedulikan tatapan sedihnya. Aku tak mau terkecoh.

    “Gue pengen pacaran juga sama Adniel, lo masih mau baikin gue, Lev?” tanya Dara lagi sambil kembali memandang Levi.

    Mata ku semakin melebar dan aku jadi menatap tajam pada cewek itu. Si Dara nih malah melunjak!

    “Kalo Adniel nya mau, gue bisa apa…” jawab Levi, masih tenang (atau pura-pura tenang?)

    “Gue gak mau! Kita pulang!” aku menyela lagi dan kali ini menarik tangan Levi agar mau berdiri dari sana.

    “Niel!” Dara kemudian ikut berdiri di hadapanku. “Lo gak bisa egois kayak gini. Gue tau lo cinta sama Leviandra, tapi kalian gak cuma hidup berdua di dunia. Lo mau jawab apa kalo ortu lo nanyain pacar lo? Lo yakin, mau kenalin dia? Lo bisa jamin kalo ortu lo gak akan kenapa-kenapa?! Come on, pikirin juga realita yang ada, Niel!”

    Aku terpaku.

    Kenapa aku mendadak di skak-mati seperti ini?!

    But f-ck, aku memang nyaris lupa dengan keluargaku, lupa dengan ibu Levi. Di kampus, mungkin aku punya cukup kebebasan, tapi di lingkungan keluargaku – mungkin tak akan jadi semudah ini. Hanya Mbak Lidya yang tau dengan semua keadaanku, dan dia juga sudah janji tak akan ikut campur atau mengadu pada orang tua ku. Kenyataannya, aku dan Levi memang harus bermain backstreet.

    “Gue disini cuma nyoba bantu kalian, karena gue yang paham keadaan kalian” kata Dara lagi dengan nada suara yang lebih tenang. “Gue gak mau lo kena masalah, Niel”

    Levi kali ini tak menyahut, mungkin dalam hati dia agak menyesal karena sudah mau baik pada cewek ini.

    “Kita pulang Lev” aku tak menanggapi perkataan Dara, dan memilih untuk menarik lagi tangan Levi. Kali ini dia tak menolak, hingga kami pun keluar dari kamar kost Dara. Cewek itu juga tak menahan kami, dia malah mengantar sampai pintu gerbang.

    “Pikirin kata-kata gue, Niel” pesannya, begitu aku dan Levi sudah berada di dekat motorku, siap-siap untuk pergi.

    Grrgh.
    - - - - -

    “Eh Adniel, apa kabar?” sapa Tante Mona, begitu aku masuk ke dalam rumah Levi. Tante Mona memang baru datang dari Kalimantan kemarin malam, jadi sekalian aku mengantarkan Levi – aku juga ingin menjenguknya.

    Hal pertama yang membuatku agak terkejut, sekarang Tante Mona memakai kursi roda. Aku harap keadaannya baik-baik saja.

    “Baik, tante. Tante gimana?” sahut ku sambil mendekat pada wanita cantik itu.

    “Tante baik juga, Niel. Tapi untuk sementara tante masih harus pake ini dulu” jelasnya, menunjuk kursi roda yang dia pakai.

    “Ada hikmahnya kan, ibu jadi gak usah pergi-pergi dulu dan lebih sering nemenin Levi di rumah…” sela Levi.

    Tante Mona tersenyum.

    “Iya nih, Levi malah girang pas dokter nyaranin tante supaya pake kursi roda dulu” ujarnya.

    Levi tertawa pelan. Aku ikut tersenyum saja. Memang dari setiap kejadian, selalu ada saja hikmah yang Tuhan siapkan. Meski awalnya mungkin berat melihat ibunya kesakitan karena kecelakaan, namun pada akhirnya, Levi malah senang karena sekarang ibunya belum bisa bekerja lagi. Itu artinya, mereka memiliki waktu bersama yang lebih banyak.

    “Makasih udah jagain Levi buat tante ya, Niel. Jangan bosen-bosen nemenin Levi” kata Tante Mona lagi sambil memegang tanganku.

    Aku mengangguk dan balas memegang tangan Tante Mona. Dengan senang hati, aku pasti mau menjaga putera satu-satunya itu.

    “Kalo dia bandel, atau bikin ulah, kamu lapor aja sama tante. Terus kalo dia lagi suka sama cewek, kamu harus bilang-bilang juga sama tante…” kata Tante Mona pula, dengan sengaja dia mencuri-curi pandang pada Levi yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Kalau saja Tante Mona tau Levi tak pernah tertarik pada cewek dan sekarang aku adalah pacarnya… Well, I can’t imagine whats will going on…

    ~

    “Belakangan ini, ibu suka nanyain itu...” kata Levi setelah kami berada di kamar dan selesai bermain Play Station.

    “Apa?” sahut ku, sambil meminum jus jeruk yang biasa Levi suguhkan.

    “Soal cewek”

    Aku menelan minumanku dengan agak susah payah.

    “Oh…” gumamku, pendek.

    “Ibu baru sadar kalo aku udah 21 taun. Dia jadi pengen tau, apa ada cewek yang lagi aku taksir…” jelas Levi lagi.

    “Pasti tante ngerasa kamu bocah terus ya, Lev?” komentarku akhirnya.

    Levi tertawa.

    “Iya Niel, ibu cuma inget terakhir aku ulang tahun, pas umurku 15 taun…”

    Aku mengedipkan mataku, baru menyadari kalau tawa Levi itu agak sedikit pahit.

    “Jadi selama 6 taun ini, aku udah gak pernah dapet ucapan selamat ulang tahun dari ibu… ya, aku sih ngerti, dia kan sibuk” tambahnya.

    Aku jadi tak bisa berkomentar lagi.

    “Kalo kamu gimana? Ibu kamu suka nanya-nanya soal cewek juga?”

    “Hm, sering… soalnya ade gue yang suka sengaja ngomporin”
    Levi tertawa lagi, agak pelan.

    “Enak ya punya ade…” ujarnya.

    “Enak gak enak. Ade gue cewek, Lev. Bawel. Udah gitu, mau tau aja lagi urusan orang”

    “Kapan-kapan, kenalin aku sama ade kamu ya, Niel?” pintanya.

    “Iya dong, pasti gue kenalin”

    “Kalo sama orang tua kamu?”

    “Ya gue kenalin juga lah. Masa gue udah kenal Tante Mona, kamu ga kenal bokap sama nyokap gue!?” sahutku enteng.

    Levi tersenyum.

    “Di kenalin jadi temen aja, kan?” tanya nya lagi.

    Aku terdiam sebentar sambil memandang Levi.

    “Aku jadi kepikiran kata-kata Dara. Ada benernya juga lho, Niel” lanjutnya.

    Aku jadi mengernyitkan keningku.

    “Jangan aneh-aneh, Lev”

    “Nggak kok. Coba deh kamu pikirin lagi. Kita sama-sama gak tau kan mesti gimana kalo orang tua kita nanya, siapa orang yang lagi kita suka…”

    “Gue bisa bilang kalo gue gak suka siapa-siapa”

    “Jadi kamu gak suka aku?”

    Aku mendecakkan lidahku.

    “Maksud gue cewek, Lev…” aku mulai jengah dengan pembicaraan ini, meski aku juga tak begitu tau apa maksud Levi ingin membahasnya. Aku tak mau berpikir kalau sampai dia akan menyetujui usulan konyol Dara.

    NO way!

    “Awas ya, kalo kamu sampe kemakan omongannya Dara” kata aku akhirnya, langsung memperingatkan.

    “Emang kenapa?”

    “Gue gak mau!”

    “Jujur sama diri kamu deh Niel. Kamu sebenarnya gak mau kan kehilangan Dara gitu aja. Kalian udah temenan lama. Dara udah lebih lama bareng kamu, daripada aku. Dia udah pasti jauh lebih ngertiin kamu. Sekarang dia nawarin sesuatu yang menurutku, demi kebaikan kamu. Jadi gak ada salahnya kalau kamu setuju” jelas Levi, panjang lebar – dan sedikit menasihatiku.

    Aku nyaris membelalakan mata ku pada Levi, menunjukkan keberatanku yang sudah tak bisa ditawar.

    “Kamu jangan sok tau—“

    “Aku gak sok tau, tapi aku tau” potongnya.

    “Gue gak masalah kok gak temenan lagi sama dia. Dia udah bikin gue kecewa berat, Lev. Susah buat maafinnya juga!”

    “Tapi ide dia itu—“

    “Gue pulang aja!” aku memotong ucapan Levi, sambil berdiri dari dudukku. Tanpa menunggu dia bereaksi, aku segera mengambil tas ku yang tadi aku simpan di atas tempat tidurnya.

    “Niel…” Levi pun ikut berdiri dan menahanku yang sudah akan keluar dari kamarnya.

    Aku tak berbalik, sengaja menunjukkan kalau aku masih marah. Kalau dia memang hanya mau membahas soal itu, aku lebih baik tak bicara dulu dengannya.

    “Aku juga cuma gak mau kamu dapet masalah, Niel” katanya, pelan.

    “Tapi caranya bukan gini. Kalo kamu pengen gue baikan sama Dara, ok, gue bisa lupain yang kemaren-kemaren. Tapi jangan pernah suruh gue pacarin dia!” sahut ku tegas. Sambil membalikan badan lagi, menghadap Levi.

    Levi pun akhirnya mengulas senyuman tipis. Dia mungkin sudah kehilangan akal untuk membujukku. Aku jadi luluh, dan tak bisa terus marah.

    “Gue sayang banget sama kamu, Lev. Kamu kok tega nyuruh gue pacaran sama orang lain juga. Itu sama aja dengan kamu bikin gue patah hati berkali-kali” kata ku lagi, setelah mendekat padanya dan menatap mata nya dengan segenap keberanianku. Walau aku memang sudah lebih terbuka dengan perasaanku, tapi kadang mengakui hal itu masih sering membuatku malu.

    “Maafin aku, Niel” bisik Levi. “Jujur, aku khawatir dan aku ngerasa Dara emang ada benernya juga. Dia segitu pedulinya sama kamu dan kepikiran soal it—mmph“

    Aku membungkam mulut Levi dengan ciumanku, tanpa perlu banyak berpikir. I don’t wanna hear any single words anymore about that. Dia langsung memejamkan matanya meski sempat terkejut dan tampak tak siap membalas ciumanku.

    Sebelumnya, aku tak begitu mengerti kalau cinta adalah tentang chemistry. Tapi sejak mengenal Levi dan jatuh cinta padanya, aku jadi mempercayai itu. Aku ingat tak pernah sedikitpun tertarik pada cowok ini (bahkan tak pernah berani membayangkannya). Tapi seiring dengan berjalannya waktu dan semakin dalam aku mengenalnya, then I am sure that we’ve got connected. We’ve got our chemistry.

    Jadi, aku tak akan pernah mengorbankan chemistry yang sudah kami punya ini untuk apapun lagi. He needs me as I need him. Case closed.

    Levi menghentikan ciuman lebih dulu, dia mendorong dada ku. Dengan terpaksa, aku membuka mata ku, padahal aku sudah berencana untuk membawa ciuman kami tadi ke tempat tidurnya.

    “Katanya mau pulang…” kata Levi dengan nafas yang agak tersengal.

    “Kok jadi ngusir gue?” sahut ku yang masih belum mau melepaskan tanganku di pinggangnya.

    “Aku tau apa yang kamu pikirin, Niel” katanya sambil tersenyum jail. Dia selalu cepat tanggap kalau aku mengirimkan sinyal untuk bermesraan. Mungkin karena dia sudah lebih berpengalaman daripada aku.

    “Terus? Kamu gak mau?” tanyaku.

    “Waktunya lagi gak tepat”

    “Karena ada Tante Mona?”

    “Karena udah sore, dan kamu harus pulang”

    Aku mendengus sebal. Dia selalu bisa mengalihkan keadaan dengan halus. Tapi kalau aku pikir lagi, yea we really shouldn’t get that rush. Kita masih punya banyak waktu untuk menikmati hubungan yang baru benar-benar kami mulai ini.

    I’m deeply in love with you, so don’t ever try to break my heart.

    = = = = =

    A/N: Lanjutannya nyusul. thank u~ :)
  • aaahhh maafkan diriku maen tarik kalian aja.. hehehe
  • Horeee . . udah diupdate. JFBQ00246071217a.gif As always, complicated story.

    Makasih @rieyo626 buat updatenya

    Makasih @05nov1991 buat mentionnya #peluk 05nov1991
  • Makin seru ya...
  • @rieyo626 iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhhhhhhhhhhhhh kangennyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa akhirnya di-update juga ceritanya. bagus banget! Adniel luar biasa! Levi juga. :')
  • Semoga Adniel gak kemakan bujukan Levi buat pacarin Dara. GAK RELA !!!

    Tengkyu yah yg udh narik gw :*
  • langsung lanjut tancep gas bang gan~
  • Duuhhh..jangan kemakan rencana dara Ɣɑ..
  • edited May 2012
    “Lo udah pikirin tawaran gue?” Dara langsung menghadangku siang itu, ketika aku baru sampai di kampus. Ternyata dia sengaja menungguku di parkiran hanya demi mendapatkan jawaban dariku. Oh astaga, aku tak pernah melihat Dara seaneh ini sebelumnya. Demi Tuhan, jangan bilang ini semua gara-gara aku.

    “Udah” jawab ku setelah melepas helm. Hari ini aku memang tidak datang bareng Levi, karena dia ada urusan senat dari pagi.

    “Lo setuju?”

    “Nggak”

    Dara cepat merubah raut muka penuh harapannya, menjadi lebih suram – seolah aku memang sudah menghancurkan semua bayangan indah yang sedang ia pikirkan.

    “Kenapa? Leviandra pasti yang—“

    “Nggak. Dia malah minta gue buat setuju, tapi gue gak mau” jelasku, apa adanya.

    “Kenapa Niel? Gue kurang apa? Gue udah kenal lo sejak lama… apa karena gue cewek? Tapi setau gue, lo juga suka pacaran sama cewek!”

    Aku menghela nafas, tidak nyaman, dan melihat ke sekelilingku. Ada beberapa anak memperhatikan kami, tapi tidak lama begitu aku balas melihat pada mereka. Tempat ini memang tidak bagus untuk membahas pembicaraan konyol ku dengan Dara, tapi aku juga tak mau membawa dia ke tempat yang lebih sepi – aku malah takut dia akan berbuat lebih nekat lagi.

    “Ra, lo itu udah gue anggap kayak adik gue sendiri, jadi gue gak mungkin pacaran sama lo” tegasku, entah untuk kesekian kali.

    “Tapi Niel—“

    “Nggak ada tapi, Ra. Gue bisa lupain masalah kita kemaren-kemaren, tapi lo harus berhenti bertingkah aneh kayak gini. Gue gak akan mau pacaran sama lo, udah jelas kan?!” potongku.

    Dara menggelengkan kepala. Wajah suramnya berubah menjadi lebih sedih, seperti akan menangis. Ahk sial sekali kalau dia sampai menangis disini, tapi menurutku, dia pasti berpikir berkali-kali dan tak mau malu menangis di tempat umum begini.

    Hanya saja, aku lupa kalau dia adalah cewek yang cukup nekat.

    Tanpa sempat aku mengelak, Dara pun memelukku dengan tiba-tiba. Aku hanya bisa terpaku, tak balas memeluknya. Dia menangis di dadaku.

    “… gue rela Niel, lo jadiin yang kedua. Gue rela, tapi please… jangan tolak gue lagi”

    Shit.

    Aku hanya mampu mengutuk dalam benakku. Ini yang paling aku malas. Dara menangis, agak meraung dan memohon-mohon. Tipikal cewek untuk meluluhkan hati dan perasaan laki-laki. Sialnya, aku masih punya hati dan perasaan – hingga aku pun jelas jadi tidak tega.

    “Ra, jangan kayak gini…” aku mencoba menghentikannya, tapi dia malah semakin erat memelukku.

    “Please, Niel…” dia memohon lagi dalam tangisnya.

    Mampus aja deh gue.

    Aku terdiam pasrah sambil melihat ke sekelilingku, beberapa anak kembali sedang mengamati kami, tapi langsung berpura-pura ketika mata ku menangkap mereka. Namun ada sepasang mata yang tidak cepat mengalihkan pandangannya.

    Mata Levi.

    Dia melipatkan kedua tangannya di depan dada, memperhatikan aku yang sedang di peluk Dara. Aku pun cepat memasang wajah memelas, meminta pertolongan tanpa suara padanya. Tapi dia malah tersenyum tipis.

    Errr.

    - - - - -

    “Pokoknya sekali gue gak mau, gue akan selamanya gak mau!” cetusku untuk kesekian kali, sambil nyaris agak memukulkan kepalan tanganku ke dinding di belakangku. Emosi ku memang tak mau mereda, begitu Levi kembali membahas soal Dara. Gila aja lah cewek itu, bisa bikin aku dan Levi bertengkar nyaris setiap saat.

    ”Gak usah bentak-bentak aku dong, Niel!” sahut Levi yang juga sudah mulai emosi.

    “Gue capek, Lev. Masa tiap-tiapnya kita mesti berantem cuma karena masalah sepele kayak gini?! Gak guna tau gak!”

    “Ya kamu gak usah pake emosi!”

    “Gimana gue gak emosi?! Pacar gue sendiri, minta gue pacarin orang lain. Kalo emang udah bosen sama gue, caranya kan bisa gak kayak gini!” aku malah semakin menjadi, dan agak menyindir-nyindir Levi.

    Levi menarik nafas panjang. Raut kesal di wajah tampannya masih nampak, tapi dia mencoba untuk mengendalikan emosinya.

    “Kamu bilang apa?” tanyanya, agak datar.

    Aku mendengus dan memalingkan muka ku sebentar.

    “Kamu udah bosen sama gue, makanya kamu jadiin ini cara supaya bisa lepas dari gue. Padahal kamu tinggal ngomong baik-baik aja, Lev!” aku melanjutkan tuduhanku, yang entah dari mana datangnya bisa menyangkut di benakku.

    “Jangan ngomong sembarangan, Niel” desis Levi, terdengar sangat tidak terima.

    “Terus, apa alasan logis yang bisa kamu kasih, sampe kamu tega pengen patahin hati gue kayak gini. Huh?!” tantang ku.

    Levi tampak mencoba menenangkan dirinya lagi. Dia bersandar pada tembok di belakang kami. Jemarinya mengusapkan ke belakang poni di keningnya.

    “Terus terang, Niel, aku lebih rela kamu mendua sama cewek daripada sama cowok”

    Aku melebarkan kedua mata ku. Nah kan, dia mulai lagi dengan pikiran aneh yang kadang tidak aku pahami.

    “Maksudnya apa itu? Kamu pikir, gue bakal pacaran lagi—“

    “Ya maksudku, Dara bukan masalah besar, dan aku gak keberatan…” potong Levi cepat. “Aku mikirin kalo seandainya aku yang ada di posisi dia, Niel. Aku yang udah terlanjur sayang banget sama seseorang dan mau ngelakuin apapun demi bisa jadian sama orang itu. That must be so painful”

    “That must be so stupid” ledek ku. Levi langsung melihat padaku. “Dia bisa dapetin orang yang lebih baik daripada gue, Lev. Dia juga cewek yang seharusnya ngejaga harga diri dia. Dia gak boleh terus-terusan ngejar gue kayak gini, act desperate and all. Dia harus kembali jadi Dara yang selama ini gue kenal” jelasku, tegas.

    Kali ini Levi tampak tak ada kata-kata untuk membantahku lagi.

    “Kamu jangan terlalu baik sama orang, Lev. Ada tempatnya dimana kamu harus jadi orang baik dan sama siapa kamu harus jadi orang baik. Sekarang, buat ngadepin Dara, bukan kayak gitu caranya, tapi justru kita harus tegas. Kamu bilang sama dia, kalo kamu gak akan pernah mau ngebagi gue sama dia” lanjutku pula.

    Levi menggelengkan kepalanya.

    “Aku gak tega, Niel. Tadi aja dia nangis gitu”

    “Ini bukan urusan tega dan gak tega…” kata ku, padahal sebenarnya aku juga nyaris kehilangan pertahanan tadi, waktu Dara menangis sambil memeluk dan memohon padaku. “Kita gak mau terus-terusan berantem cuma karena masalah kecil ini, kan?”

    Levi akhirnya mengangguk setelah beberapa detik, dia masih tampak sedang berpikir untuk kembali mendebatku.

    “Tentang keluarga kita, biar kita yang hadepin. Kita pasti bisa ngelewatin semuanya” kata ku pula sambil menggenggam tangan pacarku itu.

    Levi melihat pada tangan kita yang bertautan, sebelum kemudian melihat padaku. Mata besarnya seperti sedang mencoba menatapku sedalam mungkin, seolah mencari keseriusan dari perkataanku yang memang terdengar sok bijak.

    “Niel, aku gak pernah nyangka kalo kamu bakal jadi begini serius. Kadang aku mikir, jangan-jangan ini salahku yang udah bikin kamu jadi mau mertahanin hubungan seperti ini sama aku…” katanya tiba-tiba.

    Jleb.

    Jleb.

    Entah kenapa rasanya ada yang menusuk-nusuk hatiku dengan garpu, Ngilu, tapi aku tak mau menyudahinya. How masochist I am right now :|
    Well, kata-kata Levi itu seolah sudah sangat mewakili aku. Mewakili perasaanku yang dulu memang sempat ingin menyalahkannya karena sudah membuatku jatuh cinta, lalu menjadi lebih dalam sampai akhirnya… aku merasa ini adalah normal.

    Bagaimanapun memang normal, karena aku manusia biasa yang pasti memiliki perasaan cinta dan napsu. Dan masih normal juga karena yang aku cintai adalah manusia, bukan hewan atau benda. Namun orang-orang menganggapnya jadi tak normal karena manusia yang aku cintai adalah manusia yang sejenis denganku alias sesama pria.

    Tapi apa yang salah kalau kemudian aku ingin mempertahankan perasaanku, tak mau mengingkarinya dan ingin menjaganya? Aku yang merasakan. Aku dan Levi yang menjalani. Aku hanya ingin membuat ini jadi lebih sederhana; kalau aku menyukainya dan aku ingin berada di dekatnya.

    Just really a simple thing like that. No harms.

    “Bukan salah kamu kok, Lev. Gak usah ge-er gitu” ujarku, lalu tersenyum jail padanya. “Gue mungkin emang udah takdirnya harus di bikin nge-hang, jadinya bisa suka sama kamu”

    Levi mengernyitkan keningnya, tampak sebal dengan kata-kata yang aku pakai. Tapi aku tak ambil pusing dan sengaja tertawa lucu. Aku memang tak mau membuat pembicaraan seperti ini jadi terkesan memusingkan.

    “Udah Lev, nanti pokoknya kamu harus ngomong sama Dara kalo kamu gak mau bagi-bagi gue sama dia… emang gue cowok apaan?!” kata ku pula, sambil mencoba memeluk Levi.

    Tapi belum juga tanganku berhasil melingkar di pinggangnya, panggilan seseorang mengganggu begitu saja. Levi cepat menjauh dariku.

    “Ah elu disini toh Niel, gue cari kemana-mana” ternyata Fery yang datang. Dia senyum-senyum penuh curiga padaku dan Levi. Yah, tempat ini memang cukup menyepi dan bisa dipakai untuk macem-macem, jadinya Fery pasti berpikir aku dan Levi sedang berbuat yang tidak-tidak.

    “Kenapa Fer?” sahut ku, tenang saja menutupi gugup ku.

    “Itu, lu dipanggil William”

    “Hah?”

    Duh, jujur sejak kejadian waktu itu, aku jadi malas berurusan dengan kapten tim ku. Kalau sebelumnya, kami cukup sering terlibat obrolan, sekarang aku pasti cepat menghindar kalau dia mendekat. Aku hanya bersikap professional ketika kami sama-sama ada di lapangan saja. William yang sempat aku kagumi, sekarang malah agak membuatku ilang feeling.

    - - - - -

    “APA?!” kataku, nyaris berseru setelah William memberitahu ku hal yang ingin dia sampaikan. “Ke- kenapa gue?!” protesku pula dengan terbata-bata saking tak terima nya.

    “Anak-anak udah setuju kok” sahut William tenang dan sambil mengganti pakaiannya di hadapanku, memamerkan otot punggung dan bicep nya yang sudah lama membuatku dan teman-temanku iri.

    “Tapi gue kan gak setuju. Gue cuma mau jadi anggota biasa, Will, gue gak niat jadi orang penting di organisasi ini. Gue cuma pengen maen basket, selesai!”

    William berbalik setelah dia memakai kaos basket miliknya.

    “Apa yang salah jadi wakil kapten, Niel? Apa karena kapten tim-nya gua? Lu masih marah gara-gara kejadian waktu itu?” tanyanya bertubi-tubi.

    “Ng-nggak ada hubungannya… tapi gue emang males punya jabatan kayak gitu, Will”

    “Harlan yang ngusulin elu. Lu tega nyia-nyiain pilihan dia?”

    Samar, aku mengerutkan kening. Mantan wakil kapten tim basket ku yang sekarang resmi menjadi ketua senat mahasiswa itu, ternyata yang sudah memilih aku. Entah apa alasannya – mungkin karena waktu itu aku sudah berani berorasi sekaligus nekat come out di hadapannya dan beberapa orang yang kebetulan ada disana. Tapi, itu sama sekali tak ada hubungannya dengan urusan basket. Oh, atau secara personal, dia memang jadi kagum sama aku? Ck, kenapa aku jadi menebak-nebak!?

    “Lo yakin, Will? Bukannya, lo anti kerjasama bareng… homo?” tanyaku kemudian, setelah beberapa detik aku jadi terdiam. Aku memang teringat dengan ucapannya waktu itu ketika dia bersikeras tidak mau dipasangkan sebagai saingan dengan Levi.

    Meski aku sendiri belum yakin apa aku sudah murni menjadi gay atau tidak, tapi kenyataannya sekarang, beberapa orang tau kalau aku berpacaran dengan cowok. Jadi simple-nya mereka pasti akan menganggap aku homo. Just whatever.

    “Gua udah gak gitu, Niel” gumamnya pelan. Dia duduk di sebelahku yang sudah duduk lebih dulu di bangku.

    Aku hanya menaikkan kedua alisku padanya.

    “Kejadian sama Leviandra kemaren, nyadarin gua” jawabnya jujur. Dia sudah selesai memasang sepatu basketnya, begitu melihat dengan serius ke arahku. “Gua terlalu konyol dengan bertingkah anti-homo demi bisa ngelupain keadaan di masa lalu”

    Aku jadi diam, bisa merasakan orang ini sepertinya akan curhat padaku.

    “Leviandra sebenernya ngingetin gua sama Gilang… sahabat gua yang udah meninggal” as I thought, dia melanjutkan ceritanya. Aku jadi ingat dengan pembicaraan sarat emosi yang dia bahas dengan Harlan. Seputar seseorang yang bernama Gilang. “Oh ya Niel, waktu itu gua gak ngapa-ngapain Leviandra kok. Dia langsung lari, sebelum gua sempet kerjain. Yah, cuma bibir gua emang nempel dikit di leher dia…” jelasnya pula, tiba-tiba.

    Aku mendengus pelan.

    “Gak usah dibahas lagi, gue udah mau lupain” kata ku pula, dingin.

    William malah tersenyum.

    “Gua bisa ngerti kenapa lu suka sama dia”

    Aku kembali melihat padanya dengan kerutan lain di keningku.

    “Secara fisik, dia punya banyak kelebihan… dan jujur aja, gua sempet terhanyut sama wangi badan dia. Lembut dan hangat banget, nenangin”

    F-ck.

    Rasanya sekarang aku ingin cepat-cepat mencari Levi dan menyembunyikan dia di tempat yang tak bisa William temukan, lama-lama orang ini jadi benar berbahaya.

    “Tapi lu tenang aja, gua gak akan macem-macem kok. Pantang buat gua maenin orang yang udah jadi milik orang lain” lanjutnya.

    Aku tersenyum kecut. Dalam hati aku agak mengatainya; sok ganteng, sok keren. Tapi dia memang ganteng dan keren. Akh sial.

    “Lagian, gua gak mau jadi anti-homo lagi. Gua harus respek sama mendiang Gilang”

    “Dia pasti penting banget buat lo” akhirnya aku berkomentar juga.

    “Ya. Kita udah temenan lama banget, Niel, dari TK. Dia udah kayak soulmate gua. Sebagian dari jiwa gua. Cuma gua gak pernah nyangka kalo ternyata dia punya perasaan sayang yang lebih sama gua…”

    “Dan elo nggak?”

    “Gua sayang juga sama dia, Niel. Tapi buat jadi pasangan kekasih sama dia… berasa gak mungkin, waktu itu”

    Aku menganggukkan kepalaku, pelan, tanda aku memahami cerita yang sebenarnya.

    “Jadi lo tolak dia?” tanyaku lagi.

    “Iya, tapi gua gak nyangka kalo dia malah berbuat labil. Yang akhirnya bikin gua sadar, hidup kayak dia itu pasti gak gampang…” jelasnya. “Lu gimana Niel? Apa kesan-kesan lu yang baru jadi homo?”

    “Hah? Ehm… gak bisa dijelasin dengan kata-kata” jawabku, malah sekenanya. Lagian agak aneh juga pertanyaannya.

    “Oh, is that great?”

    Aku tertawa gugup.

    “Bukan gitu… gue malah bingung mau jelasinnya. Mungkin emang gak bisa pake kata-kata, tapi lo harus ngerasain sendiri”

    William ikut tertawa pelan.

    “Kata-kata lo persis sama yang pernah Leviandra bilang…” ujarnya, sebelum kemudian menghela nafas panjang. “Gua nyesel sekarang, Niel. Coba kalo dulu gua bisa menuhin yang Gilang minta, mungkin sekarang dia masih hidup”

    “Lo gak boleh nyalahin diri lo kayak gitu. Mungkin itu udah waktunya aja buat temen lo”

    “Iya sih, tapi—“ William kembali terlihat gusar seperti waktu itu. Ternyata kapten tim ku ini memang bisa jadi sangat lemah hanya gara-gara pembicaraan tentang sahabat lamanya.

    Dia mengusapkan telapak tangan ke wajahnya, sebelum kemudian kembali memandang aku.

    “Gua masih bisa nebus kesalahan gua kan, Niel?” tanyanya tiba-tiba.

    “Tuhan Maha Pemurah, Will” jawabku, diplomatis. “Tapi, lo tetep gak boleh terus nyalahin diri lo dan lo juga gak harus jadi ngebenci apapun. Lo harus jalanin hidup dengan lebih baik lagi” tambahku, singkat saja namun aku harap bisa menyentuhnya.

    Then well, ternyata lebih dari yang aku harapkan. Sepertinya kata-kata ku malah sangat sudah menyentuhnya. Terbukti dengan tatapannya yang lebih melunak, tidak begitu sedih, namun juga tidak suram – hanya tampak lelah.

    Tapi aku bisa melihat kali ini dia tersenyum dengan tulus, meski tipis.

    Beberapa saat kami malah jadi saling memandang. Muka gantengnya yang selalu bikin iri itu, baru aku sadari memang pantas menjadi rebutan cewek-cewek. Duh.

    “Niel…”

    “Hm—“

    Gumamanku tak jadi sempurna karena William mendadak menempelkan bibirnya ke bibirku. Dia memejamkan matanya tanpa ragu, lalu melumat bibir bawahku.

    Aku membelalakan mata.

    Damn, big damn!

    TIDAK!

    Aku segera beranjak dari tempat dudukku sampai aku nyaris terjerembab ke belakang. Reflek, aku menyimpan telapak tangan di mulutku. Aku juga menatap horror pada cowok di depanku itu.

    William hanya balas memandangku, masih kalem seperti sebelumnya. Oh f-ck. Apa dia ngerjain gue?!

    Tanpa basa-basi, aku pun segera mengambil tas ku, dan bermaksud pergi dari sana. Tapi dia malah menahanku.

    “Gua gak akan bilang sama Leviandra, tenang aja” katanya, tetap kalem dan masih dengan senyuman tipis di bibirnya.

    Tubuhku jadi merinding, aku melepaskan pegangan tangannya di bahu ku, lalu nyaris berlari keluar dari ruang ganti. Rasanya menyesal tadi sudah mau mendengarkan curhatnya.

    Sialan! Berani banget tu orang! Demi Tuhan, cowok yang boleh cium aku cuma Levi! Cuma Levi!

    Menuju parkiran, aku mengusap-usapkan telapak tanganku di bibir, membuang ciuman tadi - sambil terus menggerutu dan mengutuk dalam hati.

    “Niel?”

    “AAHK!” teriakku tanpa sadar ketika seseorang menyentuh bahu ku. Aku masih parno rupanya. Dadaku berdebar kencang dengan tak karuan.

    “Kenapa kamu?” raut bingung bercampur cemas di wajah tampan Levi, membuatku tersadar.

    Lagi, mataku jadi agak melebar melihat pacarku. Gimana ini? Haruskah aku jujur?

    “Niel?”

    “Ng-nggak apa-apa Lev… Ka-kamu bisa gantiin gue bawa motor gak?” pinta ku akhirnya, dan memilih untuk menutupinya.

    Seketika aku teringat dengan kata-kata Levi tadi. Dia bilang; akan lebih rela kalau aku menduakannya dengan cewek. But wait, memangnya ciuman dari William tadi bisa disebut cheating? Aku sudah berkhianat padanya, benarkah? Tapi kan, aku tidak menduga akan ada ciuman, dan aku juga tidak membalas ciuman itu – yah mungkin hanya sedikit karena tak sengaja.

    ARGH, what should I do!?

    “Niel, aku udah ngomong sama Dara…” kata Levi begitu dia selesai memakai helm dan baru menyalakan mesin motorku.

    “Oh” gumamku, tak begitu fokus dengan ucapannya.

    “Eh, aku lupa!” cetusnya lagi tiba-tiba.

    “A-apa?”

    “Aku kan gak bisa bawa motor…” katanya, agak pelan.

    “Hah?” aku terperanjat. Dari tadi dia sudah bergerak dengan sangat alami, tau dengan benar cara-cara untuk memulai saat memakai motor. Bohong sekali kalau dia tak bisa menjalankan motor. “Se-serius kamu?”

    Levi mengangguk, kemudian turun dari depan, tak jadi memegang kemudinya. Aku pun tak bisa memprotes, dan memilih untuk mengambil alih – meski tangan dan badanku masih agak gemetar gara-gara perlakuan William tadi.

    “Maaf ya Niel… emangnya kamu kenapa, kok tiba-tiba minta aku gantiin?” tanya Levi begitu aku sudah menjalankan motorku, keluar dari parkiran. Tangan Levi mulai melingkar di depan perutku setelah motorku menjauh dari kampus.

    “Nggak apa-apa… lagi males nyetir aja tadi” jawabku, beralasan.

    “Hmm” Levi bergumam, mungkin agak tak percaya – bagaimanapun sikap aku tadi pasti tampak ganjil di matanya. “Oh ya, aku udah ngomong sama Dara…”

    “Terus?”

    “Dia mau ngerti” jawab Levi sambil memelukku lebih erat dan merapatkan badannya ke punggungku.

    “Tuh kan, gue bilang juga semuanya bakal beres kalo kamu yang ngomong. Kamu emang mesti berani bilang, gue udah jadi milik kamu, utuh dan gak mungkin dibagi-bagi” sahutku, yakin.

    “Iya. Aku gak mau bagi-bagi kamu… dan kamu juga jangan pernah ngebagi diri kamu” bisiknya di dekat leherku.

    Aku tersenyum sendiri… agak pahit. William sialan. Sekarang aku jadi ngerasa bersalah dan tersindir oleh ucapan Levi.

    Grrgh.

    Aku juga masih tak tau, apa aku harus jujur suatu hari nanti – atau ini akan menjadi my first dirty little secret.
    = = = = =
    A/N: maap kalo aneh. Lol. see ya & thank u ;)
  • Thx ud mention @05nov1991
    btw nickmu TL?? Hahaha... Beda 1 th 22 hari kita...tuaan gw, :-D

    komentar nyusul ya,,, blm smpt baca!
    =)) =))
  • wah ada update an. tega nih @05nov1991 ga narik saya.. :-(
Sign In or Register to comment.