It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kita tetap nungguin cerita2 hebat lainnya dari @abiyasha
Setiap ceritamu dlm bgt ya... every story has its own soul.. so touching...
kita tetap nungguin cerita2 hebat lainnya dari @abiyasha
Setiap ceritamu dlm bgt ya... every story has its own soul.. so touching...
Great story ka Aby....
Nanya donk...
Belajar nulis dmna sii?
Ceritanya keren semua...
Sebelas tahun.
Jika memang apa yang aku rasakan sejak tubuhku masih dibalut seragam putih dan merah, bukanlah sebuah pemujaan, maka, sekarangpun, aku masih belum berani menyebutnya sebuah cinta. Bagiku, cinta itu mustahil. Atau mungkin, aku memang mencintai pemujaan diriku atas dirinya. Mungkin….bahkan, akupun tidak bisa memastikan itu, meskipun hanya berbicara dengan diriku sendiri.
Aku memeluk lututku semakin erat diatas karpet tebal berwarna coklat susu ini. Hujan yang sejak subuh tadi menenggelamkan suara kokok ayam ataupun cicit burung, sepertinya masih menyimpannya untuk beberapa jam ke depan. Atau seharian ini. Aku bukannya kedinginan atau merutuki hujan itu sendiri. Aku malah tidak mampu mengalihkan mataku dari berbagai macam ranting pohon beserta daun-daunnya yang seperti kebingungan meladeni hujaman jarum air itu. Tatapanku menembus melalui celah kecil tirai yang aku buat, agar suara hujan tidak menembus terlalu dalam mengisi kamar ini. Kalau aku tidak salah ingat, seorang penulis yang namanya tidak bisa dipanggil memoriku saat ini, menyebut daun-daun dan ranting-ranting yang ditimpa hujan itu seperti sedang menari. Bagaimana mungkin dia bisa menyamakan penari dengan daun-daun serta ranting-ranting pohon itu? Pasti penulis itu dulunya adalah seorang penari gagal.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ingin rasanya aku mendengus ataupun membiarkan Pelangiku milik Sherina, keluar dari mulutku, daripada hanya menyanyikannya di kepala. Lagu yang selalu aku nyanyikan setiap kali terjebak di dalam rumah ketika jendela kacaku seperti ditampar oleh hujan dengan sekuat tenaga, tiga belas tahun lalu. Kemana larinya waktu itu? Aku bahkan tidak merasa diajak serta olehnya.
Kenapa aku tidak menyanyikannya saja? Aku tersenyum memikirkan alasannya. Suaraku pasti akan dengan cepat, membangunkan pria yang masih saja terpejam, bahkan sekali-kali mendengkur pelan di tempat tidur yang aku jadikan sandaran punggungku.
Malam yang indah…..setidaknya bagiku. Aku harap, baginya juga. Mungkin, hari ini atau pagi ini, kami akan bicara tentang apa yang kami lakukan semalam. Dengan pikiran yang lebih jernih, emosi yang bisa dikontrol dan nafsu yang bisa ditahan. Usiaku memang belum bisa menandingi kedewasaan ataupun pengalaman hidupnya. Namun, aku ingin dianggap sebagai pria yang mampu bersikap dan bertutur kata layaknya pria dewasa, sekalipun wisuda studiku masih tahun depan. Ingin sekali rasanya membuktikan kalimat tentang kedewasaan seseorang yang tidak berkorelasi dengan usia. Apalagi, baginya, aku masih seperti yang dilihatnya sepuluh tahun lalu. Perlu dibimbing. Perlu dikasih tahu. Bahkan, semalam, dia menunjukkan kepadaku, bagaimana setiap kecupan yang membasahi kulitku, bisa mengirimku ke sebuah imajinasi yang selama ini tersembunyi dalam-dalam. Bagaimana aku, dengan leluasa membiarkan mulutku menyebut namanya dan memintanya untuk menahan bibirnya atau kecupannya atau gigitan kecilnya, di tempat yang membuatku melepaskan sisi diriku yang belum pernah terkuak. Aku bahkan masih bisa mencium bau cairan kental yang keluar dari kelelakian kami di kamar ini, sekalipun samar. Cairan pertama yang keluar dariku dengan pria lain.
Aku lagi-lagi tersenyum. Malam yang indah….setidaknya bagiku.
“Pagi.”
Aku harap baginya juga.
Lengannya segera melingkar di leherku dan aku terkikik ketika kecupan kecil mendarat di pipiku pipi kananku karena rambut-rambut halus yang mulai tumbuh memenuhi wajahnya. Suara berderit terdengar ketika dia mengangkat tubuh besarnya itu dari tempat tidur dan tanpa dosa, melangkah ke kamar mandi. Mataku tentu saja menolak untuk terkatup melihat seorang Adam berjalan tanpa rasa malu, sekalipun hanya bagian belakangnya yang tertangkap olehku. Memori kurang dari sepuluh jam yang lalu, kembali mengisi pikiranku, ketika tubuh besar itu menelungkup di atasku.
“Kamu sudah bangun dari tadi?”
Suaranya terdengar begitu menggelegar di kamar ini, sekalipun hujan di luar tidak kalah berisiknya. Atau suara keran air yang dihidupkannya. Ketika aku memutar kepalaku, mataku menangkap bayangannya di cermin yang sedang mengoleskan shaving foam di wajahnya. Dia bisa menunggu jawabanku hingga dia selesai kan?
Maka, akupun kembali menyaksikan hujan, yang kali ini, tirainya aku buka sedikit lebih lebar.
Segala sesuatu yang berlabel pertama, pasti menyisakan kenangan yang akan selamanya tersimpan. Seperti semalam. Seperti pagi ini. Senyumku rasanya tidak pernah lepas sejak suara gemericik air di kamar mandi berpadu dengan suara hujan di luar kamar ini. Belum lagi, senandungnya, yang entah menyanyikan lagu apa dan milik siapa. Boleh saja pagi ini awan gelap menumpahkan seluruh air yang ditahannya sejak malam tadi, atau biarkan saja ayam-ayam itu tetap meringkuk di kandang mereka. Bagiku, inilah pagi yang akan tetap tergeletak di memoriku sepanjang aku masih bisa menghirup oksigen.
Pagi yang indah….setidaknya bagiku.
“Kamu sudah bangun dari jam berapa?”
Belum sempat aku memalingkan wajahku untuk melihat langkah-langkah panjangnya, dia sudah duduk di sebelahku. Lengkap dengan t-shirt abu-abu yang terlihat kekecilaan untuknya serta boxer yang sepertinya membuatku tergoda untuk mengulurkan tanganku dan merenggutnya dari tubuhnya. Namun, aku hanya membisu. Pun ketika lengannya melingkar di bahuku dan di kembali mendaratkan kecupan kecil di pipiku.
Rasanya, aku bisa menjadi bocah laki-laki yang selalu diingatnya setiap kali dia melakukannya.
Aku menatapnya. Wajahnya sudah bersih dari rambut-rambut halus yang tadi menggelitikku dan hidungku dengan buas menangkap aroma lemon yang pasti berasal dari aftershave lotion yang dipakainya. Tanpa ragu, aku mendekatkan wajahku dan menenggelamkan hidungku di lehernya dan memejamkan mataku. Berusaha mengambil sebanyak mungkin aroma untuk disimpan otakku. Dan juga membiarkan bibirku mendaratkan kecupan kecil disana. Lezat.
“Kamu nakal ya pagi-pagi?”
Aku hanya tersenyum sebelum aku menjauhkan wajahku dari lehernya, hingga akhirnya sepasang mata kami saling bertemu. Sejak dulu, aku selalu menyebut kedua pandangannya seperti rimbunnya pohon beringin yang tumbuh di halaman sekolahku. Sebelas tahun, tidak membuatku untuk mengubahnya. Karena usianya, aku semakin merasa pandangannya saat ini seperti puluhan bohon beringin yang berjajar. Lebih menyejukkan. Lebih membuat damai.
“Aku bangun jam enam tadi karena denger suara hujan. Tiba-tiba saja, aku malas untuk beranjak dari sini. Melihat hujan dan melihat kamu tidur. Dua surga di satu tempat.”
Kedua ujung bibir itu akhirnya terkembang membentuk sebuah senyuman. Begitu dekat, hingga rasanya, jantungku tidak mau berdetak dengan irama normalnya. Inikah rasanya ketika akhirnya pemujaan yang berlangsung begitu lama, berubah wujud menjadi bentuk nyata yang duduk tidak lebih dari dua senti di dekatku?
“Inspirasi apa yang kamu dapat?” godanya. “Ah! Aku tahu. ‘Mas’ sudah berubah menjadi ‘kamu’. Betul?”
“Setelah apa yang terjadi semalam, akan sangat konyol kalau aku tetap memanggilmu Mas sementara apa yang kita lakukan, nggak pantas dilakukan oleh seseorang yang dipanggil dengan sebutan itu. Bukankah itu terdengar lebih…akrab? Kalau boleh, aku mau panggil kamu dengan nama saja. Tanpa embel-embel apapun.”
“Bukankah itu yang aku bisikkan semalam?”
Kami terdiam sesaat.
“Bolehkah aku mengaku dosa?” tanyaku.
Menyenangkan melihatnya mengernyitkan dahi seperti ini. Dia pria dewasa yang tidak mudah dikejutkan dengan kalimat apapun. Namun, sekarang, kalimatku ini malah mampu membuatnya melakukannya. Aku tersenyum tipis.
“Senyuman kamu nggak kelihatan seperti orang yang mau mengaku dosa.”
“Kamu tahu, jauh sebelum kamu pergi selama sepuluh tahun, aku memujamu. Bahkan, sejak kamu menggendongku menerobos hujan bersama Mas Rio waktu itu. Pemujaan itu berlangsung hingga satu minggu yang lalu, ketika kamu kembali dari pengasingan sepuluh tahun.”
Senyumnya menghilang. Sekarang, pandangan mata itu berubah menjadi lebih serius. Bukan marah. Hanya serius, seperti merenung.
“Aku tahu.”
“Kamu belum tahu kalau aku nggak pernah nyalahin kamu atas kematian Mas Rio. Waktu itu, mungkin memang aku bertindak sangat labil. Wajar, aku masih kelas 6 SD. Sekarang aku sudah jauh dari bocah berseragam putih merah dengan tas kebesaran itu. Bagaimana mungkin aku nyalahin orang yang aku puja? Dan kalau aku lihat lagi semua kejadiannya, kamu memang nggak salah. Sekarang, aku ingin tahu alasan kenapa kamu harus pergi selama itu dan menghukum diri untuk sesuatu yang bukan salah kamu.”
Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang begitu dekat denganku, sebelum menjadikan sisi tempat tidur, menjadi sandaran punggungnya. Dia merebahkan kepalanya disana, membuat lehernya begitu leluasa untuk dinikmati. Pelan, ataupun cepat, kami pasti akan membicarakan hal ini. Dan entah kenapa, di pagi berhujan seperti ini setelah malam sempurna yang kami lewati, dengan perut kosong, aku ingin membahasnya.
“Ketika menyaksikan sahabat kamu meregang nyawa di depan mata kamu dan menyaksikan matanya tertutup selamanya di pangkuanmu, siapapun pasti tahu apa yang aku rasakan. Kenapa aku nggak cepet-cepet ke rumah sakit? Kenapa aku nggak bilang ke Rio supaya nggak ngebut? Kenapa aku nggak peringatin dia kalau banyak jalan berlubang disana? Dan banyak kenapa yang lainnya. Aku pergi bukan karena aku ingin, Radit. Tapi aku harus. Tetap ada di kota ini akan bikin aku gila. Bahkan, setelah lima tahun, aku baru berani ke makam Rio, sesuatu yang nggak pernah lupa kalau aku pulang.”
“Aku?”
Pelan, Bira mengangkat wajahnya dan menatapku. Sekarang, aku seperti melihat semua dedaunan yang memenuhi pohon beringin itu, rontok seketika hingga hanya menyisakan ranting-ranting yang kering dan gundul. Senyum tipis itu terkembang di wajahnya meskipun tidak bisa disangkal, bahwa dia memaksakannya. Lengannya kemudian terulur dan dengan lembut, menyentuh pipiku.
“Kamu adalah satu-satunya alasan kenapa aku nggak pernah ngasih tahu kalau aku…sebenarnya pulang setiap tahun. Tangisan kamu ketika tahu bahwa Rio meninggal, akan selamanya ada di memoriku, Radit. Melihat kamu, akan sama saja mengulang memori itu dan aku nggak mau…dan nggak bisa Aku sudah merelakan kepergian Rio, tapi aku nggak akan pernah bisa dan mau lihat kamu sedih karena ketemu aku lagi. Bagaimanpun juga, aku cuma pria bodoh, Radit.”
“Pria bodoh nggak mungkin kuliah di Amerika dan jadi pengacara di salah satu biro hukum paling top di dunia.”
Ada senyum menertawakan diri sendiri yang diperlihatkan Bira kepadaku, sebelum senyum itu lenyap.
“Aku tetap pria bodoh, Radit. Bodoh karena aku jadi pria pengecut yang lari dari kenyataan. Lari dari rasa takut untuk jadi gila. Lari dari keinginan terakhir sahabatnya. Aku akan selalu jadi pria bodoh untuk hal itu.”
Mata kami bertemu. Ada satu pertanyaan yang mendesak, namun entah kenapa, aku tidak mampu mengucapkannya. Mulutku rasanya kelu. Sentuhan tangan Bira masih terasa di pipiku. Dia pasti tahu bahwa aku menginginkan penjelasan.
“Rio minta aku jaga kamu. Itu keinginan terakhirnya. Tapi, seperti kamu tahu, aku lari, Radit. Aku takut. Aku pengecut.”
“Apakah itu penting sekarang? Aku nggak pernah anggap kamu sebagai pengecut. Aku bertanya-tanya selama sepuluh tahun, apakah kematian Mas Rio ada hubungannya dengan menghilangnya kamu. Ingin rasanya aku ketemu kamu, menumpahkan semua rasa marahku, bukan karena Mas Rio, tapi kenapa kamu tiba-tiba hilang dari kehidupanku. Ada begitu jawaban yang ingin aku dengar.”
“Kamu punya kesempatan untuk itu sekarang.”
Aku menggeleng pelan. “Terlambat. Pemujaanku terhadapmu jauh lebih besar dari rasa marah itu. Dan setelah yang terjadi semalam, aku akan terlihat tolol jika tetap melakukannya, Nggak ada yang perlu aku tanyakan lagi. Kamu udah jawab semuanya.”
“Semudah itu?”
Ada tatapan tidak percaya yang terpancar di matanya. Dia mungkin menyimpan rasa penasaran yang sama terhadapku. Selama sepuluh tahun, dia mungkin terkungkung dalam bayangan kemarahan yang akan muncul dariku, kalau kami bertemu. Fakta bahwa aku malah sama sekali tidak menunjukkan itu, pasti mengejutkannya.
Aku mengangguk.
“Kenapa? Kamu pantas marah dan mencaciku. Keluarkan saja apa yang kamu simpan selama sepuluh tahun, Radit. Aku disini untuk itu.”
Perlahan, aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di pangkal lehernya, perlahan naik hingga aku mencapai bibirnya. Aku berhenti disana dan menatap matanya.
“Aku memujamu, Bira. Sebelas tahun nggak bikin aku lupa bagaimana rasanya memuja kamu. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku memujamu. Cuma itu.”
Kami saling menguatkan tatapan masing-masing, seperti siapapun yang mengedipkan matanya, akan jadi pihak yang kalah.
“Aku harap kamu nggak akan berpikir bahwa ini salah,” katanya akhirnya.
Aku mengerutkan keningku. Pemahamanku akan kalimat yang baru diucapkannya, sama dengan kerutan di keningku. Apa maksudnya dengan kata salah itu?
“Bagian mana yang salah?”
“Tadi malam. Dan ini.”
Tengkukku segera diliputi rasa hangat ketika tangan Bira ada disana, untuk membuat jarak kami yang sudah dekat, menjadi tak berjarak. Bibirnya, dengan lembut segera mengunci milikku dan seperti semalam, mataku langsung terpejam dan membiarkan Bira menguasaiku. Hanya beberapa detik. Aku menginginkan lebih dari itu.
Tatapan kami kembali saling beradu dan ada begitu banyak hal disana yang membuatku akhirnya tahu. Bahwa dia juga menginginkan ini, sebesar aku menginginkan setiap bagian dari dirinya untukku. Rasa salah yang tadi diucapkannya, yang sempat membuatku mengerutkan kening, seperti hilang. Seolah ciuman kami tadi adalah cara Bira mengisap semua pertanyaan yang akan aku ajukan setelah mendengar kata salah itu terucap darinya.
“Perlu kamu tahu, nggak ada yang salah, Bira.”
“Kamu yakin?”
“Seyakin bahwa hujan akan turun seharian dan kita akan ada disini entah sampai kapan.”
Rasanya, aku menjadi begitu berlebihan. Apa yang terjadi semalam, seolah membutakanku dari fakta bahwa, mungkin saja, ini hanya akan terjadi sekali. Bahwa tidak akan ada kedua, ketiga dan seterusnya. Aku mengabaikan teriakan yang sejak tadi menggema di otakku tentang diriku yang harus berpikir logis. Ini, mungkin adalah yang pertama sekaligus satu-satunya. Menyadari itu, aku menarik tubuhku dari Bira dan menatapnya.
Tidak mengejutkan kalau tatapan heran diberikannya padaku. Sikapku yang tiba-tiba ini pasti membuatnya bingung.
“Kamu takut atau khawatir tentang sesuatu?”
Ingin rasanya membiarkan mulutku menjawab tidak. Mengelabui Bira dengan gelengan kepalaku. Namun, aku malah menghela napas panjang sebelum mengangguk.
“Aku nggak tahu apakah kita akan punya saat seperti ini lagi.”
Bira terdiam. “Kamu nggak keberatan?”
“Tentang apa?”
“Kalau misalnya kita punya saat seperti ini lagi? Banyak saat seperti ini lagi?”
“Maksud kamu?”
Bira tersenyum tipis namun itu belum cukup untuk membuatku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku. Mendengarnya menegaskan apa yang saat ini melintas di pikiranku, jelas berbeda dengan membiarkanku membayangkannya mengucapkannya. Aku tidak ingin menyalah artikan senyumannya.
“Kita mulai sesuatu yang baru. Bukan kamu sebagai adik Rio dan bukan aku sebagai teman Rio. Tapi kamu sebagai Radit dan aku sebagai Bira.”
Ingin rasanya aku melompat kegirangan mendengarnya. Namun, itu akan terlihat sangat kekanak-kanakan. Aku tidak bisa mengingkari bahwa ada sesuatu yang begitu mendesak di dalam hatiku. Setelah sebelas tahun…tapi…
“Aku harap kamu nggak bilang begitu karena masih ada rasa bersalah dalam diri kamu.”
“Rasa bersalah yang aku rasakan, hanyalah kenapa aku harus pergi selama itu untuk ketemu kamu lagi. Selama kamu nggak menganggap kematian Rio sebagai kesalahanku, kenapa aku masih harus menanggung rasa bersalah itu?”
Ingin rasanya mempercayainya begitu saja. Namun, aku tahu, bahwa keraguan masih akan menguntitku untuk jangka waktu yang hanya Tuhan yang tahu. Tapi, kali ini, aku ingin membiarkan keraguan itu turun panggung. Dia boleh kembali kapan saja, asalkan bukan sekarang. Tidak saat ini.
Sentuhan tangan Bira di pipiku membuatku meraihnya dan menahannya disana. Aku memejamkan mataku dan menikmati sentuhannya. Inilah yang selama ini selalu membayangiku dan ketika aku mendapatkannya, aku tidak akan membiarkannya lepas, setidaknya, aku ingin menahannya selama beberapa menit.
Ketika akhirnya aku membuka mata, Bira masih menatapku.
“Beri aku lagi apa yang kamu berikan semalam, Bira. Bantu aku menyadari bahwa ini bukan mimpi atau bayanganku saja. Berikan aku fakta bahwa kamu memang disini, bersamaku. Buktikan padaku bahwa kamu…memang ingin menjadi Bira dan aku menjadi Radit.”
Ada keraguan yang aku tangkap dari sorot mata Bira, namun kemudian, aku membiarkan telapak tangannya turun dari pipiku dan aku hanya menurut ketika tubuh kami kembali merapat dan bibir kami saling mengunci. Aku membiarkan keraguan dan kehawatiranku hilang. Membiarkan setiap kecupan Bira menghapusnya.
Hujan diluar masih dengan leluasa menguasai pagi namun disini, di kamar ini, di atas karpet berwarna coklat susu ini, Bira lah yang menguasaiku. Surga milikku.
Dan aku memang menunggu Bira untuk melakukannya. Lagi.
Jumpa lagi dengan saya dan cerita pendek saya Udah hampir sebulan ya ANTOLOGI nya nggak diupdate. Cerita ini inspirasinya dari.....hujan. Bangun tidur, pas hujan dan tiba2 pengen nulis. Sempet diabaikan 2 minggu sebelum diterusin lagi nulisnya
@masdabudd : Udah kelar semuanya, jadi bisa agak santai skrg
@angelofgay : Ya, kan kalau nggak komen, nggak tahu juga kan suka atau nggak?
@riohan : Udah nggak silent reader lagi kan skrg? hehehe
@yeltz : Bukan. Itu film castya edan2an menurutku. Aktor/aktris senior semua. Judi Dench, Maggie Smith ada Dev Patel jg. Bgs kok.
@obay : thank you!
@tyo_ary : Iya, sekali2 kembali ke akarnya sbg orang Jawa
@Adra_84 : I agree for the down to earth part, lol. Just feel like writing a humble story at that time Hope it worked! Have you seen the movie?
@steve_hendra : Thank you!!!
@kiki_h_n : Mgkn ntar di cerita selanjutnya, musti kayak gitu juga buat Eng nya, biar gak diprotes terlalu banyak pakai Eng
@tialawliet : Ah, kamu ini kalau kasih pujian terlalu berlebihan Jangan gitu ah, nggak baik buat kesehatan #eh
@arieat : Hahahaha, kok yakin banget cucunya bakal jadian? Situ cenayang ya? hahaha
@Venussalacca : Aih, masak sih? hahaha
@jakasembung : Lah, panjang deh kalau kisah cinta kakeknya diceritain, jadinya malah cerbung ntar
@chandisch : Thank you!!!!!!!
@Hangatkuku : Aw, thank you!! Thanks juga udah bawa A TALE MESSAGE ke hal depan diw arung sebelah, hehehehe
@harya_kei : Masak sih?
@Adam08 : Wah, seru tuh kalau pernah punya pengalaman kayak gitu
@Achan : Nggak belajar nulis dimana2. banyak baca buku aja dan sering nulis. Lama2 kan pasti berkembang tulisannya. Semoga aja tulisankku makin lama makin baik ya? Amin!
Aamiin...
Karya u, udah gak perlu diragukan lagi.. Pendek tapi padet banget.. Ditunggu karya berikutnya..
bener kata diatas, sebuah pencerahan