It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Menuruti ego lebih baik bertahan, menuruti logika lebih baik pergi X_Xhadoº°˚˚˚˚°ºohhX_X ....... Pilihan yg sulit
#ada yg senyam-senyum sendiri gak jelas...
ada decision 2?
Aku tidak pernah mengira bahwa Mbah Kakung menyimpan sebuah rahasia yang dibawa hingga akhir hidupnya. Aku hanya mampu tertegun ketika akhirnya bisa membongkar sebuah kotak kayu yang Mbah Kakung tinggalkan untukku dalam surat terakhir beliau sebelum meninggal. Kotak itu ternyata berisi begitu banyak surat, yang kertasnya sudah menguning dan tintannya sudah memudar, namun masih bisa terbaca olehku.
The Very Thought Of You milik Nat King Cole mengalun dari gramofon yang sudah ada disana sejak puluhan tahun lalu, ketika akhirnya, aku menyelesaikan membaca semua surat-surat itu. Aku hanya mampu menelan ludah, mengetahui surat macam apa yang ditinggalkan Mbah Kakung untukku. Mbah Kakung adalah bukti, bahwa setiap orang memiliki rahasia yang tidak seorangpun berhak mengetahuinya, mungkin hingga ajal datang menjemput. Sekeras apapun aku berusaha untuk tidak membiarkan air mataku mengalir, aku kalah oleh emosi yang menguasaiku. Ada cinta yang begitu indah, yang tidak akan pernah disadari oleh siapapun, kecuali orang seperti Mbah Kakung atau….pria sepertiku.
Mbah Kakung meninggalkan warisan untukku. Bukan berupa harta benda atau uang. Hanya setumpuk surat dan tentu saja, gramofon dan berpuluh-puluh piringan hitam lagu-lagu dari era 50 dan 60an. Bagiku, itu lebih berharga dari apapun. Sejak kecil, aku memang lebih merasa nyaman dengan Mbah Kakung. Ketika aku mulai beranjak dewasa, lagu-lagu Nat King Cole, Johnny Mathis, Dean Martin, The Everly Brothers, Al Jolson adalah yang menggugahku untuk belajar bahasa Inggris dan membuatku jatuh cinta setengah mati dengan lagu-lagu lama. Bahkan, ketika menyadari bahwa aku lebih tertarik kepada kaumku sendiri daripada lawan jenis, Mbah Kakung lah yang mengetahuinya pertama kali, bahkan tanpa aku mengatakannya. Sejak itu, aku tidak bisa menyembunyikan apapun dari beliau. Mbah Kakung, menjadi satu-satunya tempat aku mengutarakan semua uneg-unegku, terutama jika itu berhubungan dengan orientasi yang aku sembunyikan dari semua orang.
Aku sangat terpukul ketika mengetahui bahwa Mbah Kakung meninggal dunia, tiga bulan lalu. Sebagian dariku, rasanya ikut mati bersama Mbah Kakung. Tidak ada yang bisa menarikku keluar dari kesedihan yang aku rasakan. Tidak juga Eyang Putri, Bapak, Ibu, Mbak Ratri ataupun Mas Eki. Mereka menyadari betapa dekatnya aku dengan Mbah Kakung, hingga mereka kemudian membiarkanku tetap tinggal di rumah Mbah Kakung, di kamarnya, ditemani lagu-lagu milik Johnny Mathis ataupun Dean Martin selama kepulanganku. Namun, setelah tiga bulan Mbah Kakung meninggal, aku baru bisa mengambil cuti dan menghabiskannya di rumah Mbah Kakung, untuk mengetahui apa yang ditinggalkan Mbah Kakung untukku. Begitu aku menemukan dang mengetahui surat-surat ini, aku memiliki semakin tenggelam dalam kenanganku bersama Mbah Kakung. Tidak ada yang memedulikan surat-surat ini, karena tidak ada satupun anggota keluargaku yang menguasai Bahasa Inggris sepertiku, atau seperti Mbah Kakung. Aku bersyukur, bahwa hanya aku yang mengetahui tentang apa isi surat-surat ini.
Andai saja aku punya uang untuk mencari tahu siapa pria yang namanya tertera di semua surat-surat ini. Clift Stewart….
Pintu kamarku diketuk sebelum wajah Eyang Putri muncul. Sekalipun sudah di awal 70an, Eyang Putri masih menyisakan kecantikan klasik wanita Indonesia. Walaupun rambut Eyang Putri sudah semuanya memutih, namun, aku tidak akan mengingkari betapa cantiknya Eyang Putri.
“Iya, Yang?”
“Mangan Le, iki wis jam piro? Mengko ditutukke meneh maca surate,” – Makan Nak, ini sudah jam berapa? Nanti dilanjutkan lagi baca suratnya.
“Inggih Yang, sekedap malih,” – Iya Eyang, sebentar lagi.
Begitu Eyang Putri membiarkan pintu kamar Mbah Kakung setengah terbuka, aku merapikan surat-surat yang beberapa hari ini begitu mengikatku dengan masa lalu Mbah Kakung. Sesuatu yang memenuhi pikiranku, hingga apapun yang aku lakukan, tidak bisa mengalihkanku darinya.
Aku menghela napas sebelum kembali menyimpan surat-surat itu ke kotak kayu dan meletakannya di bawah tempat tidur. Aku berniat untuk menghentikan alunan suara Nat King Cole ketika That Sunday, That Summer mulai mengalun. Sejak pertama kali aku mendengarnya, aku langsung menyukai lagu ini. Apalagi ketika Mbah Kakung menceritakan kepadaku, bahwa lagu itu bukan hanya sebuah lagu bagi Mbah Kakung, namun punya arti yang begitu dalam. Aku terduduk kembali diatas tempat tidur, sambil berusaha membayangkan Mbah Kakung dan Clift Stewart bertemu di sebuah hari minggu, di suatu musim panas di Central Park. Jika saja Mbah Kakung dan Eyang Putri tidak menikah, pertemuan itu pasti terjadi.
Begitu lagu itu selesai, aku segera mematikan gramofon dan keluar dari kamar. Rumah Mbah Kakung ini memang cukup besar, mengingat hanya Mbah Kakung dan Eyang Putri saja yag tinggal disini. Sekarang, setelah Mbah Kakung meninggal, otomatis hanya Eyang Putri yang tinggal disini. Sebesar apapun keinginanku untuk tinggal disini, aku punya tanggung jawab untuk kembali ke Ibukota dan melupakan cuti hingga tahun depan, karena aku mengambil semua cutiku untuk ada di rumah ini. Suasana di Karangjati ini memang jauh dari hiruk pikuk keramaian Jakarta. Sekalipun ada beberapa pabrik, namun keasrian desa di lereng Gunung Ungaran ini masih begitu terasa. Tidak ada yang mampu menarikku keluar dari tempat ini selain pekerjaanku di Jakarta.
Aku berjalan menuju ke dapur dan begitu melihat lele goreng, sambal tomat dan daun kemangi yang masih segar, nafsu makanku tiba-tiba muncul. Namun, ketika aku baru saja menyendok nasi, sebuah suara membuatku tertegun.
“Le, iki ono tamu, Eyang ora ngerti bocah iki ngomong opo,” (Nak, ini ada tamu, Eyang tidak mengerti anak ini bicara apa) seru Eyang Putri sambil berjalan menuju dapur menghampiriku.
“Sinten, Yang?” (Siapa, Yang?) tanyaku sambil berjalan menuju ke teras depan, untuk melihat siapa yang membuat Eyang Putri begitu kebingungan.
Aku hampir tidak memercayai penglihatanku, ketika seorang pria muda berdiri di ambang pintu. Yang mengejutkanku, adalah pria itu adalah pria asing, jenis yang sangat jarang bisa ditemui di desa seperti Karangjati ini. Dia sudah melepaskan kaca mata hitamnya dan dari tampilannya, dia sepertinya ditemani oleh seorang sopir yang menunggunya di halaman.
“Yes?”
Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku, karena keterkejutan yang menyelimutiku.
“Good afternoon, I’m just wondering, if this is the address of Mr. Soedarman?”
Tubuhku membeku mendengar nama Mbah Kakung disebut dengan logat seperti itu. Selain Clift Stewart, aku tidak bisa memikirkan nama lain, terutama orang asing, yang mengenal Mbah Kakung. Siapa pria muda ini? Hingga dia mengenal Mbah Kakung.
“Yes, it is. He’s my grandfather. May I know who are you?”
Senyum langsung terkembang di wajah pria muda itu sebelum dia mengulurkan tangannya. Aku, yang masih sepenuhnya dikuasai oleh rasa terkejut, hanya menerima uluran tangannya.
“My name is Mark, and I’m the grandson of Clift Stewart.”
Aku hanya mampu menelan ludah ketika mendengar nama itu akhirnya disebut. Cucu Clift Stewart?
“My name is Hendra and I’m…I’m the grandson of Mr. Soedarman.”
Apa ini? Aku bahkan masih terpaku di tempatku, tidak mendengar suara Eyang Putri sampai beliau menepuk pundakku.
Tatapanku beralih dari Mark ke Eyang Putri. “Eyang, niki putune rencange Mbah Kakung saking Amerika. Kakung kagugan rencang saking Amerika to?” – Eyang, ini cucu temannya Mbah Kakung dari America. Mbah Kakung punya teman orang Amerika kan?
Ada tatapan dalam sepasang mata Eyang Putri yang tidak aku mengerti sebelum Eyang Putri mengangguk. Eyang Putri kemudian menatap Mark dan tersenyum tipis, sebelum akhirnya Eyang Putri menghilang ke dalam rumah, mungkin membuatkan minum untuk Mark. Aku kemudian mempersilakan Mark untuk duduk. Kami berdua sama-sama terdiam, tidak tahu harus memulai percakapan kami dari mana. Secara fisik, Mark tidak berbeda dari begitu banyaknya pria bule yang pernah aku lihat. Bertubuh tinggi, berkulit pucat, berambut pirang, berhidung mancung dan bermata biru.
“Mark, apakah kamu benar cucu Clift Stewart?”
Mark menatapku dan mengangguk, sebelum mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. Dia kemudian mengulurkan sesuatu kepadaku dan begitu aku melihatnya, aku tidak memiliki keraguan sedikitpun bahwa pria yang sedang duduk ini memang cucu Clift Stewart. Aku memegang foto Clift dan Mbah Kakung, persis seperti foto yang disimpan Mbah Kakung diantara tumpukan surat-surat yang ditinggalkannya untukku. Aku mengembalikan foto itu dan kembali membiarkan pandangan kami bertemu.
“Kakek meninggal lima bulan lalu dan dia meninggalkanku alamat ini, berharap agar aku menemukannya,” Mark terdiam sebelum melanjutkan kalimatnya. “He loved your Grandpa until the day he died.”
Tubuhku merinding mendengar kalimat Mark. Ada perasaan lain yang menyusupiku, mendengar Mark mengatakannya. Kalimat itu membuatku merasakan cinta yang selama beberapa hari ini hanya tertuang lewat tulisan-tulisan Mbah Kakung dan Clift, sekalipun tidak pernah ada kata cinta tertulis disana.
“Aku rasa, Mbah Kakung juga merasakan hal yang sama,” balasku.
Ada senyum kecil terpasang di wajah Mark. “Aku merasa malu, bahwa aku tidak bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Kakek. Aku bahkan tidak percaya ada cinta sejati dalam dunia seperti duniaku dan Kakek.”
Pukulan kedua. Mark, mungkin tidak mengatakan bahwa dia seorang gay, namun kalimatnya mengandung makna bahwa dia juga pria seperti kakeknya, pria seperti Mbah Kakung dan pria….pria…sepertiku. Ya Tuhan, apa lagi ini? Takdir macam apa yang telah Kau tuliskan untuk dua pria yang saling mencintai secara sederhana dan rahasia selama lima puluh tahun dan cucu-cucu mereka?
Aku menelan ludahku. “Aku harap, Mbah Kakung ada disini sekarang. Beliau pasti akan sangat bahagia ketemu kamu.”
“Where is he?”
Aku menghela napas. “He passed away 3 months ago.”
Suasana kembali sunyi.
Entah Mark sudah mempersiapkan dirinya untuk menerima kenyataan ini atau tidak, aku hanya melihat kesedihan dan mungkin juga kekecewaan di wajahnya. Rasanya, takdir bersikap tidak adil terhadap Mbah Kakung dan Clift. Aku segera mengulurkan lenganku untuk menepuk lutut Mark, berharap dengan itu, aku bisa memberitahunya, bahwa aku merasakan kesedihan yang sama. Bukan kesedihan karena kehilangan Mbah Kakung, tapi karena dua pria yang saling mencintai, tidak bisa bertatap muka, sekalipun itu melalui cucunya. Kisah cinta seperti milik Mbah Kakung dan Clift, bukanlah cinta yang biasa. Tidak rela rasanya, melihat kisah cinta seperti itu harus berujung dengan kekecewaan seperti ini.
“Kenapa hidup begitu kejam kepada mereka?”
Aku menggeleng pelan mendengar pertanyaan Mark. “Life is always unfair, right?”
Mark hanya menganggukkan kepalanya.
“Mark, I would like to show you something. Could you please follow me?”
Kembali, Mark hanya membalas pertanyaanku dengan anggukan kepalanya sebelum mengikutiku ketika aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju ke kamar Mbah Kakung. Aku melihat Eyang Putri hanya terduduk di meja makan, menikmati makan siang beliau dan mengacuhkan kami berdua, seperti tahu bahwa kedatangan Mark adalah untuk mengetahui tentang kepergian pria yang telah menemaninya selama 49 tahun.
Begitu kami memasuki kamar Mbah Kakung, aku menghampiri gramofon dan memilih piringan hitam milik Johnny Mathis. Begitu intro The Summer Knows terdengar, aku mengulurkan lenganku ke bawah tempat tidur dan menarik kotak kayu yang telah beberapa hari ini menjadi satu-satunya benda yang menguasaiku. Aku melihat Mark mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kamar Mbah Kakung dan terpaku pada satu potret Mbah Kakung yang mengenakan baju tradisional Jawa.
“Your Grandpa was a handsome man.”
Aku mengangguk. “He was,” balasku ketika akhirnya berhasil mengeluarkan sebagian surat dari kotak kayu itu.
Mark sudah duduk di salah satu kursi kayu yang ada di dekat tempat tidur dan memerhatikanku.
“Ini yang ditinggalkan Mbah Kakung untukku. Balasan dari surat-surat yang dikirimkan Mbah Kakung untuk Clift, serta surat-surat yang tidak sampai. Aku begitu dikuasai oleh surat-surat indah ini.”
“Boleh aku membacanya?”
Aku mengangguk lalu menyodorkan beberapa surat kepada Mark. Ekspresi wajah Mark berubah begitu dia mulai membacanya. Surat-surat ini selalu membuatku membayangkan apa yang ditulis Mbah Kakung hingga Clift membalasnya seperti itu. Aku yakin, melihat kembali tulisan Kakeknya, terutama balasan atas surat yang diterima Clift, pasti membuat kenangan Mark akan Kakeknya muncul. Dia terlihat berusaha untuk menahan air matanya dan aku tidak akan menyalahkannya, jika akhirnya dia membiarkan emosinya keluar. Ini sesuatu yang sangat personal, siapapun pasti akan merasakan hal yang sama.
Mark dengan cepat melipat kembali salah satu surat itu dan mengulurkannya kembali kepadaku. Ekor mataku sempat menangkap Mark menyeka sudut matanya. Aku kemudian memasukkan kembali surat-surat itu ke tempatnya semula.
“It’s always been emotional for me everytime I remember my grandpa.”
“Kamu pasti dekat sekali dengannya, hingga kamu memutuskan untuk datang kesini, mencari alamat Mbah Kakung.”
Mark mengangguk. “Duniaku seperti hancur ketika Kakek meninggal. You know, I was raised by him since my parents died in an accident. He was the only man in my life. Aku rela melakukan apapun untuk melihatnya bahagia. Sekalipun untuk itu, aku harus menghadapi begitu banyak ketidakpastian. Butuh keberanian luar biasa untuk datang kesini, Hendra. Karena aku tidak tahu apa yang akan aku temui disini.”
Aku segera mendudukkan diriku di tempat tidur, sementara Johnny Mathis sedang menyenandungkan Misty, salah satu lagu favoritku dan menjadi salah lagu pengantar tidurku sejak kecil.
“Di satu surat, aku ingat Clift pernah bilang bahwa dia sangat menghargai keputusan Mbah Kakung untuk tidak pindah rumah, sampai kapanpun, agar kalau Clift memutuskan untuk datang ke Indonesia dan mencarinya, dia punya alamat untuk dituju untuk menemukannya. Surat terakhir yang Mbah Kakung terima dari Clift, sekitar awal 80an, karena setelah itu, semua surat yang dikirimkan Mbah Kakung, dikembalikan. Aku…”
“Kakekmu pasti bertanya-tanya apa yang terjadi,” sahut Mark, memotong kalimatku.
Aku mengangguk. “Mbah Kakung pasti akhirnya memutuskan untuk berhenti mengirimi Clift surat karena tidak ada satu suratpun yang dikirimkannya, sampai. Aku bisa membayangkan apa yang melintas di benak Mbah Kakung saat itu.”
Mark mengedarkan kembali pandangannya ke seluruh isi kamar sebelum akhirnya kembali menatapku. Dia sepertinya sudah meyiapkan dirinya untuk menjelaskan kenapa surat-surat Mbah Kakung dikembalikan.
“Nenek menemukan surat-surat yang dikirim Kakekmu dan begitu mengetahui isinya, Kakek tidak punya pilihan selain menceritakan semuanya hingga membuat Nenek memutuskan untuk meninggalkan Kakek. Ketika itulah, aku kehilangan Papa dan Mama, ketika mereka berniat menjemput Nenek untuk membujuknya pulang. Sejak itu, Kakek memutuskan untuk pindah rumah dan menyimpan semua surat-surat Kakekmu di gudang dan tidak pernah menyentuhnya, smpai Nenek meninggal sepuluh tahun lalu. Kakek melakukannya karena jika bukan karena surat-surat itu, aku mungkin masih memiliki orang tua.”
Mark terdiam sesaat, seperti berusaha untuk menata emosinya lagi. Membicarakan orang tuanya pasti bukan hal yang mudah.
“Kakek bilang, sudah terlambat untuk meminta maaf kepada Kakekmu karena sudah terlalu lama mereka tidak berkirim surat. Namun, aku tahu bahwa Kakek tidak pernah melupakan Kakekmu sedetikpun. Beberapa kali, aku melihat Kakek membaca kembali surat-surat yang diterimanya dan siapapun bisa melihat, bahwa Kakek sangat merindukan Kakekmu. Hingga ketika Kakek meninggal, hanya tumpukan surat-surat yang diterimanya yang ditinggalkannya untukku dan sebuah permintaan agar aku datang ke Indonesia, menemukan pria yang dicintainya dan meminta maaf kepadanya serta menjelaskan semuanya. Sekarang….”
Mark tidak melanjutkan kalimatnya, namun aku bisa menebak apa yang tidak bisa dikatakannya. Mbah Kakung pasti kecewa saat itu, ketika semua suratnya untuk Clift, dikembalikan. Namun, mengenal Mbah Kakung, aku percaya Mbah Kakung sudah melupakan rasa kecewa itu dan memaafkan Clift, sekalipun Mbah Kakung tidak sempat mengetahui alasan sebenarnya kenapa surat-suratnya tidak pernah sampai. Aku benar-benar berharap, Mbah Kakung ada disini saat ini…
“Aku mengerti, Mark. Aku yakin, Mbah Kakung pasti bisa mengerti juga. Cinta mereka terlalu besar untuk sekedar dihancurkan oleh kesalahpahaman semacam itu,” balasku. “Inilah warisan paling mahal yang ditinggalkan Mbah Kakung untukku. Surat-surat, gramofon dan piringan-piringan hitam itu.”
Kami kemudian terdiam. Jika aku punya uang, aku memang berniat untuk melacak keberadaan Clift, demi Mbah Kakung. Namun, ternyata Clift yang sudah menemukan Mbah Kakung terlebih dahulu. Mungkin, ini cara Clift untuk meminta maaf kepada Mbah Kakung, karena rasa bersalah yang dibawanya hingga menjelang akhir hidupnya.
“Thanks for coming here, Mark. I know my Grandpa would be so happy knowing you’re here.”
Mark menatapku sebelum tersenyum. “I think, we both have to say thanks to them, for showing us what an amazing love they had. Paling tidak, sekarang mereka bisa bertemu, sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan di dunia.”
Aku mengangguk. “Mereka pasti sedang tersenyum sekarang.”
“Hendra, can I ask you one thing?”
Mark menatapku dan aku mengangguk.
“Are you…gay?”
Belum pernah ada seseorangpun yang menanyakan pertanyaan itu terhadapku. Tidak juga Mbah Kakung. Ketika Mbah Kakung mengetahui bahwa aku lebih tertarik kepada kaumku sendiri, aku hampir mengelak dengan berbagai alasan. Namun, Mbah Kakung malah tertawa ketika melihatku berusaha menyembunyikannya. Sejak saat itu, hanya Mbah Kakung tempatku bercerita setiap kali ada pria yang menarik hatiku, sekalipun dari pria-pria itu, tidak ada satupun yang berhasil menjadi seseorang yang lebih dari sekedar teman untukku.
Namun, saat ini, ketika mengetahui bahwa Mbah Kakung pernah mencintai pria bernama Clift Stewart, dan cucu Clift yang ada disini, juga mengatakan bahwa dia sendiri seorang gay, aku merasakan sebuah kelegaan yang membuatku takut untuk mengatakan kepada siapapun tentang kebenaran yang aku sembunyikan. Hidup di Jakarta tidak membuatku jadi pria yang berani mengatakan kepada setiap orang bahwa aku hanya bisa mencintai kaumku sendiri.
Aku mengangguk, kali ini mantap. “Mbah Kakung satu-satunya orang yang tahu tentang hal ini. Makanya, ketika Mbah Kakung meninggal, aku merasa sebagian diriku ikut terkubur bersama beliau.”
Perlahan, Mark mengulurkan tangannya untuk meraih tanganku dan meremasnya. “Kamu punya Kakek yang luar biasa hebat, Hendra. Aku yakin, surat-surat yang ditinggalkannya untukmu, bukan hanya ingin kamu mengetahui cinta seperti apa yang dimiliki Kakek kita berdua. Kakekmu pasti tidak ingin kamu mengalami apa yang dialaminya dengan Kakekku. Dia pasti ingin kamu bahagia menjadi diri kamu sendiri.”
Dulu, Mbah Kakung memang sering bicara seperti itu. Bahwa dia ingin aku menjadi diriku sendiri dan bahwa Mbah Kakung akan membelaku jika ternyata keluarga besar mengetahui kenyataan yang aku sembunyikan. Tentu saja keluarga besarku tidak pernah tahu. Namun, sekarang, setelah mengetahui rahasia yang disimpan Mbah Kakung, aku merasa bahwa kalimat-kalimat Mbah Kakung memiliki makna yang lebih dalam. Mark benar, surat-surat itu seperti ingin menunjukkan kepadaku, agar aku tidak memilih jalan yang dipilih Mbah Kakung. Menikah dengan Eyang Putri hanya karena pendapat orang, hingga mengabaikan apa yang sebenarnya diinginkan Mbah Kakung. Bersama Clift. Mbah Kakung menyembunyikan cintanya begitu lama dan aku yakin, betapa menyakitkannya itu. Mbah Kakung tidak ingin aku mengalami hal yang sama.
“Lega rasanya mengetahui bahwa Mbah Kakung hanya ingin melihatku menjadi pria yang sesungguhnya, bukan pria pengecut.”
“You can call it a new beginning for your life.”
Aku menatap Mark dan merasakan sebuah gelombang perasaan damai yang menyelimutiku. Pria ini tahu kebenaran yang tidak berani aku ungkapkan kepada siapapun. Aku memercayai pria ini, sekalipun baru bertemu dengannya kurang dari sejam yang lalu. Fakta bahwa dia adalah cucu dari pria yang dicintai Mbah Kakung, yang membuatku merasa menemukan seseorang dari sisi dunia yang sama. Seseorang yang mengerti bagaimana kedua Kakek kami harus menyembunyikan sebuah cinta dan menjaganya selama 50 tahun.
“Kamu mau mengunjungi makam Mbah Kakung?”
Mark tersenyum dan mengangguk. “That would be an honor.”
Aku membalas senyuman Mark dengan senyumku. Ada sebuah keyakinan kecil yang menyusupiku. Aku tidak berharap apapun terhadap Mark. Namun, kedatangan pria ini semakin meyakinkanku bahwa cinta sejati itu memang ada dalam duniaku dan Mark, seperti cinta yang dimiliki Mbah Kakung dan Clift. Aku hanya berharap, sesuatu yang baik terjadi, itu saja.
“Bisa kita pergi sekarang?”
Wah, akhirnya, setelah hampir sebulan, diupdate juga ANTOLOGI nya. Ide cerita yang baru aku post, sebenernya udah mengendap selama beberapa minggu, cuma belum nemu formula yang pas buat nulisnya. jadilah baru bbrpa hari lalu ditulis. Inspirasinya? dari film The Best Exotic Marigold Hotel. Ada salah satu cerita disana ttg seorang pensiunan Inggris, yang kembali ke India untuk pensiun dan mencari cinta lamanya, seorang pria India.
@obay : thank you!!!
@tyo_ary : hahaha. Itulah kenapa setiap ceritaku, endingnya banyak yang gantung
@jakasembung : Hahaha, udah bisa bantu mutusin belum?
@yeltz : thank you!
@arieat : betul!
@kiki_h_n : Hahahaha. tapi, dari semua itu, nggak smeuanya memuaskan kan? From all, fav tetep Hohenzollenbrucke sama yang terakhir ditulis ini, gak tahu kenapa
@nes16 : hahahaha, dibikin bubur merah dulu sebelum ganti nama orang, hahahaha
@Adra_84 : I will
@venussalacca : Senyum2 sendiri knapa? hahaha
@angelofgay : Apa enaknya sih jadi silent reader? heran deh
@Adam08 : hahahaha, masak sih? Aku nggak ngitung atau inget tuh, tapi kalau dari namanya sih pasti bisa diitung berapa ceritanya yg dua2nya cowok Indo semua
@tera9 : masak sih? Di bagian mananya? Show me!!! Show me!!!
@masdabudd : emang banyak yg bisa dijadiin cerita. cerita selanjutnya kan nanti aku ambil dari salah satu cerita disini, tapi yang mana? Tunggu sampai tengah tahun ya? hahahaha
@tialawliet : emangnya aku pernah bikin sekuel buat cerpen ya? kayaknya nggak pernah deh, hahahaha.
@rarasipau : kenapa? hahaha
@Hangatkuku : I wish!!!! Doain aja. Anyway, yg terakhir dalam bahasa Jerman itu artinya apa???
Colek2 siapa ya? @faghag @marckent05 @Different @Emtidi @budhayutzzz