It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@keichi_koji nih
Fans tulisanmu dlu.., tp gk prnah nongol lg hhehehe
Lama gk baca tulisan mas abi, bgitu baca lngsung gmana gt hhehe
Trs berkarya yah
I love Dion but Dion loves Sam but Sam loves and married to Irina. Sounds complicated, huh?
Mataku masih belum beranjak dari ribuan lampu yang menghiasi langit malam Sydney. Bukan hanya dari lampu-lampu mobil yang melintasi Sydney Harbour Bridge, namun juga dari bangunan pencakar langit yang sepertinya, mencoba untuk menjadi primadona bagi siapapun yang melihatnya dari Blu Bar on 36. Bahkan, “cangkang” Sydney Opera House pun terlihat begitu indah dari sofa tempatku duduk. Harbour Serenade-ku sudah tandas dan aku berniat untuk memesan gelas kedua, ketika akhirnya, sosok yang aku tunggu menghampiri mejaku.
Sudah lebih dari dua tahun aku tidak bertemu dengan Sam. Sepertinya, waktu dua tahun tidak mengubah sedikitpun profilnya. Dia masih pria yang sama. Setidaknya itu yang aku tangkap dari penglihatanku.
“Sorry, I’m late.”
Aku hanya tersenyum, sebelum bangkit dari sofa yang sudah lebih dari setengah jam aku duduki dan mengulurkan tanganku. Sam menjabat tanganku dengan erat, namun, dari ekspresi wajahnya, aku bisa menangkap bahwa dia tidak begitu suka datang kesini. Mungkin, akulah alasan kenapa dia menunjukkan ekspresi itu. Sam mengenakan dasi polos berwarna merah marun yang sudah dilonggarkannya, terlihat serasi dengan kemeja merah muda, yang lengannya, telah digulungnya hingga mencapai siku. Bahkan, dengan tampilan khas pria yang baru pulang dari kantor itu, Sam masih terlihat mempesona. Sekalipun aku tahu, bukan tampilan fisik Sam yang membuat Dion masih menyimpan perasaan terhadap Sam, sekalipun sudah dua tahun hubungan mereka berakhir.
“You wanna order a drink?” tawarku begitu kami berdua duduk.
Sam menggelengkan kepalanya. “Mungkin nanti.”
Aku hanya mengangguk sambil memanggil waitress untuk memesan satu gelas lagi Harbor Serenade untukku sendiri.
“Kenapa kamu kesini, Tony?”
Pertanyaan itu bahkan diajukan Sam tanpa menunggu waitress yang mencatat pesananku, berlalu dari meja kami. Aku tahu, permintaanku kepadanya ntuk menemuiku disini sudah terdengar aneh, namun, aku berharap, Sam tahu, bahwa aku tidak akan memintanya datang kesini jika bukan untuk sesuatu yang tidak penting.
“Masih saja pria yang straight to the point.”
Sam menghela napasnya sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Sydney Opera House yang terletak di sisi kanannya, hingga aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya.
“Aku harap kamu kesini bukan karena Dion.”
“Aku datang kesini memang karena Dion.”
Terdengar helaan napas sebelum Sam kembali menatapku dengan sepasang mata birunya yang terlihat sangat kontras dengan warna rambutnya yang light blond itu.
“I’m a married man, Tony. Tidak bisakah kamu membiarkanku hidup dengan tenang? Dion harus melupakanku, sesulit apapun itu.”
“He doesn’t even know I’m here. I’m here because I wanted to.”
Mungkin, kalimat yang baru aku ucapkan, mengejutkan Sam. Dia tahu betapa dekatnya aku dengan Dion hingga aku jadi orang pertama yang melabraknya ketika tahu, dia akan menikah dan meninggalkan Dion. Sam menjadi korban kepalan tanganku, yang membuat pipinya lebam. Aku tidak menyalahkannya jika berpikir, bahwa kedatanganku kesini pasti karena Dion. Memang Dion-lah alasannya, namun Dion bahkan tidak tahu aku ke Sydney.
“I didn’t even know why I replied to your e-mail. I guess, simply because I wanted to tell you to leave me alone with my life. I don’t care with Dion anymore.”
“He still does.”
Sam mengeluarkan tawa sinis. Sekalipun pelan, aku bisa melihatnya dan hatiku rasanya mendidih melihat ekspresi Sam yang seperti sudah melupakan Dion. Melupakan tiga tahun yang mereka miliki. Tiga tahun yang bagiku, seperti neraka.
“What is it with you??!!”
“Aku hanya mencoba untuk jadi sahabat yang baik.”
“Sahabat? Oh, please! Siapapun tahu kalau kamu mencintai Dion. Don’t be a liar in front of me, Tony. I’m not a little boy that you could deceive about your feeling for him.”
“Ini nggak ada hubungannya dengan itu,” balasku sambil berusaha untuk menghindari tatapan Sam.
Seperti banyak kisah cinta antar sahabat lainnya, kisahku pun tidak jauh berbeda. Aku mencintai Dion, namun, begitu aku tahu dia mencintai Sam, aku menjadi pengecut yang bersembunyi dibalik banyak wanita yang mengelilingiku. Bahkan, ketika hubungan mereka berakhir, aku masih tidak berani mengajukan diriku sebagai pengganti Sam. Bagaimana aku menjelaskan kepada Dion bahwa wanita-wanita yang pernah bersamaku, hanyalah topeng yang aku kenakan agar dia tidak mengetahui perasaanku yang sesungguhnya? Jadilah aku seorang pengecut selama lima tahun terakhir ini di hadapannya.
“Aku tidak bisa tinggal lama, Tony. Irina menungguku di rumah.”
This is it. Inilah saatnya mengetahui apakah aku bisa membawa Sam kembali ke Jakarta, sekalipun hanya dalam hitungan jam.
“Aku ingin kamu ke Jakarta, Sam. Dion…he’s just diagnosed with brain tumor and he refused to take any treatment. I know how much he wants to see you and…I hope, he will change his mind and get the treatment he needs, if you see him.”
There…I’ve said it. Menyebutkan nama Dion dan tumor dalam satu kalimat masih seperti mimpi buruk bagiku. Mimpi yang sangat buruk.
Tatapan kami bertemu. Aku yakin, Sam tidak menyangka akan mendengar ini. Ada keterkejutan dalam ekspresi wajahnya, sebelum akhirnya Sam mengalihkan pandangannya ke arah Sydney Harbour Bridge.
“Bagaimana kondisinya?”
Aku mengucapkan terima kasih kepada waitress yang meletakkan pesananku di atas meja diantara aku dan Sam, sebelum akhirnya dia meninggalkan meja kami.
“Dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan banyak orang. I know he’s not. He’s in pain, Sam.”
Pikiranku membawaku ke saat-saat ketika Dion berusaha menguatkan dirinya atas rasa sakit yang belakangan ini, jadi semakin menguasai tubuhnya. Aku tidak tahan melihat Dion menderita seperti itu. I wish I could do something for him. Dia tidak mau mendengarkan siapapun, bahkan kedua kakaknya. He chose to suffer!
“I can’t.”
Tatapanku beralih ke Sam, yang membawaku kembali ke Blu Bar on 36. Tatapannya lurus, memandang kegelapan di balik jendela kaca di hadapan kami. Aku tidak menyadari apa maksud perkataan Sam, namun, begitu pikiranku mulai bisa mencerna dua kata itu, rahangku mengeras.
“You can’t?” ulangku dengan nada tidak percaya.
“I have a family, Tony. I’m a married man. Dion is a past. I’m sorry.”
Sekarang, aku bisa merasakan bahwa amarahku mulai berusaha untuk menguasaiku. Aku menarik napas dalam, berusaha agar amarah itu tidak membuatku kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku tidak ingin membuat keributan disini.
“Should I ask your wife? If so, then I will do it.”
“Leave my wife alone! Don’t you dare to involve her on this matter.”
Aku melihat kegusaran dalam diri Sam, namun, aku serius dengan ucapanku. Jika memang aku harus minta izin Irina agar Sam bisa menemui Dion, I’ll do it. Asalkan Dion bisa bertemu dengan Sam lagi. Sekalipun untuk itu, aku harus mengubah diriku jadi tokoh antagonis.
“Then, just go and see Dion. As simple as that, Sam.”
“I need a drink.”
Dengan itu, Sam beranjak dari sofa yang belum setengah jam didudukinya dan beranjak menuju ke Bar. Aku hanya memperhatikan sosoknya menghilang dari area lounge yang sepertinya, mulai dipenuhi oleh pengunjung.
Aku menghela napas panjang sebelum meraih coktailku dan menyesapnya pelan. Ini tidak akan mudah, pikirku. Tapi, sesulit apapun itu, aku harus bisa membuat Sam menemui Dion, sekalipun untuk itu, aku harus menculiknya atau menyeretnya ke Jakarta.
Tidak akan aku pungkiri, bahwa hatiku terasa sakit mengetahui bahwa setelah dua tahun, Dion masih menyimpan perasaan itu terhadap Sam. Lebih menyakitkan lagi, Dion bersikap seolah Sam adalah masa lalu yang berusaha dilupakannya di depanku. I wish he just told me that he still has that feeling for Sam. Akan lebih mudah bagiku menerimanya, daripada mengetahuinya secara diam-diam seperti ini. Aku bukan baru kemarin mengenal Dion, hingga harus menginterogasinya tentang Sam. I just knew. I could be wrong, tapi, aku yakin, aku benar.
Aku mungkin seorang pecundang sejati, tanpa punya keberanian mengatakan kepada Dion tentang perasaanku. Namun, aku hanya ingin melihat Dion bahagia, sekalipun hanya Tuhan yang tahu berapa lama waktu yang dimilikinya untuk merasakan kebahagiaan itu. Ketidakpastian itulah yang membuatku justru ingin berusaha lebih keras membuatnya bahagia, sekalipun untuk itu aku harus menambah luka untuk diriku sendiri. I know Sam will make him happy. That’s why I’m here.
“Their Harbour Serenade is really good!”
Sam kembali duduk di hadapanku sembari membawa satu gelas Harbour Serenade di tangannya. Aku hanya memperhatikannya, berharap dengan itu, aku bisa membaca pikirannya.
“So?”
Sam memandangku, seolah dengan satu kata itu, dia tahu kemana arah pertanyaanku. Dia menghela napas sebelum memejamkan matanya.
“I still…can’t, Tony. I’m sorry.”
“You want me to beg, Sam? I’ll do it.”
“Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu mencintainya, Tony?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatku terdiam. Belum pernah ada yang berani mengajukan pertanyaan itu kepadaku. Kenapa? Karena memang tidak ada seorangpun yang tahu aku mencintai Dion selain diriku sendiri. Di hadapan semua orang, aku hanyalah sahabat Dion. Sahabat baik, sahabat dekat. Apapun istilahnya, aku tetaplah sahabat Dion. Fakta itu lah yang diyakini dan dilihat semua orang. And I want to keep it that way.
“Because I can’t. As simple as that.”
Mungkin jawabanku terdengar sangat klise dan kabur. Tapi, aku tidak akan bisa membuat siapapun, termasuk Sam, mengerti bahwa tidak semudah itu mengungkapkan perasaan terhadap Dion. Yang Dion tahu adalah aku seorang womanizer. Jika bukan Dion yang menyebutku dengan istilah itu, aku pasti sudah menghampiri orang itu dan melayangkan pukulanku. Aku sendiri juga tidak tahu, apakah jika bukan Dion, aku bisa mencintai pria lain. I’ve never loved a man before. Dion yang pertama, dan mungkin juga yang terakhir.
“Selalu ada penjelasan dibalik I can’t, Tony. Jika memang kamu kesini untuk membuatku bertemu Dion lagi, kenapa kamu tidak mencoba untuk memberitahunya bahwa kamu mencintainya? Siapa tahu itu yang diinginkan Dion daripada melihatku lagi.”
Aku tersenyum sinis. Membayangkan Dion menginginkanku mengatakan bahwa aku mencintainya? That must be the most ridiculous thing I’d ever heard.
“You talk like you know what he feels,” balasku sebelum menghabiskan cocktailku. Gelas cocktail Sam sendiri sudah tandas sejak beberapa menit yang lalu.
“No, I said what I think you should do.”
Pandangan kami bertemu dan aku baru memperhatikan, kalau ada beberapa lipatan di dahinya. Aku tidak tahu berapa usia Sam karena Dion tidak pernah memberitahuku. Atau, dia pernah memberitahuku tapi aku sudah tidak ingat lagi.
“It’s not as easy as it seems, Sam. He wants you, he doesn’t want to know about my feeling. I don’t want to gamble when I’m not sure how long he will….survive.”
“What do you mean with gamble?”
Aku menghela napas sebelum mengalihkan mataku ke arah Darling Harbour, yang terlihat menakutkan dari tempatku duduk. Kegelapan yang diperlihatkannya padaku membuatku sedikit bergidik, sekalipun banyak cahaya lampu mengelilinginya. Atau, ini hanya perasaanku saja karena membayangkan bahwa kehidupan, mungkin tidak akan pernah memberi Dion kesempatan untuk bertemu Sam lagi.
“Aku nggak mau Dion menjauhiku hanya karena aku mengatakan kepadanya tentang perasaanku yang sesungguhnya. I don’t wanna take a chance, Sam. Aku hanya ingin memberikannya kebahagiaan dan kebahagiaan itu adalah bertemu denganmu.”
“Bagaimana kamu yakin bahwa itu yang diinginkannya?”
Aku tertawa kecil, mengetahui bahwa belum lebih dari sepuluh menit yang lalu, Sam mengatakan hal yang sama.
“You said that words twice already, Sam. I know what he wants. Jangan coba untuk mengalihkan apa yang aku ingin lakukan untuknya.”
“Aku harap kamu mengerti, Tony. Pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Dion bisa berubah jadi hal yang lebih rumit.”
Rumit? What did he talk about?
“Bagaimana mungkin menemui Dion untuk membuatnya menjalani treatment yang dibutuhkannya, jadi sesuatu yang rumit?”
Aku sadar, nada suaraku agak sedikit meninggi ketika mengajukan pertanyaan itu. Ada sedikit amarah yang mendesakku mendengar kalimat Sam sebelumnya.
“I’m a married man, Tony and going back to Dion is the last thing I want. Aku akan memberi harapan kepada Dion bahwa aku kembali untuknya, aku hanya akan memperburuk keadaannya. Jika Irina tahu, dia mungkin akan meminta penjelasan lebih lanjut dariku. I can’t lie to her. Kebohonganku kepadanya tentang hubunganku dengan Dion dulu, sudah cukup. Aku tidak ingin membohonginya lagi. Jika aku disana, kamu akan memintaku untuk tinggal lebih lama, karena Dion bahagia bisa bertemu denganku lagi. And I know, it will be hard for me to see him suffer and I will lie to Irina that I have to extend my stay in Jakarta.” Sam menggelengkan kepalanya. “I don’t wanna do that, Tony. Because I know, I will gamble too. And I don’t wanna put my marriage in danger, it doesn’t matter how little the effect would be, if I decided to see Dion.”
“Irina knows Dion is your friend, doesn’t she? Then, that shouldn’t be a problem. You’re visiting a friend who just diagnosed with brain tumor. I’m sure she won’t mind.”
“You just don’t understand, Tony. Kalaupun Irina memberikan izinnya, aku tetap tidak bisa menemui Dion.”
“Won’t you regret it if one day, you find out that Dion can’t fight that damn tumor in his brain?”
Aku sedikit menggertakan gigiku, berusaha menahan diriku agar tidak dikuasai oleh amarah yang sepertinya, siap untuk keluar dari diriku saat ini juga. Membayangkan Dion dikalahkan oleh tumor itu, yang pasti terjadi kalau dia tetap bersikeras menjalani treatment, membuatku marah dan sedih pada saat yang bersamaan.
“He will survive.”
“You’re not a God, Sam. And in order to survive, he needs those damn treatments he refuses to take. Won’t you feel guilty if you can save him but you choose not to?”
Kami saling bertatapan. Aku dengan perasaan marah yang menggemuruh dalam hatiku, yang aku pastikan bisa dilihat oleh Sam melalui tatapan mataku. Dan Sam? Dia hanya memberiku tatapan yang seperti ingin meyakinkanku agar pergi dari hadapannya.
“I won’t change my decision, Tony. I’m not going to see Dion. If he can’t survive, don’t blame it on me. To me, Dion is a past and it will stay that way. Now, if you excuse me, I need to go home and going back to my life. Good night, Tony.”
Dengan itu, Sam beranjak dari hadapanku dan dengan langkah ringan, dia berjalan menyusuri lounge menuju ke pintu keluar. Sementara aku, hanya mampu terpaku disini. Diam seperti seorang pengecut. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa marahku memintaku untuk bangkit dari sofa ini dan mengonfrontasi Sam. Namun, aku sadar, cara ittu hanya akan membuat Sam semakin defensif.
You’re a bastard, Sam!
Aku menghela napas panjang, berharap dengan itu, aku bisa kembali berpikir dengan tenang. It’s not over yet, aku mengingatkan diriku sendiri. It’s not over yet…
“I’ll bring him to you, Dion. I promise you.”
Aku menelan ludahku sebelum mengangkat lenganku untuk memanggil waitress yang berdiri tidak jauh dariku.
“One more Harbour Serenade, please?”
Ah, akhirnya bisa diupdate lagi ANTOLOGI nya Kangen juga update cerita disini tapi ya memang sekarang lagi pengen banyak baca dan meski udah mulai nulis buat cerita baru, tapi masih dibuat santai banget nulisnya
Ide ini udah cukup lama tersimpan sih dan butuh 3 hari buat nyelesainnya, lol. Termasuk lama buat ukuran bikin cerpen Anyway, I hope you enjoy this story
Colek2 @venussalacca @arieat @andhi90 @Hangatkuku @Adra_84 @riohan @marckent05 @angelofgay @yeltz @yuzz @masdabudd @deph46 @kiki_h_n @tialawliet @hwankyung69 @jakasembung @Adam08 @tyo_ary @Achan @budhayutzzz
Gak mau manggil orang sekampung ah, wong cuma update satu ini aja
Alasan sam bener!
g tau harus dibawa kemana imajinasiku untuk kelanjutan crita ini, Dion g muncul sama sekali, hehe