It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Aku harap makan malam ini cukup buat nebus kesalahanku karena mengabaikan kamu tiga hari ini.”
Perasaan bersalah memang menghinggapiku karena mengabaikan Max sejak kami mendarat di Singapura. Proses kepindahanku ke Singapura ini memang memakan banyak waktu dan energi. So many things to do and time that I have is just limited. Bahkan, aku bisa pergi sebelum Max bangun dan pulang saat makan malam tiba. Saat aku masuk kamar, Max sudah terlalu malas untuk makan di luar atau bahkan terlalu malas untuk keluar kamar. So, we ended up having dinner in the hotel, which I never liked.
Tapi malam ini, aku sengaja pulang lebih awal agar bisa mengajak Max makan malam di Les Amis. I always wanted to take Max here. Aku berusaha untuk tidak terlihat begitu excited karena kejutan yang sudah aku siapkan untuk Max di penghujung malam ini. Ada terlalu banyak yang ingin aku ungkapkan, namun lebih baik aku menyimpannya hingga nanti saatnya tiba.
“They say, you can’t take back the time you’ve lost. Same like words. But, that’s fine. We still have days or even years ahead of us,” jawabnya sambil tersenyum. “So, how’s everything going so far?”
Aku tidak pernah menyebut Max sebagai sebuah keberuntungan, karena itu akan terdengar bahwa aku tidak berjuang untuk mendapatkannya. Semua yang aku lakukan untuk mendapatkan hatinya bisa dibilang bukan perjuangan mudah. Ada luka begitu dalam yang membayangi hidup Max, hingga butuh dua tahun sebelum aku bisa meyakinkannya bahwa aku tidak seperti pria yang telah membuatnya begitu anti terhadap komitmen. Bahkan, setelah satu tahun hubungan kami, aku masih berusaha setiap hari untuk benar-benar menyembuhkan luka itu dari hidupnya. Aku ingin luka itu selamanya hilang dari Max. I know it sounds ambitious but I will never loose hope. I always try and do my best.
“Everythng is fine. Masih ada beberapa detail yang harus aku selesaikan besok tapi akhir minggu ini atau awal minggu depan, aku pastikan that we will have our own apartment. You can start decorating it. I won’t be interfering. I promise.”
Max tertawa. Aku selalu merasa jadi pria paling bahagia di dunia setiap kali melihatnya tertawa seperti itu. It took 2 damn years just to see that laugh! Jika hatiku bisa dipindah ke pria lain, aku tidak akan sanggup menunggu dua tahun untuk mendapatkannya. Namun sayangnya, Max sudah terlanjur membiusku dengan kepribadiannya dan sudah terlambat untuk menyerah karena tekad untuk menyembuhkan luka itu sudah seperti membuatku terikat dengannya. I hang on and the result was so damn sweet!
“It’s always exciting to start everything from the beginning. Tapi aku harap kita akan lebih punya banyak waktu disini dibandingkan ssat kita masih di Glasgow.”
Aku mengangguk. “We will. Aku janji.”
Max kemudian mengedarkan pandangannya ke dekorasi restoran yang bergaya sangat Prancis ini dan sejak kami duduk, Max tidak henti-hentinya mengomentasi setiap sudut penataan restoran ini. Sebagai seorang Interior Designer, dia memang selalu memberikan pendapatnya tentang semua tempat yang kami kunjungi. His enthusiasm is endless when it comes into decorating. I always see passion in his eyes.
“Thanks for taking me here, Josh.”
Aku memandang Max yang kali ini memberikan tatapan terima kasihnya. Tatapan yang aku benci karena seolah apa yang aku lakukan berhak mendapatkan tatapan itu darinya. Dia berhak mendapatkan semua yang telah dan akan aku berikan kepadanya, simply because I love him. Setelah apa yang dia lalui, aku ingin membuat tawa dan senyum itu terus terpasang di wajahnya. Even if I have to bleed just to see it. Okay, now that sounds too cheesy.
“It’s not like we’re not going here again, Max. Kapanpun kamu pengen kesini, kasih tahu aku. Memang ada banyak restoran di Singapore ini tapi harus ada satu atau dua yang harus jadi favorit kita kan?”
Max tersenyum. “Kamu benar.”
“Kapan keluarga kamu datang kesini?”
Aku melihat Max menghela napas sembari menyandrakan tubuhnya. Ini pertanyaan yang pasti tidak ingin dijawabnya.
“Mereka bisa kapan aja kesini, lagipula Jakarta-Sinapore juga nggak jauh. Tapi, aku akan lebih seneng kalau mereka nggak sering-sering kesini. Aku pengen deket sama rumah tapi juga nggak mau terlalu sering pulang. Lama-lama, aku bisa bosen dan minta kita balik lagi ke Glasgow.”
“Hahahaha. Kalau kamu bosen disini, we can always have a new life in a new place. Nggak harus balik ke Glasgow.”
“Can I have another dessert? Their Lemon tart is just hard to resist,” ucap Max sembari memanggil waiter yang berdiri tidak jauh dari kami.
“Have I ever complained about your 2nd dessert?”
Max hanya mengedikkan bahunya. “Have I ever complained about your 3rd or 4th glass of wine?”
“Bitch!”
Kami berdua tertawa. Sebutan Bitch itu sama sekali bukan sebuah hinaan, namun kami selalu mengucapkannya setiap kali salah satu dari kami saling olok untuk sesuatu yang tidak penting. Bagi orang yang tidak mengenalku dan Max, mungkin mereka akan berpikir bahwa kalimat itu tidak pantas diucapkan. Tapi, bagi aku dan Max, itu salah satu humor kami.
“Aku ke toilet bentar ya? I don’t wanna get fat by ordering second dessert like you did.”
“Selama kamu masih sama aku, gendut nggak akan pernah masuk kamus.”
Aku tersenyum smabil bangkit dari kursiku dan menepuk pundak Max sementara dia memesan piring kedua Lemon tart yang menurutnya irresistible itu.
Hatiku terasa begitu penuh dan lega. Setiap kali malam tiba dan ketika Max benar-benar sudah tertidur, aku akan memandang wajahnya sembari menghitung apa saja yang membuat Max tersenyum hari ini, apa saja yang aku lakukan hingga membuatnya tersenyum dan mensyukuri bahwa dia ada bersamaku. Sesuatu yang tidak bisa aku hilangkan sejak kami tinggal bersama. Seeing his smile and laugh is important to me.
Ketika aku hampir mencapai toilet pria, mataku menatap sosok yang membuatku tiba-tiba menghentikan langkah. Semua kata sumpah serapah yang terlintas di otakku, berhamburan keluar dalam bentuk umpatan kecil yang hanya aku sendiri yang mampu mendengarnya. From all of places in the world, why here? Why now?
Aku berniat untuk membalikkan tubuhku namun terlambat. Aku sudah terlanjur mendengar namaku dipanggil. Aku tidak punya pilihan lain selain membatalkan niatku untuk kembali ke meja. Aku hanya menarik napas panjang, berharap aku tidak perlu menghabiskan banyak waktu dengan makhluk itu lagi. Apa lagi yang dia mau sekarang?
“Josh!”
Aku memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya membukanya kembali, tepat ketika pria itu berdiri di hadapanku. Bahkan, untuk sekedar berbasa-basi dengannya pun, aku merasa itu menyita waktuku.
“Aku harus pergi.”
Tentu saja Haris tidak akan membiarkan aku pergi begitu saja. Akan selalu ada ‘percakapan kecil’ antara kami berdua.
“Bagaimana kabar Max?”
Aku menelan ludahku. Ingin rasanya mengeluarkan ludah itu tepat di wajah Haris. Tanganku pun sudah merasa gatal ingin mencederai wajah yang selalu menunjukkan ekspresi bahwa dialah yang menjadi korban itu. Jika aku tidak memedulikan dimana kami berada saat ini, tentu saja bogem itu sudah diterimanya. Seperti ketika waktu itu dia ada di Glasgow untuk urusan bisnis dan tanpa sengaja bertemu dengan kami dan mengungkit masa lalunya. Amarahku lepas waktu itu hingga beberapa pukulanku tepat mengenai wajahnya. Aku harap, kali ini kami tidka akan berakhir seperti itu, bukannya aku takut mengotori tanganku. Hanya saja, aku tidak berniat mempermalukan diriku di tempat ini.
“Apa urusan kamu tahu kabar Max? He is fine and he’ll always be fine.”
“Is he here?”
“Apa perlu kamu tahu segalanya tentang Max? Yes, he is here. Tapi, kalau kamu berniat untuk menemuinya, buang jauh-jauh niat itu.”
Aku berusaha untuk tidak terbawa emosi namun rasanya akan sangat sulit untuk menahannya mengingat karena pria ini, aku harus berjuang begitu keras untuk mendapatkan Max. Untuk mengembalikan senyum dan tawanya. Karena pria ini, telah membawa badai tanpa batas dalam hidup Max begitu lama.
“Dia pasti mau ketemu aku.”
Lenganku sudah mencengkeram kerah Haris begitu dia berniat untuk membalikkan badannya, dan aku yakin, tidak akan susah untuk menemukan mejaku dan Max di tempat seperti Les Amis.
“Over my dead body.”
Kami saling bertatapan dan aku sama sekali tidak peduli jika Haris melihat kilat kemarahan serta kebencian dalam tatapanku. Memang itu yang harus selalu dilihatnya dariku. Kebencian dan amarahku. Haris hanya diam, sepertinya juga tahu bahwa dia lebih baik tidak membuat masalah disini.
Aku kemudian melepaskan tanganku darinya ketika melihat bahwa Haris membatalkan niatnya untuk menemui Max.
“Kalau bukan sekarang, aku yakin akan ada waktu dimana aku bisa bertemu dengannya. Ada banyak hal yang harus aku jelaskan pada Max. Sesuatu yang nggak akan pernah kamu ngerti.”
“If you dare to see him just once, you better prepare your will for your wife and son soon.”
“Kamu ngancem aku Josh?”
“Nggak akan jadi ancaman selama kamu jauh-jauh dari Max. Just let him go, Ok? Nggak ada perlunya kamu ketemu dia. Things are over between you and him. He’s mine now.”
Aku sama sekali tidak mengerti kenapa Haris masih saja ingin bertemu Max. Apakah dia tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya terhadap Max telah membuatnya jadi musuhku, bahkan sebelum aku bertemu dengannya? He has family. A wife and a son. What else does he need from Max? Apakah dia merasa belum cukup melihat penderitaan Max?
“Bukan berarti hatinya jadi milikmu kan?”
Ada senyum sinis terpasang di wajahku. “You sound like a pathetic guy, Haris. Do you know that? You haven’t seen Max for a year and you have no idea what we have been through in a year. How could you say those words?”
“Aku mengenal Max lebih lama daripada kamu, Josh. I know him well enough.”
“God! What’s wrong with you, man? You have a wife and a son! You left Max just to married her. What makes you so stupid by thinking that you have a right to see Max??!!”
“Karena aku ingin ketemu Max. That simple.”
Beberapa orang yang melewati kami sepertinya tahu bahwa ada masalah yang harus kami selesaikan dan aku yakin, tidak lama lagi, akan ada yang memanggil security untuk melerai kami. Aku tidak ingin mempermalukan diriku di tempat umum, apalagi hanya karena pria ini. Maka, aku kemudian mendekatkan tubuhku ke Haris, memastikan dia mendengar setiap kata yang akan aku ucapkan dan mengakhiri ‘percakapan kecil’ kami secepatnya.
“I warned you before and I’ll keep doing it until you get it. Forget about Max and forget your intention to see him, even from a far. You have your own life now, so let Max has his own too.”
Haris hanya menatapku dan aku tidak peduli apa yang dia rasakan atau pikirkan saat ini. Bagiku, menyingkirkan pria ini dari hidup Max selamanya tanpa menghabisinya adalah yang paling penting. Aku tidak akan bertindak bodoh namun aku bisa bertindak bodoh jika pria ini masih memaksakan dirinya untuk hadir dalam kehidupan Max. Love make people blind, I could be no exception.
“Akan selalu ada kebetulan, Josh,” ucapnya sambil merapikan blazernya sebelum bergerak mundur. “Aku percaya, kebetulan itu akan datang and for your information, I live in Singapore with my family right now.”
Kalimat terakhir Haris benar-benar membuat tubuhku membeku. Bahkan ketika pria itu menjauh dengan senyum di wajahnya, aku masih terpaku di tempatku. Semua kemarahan yang aku rasakan berganti dengan rasa khawatir yang luar biasa. Khawatir jika pria itu berhasil menemukan Max dan kembali menimbulkan badai dalam kehidupannya. Aku seperti dihantam telak di ulu hati dengan kata-kata Haris.
Apakah memang hidup begitu senang mempermainkanku? Hingga ketika hubunganku dengan Max sudah begitu sempurna, Haris harus kembali datang dan mengancam kebahagiaan kami?
Dadaku naik turun mengingat bahwa kebetulan yang dikatakan Haris tadi, bisa saja terjadi malam ini. Saat ini. Aku tidak ingin kejutan yang aku siapkan untuk Max, rusak hanya karena pria dari masa lalu Max muncul dan mengacaukan semuanya.
Aku langsung mempercepat langkahku untuk kembali ke meja kami, melupakan keinginanku untuk ke toilet. Napasku kembali normal begitu mataku mampu menangkap sosok Max yang masih duduk dengan tenang sambil menikmati dessert-nya. Hatiku terasa begitu lega bahwa dia masih disana. Paling tidak, aku masih bisa menghindari ‘kebetulan’ yang dibicarakan Haris tadi.
Begitu aku sampai di meja kami, Max memandangku seperti melihat orang asing mendekatinya.
“Kamu ngapain aja di toilet? Lama bener.”
Aku memberikan senyumku setelah aku kembali duduk dan menatap Max. Berusaha mengembalikan emosiku sebelum diporak porandakan oleh kalimat terakhir Haris. Berusaha agar Max tidak mencium kekhawatiran yang melingkupi diriku. Lenganku segera terulur ketika mataku menatap ada krim di dekat bibirnya dan membersihkannya. Dulu, Max selalu menghindar setiap kali aku ingin menunjukkan perhatianku di tempat umum, namun sekarang, dia lebih bisa menerimanya. Asalkan itu masih masuk dalam batas kewajaran dia. Sebagai orang Indonesia, kadang kesopanan yang dianut Max terlalu berlebihan untukku.
“Well, blame the dinner that we had.”
Aku tertawa ketika mengetahui balasan Max hanyalah memutar bola matanya.
“Kita pulang sekarang?”
Max menatapku. Setiap kali kami makan di luar, dua jam adalah waktu paling cepat kami meninggalkan restoran. Kali ini, kami baru sekitar satu setengah jam namun aku sudah mengajaknya pulang. Aku tidak menyalahkan Max yang merasa terkejut dengan ajakanku untuk pulang.
“Kenapa terburu-buru Josh? Apa ada hal penting yang harus kamu kerjain?”
Aku menggeleng. “Lebih dari sekedar penting, Max,” jawabku sambil memberikan tatapan menggodaku.
Segera setelah aku membayar makan malam, kami segera keluar dari restoran dengan ekor mataku mengawasi setiap sudut restoran. Memastikan bahwa Haris tidak melihat kami atau mengikuti kami.
Begitu kami menginjakkan kaki di Orchard Road dan dikelilingi berbagai macam butik kelas atas, aku baru bisa bernapas lega. Max will be fine tonight. At least, Haris won’t fuck up my surprise.
“You know what? I was thinking of getting you a new suit for your first day. But, of course I have to take you with me. Kapan kamu punya waktu yang agak longgar?”
“Kamu nggak perlu beliin aku apa-apa Max. I have a lot of Zegnas and I don’t need another one. Aku rasa, seiring dengan berjalannya waktu, aku nggak begitu peduli lagi dengan setelan baru di hari pertama kerja.”
“What if I insist?”
“Apakah kamu pernah nggak ngotot?”
Max tertawa. “Ok, this Sunday then. Deal? Kamu nggak akan kerja kan hari Minggu?”
Aku menggeleng. “We can shop til drop on Sunday. Lagipula, kita juga perlu belanja untuk apartemen baru kita kan?”
“What a Sunday we will have!”
Setelah itu, kami hanya berjalan dalam diam. Mataku tidak pernah lepas dari setiap gerakan tubuh Max. Berharap dia memang sudah tidak menyimpan perasaan apapun terhadap Haris, jika mereka, akhirnya bertemu secara tidak sengaja. Aku tidak pernah meragukan Max namun aku tidak mampu menepis pikiran bahwa Haris, bagaimanapun juga, pernah menjadi bagian dari Max dan sekalipun dia sudah menyakiti Max dengan pernikahannya, akan selalu ada kemungkinan perasaan Max kembali terusik. Aku hanya berharap, kejutan yang akan aku berikan kepadanya malam ini, meluruhkan semua keraguanku tentang perasaan Max terhadap Haris. Aku akan jauh merasa lebih tenang.
“Apartemen kita nanti jauh nggak dari kantor kamu?”
“About 10 minutes by car. Aku harap kamu suka.”
“Aku pasti suka.”
Kedatangan kami disambut dengan ramah, seperti biasa oleh Greeter di St. Regis. Jika aku bisa memilih dimana kami tinggal sementara sebelum pindah ke apartemen, aku tidak akan menghabiskan uangku untuk tinggal disini. Bukan karena aku keberatan membayar harga kamar disini, hanya saja, aku merasa terlalu berlebihan untuk tinggal satu minggu disini dengan room rate yang lebih dari 200 Dolar semalam. Namun, karena pihak dari kantor baruku yang mengurus semuanya hingga aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya.
Ketika akhirnya kami sampai di kamar, Max langsung menuju ke kamar mandi dan menyikat giginya. Sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya bahkan sebelum dia mengganti bajunya. Aku hanya tersenyum sambil menuju ke safety box untuk mengambil sesuatu. Jantungku berpacu begitu kencangnya hingga tubuhku gemetar ketika akhirnya benda itu ada dalam genggamanku.
Aku membuka blazer yang aku pakai dan menggulung lengan kemejaku hingga ke siku. Max selalu bilang bahwa aku terlalu rapi jika masih membiarkan lengan kemejaku dikancingkan. Aku segera berdiri di depan jendela kaca yang memberikan pemandangan Tanglin Road di bawah kamar Grand Deluxe kami, menunggu Max selesai melakukan ritualnya, sebelum aku memberikan kejutanku.
Begitu dia keluar dari kamar mandi, aku membalikkan tubuhku dan menatapnya.
“Kamu nggak ganti baju?” tanya Max sambil membuka kemejanya dan berjalan menghampiriku. Kebiasaan Max memakai kaos putih dibalik kemejanya masih belum juga hilang sekalipun kami sudah di Singapore.
Aku hanya memberikan senyumku sambil menggelengkan kepalaku.
“Come here Max.”
Masih dengan ekspresi bingungnya, Max menghampiriku dan begitu dia berdiri di hadapanku, lenganku langsung terulur untuk meraih tubuhnya agar tidak ada jarak lagi diantara kami.
“You better not surprise me, Josh.”
Kedua tanganku segera mendarat di wajahnya dan mataku menatap sepasang mata hitam milik Max yang masih terlihat bingung.
This is the moment.
“Kamu tahu kalau aku tergila-gila sama kamu kan Max? I’m in love with you. Dua tahun yang aku lewati untuk memenangkan hatimu dan satu tahun yang kita miliki bersama, are the best years in my life. Mungkin kedengeran terlalu berlebihan, tapi aku bilang yang sebenarnya.
“Aku selalu ingin bikin kamu senyum dan tertawa like you’ve never smiled and laughed before. Buatku, melihat kamu tertawa dan tersenyum adalah kebahagiaan terbesarku. So, tonight, I’m asking you….”
Tanganku gemetar ketika jemariku meraih kotak kecil yang tadi aku ambil dari safety box, yang selama lebih dari dua minggu aku simpan di tempat yang tidak mungkin ditemukan Max. Aku merasa lega bahwa Max tidak menemukannya sampai saat ini, saat yang telah aku tunggu selama satu bulan lebih. This is going to be the night that I’ll remember in my life. I hope so.
“I’m asking you to spend the rest of your life with me. As my other half. As my partner.”
Setelah aku mengucapkan kalimat itu, aku membuka kotak cincin yang sudah membuat Max kaget, melihat dari ekspresi wajahnya. Ketika akhirnya cincin itu terlihat olehnya, Max tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
“Would you like to marry me, Max?”
Max masih tertegun melihatku dan cincin yang ada di tanganku. Aku tahu, dia pasti tidak mengira akan mendapatkan kejutan ini. Jika aku ada di posisi Max, aku pasti akan merasakan hal yang sama. Aku sudah meyakinkan diriku bahwa pria yang sedang terkejut sekarang ini, adalah pria yang ingin aku lihat setiap pagi ketika aku bangun tidur. Bagi sebagian pasangan, pernikahan mungkin tidak penting, namun bagiku, melegalkan hubungan itu sesuatu yang lebih dari sekedar kertas. I want this man to have the same right as me. As my partner. Not as my boyfriend. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Max dan pernikahan adalah salah satunya. Aku ingin sekali bisa bilang ke semua orang bahwa “I’m marrying this extraordinary guy! He’s mine!” dan tentu saja, menghabiskan hidup kami bersama.
“Max?”
Max hanya menggigit bibirnya, seperti tidak tahu harus mengucapkan apa untuk menjawab pertanyaanku.
“Josh…why did you do this to me? Berapa banyak lagi utang yang harus aku bayar untuk semua yang udah kamu lakukan? You lifted me up when Haris left me and you fought hard to win my heart, even when you knew that commitment was a big no for me. Your endless affection…how can I repay all of that?”
Aku menggelengkan kepalaku pelan. “You don’t have to, Max. I did all those things because I loved you and still love you, until God decided that my time is up in this world. Aku meminta ini dari kamu karena aku ingin kamu selalu ada dalam hidupku. To some people, marriage in our little world is not important. But for me, it’s important because I want you to have the same right as me. I want proudly say that you’re my partner, my husband, that you’re no longer my boyfriend. And most importantly, I want to take care of you, I want to be the one who put smiles on your face and endless laughs. We only live once, Max and that one chance I have, I want you to be in it. As someone who means everything to me….I want you to be mine, completely.”
Max hanya tersenyum tipis sekalipun aku bisa mengatakan bahwa dia berusaha untuk menahan sesuatu jatuh dari kedua pelupuk matanya.
“Put that damn ring, Josh!”
Aku tidak bisa menyembunyikan kelegaan yang aku rasakan ketika akhirnya mendengar kalimat itu meluncur dari Max. Hatiku rasanya begitu penuh dengan perasaan bangga dan bahagia hingga jemariku gemetar ketika akhirnya, cincin itu tersemat di jari manis Max. Finally…
“Thank you for trusting your life on me, Max. I promise that I’ll do anything to make you smile and laugh a lot. I love you.”
Bibir kami segera bertemu dan belum pernah aku menginginkan seorang pria seperti aku menginginkan Max saat ini. Aku ingin membekukan momen ini dan menyimpannya sebagai sebuah pengingat bahwa setelah perjuanganku selama ini, aku berhasil mendapatkan pria ini seutuhnya. He’s going to be mine. He is mine.
Ketika akhirnya ciuman kami berakhir, aku menatap Max yang sepertinya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Aku sendiri masih tidak ingin mempercayai bahwa pria ini akan menjadi milikku, secara hukum. I can’t wait for the day!
“Thank you, Josh. Thank you….”
“Simpan ucapan terima kasihmu untuk orang lain, Max. I’m soooooo happy!!!”
Lenganku segera memeluk Max erat dan aku tidak ingin melepaskannya. Aku memejamkan mata dan membiarkan tubuh kami tidak terpisahkan.
“Let me take a deep breath, Josh. You squezze me so tight.”
Aku tidak bisa menahan tawaku sebelum akhirnya melepaskan pelukan kami. Mata kami bertemu dan aku menggelengkan kepala, masih tidak percaya dengan keberanianku untuk meminta Max menikah dan mendengar jawabannya. It’s like my dream, of finally finding a right guy and get married, come true.
“I hope you’re happy, Max.”
“It’s hard not to be happy when you’re around, Josh.”
“Should we celebrate it?”
“We just had dinner.”
“A bottle of champagne should be fine, no?”
“I prefer to celebrate it without any alcohol at all.”
Aku mengerutkan keningku, sama sekali tidak mengerti maksud kalimat Max. “Yang artinya?”
Max menghela napasnya sebelum lengannya melingkar di leherku dan perlahan, jemarinya bergerak turun dan mulai membuka kancing kemejaku.
“This is my way in celebrating this night, Josh.”
Perlahan, Max membuka kancing kemejaku satu persatu dan ketika jemarinya bersentuhan dengan kulit dibalik kemejaku, aku tidak bisa menahan diriku lagi.
Aku mendekatkan wajahku dan berbisik di telinganya.
“How many round would you like us to do tonight?”
Aku hanya mendengar tawa di telingaku namun jemari Max terus bergerak turun dan aku hanya bisa diam.
Tonight is going to be perfect!
Gak bisa nahan diri buat nggak post cerita ini Udah ngendon idenya dari beberapa hari lalu tapi baru bisa ditulis hari ini. I hope you guys like it
@rarasipau : Gak papa. Gak semua ceritaku harus dapet pujian kan? Ya namanya juga manusia, mungkin memang ada karyanya yang nggak bagus. Maaf ya?
@arieat : kan udah dilanjutin ini
@kiki_h_n : Jangan bilang yang ini nggak romantis ya?
@tyo_ary : Jadi, udah dibaca kah?
@DanaAga : Hahahahaha. Lanjutan di warung sebelah udah tuh Tapi, nanti pasti dipost disini kok. Sabar aja ya? Tahnks for the compliment
@tialawliet : Hope this story will cheer you up I keep my promise to make a happy ending story kan?
@jamesfernand084 : Nanti kalau ada ide yang pantas dijadikan cerita panjang, pasti dibuat kok. Cuma ya nggak tahu kapan tentang produktivitas, hahaha. Itu mah otakku aja yang gak bisa diem. Tiap ide yg muncul pengen dijadiin cerita. Tapi tiap penulis kan emang punya cara masing2 buat dapetin ide. Kalau aku sih apa aja bisa jadi ide TInggal diolah aja biar jadi cerita yg menarik. Itu yang gak gampang, hehehe. Thanks for your comment ya?
@yuzz : hahaha, another real experience?
Colek2 @yeltz @pria_apa_adaanya @Different @Marckent @rulli arto @Adam08 @tera9 @jakasembung @AwanSiwon @Aoi_Sora @sly_mawt @dirpra @nes16
heran deh. mas iyas jago bener bikin certa. cool....
Ήм̣̣̥̇̊мм̣̣̥̇̊‘♌⌣ .̮ ⌣♌Ήм̣̣̥̇̊мм̣̣̥̇̊”
Its so sweet @abiyasha