It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Geregetan nih bacanya, uh ah uh
Ayo masnya lanzuttttttl
# lumutan
#banjirairmatasambilbaca
#banjirairmatasambilbaca
Gw curiga malah Vira dan bonyoknya sekongkol, bermain sandiwara.
Satu hari penuh Fadli mendiamkanku. Dengan sabar aku menunggu saat yang tepat untuk bicara dengannya. Namun saat Fadli pulang kerja barusan dia mengejutkanku dengan rentetan berita yang tidak dapat kucerna.
"Beib, aku dapat kabar bagus," Seru Fadli sesaat dia sampai.
"Kabar apa?"
"Dave sudah mendapatkan tempat yang bagus untuk kita."
Mendengarkan perkataan Fadli alisku saling bertaut, "Tempat? tempat apa?"
"Aduh beib masa kamu lupa soal kepindahan kita."
"Kepindahan apa?" Tanyaku dengan suara setengah melengking.
Fadli mencubit hidungnya dengan sangat lelah. Sungguh, aku benar-benar sungguh tidak mengerti apa yang dikatakan Fadli. Kepindahan apa? Dan kemana? Pertanyaanku akhirnya terjawab oleh kalimat satir yang membuatku terperanjat. "Dia kembali dan aku menjadi nol lagi."
Aku hanya bisa berdiri terkesiap.
"Kalau tahu jadinya akan begini sudah pasti aku akan bertindak tegas atau jika perlu aku mengurungmu dirumah." Fadli hempaskan tubuhnya ke atas sofa lalu kemudian menatapku tajam. "Tapi rasanya tetap akan percuma juga. Bagaimana pun caranya kalian pasti akan bertemu."
"Kamu ngomong apa sih Fadli?"
"Kamu dan dia sama saja. Selalu berpura-pura. Di mulut boleh kamu bilang sayang aku tapi di hati kamu kehadiranku tak lebih cuma badut. Badut yang hadir untuk menghibur. Oh hey! lihat badut itu lucu sekali, bisa tidak yah dipermainkan dan oh, bisa tidak yah itu badut aku jadikan kesetan.," Mendengar semua itu dadaku terasa terhantam gada besar. Belum selesai Fadli mendengus besar. "Tapi ternyata Tuhan masih sayang sama aku setidaknya kamu dianugerahi ED (Erectile Disfunction/impoten) dan aku bisa bebas tidur dengan laki-laki lain."
Sejurus telapak tanganku mencium telak pipi Fadli. Ya, aku benar-benar menampar Fadli. Aku tidak menyukainya tetapi hati ini seperti dicabik-cabik oleh perkataannya.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Fadli? Semenjak dari rumah sakit sikapnya mendingin. Dan sekarang ini? "Apa? Apa yang Mbak Vira katakan sewaktu aku tinggalkan kalian berdua?"
Bukannya menjawab pertanyaanku Fadli malah tertawa. Namun tawanya begitu dingin.
"Fadli jawab!!!"
"Perempuan munafik. Dia minta aku untuk mutusin kamu dan merelakan kamu dengan bangsat itu. Sudah begitu pakai kata-kata demi kebaikan kalian atau apalah itu. Benar-benar munafik. Ah... tapi mungkin saja dia belajar seperti itu dari si bangsat itu."
"FADLI CUKUP!!!" Suaraku menggema dari seluruh dinding rumah.
Aku tidak percaya kata-kata itu bisa meluncur dari bibir Fadli. Seseorang yang aku tahu tidak akan pernah bisa berbicara seperti itu. Tapi... aku tidak bisa menyangkal atas kenyataan selama ini aku tidak pernah memperlakukan Fadli dengan baik. Inikah gejolak yang ditahan oleh Fadli? Kalau iya, aku memang berhak dicaci seperti ini. Tetap saja aku tidak bisa menahan perih ini.
"Apakah kamu pikir aku juga munafik?" Dengan energi yang tersisa aku mempertanyakan pertanyaan yang menjadi mimpi burukku selama ini.
Tiba-tiba tawa Fadli menggelegar tak terbendung. Ditiap bahakannya piluku kian menjadi. Fadli menghirup napasnya dalam-dalam untuk menghentikan tawanya. "I always thought that I am an irrational personal. But when it came to you, clown is the suit I proud of."
Dengan kata-kata terakhirnya Fadli meninggalkanku sendirian. Dan kini aku hanya bisa menatap datar layar komputer, terpaku pada akhir rasa bersalah yang menelanku sepenuhnya. Andai layar ini dapat membiarkanku untuk masuk dan mengurungku dalam kegelapan mungkin dunia ini akan menjadi lebih baik.
sis @xchoco_monsterx , selesaikan segera
tega bener nyiksa orang
Pernah kalian merasakan sebuah sensasi aneh, menggelitik yang datangnya dari hati yang telah mati kemudian meletup dan memberikan energi kehidupan ke seluruh inti atom di seluruh tubuhmu? Aku merasakannya hanya dari dua carik kertas lusuh. Tetapi sebelumnya akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkannya.
Setelah pertengkaranku dengan Fadli semalam aku terbaring persis seperti mayat hidup. Tak mempedulikan ruang dan waktu aku terhanyut dalam mimpi buruk yang berkepanjangan. Tapi berbeda dengan mimpi buruk lainnya aku bermimpi dengan mata terbuka. Semua nyata dan benar-benar terjadi.
Saat aku tersadar pendar-pendar matahari sudah bersinar cemerlang menembus tirai tebal yang menutupi jendela rumahku. Ingin aku terbangun, tapi tubuhku terlalu malas menerjang rutinitas yang hanya akan semakin membunuhku perlahan. Deringan telepon pun kuhiraukan. Kupejamkan mata untuk menghentikan bising yang memekakan telinga dari hiruk-pikuk luar sana. Berhasil! pikirku sesaat, tapi sebuah dobrakan membuyarkan konsentrasiku.
"Miki!!!" Dengan malas aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Eros, hanya Eros. Meskipun Eros baru dua kali berkunjung kerumahku tapi kehadirannya tadi tidak bisa mengejutkanku. Apa lagi yang bisa mengejutkanku? Isi dunia sudah terlalu transparan, tak perlu lagi topeng karena hanya akan menyakitkan.
"Miki!!!" Sekali lagi Eros memanggilku, tapi aku tidak menggubrisnya sama sekali. "Miki bangun... Miki... bangun...."
Aku tidak tersadar Eros telah ada disampingku.
"Miki kamu kenapa?" Eros mengguncang-guncangkan tubuhku. "Kalian ini kenapa sih? Tadi malam Fadli datang dalam keadaan mabuk, meracau gak jelas dan kamu tahu apa Miki... Fadli memperkosa aku."
Tak kuasa aku mendelik hebat, "Apa?" Airmata mengalir perlahan di pipi Eros. Sontak aku terbangun dan merangkul Eros erat. "Fadli apa?"
"Kamu tahu Miki semenjak aku mengatakan perasaanku yang sebenernya ke Fadli aku selalu menolak ajakan tidur dia. Karena aku merasa jijik setiap kali kami bercinta yang dia pikirkan cuma kamu. Aku hanya dianggap dia sebagai sex toy. Tidak lebih dan tidak kurang," Isakan Eros semakin kencang bergema ditelingaku.
Aku tersadar pada satu hal. Bolehlah aku berpikir hidup ini sudah kejam dan sebagainya. Tapi... Eros adalah korban yang sesungguhnya.
"Dan tadi malam saat dia datang aku berusaha mengusirnya. Tapi tahu-tahu dia menyerangku. Aku berusaha melawan, tapi dia berhasil memelintir tanganku. Dan dari mulutnya keluar kata-kata hinaan. Dia menyebut aku pelacur Miki!"
Dekapanku kian kueratkan. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirku hanya belaian lembut dipunggung Eros yang mampu kulakukan.
"Aku cinta Fadli, Miki. Gak peduli yang sudah dia lakukan padaku, aku tetap mencintai dia. Jadi tolong Miki jemput dia dari apartemenku dan selesaikan apa pun masalah kalian. Aku ingin dia datang padaku karena dia memang menginginkanku. Tolong Miki," Lirih Eros sembari menyerahkan sebuah kunci yang kuasumsikan kunci apartemennya padaku.
Dalam sekejap aku terbangun dari tempat tidur dan menyegerakan berpakaian. Kuhentikan langkahku untuk sesaat lalu membalikkan badan dan menatap lembut Eros. "Eros. Maafkan kebodohanku selama ini. Aku berjanji akan menghentikan semua kebodohanku dan terima kasih untuk menyadarkanku," Tak lupa kusisipkan senyum kecil. Beranjaklah aku menuju apartemen Eros.
Sesampainya di apartemen Eros aku dikejutkan kondisi ruang tamu yang berantakan di sana-sini dan semakin aku berjalan masuk kondisinya semakin amburadul. Apakah ini semua karena Fadli? tanyaku khawatir dalam hati. Langkahku terhenti saat kutemukan Fadli duduk dilantai dengan punggungnya bersandar di pinggiran tempat tidur dan kepalanya dibenamkan di atar punggung tangannya tepat diatas lututnya. Sepanjang perjalanan sudah kusiapkan seribu kata makian untuk Fadli dan bahkan aku sudah menyiapkan bogem mentah. Tetapi melihat Fadli seperti itu kemarahanku menguap seketika. Yang tertinggal hanyalah rasa iba dan penyesalan. Namun kuingatkan diriku sendiri kalau aku adalah lelaki sejati yang akan menepati janjinya. Pelan-pelan aku berjalan mendekati Fadli. Fadli menyadari kedatanganku. Dia melirik sesaat kearahku. Sepertinya dia mengira aku Eros karena setelah melihatku dia kembali menundukkan kepalanya.
"Kamu kenapa Fadli?"
Fadli tak menjawabku.
"Fadli?"
Akhirnya Fadli menatapku. Matanya terlihat sangat redup. "Miki tolong duduk disini," Fadli menepuk-nepuk tempat tidur disampingnya. Aku menuruti perintahnya.
Sesaat aku terduduk Fadli segera membaringkan kepalanya diatas pahaku dan memeluk erat kakiku.
"Miki, tolong belai kepalaku," Lagi aku menuruti. "Aku sudah melakukan hal buruk Miki. Eros... Aku...."
"Sshh."
Aku bisa merasakan celanaku terasa basah. "Aku tidak tahu lagi."
Aku biarkan Fadli membuncahkan segalanya karena aku pun sama. Kita berdua sudah terlalu lelah untuk menyangkal lagi. Tanpa kehadiran "dia" pun hubunganku dan Fadli sudah rapuh dari semula. Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan atau cinta yang seperti Fadli inginkan. Hanya tinggal menunggu waktu.
Menyudahi tangisannya Fadli tertawa pelan. "Kamu tahu Miki apa yang paling membuatku kesal kemarin?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Perempuan itu, Mbak VIra mengatakan sesuatu yang menohok batinku. Saat aku mencaci dia sebagai perempuan munafik dia hanya menjawab, "Kalau cacian itu adalah harga yang harus aku bayar untuk secercah kebebasan maka aku akan menerima dengan besar hati."
Aku ketawa saat dia bicara seperti itu. Lalu aku tanya lagi apa maksud dia dengan kebebasan? Dengan mantap dia jawab, "Aku sudah terlalu capek terjebak dalam permainan cinta mereka. Terlalu menyesakkan. Setiap hari harus berpura-pura seakan-akan dia mencintaiku dan tersenyum tanpa beban. Aku sudah terlalu capek untuk itu. Dan semakin aku menyangkal aku hanya akan semakin terkurung atas pilihanku sendiri. Aku tidak mau itu, aku ingin bebas. Aku ingin bersama dengan lelaki yang bisa membahagiakanku, mencintaiku sepenuhnya. Aku ingin bebas.
Haha... aku hanya bisa terdiam seribu bahasa saat Mbak Vira berkata seperti itu. Kemudian dia melanjutkan dengan kata-kata yang aku sama sekali tidak bisa menyangkalnya. "Maaf aku sudah menipu kamu dengan sms palsu itu. Tapi aku melakukannya karena aku tahu kita berada di posisi sama. Mungkin yang membedakannya hanya aku perempuan dan kamu laki-laki. Kita punya cara berbeda untuk melindungi hati kita masing-masing. Namun aku pikir sudah cukup, kamu harus bebas, kita harus bebas."
Saat itulah kemarahanku memuncak Miki. Pikirku tahu apa perempuan ini? Dan saat itulah aku tahu dinding yang kubangun untuk kita telah hancur seketika."
Itukah alasan Mbak Vira selama ini, kebebasan? Mbak Vira benar. Dia... bukan, kita semua terjebak atas pilihan kita sendiri. Pilhanku, pilihan "dia", pilihan Mbak Vira dan bahkan Fadli. Kita semua memilih pilihan yang kita anggap terbaik, tapi sesungguhnya pilihan-pilihan itu hanya sebuah pembenaran atas kebohongan yang kita buat sendiri. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
"Dia benarkan?"
"Iya."
"Aku ingin bebas Miki."
"Maka bebaslah."
"Kamu pikir aku sanggup?"
Aku terkekeh, "Fadli, kamu pria tangguh yang pernah kukenal seumur hidupku." Fadli pun terkekeh.
"Apakah kamu ingin bebas Miki?"
Menarik napas pelan, "Iya."
"Kalau begitu...," Fadli bangkit lalu mengedarkan pandangannya ke atas lantai.
"Cari apa?"
"Celanaku. Dimana yah?"
Aku juga bangkit dan ikut mencari. "Itu," Aku menunjuk celana Fadli yang tergeletak di atas lantai berseberangan dengan posisi kami berdiri. Segera Fadli mengambilnya dan merogoh sakunya.
"Kamu cari dompet kamu?" Tanyaku bingung.
"Bukan. Tapi ini," Fadli mengeluarkan kertas yang sudah dilipat kecil dan lusuh.
Aku mengambilnya dari tangan Fadli. "Kertas apa ini?"
"Surat cinta."
Dahiku mngernyit hebat. "Surat apa?"
"Kata Mbak Vira aku harus menyerahkan ini ke kamu kalau kita ingin bebas. Dia bilang surat-surat itu adalah kepingan puzzle yang hilang dari diary Kebo. Kebo banyak menulis surat cinta dalam diarynya untuk kamu. Hanya saja dia selalu merobek kertasnya setiap kali dia menulisnya dan menyimpannya tersembunyi. Makanya ada banyak jejak robekan dalam diarynya."
Mataku membulat. Iya benar dalam beberapa bagian halaman diary "dia" ada banyak robekan-robekan tak beraturan. Jadi semua robekan itu adalah surat cinta? Kalau iya kenapa hanya tersisa segini?
"Kenapa hanya dua lembar?"
"Mbak Vira bilang yang sisanya dia sudah bakar sewaktu dulu dia menemukannya pertama kali dan melarang Kebo setelah itu. Tapi yang dua itu baru Mbak Vira dapatkan setelah kejadian bunuh diri kemarin saat memeriksa dompet Kebo."
"Maksud kamu Aa menyimpan ini dalam dompetnya? Dan Mbak Vira gak tahu?"
"Yup, Kebo cukup sensitif soal dompetnya. Alasan dia sih karena dompet adalah privasi terakhir yang dia miliki. Well, sekarang kita tahu kenapa. Dan kenapa dua itu yang hanya dia simpan? Sebaiknya kamu baca sendiri."
"Kamu sudah baca?" Tanyaku menyelidik.
Fadli tertawa. "Kamu pikir hal semacam itu ada ditanganku lalu akan kulewati begitu saja? Tentu tidak Miki. Dan jujur aku menyesal sudah membacanya."
"Kenapa?"
Fadli menggaruk-garuk kepalanya. "He's not playing fair."
Memangnya apa yang "dia" tulis?
"Sudah baca saja."
Aku mengangguk.
"Baik. Selagi kamu membaca aku mandi dan membereskan kekacauan yang aku buat. Setelah itu kita pulang untuk menjadi bebas," Senyum lebar Fadli menginfeksiku. Sudah pasti aku akan merindukan senyum itu.
Bergegas Fadli masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan aku perlahan membuka tiap lembaran.
Dear Miki,
Setelah sekian tahun aku tidak menulis surat cinta untukmu, kini aku menemukan kembali alasan untuk menulis lagi.
Hari ini aku datang ke pameranmu Miki. Jantungku berdebar deras saat kakiku melangkah masuk. Imajinasiku sudah melanglang akan skenario-skenario saat kita bertemu. Sedikit kecewa kita tidak pernah bertemu. Tapi tak apa, dahagaku terhilangkan ketika mataku tertumbuk pada sebuah foto. Kamu tahu apa Miki, apa yang terjadi kala aku melihat foto itu? Aku menyeringai, terkekeh bahkan. Aku berpikir, iseng sekali kamu memotret aku dalam keadaan telanjang dan temaram seperti itu. Untuk sekali itu saja aku sekali lagi bisa menjadi diriku sendiri. Tak ada kebohongan, hanya aku, Aamu tercinta, kekasih lamamu.
Entah berapa lama aku berdiri mematung di depan foto itu. Tapi aku tidak peduli karena aku sedang menikmati kenangan malam pertama. Hehe... malam pertama yang indah. Kita bercinta malam itu bagai dua kekasih lama yang haus akan sentuhan. Tapi sayangnya kita berdua masih amatiran saat itu hingga permainan bercinta kita tak terlalu mulus. Maaf yah kalau aku terlalu kasar saat itu.
Hah... aku bahagia Miki. Benar-benar bahagia. Meskipun kebahagiaanku ini tak seberapa namun untukku adalah segalanya. Kehilanganmu bertahun-tahun menghilangkan segala rasa. Aku menjadi kebas Miki dan aku selalu merasa memori antara tak kita lebih hanya sekedar ilusi. Tapi foto itu adalah bukti, bukti cinta kita ada dan akan selalu ada. Melekat seperti oase dalam hidup kita.
Aku mencintaimu Miki dan aku tahu, kau pun mencintaiku.
Kekasih Lamamu,
Kebo
Terurai sudah airmataku, menumpahkan rindu yang tidak bisa kuelakkan lagi. Jariku gemetar tak karuan namun tak menyurutkanku untuk membaca surat selanjutnya.
Dear Miki,
Maafkan aku atas sikapku hari ini Miki. Bukan aku bermaksud menyudutkanmu, menahanmu dari kebahagiaanmu. Tapi aku hanya manusia biasa yang dianugerahi cinta tak terbendung untukmu. Jika kau pergi jauh aku merasa tak memiliki apa-apa lagi. Aku ada karena kau ada Miki. Maaf, sekali lagi maaf membebanimu dengan perasaanku.
Aku rasa sudah saatnya aku melepaskanmu. Ya, sudah saatnya. Berbahagialah Miki dengannya karena kau memang layak memilikinya.
Doaku menyertaimu.
Kebo
Seketika sensasi itu menyelinap kemudian bermekaran dalam nadiku. Menggerakkan lagi hasrat yang telah diam terkubur dan seluruh tubuhku dipenuhi gairah meletup-letup yang tak akan lagi kusangkal. Kini aku tahu pilihan mana yang akan kupilih.
Tak mempedulikan apa-apa lagi aku lari keluar dari apartemen Eros dan pergi menuju ketempat seharusnya aku berada.