It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kami kaum gay sering bgt ada di posisi ini loh sist, biasanya sih nyerah dan pilihan jatuh ke membuat senang orang lain,, duh kok jadi curcol, hehe,, Sist yg satu ni emang top dah, ditunggu jg karya antologinya...
Ah semangat ah cyint
Biar buru kelar eim -binan mode on
setuju -___-
One of my fave story. Lika liku perjalanan kebo dan miki dalam mempersatukan cinta mereka bnr2 menguras emosi.
Even gw berharap bisa terjadi sama gw
#bacanya pas lagi mellow sih ya. hehehe
Hari ini terasa melelahkan untukku. Begitu banyak hal yang memenuhi tiap sela ruang otakku. Mencari-cari jawaban mana yang baik dan salah. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu di mana garis batas baik dan salah. Apakah aku harus mengikuti kata hatiku? Meskipun akan banyak hati yang terluka? Kuhela napas berat. Bahkan setelah kata-kata Mbak Vira yang menyejukkan namun tak elak keraguan masih bertengger bangga di ujung getirku.
Menjelang sore hari aku dan Mbak Vira berbincang-bincang santai. Sebentar, santai mungkin kata yang hanya akan di pakai Mbak Vira, tapi untukku pembicaraan kami membuatku menggeliat tak betah di atas sofa.
"Mamah berkata seperti itu?" Pertanyaan itu diajukan setelah Mbak Vira mendengar curhatku mengenai sikap Mamah sebelumnya.
"Iya."
"Hmm... itu mungkin karena pembicaraan kita semalam," Dengan ringannya Mbak Vira mengangkat bahu sebagai penutup kata-katanya.
Sebenarnya aku kaget mendengar kata-kata Mbak Vira. Pembicaraan macam apa yang membuat Mamah bersikap seperti itu? Racauku dalam hati. Namun aku berusaha tenang dan bertanya sesantai mungkin. "Memangnya Mbak ngobrol apa dengan Mamah?" Agar lebih tenang aku menyandarkan punggungku kesandaran sofa.
"Banyak... banyak banget yang kita obrolin dan semuanya berkutat mengenai Aamu."
"Pasti banyak banget yah," Entah kenapa saat aku mengatakan itu memoriku melayang jauh ke masa lalu. Banyak memori manis, asam dan pahit yang aku dan "dia" telah lewati, begitu juga dengan Mamah. Aku bergidik seketika akan memori buruk yang aku yakini seratus persen menghantui Mamah. Aku menggelengkan kepala dan mengembalikan fokusku kepada Mbak Vira. "Tapi pembicaraan yang semalam pasti berarti sesuatu sampai-sampai Mamah berucap seperti itu?"
"Ya, sepertinya begitu."
Aku menunggu dengan sabar kelanjutan jawaban Mbak Vira.
Mbak Vira menghela napasnya dan menyandarkan punggungnya juga kesandaran sofa. " Kita membicarakan rencana setelah ini, setelah Aamu bangun."
Sepintas Mbak Vira melirik padaku. Sepertinya ia ingin melihat reaksiku atas arah pembicaraannya. Aku tak bergeming dan memasang wajah datar. Meskipun dadaku jauh dari kata datar.
"Kemarin malam Mbak ngomong blak-blakan saja dengan Mamah. Mbak utarakan kalau hubungan Mbak dan Aamu sudah jauh dari kata ikatan dalam bentuk apa pun. Tapi Mbak ngomong sama Mamah, biarpun begitu Mbak akan terus berada di samping Kebo sejauh Mamah masih membutuhkan Mbak."
Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang kering. Perih... perih sekali saat aku menelannya, tapi kuacuhkan rasa perih itu. "Lalu apa kata Mamah?"
"Diam lalu nangis."
Aku bisa membayangkan raut wajah Mamah dan bayangannya mampu membuat perutku terasa terpelintir.
"Hah... abis mau gimana lagi Miki, emang benerkan apa yang Mbak bilang? Mau diteruskan hanya akan memperburuk keadaan dan Mbak yakin Mamah pun sebenarnya berpikiran yang sama dengan Mbak. Cuma yang jadi permasalahan Mamah hanyalah satu, Mamah itu seorang Ibu, seorang Ibu yang gak rela anaknya seperti ini. Mbak sih paham dengan hal itu walaupun belum jadi Ibu tapi Mbak paham rasa sakitnya Mamah."
Sesak... sesak sekali.
"Tapi Mbak yakinkan Mamah apa pun yang nanti di pilih sama Aamu kita serahkan semuanya sama Tuhan dan membiarkan Tuhan yang melindungi Aamu. Mbak juga meyakinkan Mamah jangan terus-terusan menyalahkan diri Mamah sendiri. Toh, selama ini Mamah sudah berjuang mati-matian untuk melindungi Aamu. Kalau pun Aa seperti sekarang ini semuanya karena pilihan dia sendiri bukan Mamah."
"Ya Mbak, tolong yakinkan Mamah," Suaraku terdengar serak tak bernyawa.
"Iya," Mbak Vira menyempatkan untuk menghela napas. "Dan terakhir Mbak bilang sebaiknya juga kita serahkan Aa kepada orang yang bisa memberikan pengaruh positif untuk dia," Ucap Mbak Vira sambil menatapku lekat.
Aku menghindari tatapannya.
Positif? Mbak Vira berpikir aku bisa memberikan pengaruh positif? Aku tak habis pikir bagaimana jalan pikiran Mbak Vira dan aku melamunkan apa yang ada dipikirkan Mamah saat itu?
Lamunanku berakhir ketika sebuah ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Secara bersamaan aku dan Mbak Vira melihat siapa gerangan tamu yang datang. Tetapi mataku langsung membulat dan sontak aku berdiri. "Fadli!"
"Siapa?"
"Hei! maaf yah Mik kalau aku datangnya telat tadi macet banget. Kamu pasti nunggu lama yah?"
Dahiku mengkerut dengan pertanyaan Fadli.
"Maaf, kamu siapa?"
"Saya Fadli."
"Oh Fadli!!! Miki...Miki...."
Aku tidak menyadari jika aku telah mematung. Bagaimana tidak aku kebingungan setengah mati akan kehadiran Fadli di rumah sakit. Dari hari pertama kabar mengenai "dia" sampai ke telinga Fadli tak sedikit pun Fadli pernah mengungkitnya dan aku tahu meski Fadli tak pernah bicara ia sebenarnya sangat keberatan dengan apa yang aku lakukan demi "dia". Lalu, mengapa sekarang Fadli datang? di tambah dengan wajah yang berseri-seri? "Fadli ngapain kamu kesini?"
Dahi Fadli mengernyit. "Loh bukannya kamu sms aku untuk jemput kamu?"
Eh? Rasanya aku tidak pernah mengirim sms begitu ke Fadli.
"Miki suruh Fadlinya duduk dulu dong. Fadli silahkan masuk," Mendahuluiku Mbak Vira mempersilahkan Fadli masuk.
Untuk sesaat Fadli memandangiku kebingungan sebelum akhirnya merespon Mbak. "Oh iya Mbak...?"
"Kita memang belum kenalan. Saya Vira dan kamu Fadli?" Fadli tersenyum dan bersalaman dengan Mbak Vira. "Mari silahkan duduk."
"Umm... tunggu Mbak. Miki tadi kamu bukannya sms mau pulang?"
"Mbak sebentar yah aku mau ngomong dulu sama Fadli," Karena kebingungan aku menyeret Fadli keluar dari kamar. "SMS apa?" Tanyaku secepatnya setelah kami keluar.
"Tadi siang kamu sms aku buat jemput."
"Tapi aku gak pernah sms begitu."
Dahi Fadli kian mengkerut. "Kalau begitu siapa yang kirim smsnya?" Fadli mengeluarkan handphonenya dari saku kemejanya dan memperlihatkannya padaku. "Ini nomor kamukan?"
Tak sabaran kurenggut handphone milik Fadli dari tangannya. Benar, nomornya benar dariku. Untuk memeriksa kebenarannya aku mengambil handphoneku dari kantung celana jeansku bagian belakang. Tak ada laporan sms dari aku sama sekali. Jadi siapa yang mengirim sms ke Fadli? Sekali lagi aku periksa sms di handphone Fadli. Nomornya benar dariku dan dari jam pengirimannya sekitar pukul sepuluh. Aku berpikir keras apa yang kulakukan di jam-jam itu. Belum selesai menemukan jawabannya aku terperanjat saat aku membaca kelanjutan dari isi sms itu.
Fadli maafkan selama ini jika aku tidak pernah bisa menjadi kekasih terbaik untukmu.
Siapa? siapa? yang mengirim pesan seperti itu.
"Tadinya aku agak riskan kesini, tapi kata-kata di bagian akhir itu bikin aku bingung dan akhirnya dengan terpaksa aku kesini."
"Tapi aku gak pernah kirim sms ini."
"Kalau bukan kamu lalu siapa?"
Aku ingin menjawab namun Mbak Vira menginterupsi. "Tadi Mbak di telepon Papah kalau Bi Uneh dan Papah sedang meluncur kemari. Miki kalau gak keberatan, Mbak minta tolong tolong tungguin Bi Uneh karena dia bawa barang-barang Mbak dari rumah. Pasti banyak dan berat banget. Tolong yah Mik."
"Iya Mbak."
"Aku bantu," Sela Fadli.
"Umm... Fadli, Mbak rasa itu bukan ide yang baik. Masalahnya Papah Miki...," Tidak perlu Mbak Vira menyelesaikan kata-katanya Fadli sudah mengerti maksud Mbak Vira.
"Sebentar Fad," Sebelum aku beranjak Mbak Vira meminta Fadli masuk dan menemaninya.
Sepanjang menunggu Bi Uneh dan Papah aku habiskan untuk menyelesaikan teka-teki sms Fadli. Aku memiliki satu jawaban siapa yang mungkin melakukannya, tetapi yang tidak habis pikir kenapa Mbak Vira melakukannya? Dan menambahkan kata-kata seperti itu?
Lumayan lama aku menunggu kedatangan Bi Uneh dan Papah. Saat mereka datang memang benar Bi Uneh membawa banyak sekali barang. Sedikit susah payah kami bertiga membawa barang-barang tersebut. Sempat hatiku kebat-kebit tak karuan karena gugup dengan kehadiran Fadli. Namun saat kami sampai ternyata Fadli menunggu di ruang tunggu dengan badannya bersandar di dinding dan matanya melihat keluar jendela. Dengan santai aku melangkah lanjut.
Butuh waktu agak lama untuk Mbak Vira dan Bi Uneh membenahi kamar agar Mbak Vira dan Bi Uneh bisa nyaman bermalam. Setelah selesai, Papah segera pulang dan aku pun ikut berpamitan. Saat berpamitan Mbak Vira merangkulku dan membisikkan, "Everything will be fine I promised."
Aku tidak menjawab, hanya sekedar tersenyum kecut. Dalam hati aku bergumam, "Just a fantasy."
Secepat kilat aku menemui Fadli. Saat akhirnya kami pulang aku merasakan kejanggalan dari sikap Fadli. Sepanjang perjalanan Fadli terdiam seribu bahasa dan bahasa tubuhnya yang sudah amat kukenal menandakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Aku berusaha bertanya ada apa dengan dia, tapi tetap diam atudalah jawabannya. Sebenarnya ada apa ini? Ada apa dengan Fadli? Sepertinya tadi saat datang dia terlihat biasa saja. Apa ada sesuatu yang terjadi saat aku menunggu Bi Uneh? Semua pertanyaanku menggantung ketika Fadli memutuskan untuk tidur di kamar tamu.
kayaknya vira yg sms fadli. #sotoy
Kayaknya fadli telah diberitahu mbak vira rencana ke depan untuk menjauhi miki