It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Entah apa yang kumimpikan semalam, tapi yang pasti tak seindah apa yang kurasakan saat ini.
Siang tadi layar handphoneku menyala. Aku sengaja men-silent handphoneku karena tengah meeting dengan klienku, tapi sempat kumelirik dan kulihat sebuah nomor yang tak kukenal. Tentu saja kuacuhkan.
Selesai meeting nomor yang sama terus memanggil. Kupikir lebih baik kujawab saja, siapa tahu telepon penting. “Hallo?”
Tak ada jawaban. Aneh sekali sudah menelepon berkali-kali, tapi ketika kuangkat hanya terdiam.
“Halo, siapa nih?” Kucoba lagi.
Masih tak ada jawaban. Aku mulai kesal dan bermaksud menutup, tapi…, “Hallo Miki.”
Aku tertegun. Suara ini. Suara yang yang sangat kurindukan. Kenapa? Kenapa baru sekarang? Kubisa rasakan wajahku memanas dan embun mengembang dipelupuk mataku. Tidak, kuberusaha untuk menguasai diriku. Kuhirup napas dalam-dalam. “Iya a?”
“Kamu lagi sibuk?”
“Kalau sekarang enggak a. Baru aja selesai meeting. Ada apa a? Tumben nelepon? Ngomong- ngomong tahu nomor Miki dari siapa a?”
“Dari si mamah. Hari minggu ini kamu ada acara?” Jantungku berdebar kencang. Ada apa?
“Enggak ada acara a. Emang kenapa?”
“Bisa ketemuan?” A…, a…., a…
“Bisa, ada apa a? Kayaknya penting banget?”
“Vira…,” Aku menahan napas, tunangan aa. “…, mau minta kamu buat jadi fotografer untuk foto pre-wed kita berdua,” Aku tersenyum getir. Apa yang kuharapkan?
“Oh gitu a.”
“Iya. Kamu enggak keberatankan?” Hahaha…, pertanyaan yang sangat lucu. Keberatankah aku?”
“Enggak a. Miki sering juga diminta buat foto pre-wed. Jadi mau jam berapa ketemuannya dan dimana?”
“Sore aja, jam empatan. Kamu tahu Jakarta Coffee House di Cipete?”
“Umm…, tahu.”
“Iya disana aja tempatnya nyaman buat ngobrol.”
“Iya a.”
Sempat kami terdiam kikuk. Aku masih ingin bicara dengan dia. Aku masih rindu dengar suaranya. Tapi aku takut jika aku berbicara hanya akan meluncur kata-kata yang salah.
“Ya udah Miki sampai nanti lagi.”
“Eh? Tunggu a!”
“Iya ada apa lagi?” Kugigit bibirku. Apa lagi yang mau aku katakan?”
“Err…, gimana kabar mamah sama papah?” Kutepuk dahiku.
“Baik,” Jawabnya singkat. Tak maukah dia berbicara lebih lama padaku?
“Syukur atuh. Ya udah atuh a, Miki mau kerja lagi.”
‘Iya. Asalammua’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Kugenggam erat handphoneku. Masih belum rela hati ini untuk melepas rasa rindu ini.
Seperti yang sudah dijanjikan akhirnya aku, dia dan Vira (tunangannya) bertemu di tempat yang dijanjikan. Tidak bisa kusangkal kalau saat ini aku sangat bahagia. Ini pertemuan pertama kali kami secara pribadi setelah tujuh tahun. Meskipun kami bertemu untuk membicarakan mengenai pernikahannya, tapi bagiku ini lebih dari cukup.
Dia banyak sekali berubah. Wajahnya yang dulu kekanak-kanakkan berubah menjadi pria dewasa. Garis-garis wajahnya menegas, tak lagi lembut dan gurat-gurat lelah terlihat di dahi serta pelipis wajahnya. Tapi itu semua tak mengurangi ketampanannya. Aku benar-benar rindu dia.
“Akhirnya bisa ketemu Miki langsung,” Ucap riang mbak Vira.
“Iya, Miki juga seneng akhirnya bisa ketemu mbak.”
“Kenapa acara lamaran kemarin kamu enggak dateng?” Aku tersenyum kecut.
“Biasa mbak banyak kerjaan.”
“Tapi bukannya sekarang Miki udah jadi fulltime fotografer?”
“Mbak tahu?”
“Tahulah. Akukan penggemar foto-foto kamu dari pertama kali karya kamu muncul dimajalah Backpacker.”
“Oh yah? Mbak suka backpacking juga?”
“Dulu, jaman-jamannya masih kuliah. Tapi bener deh foto-foto kamu tuh beda dari yang lain.”
“Beda gimana mbak?”
“Setiap foto kamu tuh kayak punya cerita, punya jiwa.”
Aku terkekeh pelan. “Enggak sampai begitu juga mbak.”
“Emang bener Miki. Apalagi pas pameran kamu yang pertama kalinya bikin mbak terharu banget sampai aa kamu melihat tingkah aku begitu, dia kebingungan sendiri,” Dia datang ke pameranku?
“Mbak sama aa datang ke pameran Miki?”
“Iya. Cuma pas hari terakhirnya. Abis aamu ini sibuk terus.”
"Hmm, gitu.”
“Oh yah Miki, kalau boleh tanya foto yang judulnya “My Love” modelnya itu cowok yah?” Tiba-tiba jantungku berkebit kencang.
“Iya.”
“Wah bagus banget loh foto itu. Biarpun pencahayaannya gelap, tapi sudut pengambilannya benar-benar sempurna. Ditambah modelnya cucok banget. Aa aja sampai terpana,” Aku melirik ke arah dia, tapi dia memalingkan mukanya.
“Makasih mbak,” Aku tersenyum kecut.
“Maaf yah Miki kalau mbak banyak tanya, tapi maksud foto itu apa yah?”
Desiran itu kembali menyentuh kotak hitam yang telah kusimpan rapat.
Di malam akhirnya kami bersatu jiwa dan raga, aku terjaga sepanjang malam. Tak mempercayai bahwa orang yang kucintai akhirnya benar-benar menjadi miliku. Terbersit dibenakku untuk menyimpan momen itu selamanya. Beruntung saat itu dia menghadiahkanku sebuah kamera. Diam-diam kuambil fotonya yang sedang tertidur. Kuabadikan seluruh jengkal tubuhnya.
“Miki?” Tanya mbak Vira membuyarkan lamunanku.
“Hmm, ya mbak? Soal foto itu yah? Itu foto seseorang yang aku cintai,” Aku memutuskan untuk jujur.
Mbak Vira terdiam.
Aku tersenyum simpul. “Gak apa-apa kok mbak semua udah tahu ini.”
Bibir mbak Vira tersungging senyum lembut. “Kamu hebat.”
Aku membalas senyumannya. “Makasih mbak.”
“Orang itu sangat beruntung memiliki kamu Miki.”
Ironi.
“Ini kapan mau ngomongin soal fotonya?” Celetuk dia.
“Oh iya maaf yah Miki, aku kalau udah ngobrol jadi lupa sendiri.”
“Gak apa-apa mbak.”
Apakah yang dia pikirkan saat melihat foto itu? Pertanyaan yang mengusik pikiranku saat ini.
Kuberitahu Fadli mengenai rencanaku untuk pemgambilan foto pre-wed dia. Fadli kaget dengan kebersediaanku dan mempertanyakan motifku. Aku meyakini Fadli kalau aku tidak ada motif apa pun. Keputusanku murni dibuat atas dasar profesionalisme profesiku.
Fadli tak mempercayai perkataanku, terlebih pemotretan akan berlangsung selama 3 hari, 2 malam di pulau Pantara dan Fadli juga mengetahui segalanya, bahkan perasaanku yang sebenarnya karena aku tak pernah menutupi apapun.
Hingga detik ini Fadli masih tak mempercayaiku, tapi aku biarkan dan cukup membuktikan dengan tindakan.
Hari ini kami mulai berangkat dari pelabuhan Marina Ancol pukul 9 pagi. Rombongan kami berisi aku, mbak Vira, dia, asistenku Bimo, seorang penata make-up dan penata baju yang dibawa mbak Vira.
Penyeberangan dari Ancol ke pulau Pantara hanya membutuhkan waktu satu jam. Sesampainya disini aku terkesima dengan pemandangan laut yang biru dan lingkungan pulau yang masih sangat bersih. Mbak Vira sangat tepat memilih tempat.
Kami di terima langsung oleh manajer resort yang kami inapi. Pulau Pantara dipilih bukan hanya karena lokasinya yang indah, tapi juga karena dia kenal baik dengan manajer resort. Sedikit nepotisme tak masalah biar kantung tidak jebol.
Sesampainya disana aku langsung mencari lokasi yang cocok untuk konsep pemotretan yang sudah kami tetapkan sebelum. Untungnya mbak Vira sendiri sudah sering ketempat ini hingga konsep yang dia ajukan memang sudah disesuaikan dengan lokasi pulau. Ini membuat tugasku menjadi lebih ringan.
Konsep yang diajukan mbak Vira adalah “Walking Through Time” yang diartikan mbak Vira sebagai penjelmaan bentang waktu hubungan yang sudah dilakoni Mbak Vira dan dia selama 4 tahun. Konsep ini akan terjadi penggabungan. Mbak Vira sudah mensortir foto-foto yang dibuat mbak Vira selama mereka pacaran, lalu foto-foto dari pemotretan ini akan menjadi sebuah transisi indah dari foto-foto tersebut. Ide yang menarik.
Sesi pemotretan akan dibagi menjadi tiga bagian. Sesi pertama akan dilakukan saat matahari terbenam. Sesi kedua akan dilakukan saat matahari terbit dan sesi terakhir akan dilakukan saat jam normal.
Untuk sesi pertama kami akan melakukannya langsung dihari pertama. Untuk menunggu sampai matahari terbenam kami lewati dengan mengobrol santai dan mempersiapkan mbak Vira. Sedangkan dia? Masih sama saja, memilih untuk tidak banyak bicara kepadaku, kecuali memang diperlukan. Tak apa, aku memang tak mengharapkan apa pun.
Siapakah aku
Berani mengharapkan cintamu
Sementara luka
Sudah kutebarkan di kehidupanmu
Pujangga bersabda
Bahwa cinta tak harus memiliki
Tapi bagiku
Jika tak bisa milikimu
Itu bukanlah cinta
Aku harus mengacungi jempol mbak Vira atas ketotalannya menjalani pemotretan. Bak model professional mbak Vira menuruti arahanku dengan baik, tak mengeluh meskipun dia harus terbangun pagi-pagi sekali untuk mengejar matahari terbit dan rela berpeluh keringat di bawah teriknya matahari.
Semua sesi akhirnya bisa diakhiri dengan baik dan lancar. Bahkan kami bisa menyelesaikan tepat pada waktunya.
Untuk mengisi waktu luang hingga malam aku memilih untuk mengedit sebagian foto-foto, Bimo kuijinkan dia untuk berlatih memotret, sedangkan mbak Vira dan yang lainnya menikmati dengan bercengkerama dipantai, mengelilingi api unggun.
Sebenarnya mbak Vira mengajakku, tapi aku merasa lebih memilih untuk tidak ikut serta karena aku menangkap tatapan aneh sepanjang waktu ini. Tak perlu lagi kusebut dari siapa.
Tapi tak kusangkal ada perasaan perih didadaku yang membuatku terasa sesak. Sudahlah ini semua memang sudah seharusnya terjadi, karena aku yang memilihnya demikian.
Untuk kali ini aku bersyukur dengan penyakit insomniaku ini.
Aku masih saja bergulat dengan laptopku hingga akhirnya kuputuskan berjalan-jalan di pantai. Sempat kumelirik jam tanganku dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Kupikir, apakah masih ada orang dipantai?
Kumelangkah menuju pantai dan berdiri sejenak untuk memperhatikan suasana pantai. Ternyata masih ada beberapa orang dipantai. Di kananku ada satu grup anak muda sedang bercengkerama riang dan mengalunkan lagu-lagu terkenal saat ini. Tak jauh dari pandanganku didepan, ada seorang pria sedang duduk di dekat api unggun. Pria itu membelakangiku, tapi perasaanku mengatakan aku mengenal pria itu. Kupicingkan mata untuk mengenalinya. Ya, aku mengenalinya.
Batinku berkecamuk antara haruskah aku mendekatinya atau tidak? Cukup lama aku berpikir, tapi akhirnya kuputuskan untuk menemuinya. Kuteruskan langkahku hingga aku tepat berada di sampingnya.
“Belum tidur a?” Tegurku pelan padanya.
Dia sedikit kaget dengan kehadiranku. “Belum,” Jawabnya singkat.
“Boleh Miki duduk a?”
Dia tak menjawab, tapi hanya menggeser tubuhnya. Aku anggap itu sebagai jawaban ya.
Kududuk bersila di sampingnya. Tak ada kata yang meluncur dari bibir kami berdua. Kami ditemani deburan ombak dan tawa riang anak muda di dekat kami. Aku menoleh kearah mereka. “Senangnya,” Celotehku tanpa sadar.
“Apanya?” Tanyanya tiba-tiba.
“Umm…, itu mereka yang sedang menikmati masa mudanya,” Dia menoleh ke arah mereka.
“Naif,” Ucapnya dingin.
Aku tak percaya dengan yang aku dengar. Kutatap lekat wajahnya. Dia tampak marah, geram. Siapa dia? Aku tak mengenalinya. Kupalingkan wajahku dan menahan getir yang menyeruak di dadaku.
“Memang apa salahnya menjadi naif?”
Dia tertawa dingin. “Hari ini bolehlah mereka naif, tapi besok saat mereka harus bersentuhan dengan realita dan yang tinggal hanyalah rasa sakit.”
Kukepal tanganku dan kutahan rasa sakit yang meninju batinku. “Tak selamanya realita itu menyakitkan. Selama mereka membuat pilihan terbaik semuanya akan baik-baik saja.”
Tawanya menggelegar. “Pilhan terbaik. Sepertinya aa pernah dengar itu di suatu tempat,” Dia menatapku lekat dan bagaikan tersihir aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. “Kamu percaya dengan kata baik-baik saja? Atau kamu membuat diri kamu terhipnotis dengan kata-kata itu?”
BIbirku terkatup rapat. Tak bisa aku menyangkal oleh perkataannya. “Miki mau tidur. Selamat malam a,” Aku bermaksud beranjak, tapi dia mencengkeram kuat tanganku dan aku kembali terduduk.
“Kenapa harus terus berlari? Enggak capek? Lagian bukannya kamu masih punya insomnia?” Aku tertegun. Apakah dia masih membaca blogku?
“Tapi Miki bisa tidur-tiduran.”
Dia menatapku tajam. “Memangnya aku ini menjijikkan apa? Sampai kamu tidak mau sedetik saja bersamaku?” Kenapa? Kenapa kamu berpikir seperti itu.
“Maksud aa apa sih? Miki enggak ngerti. Dan bukan sebaliknya aa yang dingin sama Miki, jadi seharusnya Miki yang tanya seperti itu.”
Dia mendekatkan wajahnya padaku. “Bukannya itu yang kamu mau? Menjauhkanku, meenyahkan aku begitu saja tanpa peduli perasaanku. Dan satu lagi mana ucapan selamat untuk kebahagiaanku?”
Lidahku kelu dan airmata membasahi pipiku.
“Kenapa harus menangis sayang?” Dia sebut diriku mesra dan menepis bulir-bulir airmataku. “Bukankah aku sudah melakukan yang kamu mau, jadi kembalilah padaku sekarang.”
Tangis ini tak bisa kebendung lagi. “A-apa sih yang aa katakan? Aa sudah punya mbak Vira? Dan Miki sudah memiliki seseorang sekarang.”
“Aku hanya melakukan permintaanmu dan kamu sendiri, apakah bahagia dengan Fadli?”
Aku menatapnya tak percaya. “A, please jangan lakukan kesalahan yang sama.”
“Tak ada hal yang salah sayang. Perasaan kita nyata. Aku cinta kamu dan kamu cinta aku. Itu saja cukup,” Tangannya memegang pipiku dan napasnya menderu di wajahku.
Mungkin satu detik lagi aku bertahan, aku akan terhanyut lagi pada permainan terlarang. Aku menepis tangannya dan berlari menjauh darinya.
“Semoga kamu bahagia Miki!!!” Teriaknya dari kejauhan.
Salahkah aku jika aku merasakan setitik bahagia mengetahui dia masih mencintaiku?
Setelah sarapan kami langsung pulang. Seperti tak terjadi apa-apa dia kembali mengacuhkanku dan aku pun tak ada hasrat untuk mengatakan apa-pun. Biarlah malam tadi kuanggap sebagai mimpi buruk sekaliigus mimpi terindah untukku.
Phew..., selesai untuk yg hari ini sampe jari choco pegel abeesss... #lol
Sampai jumpa lagi yah hari kamis..., hari rabu ada pengajian dirumah choco jadi gak bisa bebas ngupdate.
Selamat malam semuanya n selamat bermimpi indah