It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
buat lebih miris dan berderai air mata..
Sebagai permintan maaf atas penundaan update yang berkepanjangan, choco akan memention para tuan dan nyonya sekalian.
@adacerita @idans_true @Clorofil @brownice @yunjaedaughter @pokemon @amy73 @demas @freakymonster58 @adinu @Adam08 @andreaboyz @Fachmi92 @fahmy37 @Rez1 @uditaboti @rulli arto @Coffeebean @Fikry18 @syahrian @Rizal_M2 @yuzz @4ndh0 @iamyogi96 @kiki_h_n @Dharma66 @AwanSiwon @bi_ngung @u_know @loud_boy43 @abadi37 @Kyu_kyuw @abadi_abdy @revian97 @gr3yboy @arieat @per_kun95 @blue_gay @difragma @masboy @hikaru @lenterahijau @Just_PJ @aDvantage @manwgun @idans_true @nip_eel @Dhika_smg @PUTRA_LANGIT @Putra_Kampungan @ken89 @treezz @didi_suryat @abyh @ferry195 @gambling @udjangndeso @joeniorartha @fabolous16 @bayuaja01 @touch @aby_abadi @joenior68b @angelofgay @zulkorich @pahlevy_roni
Silahkan menikmati.
Hari ini aku dan Fadli memutuskan untuk kerja bakti membersihkan rumah. Kegiatan ini sudah jarang kami lakukan karena kesibukan kami berdua yang sangat padat. Tapi sekarang, karena pekerjaanku sebagai fotografer sudah fulltime membuatku sedikit bisa bernapas lega dan Fadli sedang dalam masa cutinya.
Kami membersihkan inci tiap inci rumah. Tanpa ada kesulitan kami mampu menyelesaikan kegiatan kami sebelum matahari terbenam. Sambil mendinginkan tubuh kami yang bercucurkan keringat, Fadli berinisiatif untuk menyortir foto-foto lama kami yang belum sempat kami lakukan dan memasukkannya ke dalam album foto yang masih kosong.
Melihat foto-foto lama kami membuat semua kenangan masa lalu kami yang culun, lucu dan terkadang menyebalkan kembali.
Aku melihat kembali foto-foto pertamaku yang di hasilkan dari perjalanan mendaki gunung Semeru. Aku ingat sekali betapa beratnya medan yang mesti aku lewati. Biarpun Ibra teman kampusku sudah memberikan pelatihan untukku secara intensif sebelum mendaki, tetapi tetap saja aku masih banyak mengalami kesulitan. Tapi aku bersyukur karena terbantukan oleh Ibra dan teman-temannya yang dengan sabar memanduku.
Foto yang pertama kali aku ambil saat sampai adalah gunung Semeru itu sendiri. Karena baru pertama kali itu aku melangkahkan kakiku ke Semeru membuat nafsu memotretku membuncah. Tapi hasilnya tidak maksimal karena aku terlalu tergesa-gesa saat memotret. Ibra dan teman-temannya menertawakan ke luguanku, tapi aku tidak peduli meski dalam hati rasanya ingin tenggelam saja.
Dalam perjalanan kami bertemu dengan banyak pendaki dari berbagai organisasi pencinta alam seluruh nusantara dan di saat itulah aku bertemu Fadli. Mirip sepertiku, Fadli juga bukanlah anggota dari pencinta alam kelompoknya. Tetapi sedikit berbeda denganku, Fadli adalah atlit Taekwondo. Jadi tidak terlalu sulit untuk dia melakukan pendakian.
“Beib, kamu gagah banget disini,” Aku menunjukkan Fadli fotonya yang aku ambil diam-diam saat dia duduk termenung dibebatuan.
Hari itu adalah hari kedua pendakian dan waktu masih menunjukkan jam lima pagi, tapi kelompokku dan kelompok Fadli yang pada akhirnya memutuskan untuk berjalan bersama-sama, mulai bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan kami. Aku yang bekerja sebagai seksi dokumentasi dadakan mengambil tiap momen perjalanan kami dan tentu saja, kesempatan itu kupakai juga untuk mengabadikan seluruh suasana Semeru pagi itu.
Di tengah asiknya aku memotret, sosok Fadli yang termenung menunggu matahari terbit menarik mata lensaku untuk membidiknya. Tanpa kusadari aku mengambil cukup banyak foto Fadli. Ketika aku rasa sudah cukup, aku bermaksud untuk membantu kelompokku, tapi sempat kupandangi Fadli yang masih saja terpaku menatap jauh. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi bisa kurasakan kesedihan yang mendalam.
Sosok Fadli saat itu memang sungguh misterius. Dari awal pertemuan kami Fadli jarang sekali berbicara, bahkan dengan kawan-kawan satu kelompoknya. Tak hanya jarang berbicara, tapi Fadli juga sering termenung kejauhan. Persis seperti yang dilakukannya pagi itu. Aku bertanya-tanya, apakah yang membawa Fadli ke Semeru? Apakah dia sama denganku yang sedang mencari sesuatu?
Semakin lama rasa penasaranku semakin bertambah. Aku ingin sekali bertanya kepada Fadli, tapi aku takut aku akan membuka sesuatu yang seharusnya tak aku buka. Hingga dimalam ketiga….
Malam itu aku dan Fadli ditugaskan untuk berjaga malam. Aku cukup kikuk berada di dekat Fadli karena sikapnya yang terlalu diam. Aku sempat meminta Ibra untuk menemaniku, tapi dasar Ibra dia sangat tega untuk membiarkanku dengan Fadli berdua saja. Alhasil, aku hanya bisa menatap jilatan merah api unggun yang mewarnai langit gelap.
“Tidur saja kalau lelah. Biar aku yang jaga,” Celetuk Fadli tiba-tiba. Aku terkaget mendengar suara berat Fadli.
“Umm…, enggak apa-apa kok namanya juga tugas.”
“Bukannya kamu lagi capek? Sudah jangan dipaksakan daripada nanti sakit,” Memang benar aku sangat capek sekali, tapi aku sedikit heran dengan observasi Fadli. Sejak kapan dia mengamatiku?
“Aku bawa vitamin kok. Jadi enggak masalah.”
Pembicaraan terputus dan sekali lagi Fadli terdiam. Aku memutar otak untuk memulai pembicaraan. “Langitnya indah sekali yah dilihat dari atas sini,” Kupandangi langit.
Fadli tak membalas.
“Saat besok kita pulang ke Jakarta sudah pasti kita akan merindukan ini semua.”
Masih juga tak ada balasan.
“Rasanya kita benar-benar hidup bisa menjejakkan kaki disini,” Aku melirik ke Fadli, raut wajahnya masih belum berubah. Aku jadi kesal juga. Aku sendiri orangnya pendiam, tapi setidaknya ada saatnya aku bersuara.
Tapi tak lama aku mendengar Fadli terkekeh pelan. Kutatap Fadli. Aku tercengang karena Fadli menguraikan air mata. Apa? Kenapa?
“Fa…, Fadli kamu kenapa? Kamu enggak apa-apakan?”
“Hidup. Kenapa aku musti hidup? Kenapa aku dilahirkan seperti ini?” Tangis Fadli kian menjadi. Pertanyaan Fadli yang terakhir membuat batinku yang terdalam seperti tersayat.
Kupeluk Fadli karena aku tak punya kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. Di dalam dekapanku Fadli meraung kesakitan. Rasa sakit yang dia pendam lalu meletup dalam semalam. Aku ikut menangis merasakan kepedihan yang di hantarkan Fadli, meskipun aku tak tahu permasalahan Fadli.
Lambat laun tangis Fadli memudar. “Makasih,” Ucap Fadli parau.
“Sama-sama,” Aku hanya bisa tersenyum lembut kepada Fadli.
“Kamu enggak mau tanya kenapa aku begini?”
“Enggak perlu kalau kamu memang tidak mau.”
“Terima kasih,” Jawab Fadli pelan dengan senyum mengembang dibibirnya.
Setelah itu Fadli memang tidak mengatakan apa pun mengenai apa yang terjadi pada dirinya, tetapi setelah pulang hubunganku dengan Fadli menjadi dekat dan akhirnya kami pun berteman. Barulah Fadli berani mengurai apa yang terjadi dengannya.
Ternyata alasan Fadli pergi ke gunung Semeru adalah untuk menemukan ketenangan akan dirinya yang sedang risau dengan seksualitasnya.
Fadli selalu tahu sejak dia kecil kalau dia itu berbeda. Tapi dia tak pernah bisa menyimpulkan apa yang terjadi dalam dirinya. Baru setelah dia beranjak dewasa dia mulai memahami segalanya.
Lucu sekali bila diingat kenapa mataku selalu mengikuti Fadli. Ternyata Fadli adalah bentuk cerminan diriku. Cermin diriku yang kebingungan dengan keadaan. Mempertanyakan alam semesta kenapa aku diciptakan? Hanya yang berbeda, mungkin aku lebih beruntung ketimbang Fadli karena setidaknya aku pernah merasakan cinta. Tak ada waktu untukku memikirkan apakah sebuah kesalahan diriku di lahirkan.
“Akhirnya selesai juga,” Ucap Fadli membuyarkan lamunanku.
“Hmm…, iya,” Kulihat tumpukan album foto di depanku. “Tujuh tahun yang menyenangkan.”
Tiba-tiba Fadli tertawa, “Menyenangkan buat kamu. Aku lima tahun harus tersiksa sebelum akhirnya kamu bilang ya.”
Aku hanya menyeringai besar. “Itu sih salah kamu sendiri, kenapa juga masih mau nunggu. Resiko ditanggung pembeli.”
“Oh gitu yah?” Fadli menggelitikiku.
Kini kami bersama untuk saling melengkapi.
Hari ini Eros tiba-tiba meneleponku. Hal yang tidak pernah dia lakukan semenjak dia mengakui dia telah mencintai Fadli.
“Hallo Eros,” Jawabku.
“Hallo Miki, apa kabar kamu?” Kedengarannya suara Eros lelah.
“Baik. Ada apa Ros?”
“Mi…, Miki…,” Ucap Eros terbata-bata. Ada apa dengan Eros?
“Kamu kenapa Ros?”
“Miki, kali ini aku bersimpuh di kaki kamu. Aku mohon Miki berikan Fadli padaku,”Apa maksudnya Eros?
“Fadli?”
“Aku tahu aku enggak punya hak dan aku juga tahu aku sudah jahat menggunakan keadaan kamu, tapi Miki aku sungguh-sungguh mencintai Fadli. He’s the one for me. I know it. I can feel it.”
“Aku makin enggak ngerti maksud kamu apa Eros?”
“Fadli memutuskan hubungan kami berdua,” Aku tercekat. Isak Eros mengisi perih gendang telingaku. “Dia bilang, dia enggak bisa begini terus. Berpura-pura bisa menerima keadaan ini sedangkan perasaannya terkoyak antara mencintai kamu dan permintaan kamu.”
Inikah erupsi dari perasaan Fadli?
“Aku mengerti Miki kalau dia masih mencintai kamu, tapi apa dia enggak berpikir kalau aku sudah mencintainya terlalu dalam dan apakah kebaikan selama ini yang dia tunjukkan kepadaku adalah kebohongan?”
Aku terdiam.
“Aku tahu permintaanku ini egois, tapi aku yakin kamu tidak mencintai Fadli sebesar aku mencintainya. Jadi aku mohon Miki, tolong lepaskan Fadli dan berikan dia kepadaku.”
Perkataan Eros masih terus terngiang dibenak pikiranku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Memang benar aku pernah mengatakan kalau aku akan melepas Fadli, tapi aku telah berpikir ulang dan menimang. Fadli adalah hal terbaik yang dianugerahi Tuhan untukku.
Setelah dia, aku tak mampu membuka hatiku kepada siapa pun. Fadli dengan sabar membuka hatiku dan memberikanku cinta yang tulus meskipun dengan impotensi yang kuderita. Tapi…, tak bisa kupungkiri kata-kata Eros ada benarnya. Aku tak mencintai Fadli sebesar cinta Eros untuknya.
Tadi malam kuberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Fadli.
“Fadli, boleh aku bicara sebentar?” Fadli tengah mengerjakan pekerjaannya di ruang kerja.
“Iya beib,” Aku melangkah masuk dan duduk di hadapan Fadli.
“Kenapa kamu memutuskan hubungan dengan Eros?” Fadli yang tidak siap dengan pertanyaanku tertegun diam.
“Dia ngomong sama kamu?”
“Iya.”
“Dia bilang kenapa?”
“Iya dia bilang.”
“Well, that’s that then,” Ucap Fadli enteng. Fadli kembali mengerjakan pekerjaannya. Aku tidak percaya ini.
“Fadli!!!” Panggilku tak sabar.
Fadli menatapku malas, “Apa?”
“Kamu enggak pikirkan perasaan Eros apa?” Tanyaku kesal.
“
Justru aku memutuskan begitu karena aku sangat memikirkan Eros.”
“Maksud kamu apa?”
“Kalau di biarkan lebih lama lagi Eros hanya akan lebih sakit hati lagi dan lagi pula kita berdua akan pindah.”
Apa? Sepertinya aku salah dengar tadi. “Apa maksud kamu pindah?”
Fadli tersenyum lebar, “Kamu tahukan Dave? Temanku dari kantor pusat?”
Aku tidak mengerti arah pembicaraan Fadli.
“Tadi siang dia meneleponku dan dia mengabarkan profileku sudah diterima di kantor pusat.”
“Aku enggak ngerti.”
“Kantor pusat sudah menerima aku Miki,” Aku membelalakkan mataku.
“Bagus…, selamat Fadli.”
“Makasih.”
“Tapi…, apa maksud kamu "kita"?”
“Aku mau ajak kamu kesana dan jangan khawatir soal pekerjaan kamu. Aku sudah mencari tahu ada banyak agensi dan majalah sedang merekrut fotografer. Dan kalau enggak salah kata teman kamu Siska, foto-foto kamu ada peminatnya di Hongkong jadi enggak ada masalah kalaupun kamu kerja disana.”
Jujur aku turut bahagia untuk Fadli, tapi…, tapi…, “Rencana kamu ini…, kenapa kamu enggak pernah bicarakan padaku? Lalu bagaimana dengan Eros?”
“Bukannya aku tidak mau bicarakan sama kamu, aku hanya ingin memberikan kejutan saja. Bagaimana dengan Eros? Dia hanya orang luar.”
A-aku tidak percaya dengan perkataan Fadli. Kugebrak meja kerja Fadli. “Fadli!!! Kamu pikir Eros itu siapa? Dia bukan orang luar. Dia sudah jadi bagian dari kita. Pikirkan perasaan dia Fadli.”
“Yang tidak memikirkan perasaan Eros itu kamu Miki. Memintanya sebagai pengganti kamu di ranjang. Bukankah itu lebih kejam dari pada perkataanku.”
…………………………………………………………….
Aku terduduk lemas di kursi.
“Sudahlah Miki jangan terlalu dipikirkan. Kalau perlu kita datangi Eros dan meminta maaf padanya.”
Titik airmata mengalir dipipiku. “Tapi dia sungguh-sungguh mencintai kamu melebihi aku.”
Fadli terdiam seribu bahasa.
Otakku terasa akan pecah memikirkan semua yang terjadi. Bukan hanya urusan Eros dan Fadli, tapi juga dia.
Hari ini mbak Vira dan dia datang kerumah untuk melihat hasil foto pemotretan kemarin. Aku sangat gugup karena untuk pertama kalinya dia akan menginjakkan kaki ke rumahku. Aku mengumpat dalam hati karena selalu mengundur untuk menyewa studio untuk pekerjaanku.
Saat makan siang mbak Vira dan dia sampai kerumahku. “Selamat datang mbak di rumah Miki yang gubuk ini,” Sambutku.
“Aduh Miki ini sih bukan gubuk, tapi istana,” Kucium pipi kiri dan kanan mbak Vira.
“Silahkan masuk mbak,” Kubukakan pintu dan mereka pun masuk kedalam. “Kita ngobrolnya diruang tengah aja mbak, biar santai.”
“Hmm…, rapih juga rumahnya,.”
“Hahaha…, makasih mbak. Silahkan duduk,” Kupersilahkan mereka duduk di sofa panjang di ruang tengah.
“Mana nih pacarnya?” Mbak Vira mengedipkan matanya nakal.
Aku hanya tersenyum kecut. “Lagi kerja.”
“Yah…, mbak kira bisa ketemu dia.”
“Lain kali mungkin bisa.”
“Iya deh. Kalau gitu langsung aja deh Miki soalnya mbak harus ketemu klien lagi jam dua.”
“Loh kok?”
“Iya Miki mendadak nih. Biasalah klien yang suka banget ngerepotin. Suka bikin janji semena-mena,” Gerutu mbak Vira. “Tapi jangan khawatir aamu ini punya banyak waktu sampai sore,” Jantungku berdebar kencang. Aku dan dia hanya berdua saja?
“Tapi kamu harus periksa yang benar biar aku enggak bingung,” Ucap dia.
“Iya tenang aja.”
Tidak aku harus tenang. Aku harus cepat menyelesaikan ini. “Kalau gitu kita mulai saja,” Aku membuka laptopku yang sudah standby dari tadi. Kubuka folder berisi foto-foto mbak Vira. “Ini silahkan dilihat-lihat dan ini bentuk cetaknya,” Aku menyodorkan amplop coklat berisi foto-foto.
“Wah bagus-bagus banget,” Seru mbak Vira.
“Kalau gitu aku kedalam sebentar, kalian lihat-lihat saja dulu.”
“Oh iya Miki,” Aku cepat-cepat beranjak menuju dapur.
Kusiapkan minuman dan kusajikan spaghetti kedalam tiga piring yang telah kumasak sebelum mereka datang. Selesai, aku bergegas kembali.
“Aduh Miki jangan repot-repot.”
“Enggak repot kok mbak. Lagian mbak sama aa pasti belum makan siang jadi mari makan siang ala kadarnya.”
“Hehe…, makasih yah Miki.”
Kami mendiskusikan mengenai foto sambil makan siang. Pembicaraan kami berjalan dengan sangat lancar. Apalagi karena mbak Vira sangat tahu apa yang dia mau.
Lagi asyiknya kami berdiskusi handphone mbak Vira berkicau. Mbak Vira melihat layar handphonenya. “Shit! Klien,” Celetuk mbak Vira. “Bentar yah Miki.”
“Iya mbak,” Mbak Vira beranjak menerima teleponnya.
Mbak Vira terlihat kelimpungan. Tak lama mbak Vira kembali “Aduh Miki maaf yah mbak musti buru-buru pergi,” Ucap mbak Vira sembari mengambil tasnya.
“Tapi ini baru jam satu?” Tanyaku bingung.
“Iya katanya jadwalnya di majukan. Ah tahu deh klien rempong.”
“Ketemuannya dimana mbak?”
“Untungnya sih deket dari sini. Ya udah Miki mbak pergi dulu.”
“Pakai apa mbak kesananya?”
“Naik ojek dari depan komplek aja Miki.”
“Mbak tahu jalannya?”
“Tahu. Dah Miki dan Kebo urus yang bener fotonya,” Aku temani mbak Vira hingga pintu pagar lalu kembali lagi ke dalam.
Sebelum duduk kembali aku pandangi punggungnya yang memunggungiku. Ini mirip sekali dengan malam itu. Dadaku berkebit cepat. Aku masih ingat malam itu. Malam yang membuat malam-malam berikutnya bagaikan siksa bagiku. Tidak…, aku harus fokus. Dia klienku sekarang.
Aku berjalan pelan menuju tempat dudukku. “Mau sekarang transfer fotonya?”
“Iya,” Jawabnya singkat. Tadi mbak Vira sempat meminta ditransferkan semua foto-fotonya kedalam flashdisk milik mbak Vira.
Kutransferkan semua foto-fotonya. Agak butuh sedikit waktu untuk mentransfer semuanya jadi harus menunggu sebentar.
Suasana kikuk menyerebak di antara aku dan dia. Sesekali kumelirik kepadanya. Wajahnya datar, sama sekali tak menunjukkan rasa gugup. Aku menghela napas dalam. Mungkin aku yang terlalu banyak pikir.
“A, Miki cuci piring dulu yah?”
Tak ada jawaban.
Terserahlah. Aku mengambil piring yang sudah bersih dan berjalan ke dapur. Segera kumencuci piring. Tapi ditengah aku mencuci piring kurasakan sepasang tangan melngkar di dadaku.
“Miki…,” Desah dia di telingaku.
“A?” Ada apa ini? Dia mendorongku ke depan hingga lututku berbenturan dengan lemari bawah. “A lepas,” Aku berusaha melepaskan genggamannya, tapi dia semakin mengeratkan genggamannya.
“Aku kangen kamu sayang,” Dia kecup leherku dan ini menimbulkan desiran aneh di sekujur tubuhku. Sepertinya tubuhku masih mengingat sentuhannya.
“A jangan,” Tiba-tiba dia memegang pipiku dan membuatku menoleh padanya. Mata kami saling bertemu. Dia menciumku seketika.
A…, a…, aku tidak bisa berbohong. Aku masih menginginkan dia.
Dia memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Dia menciumku lagi dan aku tak sanggup untuk tidak membalasnya. Desahan kecil keluar dari bibirku saat jemarinya menyelinap masuk ke dalam kausku dan menyentuh bagian-bagian sensitive tubuhku. Dia masih ingat tiap lekuk tubuhku.
“Sayang aku kangen kamu,” Ucapnya pelan di telingaku.
Aku membalasnya dengan mencumbu erat bibirnya. Dia menyingkap kausku dari tubuhku dan aku melakukan hal yang sama.
Di benakku yang paling terdalam aku tahu ini salah, tapi…, aku merindukan dia. Aku merindukan sentuhannya. Aku ingin dia sekarang.
Bibir kami saling bertautan gemas. Dada kami yang telanjang bersentuhan membuat desirku bertambah panas. Dia bermaksud membuka celana jeansku, tapi terhenti karena telepon rumahku berdering dengan kencangnya.
“Acuhkan,” Katanya singkat. Dia lanjut menciumku lagi
“Halo Miki?” Suara Fadli. Telepon rumahku di pasangi mesin penjawab. “Kamu ada di rumah? aku sebentar lagi pulang buat ganti baju terus mau berangkat lagi. Oh iya satu lagi maafin aku soal malam tadi. Aku seharusnya bilang soal rencana aku ini, tapi harus bagaimana lagi? Kalau aku bilang dari awal kamu pasti banyak pertimbangan, makanya aku baru bilang sekarang. Tapi Miki, aku lakukan ini karena aku cinta kamu. Aku ingin selalu bersama kamu. Aku enggak bisa ngebayangin hari-hari aku tanpa kamu. Tapi beib kalau kamu mau pikir-pikir dulu silahkan. Aku akan setia menunggu jawaban kamu. I love you beib. Always,” Fadli memutuskan pembicaraannya.
Aku tercekat. Aku menjauhkan dirinya. “I…, i…, ini salah.”
“Gak ada yang salah. Gak ada yang salah Miki!!!” Teriaknya frustrasi.
“Aku sudah ada yang punya. Kamu juga. Mereka mencintai kita tulus,” Airmataku mulai berjatuhan.
“Kenapa? Kenapa kita harus selalu memikirkan orang lain, sedangkan mereka sendiri tidak pernah memikirkan perasaan kita.”
Ini tidak akan menghasilkan apa-apa. “Sebaiknya kamu sekarang pulang saja. Transferannya mungkin sudah selesai,” Baru saja aku hendak berlalu, dia menahan tanganku.
“Jangan pergi,” Ucapnya pelan.
“Apa maksud kamu?” Aku mengernyitkan dahiku.
“Jangan pergi dengan Fadli ke Hongkong,”Di pelupuknya berkubang airmata. Aku menahan nafasku. “Jangan pergi ketempat jauh. Ketempat dimana aku tidak bisa menggapaimu. Kamu mau minta aku untuk menjauh? Aku akan lakukan. Kamu minta aku untuk tidak pernah lagi menyentuhmu? Akan kulakukan. Kamu minta aku menikah dan membahagiakan Vira? Akan kulakukan. Tapi aku mohon…,” Dia bersimpuh didepanku dan memeluk panggulku. “…, aku mohon jangan pergi jauh. Tetaplah disini agar aku tahu kamu ada di dekatku.”
Tidak adil, dia tidak adil. Kenapa? Kenapa? “Fadli mencintaiku…,” Rintihku pelan.
Insomniaku meradang. Apalagi setelah banyak hal yang kulewati beberapa hari ini. Aku semakin lemah baik tubuhku dan jiwaku.
Malam ini angin bertiup kencang. Gelegar petir berseruan di langit. Hahaha…, sudah seperti di film-film saja. Saat suasana pedih seperti ini semesta ikut menemani. Lucu sekali.
Pikiranku sudah berputar-putar tak terhingga. Menentukan pilihan jalan yang bercabang di depanku. Mana yang harus dipilih? Mana yang terbaik? Kepalaku sakit memikirkan semuanya. Tidakkah mereka tahu otakku ini hanya satu dan bukan komputer yang terprogram untuk menentukan pilihan dengan tepat dan cepat. Aku menghela nafas panjang,
Kupandangi jendela menuju halaman belakang. Petir masih saja berkilatan dengan kuatnya hingga menggetarkan seluruh dinding rumahku.
Dan tiba-tiba satu kilatan besar bergemuruh kuat. Aku melonjak dari sofa saat kumendengar suara gaduh pecahan dari ruang tamu. Aku berlari cepat ke ruang tamu. Kulihat cermin kecil yang biasanya terpajang di dinding ruang tamu jatuh ke atas lantai dan kacanya berceceran kesana kemari.
Benar-benar gemuruh yang luar biasa besarnya. Aku harap ini hanyalah kebetulan belaka, bukan sebuah pertanda buruk yang sering dikatakan orang-orang.
Huft..., okelah kalau begitu #lol ....oke detik-detik menuju akhir kayanya memang sedikit lagi, so stay tune terus dichannel yg sama #lol...
Selamat malam dan selamat berakhir pekan, kita ketemu lagi minggu (mudah2an)
jauh. Ketempat dimana aku tidak
bisa menggapaimu. Kamu mau
minta aku untuk menjauh? Aku akan
lakukan. Kamu minta aku untuk
tidak pernah lagi menyentuhmu?
Akan kulakukan. Kamu minta aku
menikah dan membahagiakan Vira?
Akan kulakukan. Tapi aku mohon…,”
Dia bersimpuh didepanku dan
memeluk panggulku. “…, aku mohon
jangan pergi jauh. Tetaplah disini
agar aku tahu kamu ada di dekatku.”
Tidak adil, dia tidak adil. Kenapa?
Kenapa? “Fadli mencintaiku…,”
speechless bacanya...
kasian miki, dilema tingkat dewa tuh..
kebo ternyta cinta bgt ya ma miki..
.╚╗╔╬═╦═╦═╣╠╦╦╦╦╗.
.═║║║╩╣║║╬║═╣║║║║.
.═╚╝╚═╩╩╬╗╠╩╬╗╠═╝.
.═══════╚═╝═╚═╝══. @xchocomonsterx.........
Dilemanya ungu ya!
Ikuti kata hati nuranimu miki!
Setuju!! ini menyentuh banget. @xchoco_monsterx ceritanya dilanjutin ya.. selama ini gue cuma jadi silent reader, tapi bagian yang ini bikin gue ga tahan buat komentar. Feelnya betul2 dapat, keep on your good work