It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
hehehe... nggak sabar buat munculin tuh salah satu karakter fovorit gua, hehehe...
Pengen sih, cuma masih bingung cari gambar yang tepat.... hehehe
Jangan2 file-filenya nyatu sama drive C ya, yang buat system, kalo bener mah udah wajar kalo pas instal ulang filenya juga ilang, hehehe...
Kalo bisa drivenya dibagi 2. Drive C sama Drive D, yang C buat system, yang D buat data2...
Harusnya hari ini di warung sebelah update kan?
Sayang lagi dapet cobaan tuh forum...
Bete...
Hhahaa...
Disini baru ampe chapt 6 yah?
Sayang sekali...
Kalo gitu harus tetep nunggu...
SEMANGAT!!!
baru join udah bisa baca cerita super bagus nih.
like your stories. :-)
Far Away From Evan
Evan adalah sosok cowok yang sempurna. Wajah yang tampan dan manis, menawan, kulit cokelat terang dan bersih, tubuh yang atletis, dengan selalu berpenampilan cool. Dia selalu membuat orang melihatnya ketika ia muncul. Yang membuat cewek-cewek di kampus rajin banget deketin si Evan. Yang bikin Evan bete karena banyak penelepon gelap dan sms-sms aneh masuk ke hapenya. Yang sering digodain sama ibu-ibu di komplek kosan karena hobinya yang shirtless. Mendengar pengakuannya itu membuat semuanya seolah-olah percuma dan tak ada artinya.
Pengakuan Evan juga membuat semuanya menjadi make sense. Membuat segala kecurigaan gua terjawab sudah. Segala pertanyaan dan rasa penasaran yang menyelimutin gua akan diri Evan mendadak semuanya menjadi jernih, dengan pengakuan Evan ini.
Dan cowok yang gua yakin 1000% bisa mendapatkan cewek manapun yang dia mau kembali melanjutkan pengakuannya yang nggak kalah bikin gua tambah syok.
“Gua sayang sama lo, Raff.”
Gua terdiam mencerna seluruh perkataan Evan. Gua mencoba untuk mengerti semua ini serta mensingkronisasikan semua hal yang gua ketahui dengan pengakuan Evan ini. Namun setelah semua bercampur aduk, segalanya kembali kepada sosok Evan, gua harus memberi tanggapan.
“Oooh... yeaah... tapi gua udah punya Gadis, Van.” Hanya itu tanggapan awal yang bisa gua berikan.
“Yeah, gua tahu... tapi itu nggak menyurutkan rasa sayang gua sama lo.” Nada suara Evan seperti manusia tanpa harapan.
“Jangan lah, Van. Gua takut rasa sayang lo bertepuk sebelah tangan. Gua... gua masih suka sama cewek, Van.”
“Kemaren lo bilang sayang sama gua.” Nada suara Evan tampak meninggi.
“Ya, ya itu gua sayang sama lo sebagai sahabat. Bukan pacar! Gua sayang sama elo karena elo itu sahabat terbaik gua, Van!”
“Oh...” nada suaranya kembali melemah dan hopeless. “Ya udah kalo gitu.”
Entah otomatis atau disertai rasa takut menyadari ada gay yang akan tidur satu ranjang sama gua, gua lantas mengenakan kembali celana jeans gua. “Udah malam, Van, tidur yuk. Siapa tau besok pagi otak lo udah fresh lagi, hehehe...”
Gua naik ketempat tidur dan menarik selimut menutup sampai ke leher. Sementara Evan masih tetap pada posisinya yang sama.
“Besok pagi juga bakalan sama aja, Raff. Nggak ada yang berubah. Mau sesegar apapun otak gua, isinya tetep gak berubah.”
Baru setelah itu Evan merebahkan badannya disebelah gua dan juga menarik selimut. Dia tidur membelakangi gua. Hal yang sama juga gua lakukan...
***
Keadaan mulai berubah besok, dan lebih mencolok lagi ketika Evan sudah pulang dari rumah gua. Kita berdua tampak menjauh, atau lebih tepatnya gua yang menjauh. Seperti pada hari pertama kuliah di bulan maret. Harusnya sehari sebelumnya gua dan Evan sudah berada di kosan bareng-bareng. Namun nyatanya gua memilih untuk berada di rumah dan langsung ke kampus pas paginya.
Gua bertemu dengan Evan di kampus, dan Cuma sapa-sapa doang, tanpa ada bercanda atau obrolan lebih lanjut. Duduk pun kita udah nggak pernah deketan lagi, selalu jauh, jika berdekatan setidaknya harus ada satu orang diantara kita. Gua yakin Evan menyadari perubahan ini. Dia menyadari kalo gua menjauh darinya. Namun sepertinya dia tidak mempermasalahkanya, atau jangan-jangan dia sudah pasrah? Ah sudahlah, serius dengerin dosen dulu.
Mau gak mau gua harus kembali ke kosan. Gua sudah dua hari nginep di kosan temen, dan rasanya memang gua sudah diharuskan balik mengingat stok baju gua Cuma satu stel, serta buku-buku gua masih di kosan. Maka balik lah gua ke kosan, dimana disana terdapat Evan yang sedang serius dengan laptopnya.
“Hai, Van.”
“Hi.” Dia menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.
“Eehmmm, udah makan? Mau gua beliin nasi padang gak?” gua berjalan ke kasur gua sambil mulai melepaskan sepatu gua.
“Nggak perlu, gua udah makan.” Jawaban yang sebenarnya santai, namun entah mengapa terdengar ketus.
“Oh, ama siapa?”
“Ama Panji.”
Memori gua menyeruak keluar ke momen-momen dimana ada cowok yang pernah datang pada malam minggu disini untuk menjemput Evan. Yang sekarang gua bisa yakin 99% kalo itu adalah cowoknya Evan. Entah apa yang sudah mereka lakukan selama pacaran.
Berikutnya gua mengambil handuk dan pakaian ganti. Tidak seperti biasanya dimana gua kalo mau mandi menanggalkan kaos serta celana jeans di kosan, dan hanya berboxer aja menuju kamar mandi. Kalo ini gua ke kamar mandi dengan pakaian lengkap serta membawa pakaian ganti.
Malam itu merupakan salah satu malam paling kaku dan kikuk yang pernah gua alami. Gua dan Evan hanya duduk saling berseberangan tanpa ada percakapan. Hal yang sangat bertolak belakang dengan yang biasa gua alami sebelumnya. Kalo jam 8 begini, biasanya kita keluar, atau ngobrol gak jelas di kosan, atau kalo lagi ada tenaga + kurang kerjaan bakalan adu gulat, kalo gak kompakan main game online di laptop masing-masing, atau nonton bokep bareng. Cuma kali ini sama sekali berbeda, kita saling duduk berseberangan, diam dan menatap laptop masing-masing. Satu jam kemudian gua menyerah, gua nggak sanggup berada dalam situasi ini. Gua menutup laptop gua dan pergi keluar jalan-jalan. Gua gak tahan sama suasana kaya gitu, kuat amat si Evan bisa tahan begituan. Duduk posisi begitu gak berubah-berubah.
Gua memilih ke salah satu mall terdekat dan ke bioskopnya. Nonton pertunjukan jam 9, biar pas pulang gua bisa langsung tidur. Filmnya lumayan seru, film aksi gitu, walaupun ceritanya agak nggak logis tapi lumayan lah buat hiburan. Ketika film selesai, waktu sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam. Agak kelimpungan juga gua waktu gua menyadari jam segitu angkot udah sepi. Tapi untunglah busway masih ada jadi gua masih bisa terselamatkan. Jam 11 kurang gua sampe di kosan dan begitu masuk Evan sudah tidur.
***
Senin pagi gua dan beberapa temen gua lagi ngumpul di kelas sebelum perkuliahan dimulai. Awalnya sih nyantai aja, soalnya sejauh ini gua merasa semuanya baik-baik aja, sampai gua menyadari kalo si Evan belum juga datang.
Emang sih gua udah 4 hari ini nggak ketemu Evan. Semenjak terakhir di kosan itu beberapa hari berikutnya gua menginap di kosan temen. Sabtu sore gua kembali ke kosan dan tidak menemukan Evan disana. Waktu itu gua ke kosan Cuma untuk ngambil beberapa barang sebelum langsung menuju ke rumah. Senin pagi gua lagi-lagi berangkat ke kampus langsung dari rumah.
Biasanya dalam keadaan normal, gua dan Evan akan pulang bersama ke kosan pada jumat sore, hanya untuk mengambil beberapa barang lalu pergi ke rumah masing-masing. Atau kalo ngaret dikit, kita baru akan kembali ke rumah masing-masing pada sabtu paginya. Kemudian hari minggu sore kita sudah kembali lagi ke kosan, dan hari senin pagi jalan bareng ke kampus. Namun dalam kondisi ini gua memilih untuk rela bangun subuh-subuh jam 5 pagi untuk kemudian siap-siap dan langsung ke kampus dari rumah. Mata kuliah jam pertama yaitu jam 07.45 pagi.
Sampai mata kuliah selesai, sampai kelas berikutnya selesai ternyata Evan tidak hadir juga di kampus. Ada apa dengan anak ini? Tumben-tumbenan nggak masuk. Tapi biarlah, siapa tau dia ada urusan jadi nggak masuk.
***
Hari rabu waktunya kelompok gua presentasi, cukup sial juga karena pas dibagiin tugas kelompok, kelompok gua dapet giliran pertama buat presentasi. Karena kelasnya jam 1 siang maka gua ada waktu untuk kembali ke kosan paginya dan mempersiapkan semuanya. Evan satu kelompok sama gua, berbarengan sama Misca dan Margo. Kita emang sudah selalu satu kelompok dari semester 1. Maka dengan begitu jika Evan berniat untuk hadir dalam presentasi nanti, maka dapat dipastikan dia akan berada dikosan pagi ini.
Dan benar saja, dia memang berada di kosan. Lagi ngepel lantai kosan, tumben. Biasanya kerjaan pel mengepel itu urusan gua. Dan ada lagi yang berubah, kosan jadi lebih rapih. Segalanya jadi tertata dan tersusun rapih. Buku-buku, pakaian bersih dan pakaian kotor, meja belajar, tempat tidur segalanya sudah dirapihkan. Gua yang masuk kedalam jadi merasa gak enak.
Begitu gua masuk Evan diam saja. Gua yang tidak mempedulikan hal ini karena masih merasa aneh dengan Evan semenjak pengakuannya itu lantas dengan cueknya langsung mempersiapkan segala perlengkapan untuk presentasi nanti. Setelah siap lantas gua pergi keluar untuk cari makan, dan jam 11 siang gua kembali hanya untuk mandi dan mempersiapkan diri. Setelah selesai gua langsung cabut ke kampus sambil membawa bahan-bahan presentasi gua.
Evan hadir setengah jam kemudian, dia kampus dia tampak biasa saja. Tapi yang jelas, dan yang sepertinya temen-temen gua rasakan, tidak ada sedikitpun komunikasi yang terjadi antara gua sama Evan.
“Elo ama Evan lagi marahan ya?” tanya Misca ketika di kantin kampus, dan ketika Evan lagi pergi ke ruang tata usaha untuk mengurus sesuatu.
“Enggak... biasa aja kok. Di kosan biasa aja.” Gua menjawab berbohong.
“Halah, gak usah bohong lo. Elo balik kekosan aja jarang-jarang sekarang. Tidur mana aja lo belakangan ini?”
“Di kosan temen.”
“Elu nggak sayang lagi sama kita-kita? Atau elu udah dapet temen-temen baru?”
“Yak elah, lebay amat sih lo, Mis. Gua masih sayang lah sama kalian. Cuma gua lagi ada urusan aja ama temen gua yang satu lagi, jadi sering nginep disana.”
“Gak usah bohong deh lo, Raff. Keliatan banget kok elo sama Evan tuh lagi nggak omongan. Beda banget sama biasanya.” Kata Margo yang akhirnya ikut berbicara. “Elo berdua tuh biasanyakan harmonis, sampe-sampe gua mikir kalian ini pasangan gay.”
“Weits, enak aja lo...”
“Halah, elu ama dia tuh udah kaya perangko, kemana-mana bareng mulu. Kaya orang pacaran malah, kemana-mana bareng, tinggal di satu ruangan, untung aja elu berdua tidurnya masih misah, wuakakakak...”
“Ah tai luh... enggak kok, nggak kenapa-napa gua sama Evan. Nggak usah pada lebay dah, ah. Noh orangnya dateng, jangan pada bahas lagi ntar dia curiga kalo dari tadi kita ngomongin dia.”
Evan datang sambil cengengesan, yang lain menyambutnya penuh tanda tanya. Gua, yang nggak mau bikin orang laen curiga jadi ikutan nanyain si Evan. Yang berujung pada tatapan aneh Evan ke gua. Setelah diceritain kalo ternyata dia bisa cairin uang kelebihan sks-nya. Kan lumayan enam ratus ribu. Setelah dari kantin kita bareng-bareng pergi ke bioskop untuk nonton.
***
Rekor gua adalah pernah gua semingguan nginep di rumah temen gua dan gak balik-balik ke kosan. Well, sebelumnya sih gua udah bawa baju banyak, dan sempet bilang ke Evan, walaupun dia gak gubris sama sekali, kalau gua bakalan nginep dirumah temen gua semingguan. Selain itu karena dalam seminggu itu hari kuliah gua Cuma ada 2 hari, sementara dua harinya lainnya tidak ada karena hari libur, dan gua Cuma masuk satu hari karena hari lainnya gua sengaja bolos. Praktis semingguan itu gua sama Evan hampir gak pernah ketemu. Ketemu pun pas kelas satu mata kuliah doang.
Awalnya sih gua berasa sangat lega dan bebas karena gua nggak perlu lagi kagok jika mau tidur, gak perlu lagi bingung kalo mau ngapa-ngapain secara gua nginep dikosan temen gua yang jelas-jelas gua tahu kalo dia straight sejati. Jadi gak ada kekhawatiran soal dilirik-lirik pas buka baju, atau diraba-raba pas tidur atau mungkin pantat ditusuk kon.tol.
Namun anehnya, seiring dengan waktu ada suatu yang kosong. Dan semakin lama semakin tidak enak. Awalnya gua tidak menggubrisnya karena mungkin perasaan gua aja yang lagi aneh, namun lama kelamaan semakin tidak enak. Walaupun nggak bikin sampai sakit atau apa, tapi ada rasa yang bener-bener berbeda, dan gua tahu bahwa itu tidak lain tidak bukan adalah tentang Evan. Entah bagaimana, entah ini keanehan atau bukan, tapi gua bener-bener merasa kangen... sama Evan.
Sialan, manusia itu bener-bener bikin gua galau dan kangen setengah mati sekarang. Rasa kangen itu sih sebenarnya sudah muncul semenjak seminggu setelah aksi menjauh gua dari Evan dan perubahan sikap Evan terhadap gua. Rasa kangen yang lebih tepatnya ke rasa kangen terhadap keadaan yang dulu, yang perlahan merambat menjadi kerinduan gua akan keberadaan Evan. Sialan, gua bener-bener dibuat gak karuan semenjak seminggu berpisah sama Evan. Ini nggak bisa dibiarin, karena rasanya bener-bener nggak enak. Gua harus ketemu sama Evan. Biarin dah gua sama dia diem-diam, kaku-kakuan, saling berasa kaya orang asing disatu tempat, asalkan gua bisa ngeliat dia aja sepertinya itu bisa menghilangkan kangen gua. Ini nggak normal. Nggak wajar!
***
Minggu sore gua kembali ke kos-kosan. Evan belum ada, mungkin dia masih diapartemen abangnya kali. Ya udah, gua tungguin aja. Percaya atau tidak saat ini gua bener-bener merasa nggak sabar pengen ketemu Evan, walaupun gua tau gua bakalan Cuma diem-dieman, tapi gua gak sabar untuk mengalami itu semua, terlebih lagi gua gak sabar buat ngeliat sosok Evan yang akan dengan muka cemberut masuk kedalam kosan sambil membawa tasnya, seperti yang biasa ia lakukan belakangan ini kalo dia datang pas kebetulan gua ada di kosan.
Heran, sampai malam pun tiba si Evan belum dateng juga. Apa dia datengnya besok kali ya? Jadi kaya gua gitu, langsung ke kampus dari rumah. Cuma biasanya sih Evan nggak begitu, Evan nggak pernah nggak ke kosan dulu minggunya sebelum ke kampus besok pagi. Namun nggak tau deh sekarang, karena udah sebulan ini gua ama dia saling diem-dieman dan menjauh. Jadi siapa tau aja ada perubahan dalam diri Evan. salah satunnya ke ke kampus langsung dari apartermen abangnya.
Jam menunjukan pukul 11 malam dan gua mulai mengantuk. Karena nungguin Evan kelamaan pulang, padahal gua udah nungguin dia biar bisa liat dia walaupun bentar aja, ya udah deh gua tidur aja. Kayanya udah 100% pasti Evan nggak dateng, selain itu diluar udah mulai hujan deras. Maka dari pada kaya orang bego nungguin orang yang nggak jelas kapan datangnya, gua tidur aja.
***
Pagi-pagi ketika gua bangun, secara ajaib (kalo gak mau dibilang gaib), Evan sudah berada dikasurnya. Tidur dengan selimut menutupi sampai kelehernya. Dari sedikit selimut yang tersingkap, keliatan kalo Evan masih berpakaian lengkap. Kapan dia nyampenya? Ah biarlah, mungkin anak ini emang ajaib, bisa muncul kapan aja. Tapi dalam hati gua seneng bukan main ngeliat manusia itu muncul dan tidur diranjangnya. Walaupun ada sedikit keanehan dan misteri. Aneh, biasanya kan pagi-pagi si Evan udah melek. Misteri, kapan si Evan nyampe ke kosan?
Pikiran-pikiran itu menguap begitu saja saat gua mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus, sampai pada saat gua memakai sepatu si Evan masih saja tidur. Gua kekampus satu jam lebih cepat karena gua ada urusan sama si Margo yang berhubungan dengan kegiatan fotokopi. Namun begitu kelas masuk ternyata Evan masih belum juga muncul, sejak kapan nih anak jadi males kuliah begini? Aneh.
***
“Eh si Evan mana?” tanya Margo ketika gua di kantin kampus menunggu mulai kelas berikutnya.
“Kayanya nggak masuk tuh dia. Tadi pagi dia masih tidur aja pas gua mau berangkat kampus.” Gua menjawab.
“Eh dia aneh deh, masak jam setengah 5 pagi gua liat baru mau masuk ke kamar kos elo Raff.” Kata Misca, “Tapi dia masih pakaian lengkap. Pake bawa-bawa tas segala pula. Abis dari mana dia?”
“Hah?” gua terheran-heran. “Dia baru nyampe kosan jam setengah 5 pagi. Berangkat dari tempat abangnya jam berapa?”
“Biasanya kan dia minggu sore udah ada di kosan kan.” Tanya Misca.
“Iya.” Jawab gua.
“Wah, gua mencium ada yang nggak beres nih.” Kata Margo.
“Maksud lo?” Gua bertanya nggak ngerti.
“Wajar nggak ada orang yang dateng ke kosan subuh-subuh? Dengan pakaian lengkap dan bawa-bawa tas segala?” tanya Margo.
“Iya yah... aneh emang.” Kata gua.
“Makanya gua bilang pasti ada yang nggak beres nih.”
“Ya udah, yuk balik ke kosan. Lagian gua juga lagi males masuk kelas berikutnya, palingan dosennya nggak masuk lagi.” Kata Misca.
“Ya udah yuk.” Gua menuruti.
Maka kita bertigapun lantas meninggalkan kampus dan menuju ke kosan. Begitu sampai di kamar gua rupanya Evan masih saja tertidur. Misca langsung mendekati Evan dan duduk di tepi kasurnya. Telapak tangannya langsung mendarat di kening Evan, dan berikutnya...
“Yak ampun! Panas banget jidatnya!” seru Misca. Kemudian punggung tangannya diletakan dilehernya. “Gila, si Evan sakit nih. Panas banget badannya!”
“Hah, sakit panas!!” gua berkata tidak percaya.
Oh shit! Dia sakit dan gua gak tau! Parah banget dah gua! Kita bertiga langsung panik.
Bersambung ke Chapter 8
Ending utk tiap chapter dibikin ngmbng biar penasaran.Tp pace chap.7 ini aga lambat ya?ah,biarlah.
Trus,apa ini udh pakem ya,klo st8 tw tmenx gay,langsung ngjauhin.
Ntar mah dibqn yg lain dr yg lain..
Jempol ke atas deh.
ditunggu lanjutannya....nice story, lebih ke drama dari Living With My Cousin
kalo di gif jadwal resminya kan jumat (8/7) kemarin. harusnya lo posting sekarang dong.
*fans ga tau diri, udah gratisan, maksa lagi...
tapi kasian ama Evan nya. pasti lagi sedih dan kecewa :-(
btw, two thumbs up.
Gw tau perasaanya evan gimana ?, karena gw pernah ngalamin yang begitu...
Sakit bangetlah pokoknya...
Butuh waktu 1 tahun untuk menetralisir rasa kaya gini dan sekarang pun masih ada sisanya, walau nggak sebesar dulu...
Hiks...
btw keren nih, serasa ngintip diarynya Raffa, tapi sempet ngerasa aneh juga pas baca antara "Evan" dan "Si Evan", kalo dalam dialog sih , ga apa-apa, tapi kalo lagi dalam sudut pandang Raffa, mending pilih salah satu aja, "Evan" atau "Si Evan", biar Raffa-nya lebih berkarakter..