BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerita Cinta Pendek : Aku Kamu dan Senja

edited September 2016 in BoyzStories
Aku melihatnya kali pertama seperti senja yang kemerahan emas nan hangat. Seperti lengkungan langit kebiruan memancarkan sinar mentari. Atau juga seperti batu pualam berwarna-warni namun dapat membentuk konstruksi abstrak mengagumkan. Itu ketika dia masih bersamaku, masih menemani hari-hariku, masih sekedar mengabari kabar setiap harinya walau terkadang butuh penantian berjam-jam untuk mendapatkan sebaris pesan darinya.

Aku melihat di depan kaca itu terefleksikan diriku yang sedang mengenakan pakaian serba hitam. Kukencangkankan dasi berwarna hitam legam dengan garis emas miring tiga baris membentuk ornamen sederhana. Itu kesukaannya. Semua hal yang tidak berlebihan adalah semboyan hidupnya. Aku ambil jas hitam yang pertama kali aku kenakan ketika bertemu dengannya di sebuah sabtu pagi yang sendu. Kukenakan dengan mantap dan kukancingkan hingga membentuk lekukan tubuh yang sudah agak membesar ini. Tetapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu.

“Yang penting kamu senang,” Ucapnya sambil meminum kopi hitam sembari membaca koran, tampak tidak peduli akan keresahanku mengenai bobot tubuh yang semakin bertambah. “Makanya jangan makan yang manis-manis,” Tambahnya. Aku menggerutu sambil memakan pizza satu loyang.
Aku tersenyum kecil mengingat kisah itu. Kisah bahagia ketika kami memutuskan untuk tinggal bersama. Tetapi lebih dari itu ada satu hal yang tidak pernah kulupakan, yaitu kali pertama bertemu denganmu. Di suatu sore pada hari senin yang mendung.

KAMU

Rambutmu waktu itu acak-acakan, panjangnya nyaris sebahu dan kamu kuncir ke belakang ala-ala samurai Jepang akibat terobsesi dengan film-film buatan Akira Kurosawa. Tidak henti-hentinya kamu berbicara mengenainya yang bahkan tidak pernah kamu jumpa sekalipun namun karyanya begitu kamu agung-agungkan.
Aku duduk setidaknya berjarak tiga bangku darimu, bersandar pada tembok sambil tengah membaca koran pagi dan menikmati puisi kerakyatan, ketika masa dimana semua serba dilarang. Aku tidak pernah mengetahui bahwa diam-diam kamu selalu memperhatikanku - si pembaca koran yang selalu duduk termenung menikmati kesendiriannya. Kamu bilang itu setelah satu tahun kita berkenalan, ketika kamu menyatakan cinta di sebuah warung makan tegal dengan mulut penuh nasi. “Manusia koran, aku suka kamu”, Ucapmu berujar tanpa malu-malu kepadaku yang tengah menyendokkan nasi ke mulut. Seketika sendok itu langsung terjatuh dan satu-satunya kata yang bisa aku bilang ke kamu saat itu, “Oh, oke”.

Lantas kamu tertawa terbahak-bahak bahkan sampai tersedak mendengar jawabanku. Itu bukan hari yang paling membahagiakan untukku dan kamu tahu itu. Itu adalah hari biasa saja karena yang tidak biasa adalah hari setelahnya. Hari-hari dimana kamu yang dingin perlahan menunjukkan sisi manisnya. Mengajakku menonton layar tancap di pinggir kali dekat rumahmu, menikmati angin malam ditemani dengan motor butut milik bapakmu yang kamu pakai diam-diam, atau sekedar menongkrong di angkringan dekat kampus. Setidaknya setengah dalam sebulan kamu selalu meluangkan waktu untuk bersamaku ditengah padatnya segala kegiatan kampusmu.

Aku pernah sekali bertanya apa yang kamu suka dariku. “Tidak ada,” Jawabnya dengan tegas dan mantap. Aku langsung terkaku, tidak responsif dan segera kembali bertanya mengenai pernyataan cintanya kepadaku.

“Aku suka kamu bukan berarti ada yang ku suka darimu,” Katanya dengan tersenyum sambil mengacak rambutku yang selalu acak-acakkan.
“Tapi aku suka kalau kamu tengah menikmati kesendirian dengan koran dan buku-buku, seperti kamu mempunyai duniamu sendiri dan terkadang aku cemburu karena aku tahu - tidak pernah kubisa merengut itu darimu,” Lantas dengan kekuatan dan keberanian entah darimana, itu kali pertama kudaratkan bibirku ke bibirnya dalam satu hentakan jantung yang memburu seperti sebuah ledakan yang tidak dapat terprediksikan. Kamu tanpa siaga termenung kaku dan itu kali pertama muka mu memerah, begitu merahnya seperti buah apel yang ranum. Itu juga kali pertama aku melihatmu kikuk dan gemetar sedangkan aku dengan diam dan bingungnya hanya bertanya,

“Kenapa?”.

Aku ingat tatapan ketidakpercayaan itu, matanya melihatku dengan begitu bingung, dan kemudian kamu menjetikkan jari di muka ku seakan tukang sulap yang tengah memperdaya penontonnya. Kedua tangannya membentang lebar, seperti cakrawala atau lebih tepatnya berusaha memberikan petunjuk kepadaku. Aku tetap pada posisi awal tanpa berpindah posisi sekalipun malah semakin kebingungan.

Tiba-tiba suara degungan kecil terdengar. Hiruk pikuk keramaian. Aku lupa - lebih tepatnya tidak menyadari kami tengah berada di pusat keramaian kota, di sebuah pasar di Jakarta Pusat. Dan orang-orang tengah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Aku menatapnya lagi dan bodohnya, untuk sekali lagi mencium bibirnya di tengah desakan kerumunan orang yang tidak peduli dengan kehadiran kita.

Tentu malamnya kita bergerumul mesra, seperti orang yang dimabuk cinta dengan jantung bergemuruh bagai petir di angkasa raya. Dimana kali pertama aku begitu dimabukkan dengan aroma tubuhmu dan tubuh telanjangmu, menyelusuri seluruh lekukan tubuhmu, tersapu dengan lidahku. Napas tersengal-sengal memenuhi kamar sepetak yang telah aku tinggali semenjak mahasiswa baru. Dimana kemudian dengan polosnya kamu bertanya ditengah-tengah nafsu membabi buta, “Aku bingung gimana yah masukinnya?,” Aku tertawa terpingkal-pingkal dan kamu dengan kesalnya memukulku dengan tumpukan koran yang berserakan di pinggir kasur.

Malam itu kusadari tengah menuntun seekor serigala buas yang begitu lapar. Rasa dahaga yang tertahankan berbulan-bulan pecah pada satu malam di bulan purnama. Berkali-kali kamu bilang menyukaiku, mencintaiku dan tidak akan pernah meninggalkanku. Ketika kamu di atas tubuhku, menyatukan tubuh kita berdua, ketika setelah puluhan hentakan luntur juga pertahananmu dibarengi dengan lolongan panjang. Kamu jatuhkan tubuhmu dan membisikkan sesuatu di telingaku, “Terimakasih,” Ucapmu yang kemudian mencium keningku.

Dengan cepat kuputarkan posisi kita, dan kamu tampak terkaget-kaget melihat kekuatanku dan cengkraman kedua tanganku di tanganmu. “Aku kan juga mau kamu”, Ucapku cengengesan dan kamu langsung mengeluh sambil berpura-pura mendengkur.
Malam itu menjadi malam terpanjang diikuti dua hari berikutnya sampai kita tertidur seharian penuh karena rasa kelelahan. “Dua pria yang sedang mabuk cinta di musim kawin,” Katamu beberapa bulan kemudian dengan muka masa bodoh mengingat detail-detail nafsu liar dan eksperimen kamu kepadaku serta pertanyaan konyol itu.

“Kamu pernah? Sama siapa?,” Itu rasa cemburu pertama yang kamu miliki. Dengan penasarannya selama sebulan lebih kamu menanyakan itu entah disaat kita makan bersama atau diakhir penghujung menonton film di bioskop. Kamu selalu bertanya itu sampai membuatku jengah.

“Memang kenapa sih?” Ucapku dengan dingin dan kesal waktu itu.

“Kan mau tahu aja! memang tidak boleh aku tahu? Aku kenal yah sama orangnya?” Ucapmu dipenuhi rasa curiga sambil sibuk berupaya menyalakan motor butut milik bapakmu.

“Carikan aku kumpulan buku Pram!, nanti kukasih tau,”

“Lah? kan susah! dilarang edar!” Dengan menggerutu dan kamu tetap berusaha menyalakan motor usang itu.

“Yah sudah kalau begitu,” Hari itu ditutup dengan kamu bungkam tidak mau berbicara sepatah katapun kepadaku dan bahkan tidak mau bertemu denganku setidaknya selama seminggu penuh menghindariku. Berbuat seolah-olah aku menyerah dan tunduk padamu. Sayangnya, koran pagi hari dan tumpukan buku-buku yang belum terjamah membuatku melupakan tingkah kanak-kanakmu dan semakin menikmati duniaku sendiri.

Sebulan penuh akhirnya diisi dengan rasa diam dan tanpa pertemuan walau sejujurnya aku merindukan pelukan hangatmu tiap malam. Tapi pada suatu kamis setelah masa demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR, kamu datang dengan banjir keringat akibat eloknya matahari. Dengan senyum sumeringah di depan pintu kost-an ku. Mempertunjukkan sebuah kantong plastik hitam yang ternyata berisikan buku Pram berjumlah tiga buah.

“Dapat darimana?” Ucapku dengan mata berbinar-binar.

“Jadi sama siapa?” Tanyanya tiba-tiba.

“Apa?” Kebingungan dan aku persihlahkan dia masuk untuk mengistirahatkan dirinya.
“Itu yang kemarin-kemarin itu, kamu sama siapa pertama kali!” Dengan muka kesal dia melihatku dan duduk di lantai bersila sambil bersiap-siap mendengar jawabanku.

“Tuh,” Aku menunjuk satu rak kecil di bawah televisi kecil dekat jendela kamarku. Dengan wajah curiga kemudian kamu membuka rak itu.

“Bangsat,” Umpatmu kesal sambil membanting lalu menutup laci yang berisikan tumpukan video porno. Sementara aku sumeringah mendapatkan tumpukan bacaan baru yang susah dicari itu.

AKU

Baru kurasakan betapa menderitanya kehilanganmu ketika keputusanmu pergi ke Kalimantan untuk melakukan ikatan dinas. Dengan berat hari aku lambaikan tangan ini melihat kepergianmu.

“Hati-hati,” Ucapku sambil berupaya menyembunyikan kegelisahan tidak akan berjumpa denganmu dua tahun lamanya. Hari itu itu sama sejujurnya, hari dimana kita pertama kali bertemu. Di suatu sore pada hari senin yang mendung.

Tetapi kamu selalu lupa akan pertemuan itu dan tidak pernah sekalipun kamu ungkit. Yang kamu tahu, kamulah yang pertama jatuh cinta kepadaku padahal berpuluh tahun sebelumnya aku telah jatuh cinta padamu.

Kamu memelukku dengan begitu eratnya. Lalu mencium pipiku dengan kilat sambil berlari mengejar kereta yang hendak sementara aku terpaku melihat dirimu melompat memasuki salah satu gerbong dan kereta itu akhirnya menghilang dari kejahuan.

Disitu kali pertama tanpa kamu mengetahui - aku menangis karena kepergianmu.

Setelahnya secara berkala kamu selalu mengirimu aku surat berisi cerita bodoh denganmu dan para binatang yang tengah kamu rawat. Kadang-kadang aku berpikir gemas, tentang kamu - seorang dokter hewan yang berwujud anak seminan.

Sementara kamu memberikan julukan kepadaku - si dokter hewan yang murtad. Berakhir sebagai seorang jurnalis, boro-boro berbicara mengenai dunia kesehatan dan hewan ini malah seputar masalah politik. Dan kamu gemar sekali mengungkit-ngungkit waktu aku yang terbuang percuma dengan sekolah dahulu kala.

Lantas aku cuman bisa berkata sejujurnya hingga kamu menciumku dengan malu, “Kalau aku gak disitu, aku gak akan ketemu kamu.”

Setahun tanpa kehadiranmu kujalani dengan singkat. Segala hiruk pikuk di Ibukota tiada berarti tanpamu di sampingku. Kamu yang sejak itu mulai gemar membaca koran, menjadi tempatku untuk bercerita mendadak hilang dan senyap.

Ketakutan itu selalu muncul - kamu dan orang lain lalu aku ditinggalkan. Tidak pernah sekalipun aku berbicara perihal itu hingga mungkin kamu pelan-pelan tahu setelah tiga tahun kita bersama, aku mulai malas mengirimimu surat, membalas seadaanya. Kemudian tanpa terkira, pada suatu petang yang ganjil, kamu datang di depan rumahku setelah enam bulan kepergianmu yang katanya kamu akan sulit berkunjung.

“kangen yah?”, Katamu dengan cengengesan.

Saat itu mataku memerah, memelukmu dengan erat dan menangis terisak. Bau aroma tubuh yang kurindukan itu begitu nyata. Rambutnya yang selalu dipotong sebahu dan dikuncir ala samurai jepang. Badannya sedikit kurus dan jenggot serta kumis mulai dibiarkan tumbuh olehnya.

“Loh bisa nangis yah?”, Katamu yang membuatku semakin enggan untuk melepaskan pelukanku darimu. Untuk sekali laginya, aku merasakan kehangatan darimu.
Kamu berujar kalau sedang senggang. Tapi aku tahu kamu berbohong.

Kamu hanya datang dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Pengorbanan itu tidak pernah kulupakan karenanya…

Diam-diam aku datang menjumpaimu ke Kalimantan setelah dua bulan kedatanganmu yang ganjil itu…

Lantas kamu dengan cueknya malah hanya berujar, “Dipikir tidak akan datang-datang.”

Kamu menghampiriku yang dengan muka kelelahan dengan satu tas penuh baju. “Mau ngungsi?” Katamu sambil ketawa sambil memperkenalkan seekor orang utan bernama ‘Raditya’.

“Kamu menamai orang utan itu dengan namaku?” Kataku dengan tidak percaya.

“Iya!” Katamu dengan belagu dan sok.

SENJA

Waktu bergulir tanpa pernah kita sadari, berbagai hambatan telah kita lalui. Berbagai banyak cerita telah kita alami. Waktu seakan tidak ada, ketika kita bersama ketika keputusan-keputusanmu pergi dari rumah karena bermacam penolakan mengenai hubungan kita. Sementara aku yang merasa tidak adil karena telah kehilangan kedua orang tua menjadi merasa tidak enak padamu.

Ada masa dimana aku sempat melarikan diri, tidak menghubungimu dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya setelah lebih dari sepuluh tahun kebersamaan kita. Lalu kamu muncul di kantorku dengan muka benci dan sangar, muka yang hanya beberapa kali aku lihat. Mata itu memancarkan kecewa dan rasa amarah.
Semua orang memperhatikan kami yang cekcok, ruangan yang berdinding kaca itu menjadi tontonan gratis para karyawan yang penasaran dan membuat praduga sendiri.

Ketika dia melemparkan satu kotak kecil berwarna merah ke mukaku, dia memukul wajahku dengan cepat dan menendangku hingga jatuh tersungkur itu saat satpam telah masuk paksa ke ruangan kantor ku dan hendak mengusir kamu. Aku melihat dan mengambil kotak mungil itu lalu untuk kedua kalinya menangis ketika membukanya.

Sepasang cincin kecil yang tidak pernah aku mimpikan sama sekali akan diberikan olehmu.

“Aku mencintaimu…”, Kuucapkan itu sambil melihatnya begitu dalam. Setelah sepuluh tahun lebih baru pertama kali aku ucapkan itu kepadanya. Dunia seaakan berhenti dan aku melihatnya berjalan pelan menujuku yang telah sedikitnya dipenuhi memar di wajah dan mungkin perutku. Dia tersungkur dan matanya telah basah. Dengan gemetar hebat dia menyapu darah di bibirku, lalu memelukku dengan begitu eratnya hingga aku kesulitan bernapas.

“Maafkan aku….”, Dia berulang kali mengatakan itu secara terus menerus dengan bergetar hebat ketakutan.

Aku tahu dia telah menyadarinya. Hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya : Memukuliku hingga babak belur.

Yang kulakukan hanya bisa satu : Memeluknya dan berujar, “Akulah yang seharusnya meminta maaf, Ghilman…”

Itu sore menuju senja ketika matahari hendak padam. Aku melihat dari balik jendela, matahari turun perlahan, menandakan malam akan datang menandakan hari akan berubah mendakan kami akan berubah tidak hanya sekedar menjadi kekasih namun pasangan yang telah terikat oleh jiwa.

Sebulan setelahnya kamu meminta atau lebih tepatnya memaksaku untuk tinggal dalam satu rumah yang telah kamu beli diam-diam tanpa sepengetahuanku dan aku hanya memberikan satu syarat bahwa harus ada uangku di dalam rumah itu maka dengan berat hati kamu menyetujui untuk menerima uang pemberian dariku.

Sepuluh tahun berikutnya, hubungan kita berjalan begitu menyenangkan, mengakhiri masa-masa pertengkaran, memelihara beberapa ekor anjing dan kucing, masih tetap menikmati kegiatan menonton di suatu sore yang hangat atau sekedar berbicara mengenai berita baru di koran-koran pagi hari. Kamu, Aku, Koran, dan Kopi setiap paginya tidak pernah membosankan.

Hingga suatu senja yang ganjil aku mendapatimu tengah tertidur. Hal yang jarang kamu lakukan kecuali sedang kelelahan hebat tetapi tiada jadwal kudapati kamu sedang sibuk. Maka tanpa praduga aku datang membangunkanmu untuk menonton film terbaru, tetapi kamu tetap tertidur dengan pulas. Aku menyentuh bahumu, menggoyangkannya tetapi kamu tidak terbangun. Aku mulai cemas. Maka aku pikir kamu bercanda dan bibirmu kulumat untuk menghentikan permainan lucu ini. Tetapi kamu tetap terdiam, tertidur dalam rasa tenang. Aku mengelus rambutmu yang untuk kali pertama mau kamu potong karena telah beruban dan tampak menyeramkan seorang kakek tua gondrong.

“Kayak preman di tanah abang”, katamu sepulang memangkas rambut yang penuh dengan rasa tidak percaya aku melihat seorang Ghilman Bhayangkara Putra memotong rambutnya hingga pendek.

Padahal telah ratusan kali aku memintanya untuk memangkas rambutnya tetapi selalu urung dilakukan olehnya tetapi dalam waktu yang tidak terduga kamu melakukan itu dan aku tahu kamu melakukannya untukku karena hari itu - hari dimana kamu memangkas rambutmu adalah hari jadi kita ke 34 tahun.

Dan kini lihatlah seminggu setelahnya kamu hanya tertidur panjang. Aku menyebut namamu berkali-kali. Aku membaringkan tubuhku di sampingmu, mengelus rambutmu dengan pelan, mencium keningmu dan menceritakan kejadian-kejadian lucu yang pernah kita alami lalu berharap pelan kamu akan bangun dengan muka menang telah membodohi dan mengelabui diriku.

Tetapi kamu juga tidak bangun…kamu tertidur tenang seakan kamu memutuskan kematianmu sendiri karena telah merasa cukup akan kehadiranmu di dunia ini.
Aku meletakkan kepalaku di lenganmu, kemudian ikut tertidur dan berharap semua hanyalah mimpi belaka.

SENJA PERTAMA

Biarkanlah aku menceritakan kepadamu waktu pertama kali kita bertemu tanpa kamu sadari. Itu di salah satu rumah sakit daerah Tanjung Priuk. Saat itu aku berumur lima tahun dan tengah menangis melolong di lorong putih dengan kebingungan. Bajuku telah bersimbah darah, kejadiannya begitu cepat, bahkan aku sampai terlupa bahwa baru saja mengalami tabrakan hebat. Tidak ada yang datang, sanak saudara atau siapapun, aku sendirian di lorong itu tanpa tahu bagaimana nasib orang tuaku. Tetapi aku tahu tetapi berusaha menolak kenyataan kalau mereka telah mati melindungiku dari truk besar yang siap menghajar tubuh kecil ini.

Lucunya, seorang anak laki-laki yang tidak jauh dari umurku datang dan lalu meletakkan tangannya diatas kepalaku, mengelusnya dan mengatakan, “Jangan sedih…”, lalu aku melihatnya - Kamu.

Waktu itu rambutmu tercukur rapih, memakai pakaian sekolah dasar, dengan nama tertera di kemejamu, nama yang tidak pernah aku lupakan

GHILMAN B. PUTRA

“Namamu siapa?”, Kamu bertanya dengan suara kanak-kanak.

Aku ragu waktu itu menjawab tetapi kamu menyeka air mataku dan kemudian mencium pelupuk mataku dan berkata, “Jangan menangis lagi…”

Aku seperti dihipnotis, langsung menarik napas kencang dan menghentikan tangisku dengan bibir yang tampak dibuat tegar. Kamu mengulurkan tanganmu dan menyebutkan nama lengkapmu..nama yang tidak pernah akan aku lupakan.

“Raditya Bumiprakoso,” Kataku kepadanya.

“Hai Radit…”

“Hai Ghilman…”

Itu kali pertama kita bertemu ketika senja baru saja tiba pada hari senin yang mendung. Kedua orangtuamu menghampiri kita dan kemudian menyeretmu dan memberikan sinyal untuk tidak berbicara kepadaku. Kamu ditarik paksa padahal wajahmu masih menunjukkan ingin berbicara kepadaku. Aku melihatmu dari balik kejahuan, dan disitu aku merasakan jantungku berdetub.

Beberapa tahun setelahnya mengakhiri masa sekolah menengah atas berbekal nekat aku berhasil menemukan informasi mengenaimu, dan memutuskan mengejarmu dengan menempuh pendidikan yang sama walau aku ingin berada di jurusan Sastra Indonesia. Tetapi, untukmu aku lakukan itu, untuk hanya sekedar berkenalan, untuk berdekatan denganmu, maka dari itu aku merancang semua bukan untuk memilikimu tetapi hanya sekedar menjagamu seperti yang kamu lakukan waktu itu.

SENJA TERAKHIR

Sepasang tangan memelukku dari belakang lalu merapikan dasi yang tengah kukenakan. “Udah matipun masih saja tidak bisa memakai dasi,” katanya.

“Apa sih!, udah mati masih aja nyebelin,” Ucapku kepadanya.

“Untung kita matinya bisa bareng yah,” Katanya sambil tertawa.

“Yah kamu mati aku ikutan mati aja habis malas kalau sendiri,” Ucapku yang kini berhadapan dengannya.

“Hai Radit….”

“Hai Ghilman…”
«1

Comments

  • wow ... keren ceritanya ...
  • jadi, radit sama ghilman udh jadi hantu?? :v ceritanya keren mas, aku suka.. apakah akan ada chapternya?
  • Storytelling yang sungguh menyenangkan dan nyaman dibaca walaupun ceritanya sangat utopis tapi tidak terkesan terlalu khayal. Naisu~
  • @lulu_75 @boyszki @Llybophi huaaa makasih yah udah mau baca :") boleh nih ngundang temen2nya dong buat mampir baca cerita2 gua (member baru) ahhahaa | @albyLf kepikiran sih, tapi tergantung pembaca nanti aja ada banyak demand atau ndak :p
  • Pala gue hang boy, belom tidur-_- ga bisa baca baca dulu. @boyszki
  • Hihihi Ok beb, nanti baca ya cuss
  • woh agak mbulet si tpi oke
    kirain @boyszki punya td
  • Hahaha bukan kok tantek
  • Sudah diwakilkan boiceki tuh buat undang-undangannya :T
  • @seabird agak 'mbulet' itu maksudnya opo ya? ahahaha | @Llybophi ahhahhahahaha
  • emh muter" gtu
    dan kalo aku gak salah baca radit sm gilman baru pertama kaliny kenal karena ghilman yg sering memperhatikan radit yg sibuk baca koran, iyakan?
    kok tiba" udah kenal dr kecil lalu terpisah, atau aku yg salah baca?
    ditengah cerita timbul rasa jemu saat bacany, kurang konflik mgkin ya. itu aja ;)
  • aku terharu..sangat bagus ceritanya..aku suka..
    cuma 'kamu' dan 'nya' aja sih yang kurang konsisten menurutku..salah satunya bagian ini.. ( Aku ingat tatapan ketidakpercayaan itu, mata'nya'
    melihatku dengan begitu bingung, dan kemudian 'kamu'
    menjetikkan jari di muka ku seakan tukang sulap yang
    tengah memperdaya penontonnya. Kedua tangan'nya'
    membentang lebar, seperti cakrawala atau lebih
    tepatnya berusaha memberikan petunjuk kepadaku.
    Aku tetap pada posisi awal tanpa berpindah posisi
    sekalipun malah semakin kebingungan.)..
  • seabird wrote: »
    emh muter" gtu
    dan kalo aku gak salah baca radit sm gilman baru pertama kaliny kenal karena ghilman yg sering memperhatikan radit yg sibuk baca koran, iyakan?
    kok tiba" udah kenal dr kecil lalu terpisah, atau aku yg salah baca?
    ditengah cerita timbul rasa jemu saat bacany, kurang konflik mgkin ya. itu aja ;)

    @seabird
    yang aku tangkap dari ceritanya, kayak gini...si radit mengatakan,,, kalau gilman merasa bahwa dia yang pertama menyukai radit....padahal sebenarnya radit yang duluan menyukai gilman,,,
    nah disaat mereka bertemu di rumah sakit itulah, pertama kali radit menyukai gilman...tapi gilman gak tau,, mungkin dia sudah lupa kejadian waktu itu. jadi dia ngerasanya di kereta itulah pertama kali mereka bertemu dan dialah yang pertama menyukai radit..

    betul gak thor penjelasanku? @Imbisilmaniax
Sign In or Register to comment.