It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
it's a nice story, so keep it up
@yeniariani @Muabhi @banana24 @Gaebara @TigerGirlz @Hiruma
- Cinta bisa saja terasa menyakitkan, jika tidak kamu ungkapkan... -
"Apakah kau sedang membalasku?" Chris bertanya dengan nada yang tajam.
"Membalas apa maksudmu?" Aku tidak mengerti mengapa dia menuduhku sedang membalasnya.
"Karena aku pernah meninggalkanmu."
"Tidak!" Entah kenapa aku tiba-tiba setengah berteriak. "Aku hanya takut kamu akan meninggalkanku lagi." Aku merasa begitu emosional. Rasanya seperti sedang menangis.
"Tapi bukan berarti kamu harus menggantungkanku kan?" Chris bertanya sinis.
"Aku tidak bermaksud begitu!" Lagi-lagi aku seperti sedang berteriak, tetapi suaraku terdengar lemah di telingaku.
"Ya sudahlah. Aku pergi saja." Chris berlalu tanpa menoleh lagi.
"Chris!" Aku berteriak sekencangnya, dan segera terbangun dengan keringat membasahi tubuhku.
"Tuhan, apakah aku bermimpi?" Aku sedikit terengah-engah. "Tapi kenapa seperti begitu nyata." Aku menoleh ke arah jam di atas mejaku. Masih kurang satu jam sebelum seharusnya aku terbangun.
Ini pertama kalinya aku mimpi bertemu Chris. Dan sayangnya, bukan mimpi yang indah. "Apa yang aku pikirkan. Kenapa aku bermimpi seperti itu."
Aku beranjak mengambil air minum. Kemudian terduduk bersandar di dekat ranjang. Rasanya mimpi yang melelahkan, dan begitu mengena ke hatiku.
"Tuhan, apakah aku sudah menyakitinya? Benarkah?" Aku menarik nafas panjang. "Tapi aku tidak bermaksud begitu." Batinku gelisah.
Sampai dengan pagi datang, aku tidak lagi bisa tertidur. Aku terus dibayangi pertanyaan apa yang akan terjadi hari ini. Apakah Chris akan kembali pergi?
"Tidak. Dia kan sudah berjanji padaku." Aku berusaha menghibur diriku sendiri.
Berdebat dengan diri sendiri memang melelahkan. Dan membuatku bahkan tidak melakukan apa-apa, sampai dengan aku mendengar teleponku berdering, seperti biasanya.
"Chris!" Aku setengah berteriak. Hatiku sangat senang dia menelpon.
"Ya?" Chris di sana mungkin sedikit kaget dengan teriakanku.
"Kamu di mana?"
"Di hatimu."
"Hu.." Anak itu masih saja bisa bercanda. Tapi syukurlah dia masih menelponku, mencandaiku.
"Di jalan. Kamu sudah siap kan? Kalau belum aku tinggal lho!" Chris terdengar mengancam sambil tertawa.
"Iya, aku sudah siap." Aku berbohong.
"Konyol."
"Kenapa?"
"Kamu belum siap sama sekali."
"Enak aja. Ini aku tinggal nunggu kamu saja!" Aku tidak mau kalah.
"Sudah mandi sana. Kecium baunya dari sini."
Aku tertegun. "Apa iya?" Bisikku dalam hati. "Kenapa anak ini selalu tahu sih kalau aku lagi bohong?" Aku mengeluh dalam hati.
"Cepat mandi sana. Masa aku selalu di suruh nunggu sih." Dia protes.
"Ya.. Ya.. Aku sih mau mandi, tapi gimana ya? Ada yang nelpon-nelpon terus." Aku membela diri.
"Ah, aku lagi yang kena. Sudah aku otw ke sana." Chris menutup teleponnya.
Aku menyambar handuk dengan perasaan lega. Setidaknya dia tetap menelponku pagi ini, dan dalam perjalanan menjemputku seperti biasa. Jadi, mungkin semua hanya kekhawatiranku saja yang berlebihan.
"Everything is OK." Aku mengulang-ulang kalimat itu dalam hati.
***
Chris menepati janjinya. Dia terlihat seperti biasa, tidak ada yang berubah. Setiap pagi dia tetap datang menjemputku, sarapan bersamaku, berangkat dan pulang kantor bersamaku.
Diam-diam aku terus memperhatikannya, mencoba melihat apakah dia menyembunyikan sesuatu padaku. Tapi yang terlihat olehku adalah Chris yang biasanya. Entahlah apakah dia menyembunyikan sesuatu atau tidak dalam hatinya.
Setelah beberapa hari berlalu, aku tidak juga merasa lega. Walaupun Chris telah memenuhi janjinya untuk tidak berubah. Tapi justru hal itu, membuatku terus merasa bersalah padanya, dan pada akibatnya membuatku sulit untuk tertidur di malam hari. Dan jika tertidurpun, tidur itu tidak senyenyak dulu, dan aku sering terbangun dari mimpi yang melelahkan.
***
Malam ini entah sudah berapa kali aku bolak balik melihat handphoneku. Rasanya ingin sekali mengirimkan pesan pada Chris, dan mengatakan bahwa aku sangat mencintainya, tapi itu tidak juga aku lakukan.
Aku mencoba berbagai posisi tidur, tetapi aku tetap tidak bisa tidur. Dalam pikiranku seperti tidak berhenti memutar berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, kalau aku menjawab apa yang Chris tanyakan dulu secara jujur.
Sebentar kemudian, aku mencoba untuk duduk, dan berbicara pada diriku sendiri tentang apa yang aku mau.
"Oke. Jadi apa yang kamu mau?"
"Entahlah." Aku menggeleng-geleng sendiri.
"Tidurlah."
"Aku tidak bisa." Aku mengeluh.
"Kenapa?"
"Aku mencintai Chris!" Aku berteriak dalam hati. "Aku ingin dia, aku menginginkannya lebih dari sekedar teman. Mungkin pacar, atau kalau bisa aku ingin bisa menikah dan hidup bersamanya."
"Haha! Lucu sekali khayalanmu." Sebagian dari diriku tertawa dengan apa yang aku mau.
"Memangnya Chris mau?"
"Entahlah."
"Haha! Oke, anggap dia mau. Apakah kamu sudah pikirkah keluargamu?"
Aku menggeleng lemah.
"Bagaimana dengan keluarganya Chris?"
"Aku bahkan tidak tau keluarga dia seperti apa." Aku membatin.
"Oke. Anggaplah kamu bisa menikah dengannya. Kamu mau menikah dengan cara apa? Di mana?"
Aku kembali menggeleng.
"Di negeri ini bahkan menikah beda agama saja sulit, apalagi pernikahan sesama jenis. Sangat mustahil. Kalau mau kamu harus ke luar dari negeri ini."
Aku terus berdebat dengan diriku sendiri. Terus dan terus, tanpa kesimpulan yang memuaskan. Pada akhirnya, aku kembali pada pendapatku semula. Biarlah semuanya seperti ini.
Tapi perdebatan tidak berhenti. Semua pertanyaan terus menghantuiku. Itu membuatku merasa tertekan dan lelah. Malam semakin larut, dan aku tetap tidak bisa tidur, dan semakin gelisah.
- Seandainya aku bisa mengetahui isi hatimu, mungkin aku tidak akan meragukanmu. -
Aku tidak tahu, jam berapa tepatnya akhirnya aku bisa terlelap? Mungkin karena terlalu larut, bahkan aku seolah tidak dapat mendengar alarm.
Yang jelas pagi ini aku terbangun oleh suara pintu yang diketuk semakin lama semakin keras. Aku masih setengah sadar saat berjalan menuju pintu, dan membukakannya.
Mataku seperti masih lengket, saat aku berusaha melek melihat Chris yang berdiri di sana. Dia tampak rapih di sana seperti biasanya. Sekilas aku bisa melihat keterkejutannya melihat kondisiku yang baru terbangun.
"Baru bangun?" Dia segera masuk mengikutiku.
"Maaf, Chris. Aku benar-benar kesiangan kali ini."
Aku tidak mungkin menceritakan padanya bahwa aku sulit tidur malam-malam karena memikirkannya.
"Ah, kemarin-kemarin juga kamu selalu telat." Chris duduk di tepi tempat tidurku. "Tapi ini paling parah sih."
Aku meraih handuk dan pakaian kerja yang sudah kusiapkan untuk hari ini dari lemari, lalu melewatinya menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu."
Chris memegang tanganku saat aku lewat di hadapannya. "Hei, badanmu kamu hangat begini. Kamu sakit ya?"
Aku terhenti sambil masih terpejam. Aku bisa merasakan tangan Chris meraba leher dan dahiku. Saat aku membuka mata aku bisa melihatnya yang tampak khawatir. Mirip seperti ibuku, saat dia mengecek suhu tubuhku.
"Kamu sepertinya demam, deh." Chris mendudukkanku di sebelahnya. Aku diam saja, masih menahan rasa kantuk yang sangat. "Apa lebih baik kamu tidak masuk kantor hari ini?"
Aku tersenyum mendengarnya. Ada rasa senang menerima perhatiannya, dan hatiku bahagia melihatnya mengkhawatirkanku.
"Aku baik-baik saja, Chris." Aku melepaskan tangannya. "Aku mandi sebentar ya. Kamu tunggu sekalian sarapan saja, nanti aku sarapan di mobil saja. Biar kita tidak telat." Aku bergegas meninggalkannya.
"Hei," Chris memanggilku lagi. "Kamu yakin?"
Aku memberi isyarat dengan jempolku, dan segera menuju kamar mandi. Sejenak aku memegang leherku sendiri. Memang terasa hangat. "Sepertinya aku memang demam." Aku bergumam sendiri. "Tapi gapapa lah, toh aku tidak merasa ada yang sakit di kepalaku."
Tapi saat tanganku menyentuh air, aku merasa pagi ini begitu dinginnya. Tubuhku bergetar menahan rasa dingin.
Akhirnya aku segera kembali mengenakan handukku. Aku memutuskan tidak mandi pagi ini. Hanya menyikat gigi, membasuh mukaku cepat-cepat dan membersihkan bagian-bagian tertentu saja dengan air dan segera mengeringkannya dengan handuk. Lumayan cepat, sampai aku selesai berpakaian. Sebelum keluar dari kamar mandi, aku memastikan sejenak di cermin bahwa aku sudah dalam kondisi yang sudah rapi.
Aku membuka pintu, dan mendapati Chris asik melahap makanannya sambil menonton televisi. Dia memandangiku sejenak.
"Kamu tidak sarapan di sini saja.?" Dia bertanya.
"Aku di mobil saja ya. Supaya kita bisa lebih cepat." Aku menghampiri Chris dan duduk di dekatnya.
Tiba-tiba dia tampak memejamkan matanya dan mengendus ke arahku. Aku sedikit menggeser dudukku menghindarinya.
"Sepertinya ada yang belum mandi ya?" Dia bertanya sambil setengah tertawa.
"Kamu?" Aku langsung menuduhnya.
Dia tertawa sambil membereskan sisa sarapannya. Aku mengendus badanku sendiri. "Tidak ada yang salah, tidak ada bau yang tercium." Aku membatin.
"Nah, ketahuan deh siapa yang belum mandi." Chris tertawa menggodaku. "Lagian tadi aku tidak mendengar ada air yang diguyur, jadi aku tahu kalau kamu belum mandi kan?.
Aku menarik nafas tanda menyerah dan tidak lagi membantah.
"Tapi tidak keliatan kok." Chris menenangkanku dan menepuk bahuku. "Hanya tercium saja." Dia setengah berbisik dalam jarak yang begitu dekat di telingaku.
"Apaan sih." Aku bergeser menghindarinya. Lagi-lagi dia tampak tertawa.
"Seharusnya kalau kamu merasa demam, tidak perlu memaksa untuk masuk kantorlah ya."
Aku menggeleng, "Sudahlah, aku sudah siap. Ayo berangkat."
"Oke." Chris segera bangkit.
Kamipun turun menuju mobilnya. Selama perjalanan ke kantor aku berkali-kali mencuri pandang kepadanya, mencari apa ada masalah di sana. Tapi aku melihatnya seperti dalam kondisi biasanya. Sama sekali tidak terlihat ada yang berubah darinya.
"Jangan-jangan memang hanya pikiranku saja yang berlebihan." Bisikku dalam hati.
Hari-hari kemudian berlalu begitu saja. Chris selalu tampak biasa saja saat kami bersama. Tetapi justru dalam hatiku, aku merasa tersiksa sendiri dengan sikapnya yang biasa itu.
Akulah yang malah ingin tahu apa yang dia simpan di hatinya. Sayangnya aku tidak bisa bertanya kepadanya. Dan entahlah apa yang menghalangiku untuk langsung bertanya darinya.
Gejolak ingin tahu di hati itu membuatku semakin sulit tidur di malam hari dan sulit berkonsentrasi saat bekerja. Secara tidak langsung, itu berpengaruh juga pada kondisi kesehatanku. Ketahanan fisikku pun sampai di ambang batasnya, dan aku pun jatuh sakit.
- Jangan biarkan hatimu selalu bertanya-tanya, karena di saat yang sama kamu sedang melemahkannya. -
Pagi ini aku merasa melayang saat mencoba bangun dari tempat tidur. Semalam aku sudah bisa merasa bahwa aku benar-benar sakit. Karena itu semalam aku juga sudah minum obat.
Tapi faktanya demamku pagi ini cukup parah. Mungkin ini adalah akumulasi dari demam-demam di hari sebelumnya yang tidak aku hiraukan.
Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Dengan berpegangan ke tembok aku merambat menuju kamar mandi, setidaknya aku bisa mencuci mukaku. "Aku harus sudah rapih saat Chris datang."
Namun baru beberapa langkah saja, aku sudah limbung dan terjatuh duduk di lantai. Kepalaku terasa berputar dan tubuhku terasa lemas. Aku juga mulai merasakan ada nyeri yang menyerang sebagian kepalaku.
Aku masih tersadar, namun sudah begitu sulit bagiku untuk bisa bergerak ke tempat yang aku inginkan. Perlahan aku mencoba berdiri, tapi rasanya sulit. Aku mencoba mengatur nafas dan mengumpulkan semua tenaga yang kupunya.
Kali ini aku berharap, setidaknya bisa kembali ke tempat tidur. Tapi akhirnya aku terdiam di tempat itu.
Beberapa saat kemudian, aku masih bisa mendengar dengan jelas ketika pintu diketuk dari luar. Suara Chris yang khas memanggilku dari luar mengiringi suara ketukan pintu.
"Ya, sebentaaar." Aku menyahut dengan suara yang kucoba agar terdengar sebiasa mungkin. Namun aku rasa gagal.
Aku tahu dia tahu ada yang salah padaku pagi ini. Dia mengetuk dengan ketukan lebih keras, dan aku bisa menangkap kecemasannya saat bertanya apakah aku baik-baik saja?
"Aku baik-baik kok." Aku menjawabnya setengah berteriak.
"Ya sudah buka pintunya sekarang!" Dia meneriaku dari luar. Anak ini pagi-pagi sudah membuat gaduh.
Aku tidak menjawab, aku berusaha bangkit dan menuju pintu. Chris makin menjadi dengan ketukannya. Susah payah perjuanganku menuju pintu akhirnya berhasil.
Aku berusaha menenangkan nafasku yang terengah. Rasanya menuju pintu saja sudah merupakan hal yang sangat melelahkan bagiku saat ini. Aku berusaha membuka kuncinya. Lagi-lagi terasa lebih susah dari biasanya.
Chris makin cemas di luar, dia bertanya lagi apa aku baik-baik saja dan terus saja mengetuk pintu. Sebenarnya itu justru makin membuatku sedikit panik. Akhirnya pintu itu berhasil aku buka, dan Chris segera mendorong pintunya secara paksa ke arah dalam dan membuatku terdorong dan langsung terjatuh karenanya.
Sakit juga rasanya jatuh terduduk seperti ini. Aku masih meringis, saat Chris segera memegangiku dan menarikku ke arahnya sambil berkali-kali meminta maaf.
"Maafin aku ya." Chris tampak merasa bersalah. "Maaf. Kamu tidak papa kan?"
Aku menggeleng halus. Rasanya saat ini semua bercampur menjadi satu di tubuhku, pusing, lemas dan demam.
Tapi dalam kondisi ini, ada satu rasa lain yang juga muncul di hatiku, yaitu rasa nyaman, karena saat ini aku berada dalam rengkuhan tangannya.
Chris kemudian memapahku ke tempat tidur. Dia membaringkanku dengan begitu lembut. Dengan halus tetapi cekatan dia mengangkat kepalaku dan menempatkan bantal di bawahnya. Dia seperti berusaha mengatur posisiku senyaman mungkin. Aku sendiri hanya bisa pasrah. Atau lebih tepatnya menikmati?
Tangan Chris terasa berkali-kali memegang kening dan leherku. Dia terus menerus memeriksa suhu tubuhku.
"Kamu punya termometer?" Chris bertanya.
Aku membuka mataku. Tampak jelas bagiku kecemasan dalam wajahnya yang tampan. Ini bukan yang pertama kalinya aku melihatnya terlihat cemas, tapi ini kecemasan yang paling besar yang pernah dia tunjukkan.
Lagi-lagi hatiku merasa bahagia melihat kepeduliannya padaku. "Tuhan, terimakasih telah mengirimkan malaikat yang satu ini." Mataku terasa mulai berair begitu saja. Aku memejamkan mata untuk menyembunyikannya.
Lalu aku dapat merasakan ibu jarinya dengan lembut mengusap air yang keluar dari sudut mataku.
"Apakah terasa begitu sakit?" Dia bertanya dengan suara bergetar.
Aku menggoyangkan kepalaku perlahan. Dalam kesadaran yang mulai menurun, aku arahkan tanganku untuk memberi isyarat ke arah lemari di sudut ruangan. Aku menyimpan kotak obat di sana. Dan aku rasa aku punya termometer juga di sana.
"Apa?" Chris bertanya tentang isyaratku.
"Kotak obat," aku kembali menunjuk ke arah lemari.
"Oh, Oke." Chris segera bergegas menuju ke lemari tersebut. Dia mengeluarkan kotak obat dari sana dan segera kembali kepadaku. Di dekatku dia mengeluarkan termometer dan mencoba memasukkannya ke mulutku.
Aku secara refleks langsung menolaknya. "Hei, aku tidak biasa memakainya di mulut." Aku lalu membuka ketiakku. Aku dapat mendengar suara tawanya sedikit keras karena hal ini.
"Obat." Aku memberi isyarat singkat bahwa aku memintanya mengambilkan obat demam untukku. Chris beranjak mengambilkan air minum lalu meminumkan obat itu kepadaku.
"Chris, pergilah ke kantor sekarang. Aku tidak masuk ya hari ini." Aku berkata pelan.
"Terus kamu bagaimana? Kamu yakin mau sendiri? Aku bawa ke rumah sakit aja ya?"
"Sudahlah Chris. Jangan berlebihan seperti itu. Pergilah, aku akan baik-baik saja." Aku membuka mataku dan berkata setegas mungkin dalam kondisiku.
Chris menarik nafas panjang. "Baiklah. Tapi siang nanti aku akan kembali ke sini. Ini aku taruh sarapanmu di meja ya. Jangan lupa dimakan."
Aku hanya mengangguk halus.
"Aku pergi ya.. Kamu baik-baik ya." Chris terdengar sangat lembut. Aku memejamkan mata saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Terasa begitu dekat hingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya di wajahku, dan aku yakin dia juga dapat merasakan hembusan nafasku yang semakin berat.
Dalam kondisi seperti ini, aku tetap dapat merasakan bahwa ini adalah momen yang indah untuk sebuah ciuman pertama darinya.
Tapi ternyata itu tidak terjadi. Sebentar kemudian aku mendengarkan bisikannya begitu dekat di telingaku. "Istirahat ya dan lekaslah sembuh. Aku akan kembali siang nanti. Aku harap kamu sudah bisa bangun. Aku pergi sekarang."
Aku mengangguk pelan dan mencoba tersenyum untuk meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja.
Sejenak kemudian aku dapat merasakan dia beranjak meninggalkanku, dan saat aku membuka mata dia tampak sedang melangkah keluar pintu dan menutupnya perlahan dari luar.
"Tuhan, sekarang aku sendirian. Dia sudah pergi. Entah kenapa terasa sepi sekali di sini."
Pikiranku melayang mengenang semua momen singkat yang baru saja terjadi. Dan terulang-ulang momen di mana wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Aku bisa merasakan panas di pipiku saat pikiran nakalku menampilkan momen ciuman pertama dalam anganku.
"Sayang sekali rasanya, kenapa itu tadi tidak terjadi ya?" Aku tersenyum-senyum sendiri sambil memejamkan mata.
Sesaat kemudian, rasa kantuk efek dari obat yang mulai bekerja mulai terasa menyerang. Rasa kantuk itu menyerang begitu kuat tanpa bisa kulawan dengan angan dan khayalan. Dan akhirnya akupun tertidur begitu saja.
- Apa aku masih perlu mengkhawatirkan rasa sakit? Jika kamu selalu ada untuk membuatku kembali bangkit. -
Aku merasa baru saja terbangun dari mimpi yang sulit kuingat. Di saat yang sama aku dapat merasakan tangannya yang dingin menyentuh dahiku. Dia menyeka keringat yang membasahi dahiku dengan tisu. Saat aku membuka mata, dia tersenyum lembut kepadaku.
"Hi. Bagaimana kondisimu?"
Aku tidak menjawab. Kepalaku terasa pusing dan berat saat aku mencoba bangkit.
"Tetaplah tiduran." Chris menahanku dengan tangannya. Aku menarik nafas dan tidak jadi bangkit.
"Tenang saja." Chris menatapku dengan pandangan lembut. "Aku baik-baik saja."
Aku sejujurnya agak tidak mengerti dengan kalimatnya yang terakhir.
"Maksudmu?" Aku bertanya dengan suara yang terdengar parau.
Dia menggeleng halus. "Aku hanya ingin kamu tahu," Chris memalingkan pandangannya dariku, "bahwa aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku." Dia menarik nafas dalam. "Aku hanya ingin kamu cepat sembuh. Segeralah kembali menjalani hari-hari bersamaku.." Suaranya semakin terdengar lirih.
Aku masih tidak mengerti. Tapi aku hanya bisa menatapnya.
Chris memegang tanganku, dan seolah mengulang, menegaskan apa yang dia katakan sebelumnya. "Sudahlah, jangan pikirkan apapun yang membebani hatimu. Cepatlah sembuh. Aku akan memastikan semua akan baik-baik saja."
Aku masih mencari jawaban dari apa yang dia maksudkan, ketika matanya tertuju pada makanan yang tadi pagi dia tinggalkan untukku. Makanan itu memang belum aku sentuh sama sekali.
"Kenapa kamu tidak makan sama sekali?" Aku masih merasakan pegangan tangannya yang erat di tanganku.
"Maafkan aku." Jawabku pelan. "Aku langsung tertidur setelah kamu pergi. Dan saat aku terbangun, kamu sudah kembali lagi ada di sini. Aku makan sekarang saja ya?"
Aku kembali mencoba bangkit. Kali ini dan dia membantuku dengan menahan tubuhku, sambil menumpukkan bantal di belakang tubuhku, lalu menyandarkanku.
Chris tampak mengeluarkan makanan yang lain dari tasnya. "Tidak, kamu makan yang ini saja." Dia tersenyum. "Aku sengaja membawakan makanan ini untukmu." Dia meletakkannya di tanganku. "Dan ini makananku." Dia menunjukkan makanan lain di tangannya. "Kita bisa makan siang bersama, kan?" Dia berbisik pelan.
Aku masih terdiam memandangi makanan di depanku. Chris menatapku dan bertanya, "Kamu masih bisa makan sendiri, kan?" Aku menatapnya. "Atau perlu aku suapin?" Dia mengedipkan matanya menggodaku.
"Aku masih bisa sendiri," jawabku singkat.
"Ayo kita makan kalau begitu," Chris membuka makanannya. "Selamat makan." Sesaat kemudian dia tampak sudah melahap makanan itu dengan lahapnya.
Aku pun mulai menyantap makananku, meski tidak selahap dia. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya. Sejujurnya aku senang bisa melihatnya disini dan makan siang bersamaku. Bukankah aku boleh merasa bahwa aku adalah orang yang istimewa baginya. Bagaimana tidak, dia lebih memilih untuk datang padaku, membawakan makanan untukku dan makan siang bersamaku, padahal dia harus menempuh perjalanan yang merepotkan dari kantor hanya untuk bisa bersamaku saat ini.
Ada rasa bahagia yang hangat menyelimuti hatiku saat ini. "Tuhan, terimakasih lagi. Sudah mengirimkan malaikat ini padaku."
"Tapi Tuhan, sejujurnya masih ada yang mengganjal di hatiku. Yaitu tentang apa yang dia rasakan. Dan tentang apa yang baru saja dia katakan, apa maksudnya dengan kata baik-baik saja?" Aku hanya bisa membatin.
Aku menghitung kira-kira baru sekitar 5 suap saja aku makan, ketika di saat yang sama Chris telah menyelesaikan makanannya.
"Kamu lama sekali," dia sedikit protes. "Ayo cepat habiskan, kamu masih harus minum obat setelah ini. Terus kamu tidur lagi ya." Dia tampak membereskan sisa makanannya dan kembali mengambil kotak obat.
"Kamu yang terlalu cepat makannya." Aku menjawab pelan. "Kenapa kamu ingin berlomba makan denganku? Sudah pasti kamu pemenangnya."
Dia hanya tertawa kecil. "Berterimakasihlah padaku sekali-kali. Aku ini hanya sedang memberimu semangat hidup."
Aku tidak lagi menanggapinya. Tapi kemudian aku terpikir, bukankah tadi dia meninggalkan makanannya untukku. Makanan yang pada akhirnya malah tidak aku makan. "Jangan-jangan dia belum sarapan."
Padahal aku ingat betul bahwa anak ini selalu terbiasa sarapan sejak kecil.
"Chris," aku memanggilnya pelan.
"Hmm?" Dia masih sibuk menyiapkan obatku.
"Kamu tidak sarapan ya tadi pagi?" Aku bertanya karena penasaran. Dia menatapku sejenak lalu tersenyum.
Aku menunduk dan kembali merasa bersalah padanya. "Maafkan aku, ya? Karena aku, kamu jadi tidak sarapan."
"Hei, omongan macam apa lagi itu." Chris menimpali. "Aku sarapan kok tadi." Dia mencoba berbohong padaku.
"Oh ya?" Aku seolah menikmati kebohongannya. Aku tahu dia sangat ingin agar aku tidak menyalahkan diriku sendiri.
"Memang tadi kamu sarapan apa?" Aku bertanya.
"Aku makan roti tadi. Aku beli di kantin kantor." Chris tampak menjawab sekenanya.
Aku tahu dia berbohong, tapi aku tetap merasa sangat menikmati kebohongan yang dia buat untukku ini.
Aku tersenyum. "Kalau begitu, besok-besok kamu perlu beli roti lebih banyak."
"Kenapa? Kamu mau?"
"Bukan," aku menggeleng. "Tadi kamu terlihat makan seperti orang yang sangat kelaparan."
"Masa iya?" Dia menggeleng-geleng sambil tertawa. Aku ikut tertawa dengannya.
"Sudah ya." Aku tidak bisa menghabiskan makananku.
"Sedikit sekali kamu makannya." Tentu saja itu mengundang komentar dari Chris.
Tapi kemudian dia tetap dengan telaten meminumkan obat untukku.
"Istirahatlah lagi." Chris mengatur kembali susunan bantal sehingga, aku bisa kembali dalam posisi tidur.
"Aku akan kembali nanti sore." Chris menatapku. "Aku boleh menginap di sini ya?"
"Hah?" Aku secara refleks langsung menolak. "Buat apa? Jangan.. nanti kamu tertular."
"Tidak akan. Santai aja." Chris menenangkanku. "Biarkan aku ke sini untuk menemanimu. Aku khawatir kalau ada apa-apa. Kamu kan sendirian di sini." Chris sepertinya tetap memaksa untuk datang menginap.
"Jangan Chris, kamu tidak perlu melakukan itu. Aku akan baik-baik saja." Aku memohon lirih.
Chris tersenyum dan mengangguk-angguk. Ada bagian hati yang sedikit lega, saat dia tidak keras kepala memaksakan apa yang dia mau. Tapi ada juga bagian hati yang berkata lain, "tentu saja akan sangat menyenangkan kalau dia bisa ada di sini menemaniku nanti malam."
"Oke," Chris kembali memegang tanganku. "Kamu aku tinggal sekarang ya. Aku harus kembali ke kantor."
Aku mengangguk perlahan. Dan tentu sebenarnya ada rasa kecewa ketika dia menyerah begitu saja. Tapi aku berusaha menutupi rasa itu.
Seperti tadi pagi, Chris tiba-tiba mencondongkan badannya, sehingga wajahnya benar-benar terasa begitu dekat dengan wajahku. Aku menutup mataku begitu saja. Aku kembali pada posisi di mana aku merasa tidak berdaya kepadanya. Aku kembali bisa merasakan nafasnya yang terasa hangat berhembus di atas sebagian wajahku. Wajahnya yang begitu aku puja ada begitu dekat saat ini.
Dan anganku pun kembali melayang, pada momen yang paling ini. "Ah, seandainya aku bisa meminta.. Tolong lanjutkan, lanjutkan Chris.. Biarkan momen ini menjadi sempurna." Ya, akan menjadi sempurna jika aku bisa mencium bibirnya yang terbayang akan begitu lembut.
Tapi saat aku kembali tersadar dari lamunanku, aku tahu semua itu tidak terjadi, karena dia sudah kembali menarik wajahnya, dan tersenyum menatapku. Chris mengulurkan tangannya dan mengacak halus rambutku, dia tampak sedikit gemas. Secara refleks aku menggeser posisi kepalaku.
Dia tertawa, dan menarik kembali tangannya. Sesaat setelah bangkit, sebelum melangkah keluar dia kembali menatapku dan berkata, "Cepat sembuh."
Aku mengangguk dan mengangkat jempolku. Dia pun segera berlalu dan menutup pintu dari luar.
Aku kembali disergap rasa sepi setelah dia pergi. Beberapa angan-angan kembali datang, dan aku tidak bisa menolaknya. Sudah dua kali dalam satu hari ini aku mengalami momen yang aku harapkan bisa berakhir dengan sebuah ciuman.
Tetapi itu tidak terjadi. Meskipun demikian, rasanya aku sudah bisa merasakan seolah-olah bibirnya sudah menyentuh bibirku. Kuusapkan jari-jariku di atas bibirku sendiri. "Sayang sekali." Aku menarik nafas panjang.
Setelah diombang ambing beberapa lamunan, aku akhirnya kembali tertidur akibat efek samping dari obat yang aku minum tadi.
- Mungkin bukan obat ini yang ampuh, tetapi kehadiranmu yang membantuku untuk sembuh. -
Aku terbangun dalam kondisi keringat membasahi banyak bagian dari tubuhku. Aku menatap kosong ke arah jam yang aku letakkan di meja. Sudah pukul 5 sore. Sudah sekitar 30 menit setelah jam pulang kantor. "Chris tidak ke sini?" Hatiku bertanya-tanya.
Kepalaku masih terasa pusing. Tapi aku merasa demam di badanku sudah hilang, dan panas tubuhku terasa jauh lebih normal. "Mungkin aku terlalu banyak tidur, makanya aku masih juga pusing."
Aku pun berusaha bangun dari tempat tidur. Kali ini merasa tubuhku lebih ringan dan aku bisa bangun dengan normal. Aku berdiri ke arah jendela, membuka jendela dan menatap keluar. Tampak olehku mobil-mobil yang berderet di jalanan karena ini adalah jam pulang kantor. Biasanya akupun ada di salah satu mobil itu. Bersama Chris tentunya. Sudah menjadi ciri khas dari kota ini, kemacetan ada di mana-mana, apa lagi di jam-jam tertentu, jam masuk kantor, atau jam pulang kantor seperti saat ini.
Aku kembali mengharapkan Chris ada di sini, sesuai dengan niatannya untuk menginap tadi. Rasanya aku ingin sekali mengulang waktu, dan aku ingin supaya aku tidak perlu membantahnya ketika dia mengutarakan keinginannya untuk menginap di sini. Nyatanya saat ini aku menginginkannya ada di sini.
Aku menghela nafas panjang, "kamu sendiri lho ya yang menolaknya tadi. Jadi seharusnya tidak ada penyesalan untukmu saat ini." Aku mengingatkan diri agar tidak menyesal.
Aku pun perlahan berjalan ke kamar mandi, untuk sekedar mencuci mukaku agar itu bisa membuatku merasa lebih fresh. Aku juga melap seluruh bagian tubuhku dengan air dan handuk. Dan tentu saja setelah itu aku juga mengganti pakaianku yang sudah aku kenakan sejak kemarin sore.
Aku terduduk di tempat tidur, menyalakan televisi untuk mengisi kekosongan. Beberapa kali aku menatap kosong dan memindah-mindah channel untuk mencari sesuatu yang bisa menarik perhatianku. Tetapi aku tidak benar-benar berhasil menemukan channel yang menarik.
Dengan hati yang gelisah, aku kemudian menutup mukaku dengan bantal dan berusaha memejamkan mata untuk kembali tidur. Tetapi sepertinya aku tidak bisa kembali tertidur begitu saja, aku sudah terlalu lama tidur sebelumnya.
Akupun merasa waktu berjalan begitu lambat, meskipun sebenarnya waktu tetap berlalu seperti biasanya. Aku terus saja gelisah, dan benar-benar merasa kaget ketika pintu kamarku dibuka dari luar begitu saja. Namun dia yang muncul dari balik pintu membuatku seolah ingin melonjak kegirangan.
"Kaget, ya?" Chris bertanya dengan wajah dihiasi senyumannya yang khas. Dia tampak santai dengan menggunakan kaos dan cenala jins. Aku baru pertama kali melihatnya seperti itu, karena biasanya aku selalu melihatnya dengan pakaian formal ala eksekutif muda.
Aku masih juga terpaku memandanginya. Dia tampak jauh lebih muda dari biasanya, meskipun harus aku akui dia lebih tampan terlihat dengan baju formal.
"Hei." Chris melambaikan tangannya di depan wajahku. Aku buru-buru berusaha menyembunyikan keterkejutanku, tapi sepertinya tidak berhasil.
"Kamu kenapa ke sini?" Aku bertanya sambil membenarkan posisi dudukku.
Chris tidak peduli dengan pertanyaanku itu. Dia segera menutup pintu dan menguncinya. Setelah itu melangkah ringan menghampiriku, lalu duduk di sebelahku. Tangannya segera menjelajah antara dahi dan leherku.
"Wah, demamnya sudah hilang."
Aku segera memegang tangannya dan menjauhkannya dari leherku. "Aku memang tidak apa-apa, makanya kenapa kamu mesti ke sini malam-malam." Aku berusaha keras menyembunyikan kebahagiaanku untuk kedatangannya.
Chris menanggapinya dengan begitu santai. Dia mendekatkan wajahnya ke arah leherku. Seolah sedang mengendus aroma dari sana.
"Hmm..Harum sekali ya?" Dia tampak tersenyum dan memejamkan matanya. "Padahal kamu tidak mandi, kan?" Dia menggodaku.
Aku menjauhkan tempat dudukku darinya dengan perasaan sedikit aneh. "Kamu pulang saja, kan sudah lihat aku baik-baik aja." Aku masih saja berusaha membuatnya pergi.
Chris tidak menjawab, dia malah langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur, lalu memiringkan posisi badannya menghadap ke arahku. Dia tersenyum dan menepuk-nepuk bantal. "Kemarilah," dia memberiku isyarat untuk tidur di sampingnya.
Aku menggeleng, dan mengalihkan pandanganku ke arah televisi.
Chris mengubah posisi tidurnya, menatap ke atas, ke langit-langit. "Ayolah, aku tidak akan bisa tidur di apartemenku, jika tidak bisa memastikan kau baik-baik saja." Chris menghela nafas panjang.
"Aku kan sudah baik-baik saja. Kamu bisa pulang sekarang." Aku terus menjawab berlainan dengan isi hatiku. "Keras kepala sekali." Hatiku berteriak.
"Kalau begitu, mari kita tidur." Chris menarik guling dari dekatku dan mendekapnya erat.
"Chris, ayolah." Aku memelas.
Dia tetap diam dan pura-pura tidur. Aku menatapnya lekat. Sebenarnya ini pemandangan yang sudah lama aku mimpikan. Melihat orang yang aku cintai tertidur di tempat tidurku. Benar-benar membahagiakan. Dia terlihat begitu menarik dalam posisi tidur seperti itu.
"Ayo! Lakukan apa saja yang kamu mau. Dia tercipta untukmu." Hatiku berteriak girang. Aku tersenyum sendiri, membayangkan apa saja yang bisa terjadi, jika dia tidur bersamaku malam ini.
"Hei!" Tiba-tiba suara Chris mengagetkanku. "Jangan ngelamun jorok."
Aku benar-benar kaget. Entah sejak kapan chris sudah begitu dekat duduk di depanku.
"Senyum-senyum sendiri," Chris menarik hidungku. Aku segera menepisnya. "Kamu senang kan aku ada di sini? Jangan bohong."
Aku tertunduk diam. Menurutku itu sudah merupakan kata ya yang bisa dia mengerti.
"Ah, ya sudahlah, kamu sudah makan?" Chris kembali bertanya.
Aku menggeleng pelan.
"Aku sudah bawa makanan." Chris bangkit mengambil tas yang dia letakkan begitu saja di depan pintu saat dia masuk tadi. Dari sana dia tampak mengeluarkan roti isi keju. Setelah duduk di sebelahku, dia membagi dua roti yang terlihat cukup besar itu.
"Nah, ini pasti cukup untuk kita berdua." Chris menyerahkan bagian yang lebih besar kepadaku. Aku baru saja ingin protes, saat dia langsung memotongku, "sudahlah makan saja. Sebelum ke sini aku sudah makan tadi, ini aku ikut makan lagi supaya kamu tidak canggung makan tanpa aku temani." Dia kemudian tampak melahap roti di tangannya dengan cepat.
Aku memakan roti itu sambil memandangi orang yang sangat aku sayangi ini. Aku masih tidak percaya bahwa dia benar-benar ada di sini malam ini.
Setelah melihatku menghabiskan roti itu, Chris beranjak mencari kotak obat dan mengeluarkan obat yang sama dengan obat yang sudah dua kali aku minum sebelumnya. Dia kembali meminumkan obat itu kepadaku.
Entah kenapa aku begitu penurut padanya setelah itu. Saat dia mendorong badanku ke tempat tidur, merebahkanku dan menyusun bantal di bawah kepalaku. Dia mengusap dahiku yang berkeringat. "Cepat sembuh ya."
Aku mengangguk pelan. "Besok aku sudah masuk kerja kok."
Aku melihatnya tersenyum senang. "Itu bagus. Nah, sekarang aku akan menemanimu di sini."
Chris berbaring di sebelahku dan menghadapkan tubuhnya ke arahku. Dia menggeser badannya sehingga begitu dekat. Dan lagi-lagi aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang memandangiku saat ini. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bisa mencoba memejamkan mataku. Rasanya aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku ingin sekali memeluknya, mengatakan semua yang aku rasakan padanya. Ingin sekali bisa memohonnya agar dia selalu di sini bersamaku. Agar aku tidak lagi kesepian.
Lalu bagian dari pikiranku yang lain bertanya, "lalu apa setelah itu? Apakah dia akan meresponku dengan baik? Atau jangan-jangan dia malah akan pergi meninggalkanku lagi."
Aku segera mengusir jauh-jauh keinginanku. Sejujurnya aku masih takut kejadian itu terulang.
"Anggaplah Chris menerima semua keinginanmu itu, apakah itu akhir dari segalanya? Tentu saja tidak. Masih ada keluarga, keluargaku dan keluarganya. Aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya kepada mereka."
Aku merasa pikiranku benar-benar sudah membuat kondisi ini menjadi sangat runyam bagiku. "Menyukai seseorang, tetapi orang itu ternyata adalah seorang lelaki juga. Bagaimana aku menjelaskan kondisiku ini. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Dan bagaimana aku menghadapi akibat dari yang aku lakukan itu. Tunggu, jangan-jangan Tuhan juga tidak mau tahu dengan masalahku ini?" Aku mendadak merasa begitu cemas.
"Hei, sungguh aku baik-baik saja." Tiba-tiba aku mendengar suara Chris begitu lembut di dekat telingaku.
Aku membuka mataku dan menoleh ke arah asal suara itu. Dia tersenyum.
"Aku ingin kamu tahu itu. Aku ingin kamu tidak lagi merasa khawatir tentang aku. Aku ingin kamu kembali bisa menikmati hari-hari ini seperti aku juga menikmatinya." Kalimat-kalimat Chris terasa begitu dalam. "Kamu tahu, seharian ini aku merasa sangat kesepian. Jadi aku ingin kamu tahu kalau kehadiranmu adalah penting buatku, aku sudah terbiasa menjalani hari-hariku bersamamu. Tolong pikirkan yang baik-baik saja, jangan berpikir hal-hal yang buruk, baik tentangku maupun tentang kita."
Aku merasa tidak begitu memahami arah pembicaraannya. Aku menatapnya.
"Maafkan aku Chris." Aku menelan ludahku beberapa kali. "Aku tidak terlalu mengerti."
Chris menarik nafas panjang. "Kalau begitu, kamu perlu tidur sekarang. Barangkali besok kamu akan mengerti pada saat kamu bangun." Sekilas aku lihat dia kembali tersenyum setelah itu.
Kebetulan sekali, rasa kantuk memang mulai menyerangku. Aku pun berpaling darinya dan mencoba untuk tidur. Sesaat kemudian setelah terombang ambing dengan berbagai angan-anganku. Namun persis seperti sebelumnya, pada akhirnya akupun tertidur.
- Tahukah kamu apa mimpi terindahku? Yaitu aku terbangun dengan melihatmu di sisiku. -
Aku terbangun pagi ini dalam kondisi yang jauh lebih baik. Dan Chris adalah pemandangan pertama yang tampak di depan mataku. Dia masih tertidur dengan pulasnya di sampingku.
Sungguh mengherankan, dia bisa tampak tetap sangat menarik bagiku, meskipun dalam kondisi tertidur pulas. Tanganku bergerak dengan sendirinya untuk menyentuh rambutnya, dan kepalanya bergerak merespon saat aku menyentuhnya. Aku kembali menarik tanganku khawatir membangunkannya.
Aku terdiam memandanginya. Kupuaskan mataku untuk memandangi wajahnya secara seksama, dari jarak yang begitu dekat. Sulit bagiku menggambarkan keindahan yang ada di hadapanku sekarang.
Mataku menyusuri tekstur rambutnya, kemudian berpindah ke wajahnya yang halus dan putih. Alisnya tampak sangat tipis di atas matanya yang tetap tampak sipit, meskipun sedang terpejam. Mata itu selalu terlihat sedang tersenyum saat terbuka. Hidungnya yang kecil, tidak terlalu mancung, tetapi terlihat begitu proporsional di wajahnya. Bibirnya tampak seksi berhiaskan bulu-bulu sangat halus di atasnya.
"Tunggu dia punya kumis?" Aku memperhatikan lebih seksama. Ini pertama kalinya aku bisa melihatnya. Sebelumnya aku sama sekali tidak pernah menyadari hal itu.
Tanganku sedang kembali bergerak hendak menyentuh bagian yang menarik itu, ketika tiba-tiba tangannya memegang tanganku. Aku sedikit terkejut.
Chris masih memejamkan matanya, saat dia menyunggingkan senyumnya. "Senang ya ganggu orang tidur." Dia bergumam perlahan.
Aku menarik tanganku, tapi kurasakan dia menahannya, dan kemudian menempelkan telapak tanganku di pipinya yang terasa begitu halus.
Sesaat aku mengira dia hanya menggigau. Aku menggerakkan ibu jariku dengan lembut di pipinya. Dia tampak tersenyum manja, masih dalam kondisi terpejam.
"Jam berapa sekarang?" Sesaat kemudian dia bertanya dan masih terpejam.
Saat itula aku mulai menyadari bahwa dia benar-benar sudah terbangun. Aku segera memaksa menarik tanganku.
"Entahlah," jawabku pelan. "Mungkin sekitar jam 6," aku mengatakannya nyaris tanpa suara.
"Hm.." Dia bergumam perlahan. Masih dengan mata terpejam dia mencari-cari tanganku, dan kembali menariknya, menempelkannya di pipinya. "Jam kantor masih lama, aku masih ingin tidur setengah jam lagi." Tangannya menahan telapakku agar tetap menempel di pipinya.
Dia seperti tidak ingin melepaskanku. Sesaat kemudian entah dia benar-benar tertidur atau hanya berpura-pura, tapi aku tidak bergerak memandanginya. Meskipun tanganku merasa lelah dalam posisi ini, tapi aku tidak ingin melewatkan momen ini.
Perasaan mulai berkecamuk. Saat ini kami begitu dekatnya. Ini sesungguhnya adalah momen yang selalu aku inginkan, tetapi ketika momen ini benar-benar terjadi, bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi sesaat kemudian aku mencoba memejamkan mataku, dan membiarkan anganku bermunculan di kepalaku, bahkan sampai dengan angan yang paling liar sekalipun. Dan ketika aku mulai hanyut dalam angan-anganku sendiri tentang dirinya, aku disadarkan dengan sebuah sentuhan di rambutku.
Aku membuka mata dan melihat, dia sudah terduduk di dekatku. Dia tersenyum. "Sudah hampir jam tujuh lho. Kamu akan berangkat ke kantor kan hari ini? Ayo mandi."
Aku masih terdiam. Dan entah dari mana asalnya tiba-tiba saja sebuah angan yang nakal muncul. "Wah, hari ini aku bisa mandi bersamanya." Dan aku seolah menikmati angan tersebut.
"Mandi bareng yuk?" Chris mengucapkan sebuah kalimat yang makin mengukuhkan angan-anganku. Sesaat dalam kepalaku seolah-olah ada musik keras mengiringi banyak kegirangan dalam hatiku.
Tentu saja ini sebuah kesempatan, "bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan ini? Ini momen langka!" Ya, suatu momen di mana aku bisa lebih intim lagi dengannya.
Aku bahkan baru saja terbangun setelah tidur bersamanya. Tentu dalam artian yang sebenarnya memang, bukan dalam artian konotasi yang biasa dimaklumi. Tapi dengan mandi bersama tentu akan membuatku bisa melihat apa yang selama ini tidak terlihat darinya. Hatiku bersorak senang.
Tapi ternyata bibirku masih saja terdiam, terkunci. Tidak merespon semua kegirangan hatiku.
Sesaat kemudian Chris beranjak dan berkata. "Tentu saja kamu tidak akan mau," dia segera mengeluarkan peralatan mandinya. "Aku hanya bercanda, kok." Dia tersenyum menggodaku. " Aku mandi duluan ya. 15 menit." Chris berlalu menuju kamar mandi.
Hanya sebentar saja. Semua khayalan dan angan-anganku kini hilang begitu saja. Sekarang aku merasakan di kelapaku terdengar musik kesedihan dan penyesalan. Aku bangkit dari tidurku.
"Kenapa aku tidak merespon sama sekali? Kenapa aku melepas kesempatan itu begitu saja?" Sesaat kemudian aku mendengar suara pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam.
Aku menarik nafas penyesalan. "Selesai sudah." Aku mencoba menguasai diriku, dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa ini adalah pilihan yang benar. Meskipun aku merasa ini bukan hal yang aku inginkan. Tetapi aku terus menghibur diriku sendiri, dan membela keputusanku mati-matian. Aku kembali merebahkan tubuhku, menatap kosong langit-langit.
Tidak lebih dari 15 menit kemudian Chris keluar dari kamar mandi dalam kondisi yang sudah rapih. Dia sudah berpakaian lengkap, tampak begitu segar, dewasa dan menebarkan aroma yang begitu harum.
Dia kemudian duduk di ujung ranjang, memegang kakiku dengan tangannya yang dingin dan berkata, "Hei putri tidur, mau sampai kapan kamu di situ? Menunggu seorang pangeran menciummu?" Dia terkekeh.
Aku segera bangkit merespon ucapannya.
"Ayo mandilah sana. Masih bisa mandi sendiri, kan? Atau perlu aku mandiin?" Chris kembali menggodaku.
Seperti menuruti komandonya, aku segera bergegas bangun dari tempat tidur dan menuju lemari pakaian, aku mengambil pakaian yang hendak aku pakai, dan segera masuk kamar mandi.
Saat itu secara sengaja aku tidak mengunci pintu kamar mandi. Entah apa yang mendorongku berpikiran begitu nakal. Ada harapan yang muncul begitu saja dalam diriku yang berharap dia akan muncul dan menggodaku saat mandi. Karena seperti biasanya dia adalah seorang yang sangat iseng. Jadi aku berharap juga keisengannya terjadi saat ini.
Aku menguatkan hatiku yang terasa berdebar-debar, aku harus sudah siap untuk menghadapi situasi yang paling aku anggap gila saat ini.
Tapi, sampai dengan aku selesai berpakaian, tidak ada satupun suara yang aku dengar dari Chris, apalagi dia mencoba masuk ke sini. Tidak ada.
Aku pun menelan kekecewaan. Ternyata dia tidak melakukannya. "Lagi pula apa yang membuat dia harus melakukannya?!" Aku mulai kembali menyalahkan diriku sendiri.
"Kenapa aku selalu menginginkan dia yang memulai, dan mengharapkan dia berlaku nakal? Sementara aku sendiri selalu pasif dan menunjukkan sikap yang tidak siap untuk semua kenakalannya." Aku menarik nafas panjang.
Aku mencoba kembali menguasai diriku sendiri, dan mengatakan bahwa semua ini sudah berakhir. Aku keluar dari kamar mandi juga dalam kondisi yang sudah berpakaian lengkap.
Chris tampak menyambutku dengan senyumnya yang khas. "Hari ini, kita sarapan di kantor saja ya. Aku tidak membawa makanan untuk sarapan," katanya sambil membuka tangannya.
Aku mengangguk pelan. Masih diliputi kekecewaan pada diriku sendiri. Kemudian sepanjang pagi ini aku seperti tidak bisa banyak bicara. Banyak hal yang aku rasa terjadi begitu saja. Begitu cepat tanpa bisa aku kontrol sama sekali. Dan hanya dalam beberapa menit kami sudah ada di dalam mobil, dalam perjalanan menuju kantor.
***
Aku mulai terbiasa dengan situasi yang terjadi. Perlahan tapi pasti, aku bisa meyakinkan diri, bahwa Chris memang baik-baik saja. Dia tidak sedang menyembunyikan perasaan kecewa padaku. Aku butuh waktu yang lama untuk meyakini itu.
Sebulan sudah berlalu dari hari aku jatuh sakit. Saat ini, aku mulai kembali bisa menikmati kebersamaan dengannya. Kebersamaan yang sering membuatku lupa, bahwa ini bisa saja hanya merupakan kebersamaan yang sementara. Kebersamaan tanpa harapan dari masa depan. Tapi kami berdua tidak pernah membahasnya lagi, kami hanya menjalaninya saja.
- Saat cinta harus memilih, haruskah aku yang tersisih? -
"Hmm.. Sore ini, aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang," Chris mengatakannya tepat saat mobil yang kami tumpangi bergerak meninggalkan area parkir kantor.
"Siapa?" Aku bertanya dan menatapnya.
"Penasaran, ya?" Chris menggodaku. "Kita lihat saja nanti, ya." Chris tersenyum penuh makna.
Aku hanya bisa terdiam. Tapi entah kenapa hatiku mulai merasa cemas. Sudah beberapa hari ini kami menjalani hari-hari tanpa ada riak masalah. Jadi, aku sangat berharap tidak ada lagi masalah yang harus aku hadapi.
"Aku suka," Chris melirikku, "melihat tampangmu yang tegang karena penasaran itu." Chris masih juga menggodaku.
Aku menghembuskan nafas panjang. Saat ini memang hanya bisa diam saja. Tapi pikiranku tidak mau diam dan terus mencoba menerka-nerka, "kira-kira siapa ya yang mau dia pertemukan padaku?"
Ada beberapa kemungkinan. "Mungkinkah pacarnya yang baru?" Rasa cemburu tiba-tiba menyelimuti hatiku. "Ah, tapi dia tidak pernah bercerita apa-apa, tentang seorang perempuanpun! Lagi pula kalau iya, buat apa dia pertemukan denganku? Ingin membuatku cemburu? Jangan harap!" Rasa cemburu yang sudah ada tiba-tiba bercampur dengan rasa marah yang muncul begitu saja..
"Hei," Chris mengagetkanku. "Santailah sedikit. Aku bukan mau mempertemukanmu dengan malaikat maut kok." Chris menepuk-nepuk bahuku dengan tangan kirinya.
"Aku biasa aja kok. Aku hanya sedang berpikir, fansku yang mana yang mau kamu bawa?" Aku berusaha keras menutupi apa yang aku rasakan. Tapi tentu saja dia terlalu pandai untuk aku bohongi. Dia tentu bisa membaca kegelisahanku dengan jelas saat ini. Aku terkadang merasa benar-benar tidak bisa menyembunyikan apapun darinya. Dia seolah selalu saja bisa membaca semua yang sedang aku rasakan.
"Tapi tidak mungkin dia bisa membaca hatiku, bahkan aku sendiri tidak bisa membacanya!" Secara lantang aku katakan pembelaan dalam hatiku
“Ayo bernyanyilah. Bukankah menyanyi bisa mengurangi ketegangan?” Chris tiba-tiba memberikan ide gilanya.
“Nyanyi apa?” aku menatapnya.
“Apa sajalah! Kamu terlihat sexy saat menyanyi.” Dia mengedipkan matanya menggodaku.
Aku menarik nafas. Mungkin benar juga, aku bisa lebih rileks setelah aku bernyanyi.
Mencintai dirimu...
Hal terindah dalam hidupku..
Denganmu...
Mengukir kisah...
Kisah yang indah...
Indahnya cinta...
“Hei, lagu apa? Aku tidak bisa mendengarnya!” Chris mendekatkan telinganya. Aku memang sengaja bernyanyi pelan-pelan. Aku tidak terlalu peduli, dan terus melanjutkan laguku.
Cinta yang kan selalu, bersama hatimu...
Setia menemanimu...
Hatiku, mencintaimu...
Menyayangimu...
Kau kekasihku...
Namamu yang selalu, di dalam doaku...
Tulus menyertaimu...
Hatiku, berharap kamu...
Selalu denganku...
Tetap bersamaku...
Cintaku..
“Wow, romantis sekali!” Chris tertawa kecil setelah mencuri dengar laguku.
“Memang kamu bisa dengar?” Aku mencibirnya.
“Dengar dong!” Dia tertawa. “Makasih ya?” Dia lagi-lagi mengedipkan matanya.
Aku tersenyum masam. Beberapa saat kemudian, aku baru menyadari bahwa Chris membawaku ke apartemennya, mobilnya tampak sudah memasuki area parkir apartemen tersebut.
Aku makin berdebar, dan bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi selanjutnya. Sejak dia pertama kali menginap saat aku sakit dulu, setelahnya memang beberapa kali dia memaksa untuk menginap lagi di tempatku. Tapi aku memang tidak pernah mau untuk menginap di apartemennya, yang tentunya dia tinggali bersama saudara-saudaranya itu.
"Jangan-jangan kali ini dia akan mengenalkanku pada saudara-saudaranya. Lalu memaksaku untuk menginap di tempatnya." Aku tersenyum sinis di dalam hatiku. "Coba saja kalau bisa! Aku bisa pulang sendiri kalau kamu sampai memaksaku untuk tidur bersamamu di depan saudara-saudaramu!" Aku mengancamnya dalam hati. Aneh sekali.
Chris memang tinggal di apartemen tersebut bersama beberapa orang saudara sepupunya. Semuanya laki-laki. Aku terpaksa bilang beberapa, karena aku sendiri tidak hapal persis berapa tepatnya.
Mungkin aku bukan teman apa lagi pasangan yang perhatian ya? Aku bahkan tidak terlalu tertarik untuk mengetahui tentang apa dan bagaimana keluarganya. Aku hanya tertarik dengan dirinya saja.
"Nah, sudah sampai. Ayo turun." Chris mengajakku turun dari mobil dan menghentikan semua angan yang sedang berputar di dalam kepalaku.
Aku menurut saja dan langsung turun. Ini menjadi sering terjadi, setiap kali dia bisa membuatku penasaran, aku hanya bisa menuruti apapun yang dia katakan saja.
Chris melangkah bergegas ke sebuah restoran China di jajaran depan apartmentnya. Aku mengikutinya dengan tidak bersemangat di belakang.
"Ah, apa lagi ini. Aku tidak suka kejutan." Gumamku lirih.
Sesampainya di pintu, aku dapat melihat Chris sibuk memandangi meja-meja di sana. Dia tampak sedang mencari seseorang. Dan kemudian sepertinya dia menemukan orang yang dia cari.
Mataku tertuju kepada seorang wanita setengah baya yang duduk di bangku agak sudut dalam dari restoran. Wanita itu melambaikan tangannya kepada Chris. Dan Chris tampak melambai dan tersenyum padanya.
"Ayo." Chris mengajakku sambil tersenyum. Kamipun melangkah menuju meja di mana wanita tersebut duduk.
"Jadi ini yang ingin dia pertemukan denganku. Siapa dia? Mungkinkah itu ibunya?" Aku memandangi wajah wanita tersebut, tampak cantik dan aku dapat melihat kemiripan di mata dan bibirnya dibandingkan dengan Chris.
Semakin dekat jarak kami, aku semakin meyakini bahwa wanita ini adalah ibu dari orang yang aku sayangi. Karena ternyata ada banyak kemiripan lain di wajah keduanya. Kini pun aku tahu dari mana chris bisa mendapatkan wajah yang begitu manis itu. Ternyata dia memiliki seorang ibu yang sangat cantik.
"Mah, Maaf ya lama." Chris mengambil mengambil tempat duduk persis di sebelah ibunya. Dia tampak mencium pipi ibunya.
Aku masih berdiri di depan mereka berdua. Wanita itu sekilas menatapku.
"Oh iya Mah, ini Chris bawa teman." Chris mengisyaratkan padaku untuk duduk dan berkenalan dengan ibunya.
Aku sedikit gugup saat memperkenalkan diriku sesopan yang aku bisa pada wanita itu. Aku bisa menyadari satu hal saat ini, sang ibu sedang memperhatikanku dari atas sampai bawah. Sungguh suatu hal yang membuatku sangat tidak nyaman.
Di sisi lain meja, Chris banyak berinteraksi dan tersenyum dengan ibunya. Sementara di bagian lain dari meja aku merasa begitu canggung dan aneh. Seperti salah tempat. Lagipula aku merasa ada yang aneh dengan wanita ini, seolah telingaku dapat mendengar suaranya berkata, "Siapa kamu? Menjauhlah kamu dari anakku!"
"Chris," ibu Chris menegur Chris yang sedang asyik memandangi menu. "Kenapa kamu tidak ajak saudara-saudaramu turun juga? Mereka ada di atas kan?" Ibu Chris meminta chris mengajak saudara-saudaranya.
"Duh, bakal makin aneh saja nih aku di sini." Gumamku lirih.
"Oh iya, Mah. Kita pesan dulu ya," Chris memanggil pelayan restoran dan menyebutkan pesanan.
"Kamu mau apa?" Dia menatapku dengan lembut. Sebelum menjawab, sekilas aku menatap ke arah wajah ibu Chris yang sedang melihat ke arahku dengan pandangan yang tajam. Aku agak down dengan caranya memandangku.
"Aku samain aja, Chris." Aku menjawab singkat.
"Bagus," Chris langsung menambahkan pesananku.
Setelah pelayan itu pergi, Chris segera mengeluarkan handphonenya dan dia tampak berusaha menghubungi satu persatu saudaranya. Tapi tampaknya telepon itu tidak ada yang mengangkat.
"Ga ada yang respon nih, Mah." Chris meletakkan handphonenya.
"Apa mereka masih di tempat kerja?" Ibu Chris bertanya.
"Biasanya sih sudah pulang. Cuma ini anak pasti lagi pada ngegame ampe ga angkat teleponku." Chris menggerutu.
"Kalau begitu, biar Mama lihat ke atas sebentar ya?" Ibu Chris tampak berdiri.
"Eh, jangan dong Mah." Chris menahan ibunya dan mendudukkannya kembali.
"Ga usah lah, Mah. Lagian itu makanannya udah datang." Chris menunjuk pelayan yang datang menghidangkan pesanan kami.
"Kita kan sudah lama tidak makan bareng, Chris. Mama pengen makan bareng aja." Ibu Chris sambil memandangi makanan yang terhidang.
"Oh, gitu." Chris manggut-manggut sambil mencomot dan mengunyah makanan.
"Chris, kamu ini main langsung makan aja. Belum juga berdoa. Ga malu kamu sama temanmu" Ibu Chris mengingatkannya sambil melirik ke arahku.
"Iya.. Iya, Mah. Maaf.. Maaf." Chris kemudian tampak berdoa sejenak. Aku tersenyum melihatnya.
"Chris," ibu Chris tampak masih memandangi makanan yang terhidang begitu banyak di atas meja. "Ini terlalu banyak untuk kita. Mama ke atas dulu ya, siapa tahu ada saudaramu yang bisa ikut makan."
"Ya udah, Mah. Chris ke atas deh, panggil mereka ya. Mama di sini aja." Chris bangkit dan saat melewatiku dia berhenti sejenak.
"Apa aku perlu ikut?" Aku bertanya sambil memandanginya. Dalam hati aku berharap dia akan mengajakku dan tidak meninggalkan aku di sini bersama ibunya.
Dia menggeleng. "Kamu di sini saja. Temani ibuku ya, ya itung-itung kamu menjaganya." Dia setengah berbisik. Senyumnya penuh arti. Aku bisa mengerti dia ingin agar aku bisa lebih akrab dengan ibunya. Tapi masalahnya aku sama sekali tidak merasa siap untuk hal ini.
Chris segera berlalu, aku melepasnya pandanganku darinya dan menyadari ibu Chris sedang menatapku tajam. Sekarang momen yang sangat menyiksa telah dimulai. Aku seperti tidak tahu harus berbuat apa. Ibu Chris yang kini ada di depanku tampak sangat tidak bersahabat bagiku. Aku hanya bisa terdiam dan menunduk.
"Ada hubungan apa, antara kamu dengan anakku?" Kalimat itu, meskipun pendek dan terdengar datar, tapi rasanya sangat begitu menusuk dalam hatiku. Aku menatap ke arah datangnya suara. Memastikan itu bukan kalimat yang kubuat dalam kepalaku sendiri.
Ibu Chris tampak tetap cantik, meskipun dalam ekspresi yang tidak ramah.
"Maksud Tante?" Aku menutupi kegugupanku sebisaku. "Tuhan, aku benar-benar tidak siap untuk kondisi seperti ini. Bolehkan aku menghilang?" Bisikku pelan dalam hati. Aku ingin sekali rasanya berlari meghindari ini, dan aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa selain itu.
"Saya kira, saya bisa menebak apa yang terjadi antara kamu dan anak saya." Dia menatap tajam ke dalam mataku. Seolah ingin membuktikan kebenaran dari apa yang baru saja dia ucapkan.
Aku masih terdiam, dan aku benar-benar lupa bahwa saat ini kami sedang menghadapi hidangan makanan yang begitu banyak.
"Saya heran." Dia masih terus menatap tajam. "Apa yang kamu sudah lakukan, sampai-sampai kamu bisa membuat Chris, anak saya berubah begitu saja. Apa yang sudah kamu lakukan sehingga mempengaruhi anak saya untuk memutuskan hubungannya dengan wanita yang sudah dipacarinya sejak lama?"
Suara ibu Chris terdengar bergetar. Tapi aku tahu, ini bukan getaran ketakutan, tapi ini getaran kemarahan.
Pertanyaan sekaligus pernyataan dari mulut ibu Chris terasa begitu berat di hatiku. "Apakah aku terlihat begitu jahat di matanya? Tuhan! Tolonglah.. aku ingin menghilang saja dari tempat ini. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Aku tidak siap, Tuhan." Aku merintih dalam hati. Tidak pernah aku bayangkan akan menghadapi kejadian seperti ini.
Melihatku yang hanya bisa terdiam. Ibu Chris tampak semakin menjadi.
"Oke, saya tidak ingin berpanjang lebar denganmu. Saya katakan saja secara langsung. Saya tidak suka anak saya bergaul denganmu, apalagi kalau sampai dia punya hubungan khusus denganmu. Amit-amit!" Dia tampak mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya.
Aku benar-benar merasa seperti jatuh dari atas langit. Begitu jauh, sehingga sampai sekarang aku masih terus melayang dan belum tahu kapan aku akan sampai berserakan di atas tanah.
"Saya yakin kamu sudah memberikan banyak pengaruh buruk untuk anak saya. Kamu membuat anak saya.. " Ibu Chris terdiam sejenak. "menyimpang.. Atau sorry, bahkan saya tidak ingin mengatakannya."
Aku sudah tidak sanggup lagi mengangkat kepalaku. Mataku mulai terasa panas. Ini sudah benar-benar diluar daya tahanku.
"Ingat baik-baik, kamu itu laki-laki, dan anak saya itu juga laki-laki. Saya masih tidak habis pikir, tapi kok menurut saya sangat menjijikkan ya rasanya melihat hubungan semacam yang sedang kalian tunjukkan."
Kali ini aku seperti mendarat di tanah, benar-benar hancur berserakan. "Chris, kenapa kamu biarkan aku seperti ini, terpojok dan tidak bisa membela diri. Aku tidak bisa membantah apapun yang ibu kamu katakan. Aku merasa benar-benar lemah tak berdaya. Ibumu menelanjangi begitu saja dengan kata-katanya yang terdengar benar tapi sangat menyakitkan." Bayangan wajah Chris muncul dalam pikiranku dan aku langsung melontarkan protes keras kepadanya.
Bagian hatiku yang lain merintih kepada Tuhan. "Tuhan, benarkah aku sejahat itu. Apakah aku benar-benar seburuk yang dikatakan wanita ini?"
Aku tidak bisa lagi menahan kedukaan ini, entah kenapa mataku terasa berair, rasanya ini di luar kesanggupanku. Baru kali ini aku mengalami kejadian yang sangat memalukan seperti ini.
"Saya tidak tahu kamu menyebutnya sebagai rasa apa? Tapi jika mungkin kamu menyebutnya sebagai rasa cinta, maka menurutmu, apakah perasaan seorang ibu kepada anaknya tidak patut disebut cinta?"
Aku mengusapkan ibu jariku ke sudut mataku. "Aku harus kuat. Aku tidak boleh menangis."
"Kamu masih punya ibu, kan?" Pertanyaan ibu Chris kali ini membuatku memberanikan diri menatapnya. Aku melihat raut sedih di wajahnya. Sekelebat aku melihat wajah ibuku di wajahnya.
"Saya rasa ibumu akan melakukan hal yang sama dengan saya." Ibu Chris berkata lirih dan bergetar. Aku memandanginya yang juga ternyata menangis.
Aku benar-benar tertohok. Aku benar-benar terbayang dengan kondisi ibuku. "Tante benar, mungkin ibuku akan melakukan hal yang sama seperti Tante. Atau mungkin sebelum bisa melakukannya, ibuku sudah bunuh diri duluan mengetahui hal yang paling memalukan seperti ini terjadi pada anaknya." Aku membatin lirih.
"Saya tidak merasa saya patut meminta padamu, karena saya jauh lebih berhak terhadap anak saya dibanding kamu. Kamu tidak pernah mengandung dan melahirkannya. Sayalah yang mengandung, melahirkan dan membesarkannya." Ibu Chris tampak berkaca-kaca.
Kali ini aku bisa melihat keperihannya sebagai seorang ibu.
"Tapi anggaplah saya sedang memohon kepadamu. Tolong jauhi anak saya, dan biarkan anak saya kembali kepada saya. Saya tidak ingin dia terpengaruh olehmu. Biarkan dia menjadi seperti dia yang dulu, sebelum dia mengenalmu." Ibu Chris terdengar sedang memutuskan hubunganku dengan anaknya. "Saya tidak ingin mengancam, tapi saya akan melakukan apapun. Apapun, untuk memastikan anak saya jauh dari kamu! Dan saya juga ingin lihat, mana yang lebih besar. Hati kamu, atau mulut kamu?!"
Lengkap sudah. "Jadi ini yang akan aku terima sore ini. Sebuah pemutusan dan pengusiran." Aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Aku selalu memendam semua perasaanku sendiri.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Chris. Tapi itupun aku tetap selalu berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada orang lain. Tapi kenapa hal ini masih juga bisa terjadi padaku. "Apa yang salah padaku? Apakah aku terlalu vulgar dan mengumbar kelakuan? Mengapa aku merasakan bahwa segalanya sudah diketahui dengan pasti dan jelas oleh ibu Chris. Kenapa dia bisa tahu semuanya, padahal bertemu saja baru kali ini? Kenapa aku harus mengalami semua penghakiman ini sendiri?"
"Mah!" Suara yang berasal dari jauh itu segera memecah suasana. Aku melihat ibu Chris segera berbenah, menghapus air matanya, mengganti ekspresi wajahnya. Aku mengikuti caranya begitu saja. Semampuku kucoba untuk tersenyum menyambut kehadiran Chris. Sebelum terlambat aku juga mengusap mataku yang berair, dan berusaha bersikap seolah tidak terjadi apapun.
"Lho, mana saudaramu?" Ibu Chris bertanya dengan nada yang sangat berbeda, sangat berbeda dengan nada yang dia pakai kepadaku tadi.
"Kosong, Mah. Mungkin mereka mampir-mampir dulu kali ya." Chris segera duduk di samping ibunya. "Lho? Kok makanannya masih utuh sih. Tadi cuma ngobrol ya?" Chris memandangi kami berdua.
"Kenapa kamu biarkan aku di sini sendiri, Chris? Kenapa?!" rasanya hatiku berteriak kepadanya. Aku menatapnya, dan secara kebetulan dia juga menatapku.
"Kalian habis ngomongin apa?" Chris tampak tidak bisa merasakan suasana yang baru saja terjadi.
"Tidak banyak, Chris." Ibu Chris menyahut datar. "Tadi ibu pamit ke toilet, dan ini baru saja kembali. Jadi ya belum ngobrol banyak. Lagipula temanmu ini tampak sangat pendiam," dia melirikku dengan tatapan yang membuatku ingin segera hilang ditelan bumi.
"Haha! Dia memang pendiam, Mah." Chris meledekku, "Tapi dia makannya banyak lho Mah," Chris setengah berbisik, tetapi sengaja masih membiarkanku mendengarnya.
Aku menatapnya tajam dan mengisyaratkan protesku atas candaanya itu. Dia tampak terkekeh.
"Sudah yuk makan. Selamat makan." Chris langsung memulai.
"Tadi ngomongin apa sih?" Chris bertanya lagi setelah beberapa saat.
"Ngomongin kamu," ibu Chris menjawab singkat.
"Oh," Chris manggut-manggut.
"Dia teman ngobrol yang asik kan, Mah?" Chris melirikku.
"Iya." Ibu Chris menjawab pendek.
"Meskipun dia sering tiba-tiba tidak bisa bicara." Chris kembali meledekku. "Tapi dia ini teman yang menyenangkan, Mah." Chris memujiku di depan ibunya.
Pujian itu terasa tidak berguna bagiku. Aku sudah terlampau terpuruk dengan apa saja yang dikatakan oleh ibunya. Suara-suara tadi, masih begitu terngiang jelas. Entah sampai kapan. "Aku benar-benar benci pernah ada di sini."
"Ya, Mama bisa melihat itu." Ibu Chris menimpali.
Suasana kemudian menjadi sangat diluar keinginanku. Waktu berjalan terasa begitu lambat. Semampuku aku melawan perasaanku, menahan kesedihan dan amarahku. Salah satu yang juga berat bagiku adalah ketika harus menghabiskan makananku padahal aku benar-benar sudah kehilangan selera makanku.
Chris dan ibunya telah cukup lama menyelesaikan makanannya, saat pada akhirnya aku berhasil juga menyelesaikan makananku. Dan rasanya aku ingin segera pergi meninggalkan mereka berdua. Aku berpikir bagaimana aku bisa pergi sekarang juga.
"Nah, akhirnya dia selesai." Chris menepukiku. Tidak lucu. "Kamu menginap saja ya? Aku tidak bisa mengantarkanmu." Chris menatapku dengan senyumnya, setengah memaksa. Senyumnya tetap terlihat manis olehku, seperti biasanya. Tapi, sayangnya kali ini aku tidak merasa tertarik dengan senyumannya itu.
"Chris benar, lebih baik kamu menginap saja." Ibu Chris menimpali dengan nada suara yang terdengar biasa saja di telinga.
Namun, ketika aku menatapya, aku melihat sorot mata yang menunjukkan ketidaksukaan di sana. "Pergi!" Seolah mata itu mengusirku. Akupun segera menunduk.
"Terimakasih Tante,.." Aku berpikir sejenak, alasan apa yang bisa membuatku segera pergi. "tapi saya tidak bisa.." Ternyata hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku. Jauh di dalam hatiku rasanya ada sedikit perasaan lega akhirnya aku bisa mengucapkan itu.
Aku memuji usahaku untuk bisa melepaskan diri dari situasi ini. "Maaf Chris, aku tidak bisa. Tapi, aku bisa pulang sendiri kok. Kamu tidak perlu khawatir." Aku tersenyum kepadanya.
"Kamu yakin?" Chris menatapku lekat-lekat. "Atau aku carikan taksi dulu kali ya?" Chris menawarkan.
"Jangan, Chris. Aku bisa kok cari taksi sendiri. Lagi pula kan kamu sedang ada ibu," aku sekilas menatap ke arah ibu Chris. "Aku pulang sendiri saja ya? Sampai ketemu hari senin di kantor." Aku bergegas berdiri.
"Mari Tante, saya permisi dulu. Terimakasih untuk makanannya." Aku membungkuk hormat dan berpamitan sesopan mungkin.
Sesaat setelah itu aku segera beranjak pergi, tanpa memperhatikan lagi apa yang Chris katakan padaku. Aku masih dapat mendengar beberapa bagian dari kata-katanya, tapi tidak dapat menangkap maksudnya, apalagi mengingatnya.
Aku bahkan aku tidak terpikir untuk membayar sendiri makanan yang sudah aku makan. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah segera pergi dari sini.
***
Air mataku akhirnya berjatuhan begitu saja saat aku berjalan gontai menyusuri deretan pertokoan di depan apartemen tempat Chris tinggal. Beberapa taksi membunyikan klakson menawarkan jasanya padaku.
Tapi aku tidak peduli dan terus saja berjalan perlahan. Jarak 2 kilo meter lebih dari apartemen Chris ke apartemenku, aku lalui begitu saja malam ini dengan air mata terus meleleh begitu saja.
Sesampainya di kamar, aku terduduk lunglai di atas tempat tidurku. Kubuka handphoneku dan menatap wallpaper faforitku di sana. Ada photo kami berdua tersenyum bahagia di sana. Tentunya aku bahkan tidak tahu apakah kami bisa merasakan kembali kebahagiaan seperti itu lagi.
Aku menyeka air mata yang masih terus mengalir. Aku set handphoneku ke mode silent, memastikan tidak perlu menerima telepon dari Chris malam ini.
Dia memang pasti akan menelepon, sekedar meyakinkan dirinya bahwa aku sudah sampai dengan selamat. Tapi malam ini, aku benar-benar tidak ingin diganggu olehnya kali ini.
Sesaat kemudian aku mencoba untuk tidur dengan cara menutup mataku dengan bantal. Meskipun sulit, akhirnya aku bisa juga tertidur.
Sayangnya malam ini aku habiskan dengan mimpi mengulang kejadian di tempat makan tadi. Tapi memang dengan versi yang sedikit berbeda. Dalam mimpiku aku berteriak melawan dengan semua hal yang dikatakan oleh ibu Chris.
Tapi anehnya itu tidak mengubah apapun. Perkataan ibu Chris tetap terasa sama, tetap sangat menyakitkan.