BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cinta Kecil untuk Chris

=(1)=

- Apalah arti sebuah nama? Karena cinta bisa terjadi pada pandangan yang pertama. -

Pernahkah kamu mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama?

Awalnya aku tidak percaya pada cinta pada pandangan pertama. Bagaimana mungkin kita bisa begitu saja jatuh cinta, pada orang yang baru saja kita lihat? Bukankah tak kenal maka tak sayang? Lalu bagaimana caranya kita bisa jatuh cinta hanya dengan sekali memandang saja? Hingga kemudian, semua pertanyaan itu terjawab saat aku melihat seseorang di kantorku.
***
Ini adalah hari pertama aku bekerja di perusahaan ini. Sebuah perusahaan yang sangat berkelas di negeri ini. Aku cukup bangga bisa diterima bekerja di perusahaan ini, mengingat aku sebenarnya sama sekali tidak mengajukan lamaran, melainkan ditawari tepat setelah hari kelulusanku.

Dan pada awalnya akupun tidak terlalu berminat menerima pekerjaan ini, hanya karena aku harus pindah domisili ke ibukota. Itu sejujurnya bukan hal yang aku sukai, namun ada alasan kuat yang kemudian memaksaku untuk terpaksa mengambilnya.

Aku dan beberapa anak baru lainnya yang masuk dalam batch yang sama dengan, langsung diajak berkeliling oleh salah seorang karyawan senior ke beberapa bagian kantor yang memang harus kami ketahui.

Aku kemudian mengagumi lingkungan kerja baruku ini. Tampak begitu teratur dan terlihat sangat profesional. Sangat jauh berbeda dengan perusahaanku sebelumnya, yang dikelola secara kekeluargaan. Di sini semua tampak tertib dengan banyak peraturan yang baku. Aku berusaha mengingat secara detail apa saja yang dijelaskan oleh sang karyawan senior.

Waktu hampir mendekati jam makan siang, ketika kami dibawa ke ruang yang akan menjadi tempat kami bekerja. Semua tampak sibuk, dan tampak serius dengan pekerjaannya masing-masing.

Aku mengarahkan pandanganku ke segala penjuru. Cukup banyak karyawan yang ada di ruangan ini. Tiba-tiba dari salah satu arah sudut kantor, berjalan seseorang yang membuatku terpaku, dari awal sampai akhir.

Aku menggambarkannya sebagai seorang lelaki muda yang sangat tampan. Dia terlihat memiliki wajah yang bersih dan tampak sedang tersenyum. Sangat manis dan indah.

Aku benar-benar tidak bisa berhenti memandanginya. Aku benar-benar lupa bahwa saat ini aku sedang dalam masa orientasi. Pandanganku terus mengikutinya, sampai seorang teman dalam batchku menarik tanganku.

"Hei, ayo. Kita harus berkeliling. Kamu kenapa malah bengong di situ?"

"Oh, ya. Aku hanya kagum dengan tempat kerja kita ini." Aku beralasan sekenanya.

Sambil berlalu mengikuti rombongan, mataku masih mencari-cari kemana perginya makhluk indah tadi. Tapi sayangnya hari ini, aku hanya bisa melihatnya sekali saja. Karena sampai aku pulang, aku tidak lagi bisa melihatnya.

***

Aku memandangi langit-langit kamar sambil berangan-angan.

"Tuhan, inikah rasanya cinta pada pandangan pertama?" Aku bertanya dalam hati. "Kenapa aku tidak bisa melupakan senyumannya? Padahal dia tidak tersenyum untukku. Tapi seolah-olah senyum itu tertancap begitu dalam di ingatanku."

Aku mengambil bantal dan menutupi mukaku dengannya. Bayangan wajahnya bermunculan dalam pikiranku. Beberapa saat kemudian, aku bangkit dan tersenyum.

"Tuhan, baiklah aku akui, aku jatuh cinta padanya. Pada pandangan pertama. Aku kini percaya, cinta semacam itu ada." Aku melakukan pengakuan dan berharap hatiku bisa merasa lega setelah itu.

Tapi aku tidak merasakan adanya perbedaan tentang apa yang aku rasakan. Aku merasa tetap saja hatiku gundah memikirkannya. Dan semalaman itu aku terus gelisah memikirkan pemiliki wajah yang tampak selalu tersenyum itu.


=(2)=


- Bertanyalah dengan hatimu, dia pasti akan menjawabmu. -

Aku tidak menyangka, bahwa hari-hari awalku di kantor akan diisi dengan perasaan cinta yang tidak bisa kuungkapkan. Bagaimana tidak? Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Pada seorang lelaki! Bagaimana bisa?

Entahlah. Akupun tidak bisa menjelaskannya. Ini terjadi begitu saja. "Tuhan, aku harus bagaimana?" Aku berbisik lirih dalam doaku sebelum tidur. "Aku tahu ini tidak seharusnya terjadi. Tapi nyatanya ini terjadi. Dan apa yang bisa kulakukan, Tuhan? Selain memendam semua perasaan ini? Apa lagi?" Aku terus berbicara kepada Tuhan. Dan saat perasaan itu semakin berkecamuk, aku terus mengadu kepadanya tentang kesulitanku.

"Tuhan, Kau tahu ini akan sangat sulit bagiku. Sulit bagiku untuk menghilangkan perasaanku ini begitu saja. Tapi juga akan sulit bagiku untuk mengungkapkannya."

Aku berhenti sejenak. Bagian lain dari diriku menimpali. "Apanya yang sulit? Kamu tinggal mengatakannya saja."

"Hei, tentu saja sulit! Lihat dirimu dulu. Kamu ini laki-laki. Dan dia juga. Apa kamu lupa itu?" Aku berargumen melawan pemikiranku sendiri.

"Lalu kenapa? Rasa cinta bisa terjadi pada siapa saja!" Bagian lain dari diriku kembali menimpali.

"Ya, seandainya aku tidak ingat keluargaku, aku pasti akan mengikuti apa yang kamu katakan. Tapi maaf, aku masih bisa mengingat dengan jelas posisiku. Anak pertama dan laki-laki satu-satunya dalam keluargaku. Aku tidak bisa dengan begitu egoisnya tidak memikirkan mereka."

"Maksudmu?"

"Banyak hati yang aku jaga. Ada harapan besar mereka yang menghalangiku dari hal itu."

Kalimatku itu seakan menghentikanku sejenak. Apalagi yang bisa kubantah jika semua terkait dengan urusan keluargaku. Namun rupanya bagian lain dari hatiku tidak berhenti begitu saja.

"Hei, itu semua kan belum terbukti. Siapa tahu keluargamu tidak akan mempermasalahkan ini. Lagi pula mereka kan sangat menyayangimu. Tidak akan ada masalah!".

"Apakah seperti itu?" Aku mulai ragu dengan alasan-alasanku.

Tapi keraguan yang lain kemudian kembali menyelimutiku.

"Anggaplah keluargaku tidak mempermasalahkan. Lalu bagaimana dengan dia sendiri? Ingatlah dia juga punya keluarga. Apa kamu bisa menjamin itu tidak akan jadi masalah juga?"

Aku menghela nafas panjang. Melelahkan sekali berpikir tentang semua kemungkinan-kemungkinan yang bahkan aku tidak berani mencobanya sama sekali.

"Tuhan, tolonglah aku." Hanya itu yang mampu aku ucapkan, setiap kali aku merasa buntu dengan semua ini.


=(3)=


- Saat jalan keluar muncul begitu saja, saat itulah guratan takdir sedang bekerja. -

Apa yang terpikirkan olehku hanyalah berdoa. "Tuhan, inilah yang bisa aku lakukan, maka lakukanlah bagian-Mu."

Tetapi ada hal yang mengganjal di hatiku. Mungkinkah Tuhan akan mengabulkan doaku? Ketika aku meminta dia kepada-Nya? Atau jangan-jangan Dia malah mengutukku atas apa yang aku berdoa kepada-Nya.

Terkadang juga aku malu melakukannya. Mengakui bahwa aku menyukainya, dan memintanya pada-Nya. "Apakah doaku ini benar Tuhan? Atau jangan-jangan lebih baik aku berdoa supaya aku bisa melupakannya?"

Kebingungan adalah sifat dasar manusia. Tapi Tuhan memberikan jalan dengan cara yang kadang tidak pernah kita mengerti.

***

Sore itu, langit terlihat begitu mendung. Meskipun demikian aku memaksakan diri berjalan pulang. Perlu beberapa menit bagiku untuk dapat mencapai kendaraan umum yang jalurnya melewati apartemenku. Sampai saat ini memang aku masih mengandalkan transportasi umum untuk pergi maupun pulang dari kantor.

Dalam hati aku berdoa, semoga hujan tidak turun sebelum aku sampai apartemen. Namun takdir berkata lain. Hujan turun dengan begitu derasnya, bahkan sebelum aku bisa mendapatkan kendaraan umum.

Aku segera berlari menepi ke bangunan terdekat untuk berteduh. Beberapa saat kemudian aku menyadari bahwa dekat dengan bangunan tempat aku berteduh ada sebuah toko buku yang cukup besar. Idekupun muncul begitu saja.

"Mungkin lebih baik aku ke sana, dan membaca beberapa hal yang mungkin menarik." Akupun bergegas menuju toko buku itu, sementara hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda untuk mereda.

Aku sejenak berdiri di bawah hembusan angin AC, meskipun terasa dingin, aku berharap bajuku yang sedikit basah bisa segera kering. Beberapa saat kemudian aku melangkah masuk.
Tidak begitu ramai. Aku berjalan perlahan melewati deretan buku yang tertata rapih di rak-rak yang berderet-deret. Banyak judul yang menarik, tapi tak satupun yang membuatku tergerak mengambilnya.

Hingga sampai pada sebuah buku dengan judul yang cukup menggelitik, the Secret. Aku tersenyum. Dan dengan sendirinya, tangan kiriku menjangkau buku tersebut.

Aku membolak balik buku tersebut. Kebetulan ada sebuah buku yang tidak terbungkus, sehingga aku bisa langsung membaca isinya di tempat. Dan hatiku berdebar, saat membaca sebuah bagian dari buku yang bertutur tentang cinta.

Aku tersenyum-senyum membaca setiap baris dari bagian tersebut. Wajah dan senyumannya tiba-tiba bermunculan dalam pikiranku. Selesai bagian itu, ada gejolak dalam hatiku. Rasanya tak sabar untuk mempraktekkan semua yang tertulis di sana. Pasti akan sangat menarik untuk melihatnya apakah bekerja atau tidak.

Aku segera membeli sebuah buku sketsa di tempat yang sama, dan beberapa pensil berwarna. Setelah itu aku bergegas untuk pulang. Tapi sayangnya ternyata hujan belum juga selesai.
Hatiku sedikit menggerutu. Tapi kemudian aku teringat dengan apa saja yang baru kubaca.

Akupun mencoba tersenyum memandangi hujan, dan membayangkan hal yang indah di luar sana.
"Bagaimana kalau tiba-tiba dia muncul di sini berlari-lari dari luar sana. Basah dan sexy!" Aku tertawa kecil dengan bayanganku sendiri. Ternyata menyenangkan juga, bahkan jika aku hanya membayangkannya.

***

Aku sampai ke kamarku satu jam kemudian. Sepenuh hati aku hibur diriku yang kelelahan menunggu hujan reda, juga masih berebut tempat berdiri di transportasi umum. Aku hadirkan dia dalam berbagai kondisi tersebut, dan itu cukup membantuku untuk bisa bertahan.

Setelah mandi aku segera merebahkan tubuhku karena kelelahan. Namun entah kenapa rasa kantuk yang menyerang tidak mampu membuatku langsung tertidur.

Beberapa saat kemudian aku bangkit, mengambil tas dan mengeluarkan buku sketsa dan pensil warna yang kubeli. Aku tersenyum memandanginya.

"Mulai hari ini, akan kutuliskan semua hal indah antara kita. Akan kutuliskan kisahku dan kisahmu di sini."

Aku mulai menuliskan beberapa hal tentangnya, dan beberapa kisah yang terlintas di kepalaku begitu saja. Kubaca berulang kali, kupastikan hanya hal-hal yang membuatku tersenyum bahagia yang kutulis di sana.

Bahkan aku tetap menuliskannya, meskipun aku tidak mengetahui namanya.


=(4)=


- Aku bukan ingin merebutmu, aku hanya ingin menjalani takdirku bersamamu. -


Aku menjalani hari-hariku dengan banyak hal yang indah dalam pikiranku. Berulang kali ku tuliskan semua hal indah tentangnya, meskipun kisah itu berlalu begitu saja dalam anganku. Tapi aku tidak terlalu peduli. Aku hanya menuliskannya, dan membacanya dengan bahagia sebelum tidur.

Dan aku bersyukur pada Tuhan untuk semua rasa bahagia itu. Itulah yang aku lakukan, hari demi hari. Terkadang saat merasa lemah, semua itu aku selingi dengan doa.

"Tuhan, hal indah inilah yang bisa aku tuliskan. Maka tuliskanlah yang lebih indah dari ini dengan tangan-Mu."

Dan kubawa semua doa dan harapanku dalam tidurku.

***
Rasa cinta itu terkadang membuat kita selalu ingin tahu lebih banyak terhadap apa yang kita cintai. Itulah yang aku rasakan.

Selain menuliskan semua angan-anganku, hal yang paling membuatku penasaran adalah, bagaimana aku bisa mengetahui, setidaknya namanya.

Itu penting bagiku, karena aku sampai dengan saat ini hanya bisa membayangkan wajahnya dan menyebutnya "dia" saat berdoa, dan pada semua tulisanku.

Jadi misi pertamaku adalah bagaimana aku bisa tahu namanya. Tapi bagaimana caranya?

"Tidak sulit. Setiap karyawan, pasti menggunakan tanda pengenal. Kamu pasti bisa tahu nama dia dari situ." Ada ide yang muncul begitu saja dalam pikiranku.

Tapi ternyata ide, tidak begitu mudah untuk dilakukan. Beberapa kali aku berkesempatan berpapasan dengannya. Aku berusaha mencuri pandang ke arah tanda pengenalnya, tetapi sepertinya aku kurang begitu beruntung, karena kartu itu selalu dalam kondisi terbalik.

Akhirnya aku hanya bisa menikmati senyum khas di wajahnya saja. Tapi aku tetap bersyukur dan berharap akan tiba waktunya untuk bisa mengenal setidaknya namanya.

"Kenapa kamu tidak bertanya saja pada salah seorang teman kantor?" Ide lain melintas di kepalaku.

"Tunggu, dengan alasan apa? Aku benar-benar terpisah bagian dengannya. Meskipun satu kantor, sampai dengan saat ini kami mengurusi pekerjaan yang jauh berbeda. Meskipun berhubungan, sama sekali tidak alasan bagiku tiba-tiba menanyakan namanya." Aku segera mematahkan ide itu. "Salah-salah, malah kelihatan sekali kalau ada apa-apa."

Aku pun kembali pada ide yang pertama, dan sabar menunggu sampai menemukan kesempatan terbaik untuk mengetahui namanya.

***

Pagi ini aku agak terburu-buru ke kantor. Aku bangun terlalu siang, karena semalaman entah kenapa tiba-tiba aku sulit untuk tidur. Mungkin ada bagian dari hatiku yang merasa resah. Bagian yang tidak sabar.

"Jangankan mendapatkan kasih sayangnya, bahkan namanyapun kamu tidak tahu?! Menyedihkan sekali!"

Sungguh menyakitkan, ketika ada bagian dari hati kita yang justru mengecilkan sendiri usaha yang sudah susah payah dilakukan. Itu benar-benar membuatku gelisah dengan apa yang aku hadapi sekarang.

Terburu-buru aku mengejar lift yang hampir tertutup. Untungnya ada seseorang di dalam lift yang membantu dengan menekan tombol buka, sehingga pintu lift kembali terbuka.

Dan saat itulah sebuah wajah tampan, dengan senyum khasnya tampak begitu manisnya, seolah menyambutku yang terpana di depan pintu. Ya itu dia!

"Ayo." Dia berkata pendek, sambil memberi isyarat dengan senyumnya.

Aku menurut segera masuk. Dan berdiri di bagian lain dari sisi lift tempat dia dan seorang temannya berada.

"Kenapa kamu diam?!" Aku berteriak dalam hati. "Harusnya kamu bilang terimakasih, lalu kenalan."

Aku tetap diam. "Ayo lakukan!" Bagian hatiku berteriak mengomentari kekakuan sikapku. Aku tetap tidak melakukan apapun.

"Chris, kamu sudah membuat presentasi buat nanti siang?" Tiba-tiba suara itu terdengar dari sudut sana.

"Sudah, tapi aku rasa perlu revisi" jawab suara yang lain. Suara ini aku mengenalnya. Ini suara dia! Jadi?!

"Thanks God!" Aku seolah ingin meloncat-loncat kegirangan. Bahkan aku tidak peduli lagi apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Itu menjadi begitu tidak penting. Karena aku baru mendapatkan informasi yang paling penting. Informasi yang aku cari-cari selama ini.

"Chris, jadi itu namamu. Nama yang bagus. Aku suka." Aku tersenyum-senyum sendiri.

Dan begitu pintu lift terbuka. Sesaat aku menoleh ke arahnya, yang tetap tampak sedang tersenyum. Aku melepaskan senyuman pertamaku padanya. Sekilas aku melihat dia melebarkan senyumnya, dan tanda pengenal dia tetap dalam kondisi terbalik.

Aku bergegas keluar lift. "Sial, kenapa sih tanda pengenal itu tidak digunakan dengan benar. Payah." Aku tetap mengeluh tidak bisa membaca namanya langsung dari tanda pengenalnya.

***

Aku langsung mengeluarkan handphoneku. Kubuka situs andalan, apalagi kalau bukan Google. Tanpa pikir panjang, aku ketikkan "Chris" di kotak pencarian.

Google merespon dengan cepat dan mengembalikan jawaban dengan ratusan juta kemungkinan. Aku tersenyum kecut. Banyak sekali. Dan pastinya sampai halaman berapapun tidak muncul Chris yang aku cari.

Aku termangu sejenak memikirkan apa yang bisa aku cari hanya dengan nama panggilan. Aku sejenak berhenti mencari. Kubuka berkas-berkas pekerjaanku, dan saat sekilas melihat logo perusahaan, tiba-tiba ideku muncul begitu saja.

Kembali kuraih, handphoneku. Kali ini kutambahkan nama perusahaan di belakang nama Chris. Aku tersenyum melihat jumlah hasil pencarian yang menurun jauh. Tapi sampai halaman ke lima aku belum menemukan apapun terkait orang yang ku cari.

"Kalau kamu mencari orang, seharusnya kamu mencari wajahnya. Bukan hanya namanya." Ide itu muncul begitu saja.

Langsung saja aku klik link pencarian Images. Dan muncullah banyak gambar dengan key pencarian yang sama. "Masih terlalu banyak!"

Aku memfilter lagi dengan type Face. Dan kali ini hasil yang muncul lebih spesifik ke gambar wajah. Dan aku sungguh beruntung, karena dengan segera mataku menangkap wajah Chris di sana.

Tapi, hatiku sedikit terpukul karena di situ dia jelas tidak sendiri. Itu foto berdua. Dengan seorang wanita.



=(5)=


- Jika dirimu sulit untuk kulupa, jangan pernah kau tanya kenapa? -

Aku memasuki kamarku dengan sedikit lesu. Aku terduduk di sudut ranjang. Ada rasa kecewa yang masih berusaha kuhibur sendiri.

Hari ini aku awali dengan kebahagiaan besar, saat aku sekarang bisa mengetahui namanya. Lalu diakhiri dengan kecewa, karena ternyata dia sudah tidak lagi sendiri.

"Bodoh! Mana mungkin kamu berharap cowok setampan dia mau sendiri." Aku mengumpat diri sendiri.

"Oke, inilah faktanya sekarang. Selanjutnya apa?" Aku bertanya pada diriku.

"Lupakan!"

"Kenapa?"

"Jangan merusak suatu ikatan."

"Haruskah?"

"Ya."

Aku menarik nafas panjang. Aku tidak ingin menjadi perusak hubungan antara dua orang kekasih. Itu pasti akan sangat menyakitkan. Mungkin lebih sakit dari apa yang kurasakan saat ini.

***

Malam itu aku menuliskan nama Chris, dalam buku impianku. Dan aku membaca semua yang sudah kutulis di sana dengan mata berkaca-kaca. Sulit sekali bagiku untuk bisa secara ikhlas mengatakan pada diri sendiri bahwa aku berhenti menyukainya.

Tapi aku harus melakukannya, dari saat ini. Dan semoga waktu akan membantuku melupakannya.
Aku tertidur sambil memeluk buku impianku, dan terbangun keesokan paginya dalam kondisi memeluknya juga.

Aku bangkit, dan menuju lemari di sudut kamarku. Aku menarik salah satu lacinya.

"Terimakasih, Chris. Sudah membuat hari-hariku penuh warna sampai dengan kemarin."

"Terimakasih sudah membuatku merasakan banyak impian yang indah." Aku tersenyum.

"Kini, izinkan aku berusaha melupakan semua itu. Dan belajar untuk kembali hidup, seolah kamu tidak pernah hadir dalam hidupku." Aku mulai kembali berkaca-kaca.

"Semoga kebahagiaan selalu menyertai kita berdua." Aku mengusap halus buku impianku. Lalu perlahan menaruhnya di laci.

Aku menutup laci, dan berbalik, lalu terhenti sebentar. "Tapi, Tuhan. Jika takdir memang harus mempertemukan kami, biarkanlah itu terjadi." Aku bergumam pelan. Itulah doa terakhirku tentang Chris.

Setelah itu aku berusaha menepis semua ingatan yang muncul tentang Chris. Aku berusaha mengalihkan fokusku pada hal lain. Meski itu tidak mudah, aku tidak pernah menyerah.

=(6)=


- Terkadang yang kau inginkan datang, di saat hatimu sudah melepasnya dengan tenang. -

Sejujurnya, bukanlah hal yang mudah bagiku untuk melupakan Chris begitu saja. Itu benar-benar membutuhkan kesabaran, kemauan yang kuat dan ketahanan hati.

Hampir setiap hari, hatiku seolah ingin menyerah. Tapi aku selalu berusaha melihat ke titik awal, dan terus menyemangati diriku sendiri, hanya sekedar untuk waktu yang sebentar.

"Ayolah. Kamu sudah bertahan sampai hari ini. Kamu hanya perlu bertahan sampai hari ini. Jika ingin menyerah, menyerahlah besok!" Itulah yang aku katakan pada diriku sendiri, setiap kali hati menjadi lemah dan ingin menyerah.

***

Pagi itu, aku masuk kantor seperti biasa. Tidak ada hal aneh yang terjadi, sampai dengan atasanku memanggilku ke ruangannya.

"Silakan masuk". Dia mempersilakan masuk.

Aku melangkah masuk, dan satu hal yang membuatku berdegup kencang. Ada sosok yang duduk menghadap ke arah atasanku, sedang meneliti sesuatu di notebooknya. Dari belakang saja aku sudah mengenali sosok itu. Siapa lagi kalau bukan Chris.

Aku berdiri tepat di samping tempat duduk Chris. Begitu dekat.

"Ambil kursi," atasanku menunjuk ke beberapa kursi yang tersusun di sudut ruangan.

Aku mengiyakan dan segera menarik salah satunya ke samping Chris dan duduk. Sekilas aku menoleh ke arahnya.

Itu benar-benar bertepatan dengan dia menoleh ke arahku. Kami saling berpandangan sejenak. Momen itu terasa diikuti dengan alunan merdu di hatiku. Waktu terasa melambat. Dia tersenyum begitu manis.

"Tuhan! Indahnya. Ini benar-benar senyuman dia untukku. Terimakasih Tuhan." Hatiku berteriak bahagia. Aku membalas senyumnya semanis mungkin. Meskipun aku yakin, senyuman dia adalah yang paling manis sedunia. Bagiku tentunya.

"Sudah kenal?" Atasanku bertanya. Aku kaget dan menggeleng perlahan. "Belum, Pak."

"Oke, ini Chris." Atasanku memperkenalkannya. Kami berjabat tangan. Dia menyebutkan namanya dengan suara yang terdengar merdu di telingaku.

Aku menyebutkan namaku dengan sedikit gugup.

Itulah pertama kali aku mengajaknya bicara. Pertama kali aku duduk di sebelahnya, begitu dekat dengannya. Pertama kali menerima senyumannya. Pertama kali menjabat tangannya. Pertama kali melihat tanda pengenalnya secara jelas, tidak lagi dalam kondisi terbalik.

Atasanku menjelaskan beberapa hal kepada kami berdua, tentang beberapa rencana ke depan yang mungkin ada tugas yang akan dipercayakan pada kami berdua.

Aku mendengarnya dengan antusias. Tetapi di akhir pembicaraan, semua menjadi bias, ketika atasanku belum bisa memastikan kapan semua itu akan bisa dimulai.

Tapi semua itu tidak bisa mengalahkan kegembiraanku atas semua momen yang terjadi bersama Chris hari ini. Aku bisa memastikan, hari ini akan menjadi hari paling indah yang pernah terjadi.

***
Malamnya mataku seolah begitu sulit terpejam. Pikiranku melayang dan mengulang-ulang kejadian tadi pagi. Chris dan Chris, terus bermunculan di pikiranku. Seolah usahaku melupakannya selama ini yang kulakukan susah payah, kini sia-sia.

Sekarang pikiranku berontak. Tidak mau lagi kuatur.

Aku bangkit dari tempat tidur. Mataku terarah ke laci lemari di sudut ruangan. Di sanalah aku menyimpan buku impianku tentang Chris.

"Ambillah. Tuliskan apa yang terjadi hari ini."

"Tidak. Itu akan membuat semua usahaku sia-sia."

Aku menunduk. "Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa menolak semua bayangannya. Tapi aku juga tidak mau menjadi perusak hubungan dia dengan pacarnya."

"Hei, dengar. Pertama, bagaimana kamu bisa tahu bahwa kamu adalah perusak hubungan? Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?" Aku menggeleng perlahan.

"Kedua, apa salahnya membahagiakan diri sendiri. Toh, ini hanya sekedar menuliskan apa yang terjadi. Biarkan takdir yang menentukan, dia akan bersamamu atau tidak."

Aku menarik nafas panjang.

"Baiklah." Aku berjalan menuju laci lemari, membukanya, dan tersenyum melihat buku impianku yang tersimpan di sana. Beberapa minggu ini aku sudah meninggalkannya begitu saja.

Aku meraih buku kecil itu dan membuka setiap halamannya. Hatiku masih tetap bisa merasakan kebahagiaan saat membaca setiap tulisanku di sana. Aku mengambil pensil warnaku, dan mulai menuliskan apa yang terjadi hari ini di sana.

"Tuhan, maafkan aku jika keputusanku ini salah. Aku menyukai Chris, sejak pertama aku melihatnya. Beberapa hari ini aku sudah berusaha meninggalkannya, tepat setelah aku tahu dia sudah tidak sendiri. Tapi hari ini, takdirmu mengubah segalanya. Dan aku akan kembali menuliskan semua harapan indahku tentangnya mulai hari ini. Aku akan berjuang untuk mendapatkan tempat di hatinya. Aku tidak ingin merebutnya dari siapapun, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Semoga waktu akan menunjukkan kemana takdirmu membawa cerita ini. Aku berharap kami semua mendapat yang terbaik."

Aku menarik nafas panjang. Ada perasaan lega setelah menuliskannya. Setidaknya aku sudah jujur pada diriku sendiri, dan aku sudah jujur kepada Tuhan. Dan hidup terasa lebih ringan, saat hati kembali penuh dengan harapan.

***

Hari-hari selanjutnya berlalu begitu saja. Harapan itu kembali pudar seiring waktu. Tidak ada apapun yang terjadi. Tidak ada pertemuan. Tidak ada keajaiban.

"Tuhan, aku berharap Engkau tidak sedang marah kepadaku." Hanya itu yang bisa terucap dalam hati.

Kebahagiaan dan kesedihan bercampur menjadi satu, setiap kali membaca tulisanku di buku impian.

Rasa rindu semakin hari semakin nyata menjeratku. Saat itu sudah tidak tertahankan, biasanya aku sekedar melewati tempatnya, untuk hanya bisa melihat wajahnya tersenyum. Hanya dari jauh.
Dan saat kesedihan dan rindu memuncak, aku tahu hanya kepasrahanlah yang bisa menjadi satu-satunya jalan.

"Baiklah. Aku akan kembali belajar melupakannya."

Aku merasa hatiku begitu labil. Tapi apalah yang bisa aku lakukan? Aku kembali menyimpan buku impianku, di tempat yang sama.


=(7)=


- Kenapa kamu selalu menjadi dekat lagi, setiap kali aku merelakanmu untuk pergi? -

Aku banyak mendoktrin diriku sendiri dengan perkataan-perkataan positif yang menghibur. Dan itu sedikit membuatku mulai bisa menghadapi situasi yang seolah mempermainkan hatiku.

Namun di saat hatiku sudah mulai stabil kembali. Kembali, takdir seolah menghendaki hal lain untuk hidupku.

***

Atasanku kembali memanggilku. Dan seperti yang aku duga, dia juga memanggil Chris. Aku bersumpah pada diriku sendiri aku tidak akan mengulang kekonyolan yang sama seperti sebelumnya. Aku harus menanggapi semua ini biasa saja. Aku tidak boleh lagi mengalami gejolak hati yang sama, karena itu sangat melelahkan.

Kali ini atasanku benar-benar menugaskanku dan Chris dalam sebuah tugas kecil yang harus kami lakukan bersama-sama.

Namun, nyatanya aku bukan orang yang bisa menutupi apa yang aku rasakan begitu saja. Meskipun sudah berusaha untuk menahan diri, tidak terlalu berharap dan tidak terlalu terlihat senang, tapi aku tetap tidak bisa membohongi diri sendiri. Dan sepertinya usaha kerasku itu tidak bisa menutupi kebahagiaanku.

Dalam pertemuan pertama, dan hanya berdua dengannya, Chris tersenyum memandangiku. Aku sedikit gugup dan pura-pura sibuk.

"Hei," Chris memanggilku.

"Ya?" Aku mengangkat wajahku. Tapi mataku tidak berani menatapnya.

"Aku lihat kamu begitu bahagia. Dari tadi senyum-senyum sendiri terus. Kamu habis dapat apa?" Chris bertanya dengan gaya menggoda.

Aku semakin gugup. Ternyata dia bisa menangkap semua gelagatku. Padahal aku sudah berusaha untuk sebiasa mungkin!

"Ah, masa?" Aku menjawab sekenanya. Dan terus mengarahkan mataku ke berkas-berkas di hadapanku.

Chris mengambil berkas-berkas itu. Aku cukup kaget dengan apa yang dilakukannya. Dia tersenyum manis tepat di hadapanku. Ada getaran-getaran dengan tegangan yang sangat tinggi menyerangku.

Dia dengan santai kembali bertanya. "Kasih tahu dong!"

Aku masih terbengong-bengong dengan apa yang terjadi.

"Yah, dia malah bengong." Chris memunculkan mimik kecewa di wajahnya.

"Chris, kembalikan berkasnya. Kita punya deadline hari ini." Aku mengulurkan tanganku untuk mengambil kembali berkas itu. Tapi di luar dugaan, tangannya dengan cekatan diangkat menjauhi jangkauan tanganku. Dan sesaat kemudian aku masih terus berusaha mengambil berkas itu dari tangannya. Chris tampak menikmati semuanya, dia tampak tertawa melihatku yang kebingungan ingin mengambil kembali berkas di tangannya.

Aku merasa sedikit kesal dan capek. Aku kemudian kembali ke tempat dudukku, dan memasang muka kesal. Chris tertawa renyah dan mendekatiku.

"Mau kasih tahu tidak?" Chris menyodorkan berkas itu di hadapanku. Dan dengan cekatan dia menjauhkannya saat tanganku hendak meraihnya. Dia kembali tertawa.

"Chris!" Aku meneriakinya sedikit kesal.

"Ya?" Dia mendekatkan wajahnya.

Ah, terlalu dekat. Aku bisa mencium aroma parfum yang lembut darinya. Hampir saja aku terbuai. Untunglah aku masih bisa menguasai diri.

"Kembalikan berkasku." Aku berusaha berkata tegas. Tapi tetap tidak berani menatap langsung wajahnya.

"Ambil sendiri." Chris kembali menyodorkan berkas itu.

"Ga lucu." Aku berdiri dan meninggalkannya.

Tapi sesaat kemudian tertahan oleh tangannya yang memegangi tanganku.

"Hei, jangan marah dong." Chris menarikku dan mengembalikan berkas itu di tanganku. "Kamu itu serius banget ya orangnya. Masa aku tidak bisa bercanda sih?" Chris sedikit menggaruk-garuk kepalanya.

Aku menarik nafas panjang. Mungkin aku memang terlalu tegang sampai-sampai aku tidak bisa menikmati candaannya.

Chris duduk dan mulai kembali bekerja. Aku kembali ke tempat di depannya, dan kembali bekerja. Sesekali aku mencuri pandang kepadanya.

Sungguh mengherankan, dia bisa terlihat tampan setiap kali aku memandanginya. Entah dia dalam kondisi serius, maupun kondisi santai atau saat dia sedang bercanda tadi.

"Hei." Suara Chris mengagetkanku. Aku menatapnya, dan mencoba sesantai mungkin.

"Kamu kenapa tuh sekarang malah bengong."

"Mau tahu aja." Aku menjawab sekenanya.

"Jadi benaran aku tidak bisa tahu nih?"

"Boleh sih. Tapi nanti kamu gede kepala."

"Maksudnya?"

"GR."

"Kok bisa?" Dia bertanya dengan mimik yang khas.

"Iya, soalnya aku bahagia karena bisa berduaan dengan kamu." Aku menjawab jujur dengan nada kubuat bercanda, persis seperti orang sedang menggombal.

Chris terdiam sebentar dan kami saling menatap. Sebentar kemudian dia mulai tertawa terbahak-bahak. Akupun tertawa melihatnya. Ada sedikit perasaan lega. Akhirnya aku bisa menyatakan perasaanku padanya. Meskipun aku tidak tahu dia akan mengiraku bercanda atau serius.

"Nah, aku baru tahu aku punya fans." Chris masih tertawa kecil. "Aku angkat kamu jadi ketuanya deh. CFC!"

"CFC?"

"Chris Fans Club!" Chris kembali tertawa kecil.

Kami tertawa bersama. Saat itu aku tahu Chris menangkap semuanya sebagai candaan.

"Baguslah. Berarti mulai sekarang aku harus membawa semuanya kepada canda." Aku seolah mendapat pencerahan dalam hatiku, tentang bagaimana aku harus bersikap kepadanya saat aku hanya berdua dengannya. Aku tidak boleh lagi gugup, aku harus mulai belajar bercanda dengannya.

***

Kebersamaanku dengan Chris terjalin cukup akrab. Ada banyak hal yang kemudian kami jalani bersama, selain urusan pekerjaan.

Aku melihat Chris adalah seorang yang mudah bergaul, ceria, mudah akrab dengan siapapun dan juga suka bercanda. Dia juga orang yang gampang penasaran, dan pada waktu tertentu tampak sedikit manja.

Beberapa hari bersamanya, semuanya berubah begitu cepat. Dari suasana yang serba serius dan tegang, menjadi suasana yang semakin hangat dan santai setiap hari. Itu semua karena dia selalu bisa membawa hal apapun menjadi bahan lelucon atau candaan. Dan semua itu membuat kami menjadi semakin dekat.

Aku mulai merasa ada yang hilang jika dia tidak ada, dan aku mulai berpikir dia pun merasakan hal yang sama. Meskipun aku tahu dia sudah punya pacar, tapi kenyataannya dia tidak pernah membicarakan pacarnya saat dia sedang bersamaku. Dan satu hal yang aku merasa yakin, dia merasa nyaman saat bersamaku.


=(8)=


- Saat hatiku telah luluh runtuh, tiba-tiba kamu pergi menjauh... -

Atasanku merasa senang dengan hasil kerja kami. Itu jelas terlihat dari respon yang dia berikan saat kami melaporkannya.

"Kerja bagus, kalian ternyata tim yang hebat." Dia tampak berbinar. "Lain kali, saya harap ada kesempatan lain di mana kalian bisa menunjukkan lagi kemampuan terbaik kalian."

"Siap, Pak." Chris menimpali.

Aku hanya tersenyum tipis. Bagaimanapun aku senang hasil kerja kami dinilai bagus. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran dalam hatiku. Bahwa ini adalah hari terakhir bagiku untuk bisa berdekatan dengannya.

***

Keesokan harinya Chris mendatangiku beberapa menit sebelum makan siang. Sejujurnya aku terkejut tapi senang dia datang kepadaku.

"Makan yuk?" Dia duduk di mejaku.

"Makan di mana?" Aku membereskan pekerjaanku.

"Biasa aja. Kantin atas." Dia memainkan tangannya di handphonenya.

Aku memandangi sejenak wajahnya yang tampak serius memandangi handphonenya. Anak ini pasti sedang memainkan game kesukaannya.

Aku berdiri di hadapannya. Dia tetap asyik dengan gamenya.

"Aku tinggal, ya." Aku menggodanya.

"Tunggu!" Dia menjawab tapi masih tetap sibuk dengan handphonenya.

"Oke." Aku mengiyakan tapi tetap berlalu meninggalkannya.

Sesaat kemudian aku merasakan kedua tangannya di punggungku menarikku ke belakang. Dan dekat sekali dengan telingaku dia merajuk.

"Jadi gitu ya, sudah ga butuh aku lagi ya. Sekarang main tinggal aja."

Aku tertawa. "Kamu siapa?" Aku bertanya dengan nada menggoda.

"Aku?" Dia berpikir sejenak dengan mimiknya yang lucu. "Aku majikanmu!" Dia tertawa, dan kami tertawa bersama.

Aku menikmati makan siang bersamanya. Menikmati semua canda dan tawa bersamanya. Tidak hal penting yang kami bahas. Hanya hal-hal ringan yang bahkan sangat sepele.

Tapi hari ini aku senang, karena bahkan setelah tugas bersama kami selesai. Dia tetap akbrab denganku.

Mulai hari itu, kami selalu makan siang bersama. Jika tidak dia yang mendatangi mejaku, aku sudah berani mendatangi mejanya. Dan dia biasanya akan menggodaku.

"Kenapa kamu ke sini?" Dia bertanya dengan nada serius.

"Aku lapar." Aku menjawab dengan nada yang dibuat serius juga.

"Jadi kamu kesini mau minta makan?" Kamipun tertawa bersama. Begitulah aku sangat menikmati hari-hariku bersamanya.

***

Hari ini seperti biasa kami makan bersama di kantin atas. Obrolan sudah berlangsung sejak kami dalam perjalanan ke tempat makan. Dan setelah banyak obrolan ringan, tiba-tiba dia memasang mimik serius.

"Aku ingin nanya serius nih."

"Apa?" Aku memandanginya sejenak, lalu kembali menikmati makananku.

"Kamu sudah punya pacar belum sih?"

Aku hampir tersedak mendengar pertanyaannya. Untung aku bisa menahan makananku yang hampir keluar lagi.

"Kenapa?" Aku bertanya balik. Tetap berusaha senatural mungkin.

Dia menengok ke kanan dan ke kiri. Lalu mendekatkan wajahnya. Dan setengah berbisik dia menjawab. "Aku mau tahu aja."

Aku tertawa dengan tingkahnya itu. Dan dia pun tertawa juga.

"Ya, aku lihat kamu tidak pernah terlihat bersama seorang gadis." Dia mengomentari.

"Memangnya kamu pernah?" Aku kembali balik bertanya.

"Ya di kantor sih tidak." Dia berhenti sejenak. "Tapi aku ada pacar di luar."

"Oh.." Aku bergumam pelan. Ya, lagi pula aku sudah tahu kok kalau dia sudah punya pacar.

"Oh?" Dia kembali bertanya. Yah, ini sifat dia. Kalau mau tahu sesuatu dia pasti akan sangat mengejarnya sampai dia mengetahuinya.

"Aku tidak ada." Aku menjawab singkat. "Tapi sedang menyukai seseorang di kantor ini." Kalimat yang terakhir mengalir begitu saja. Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Karena tentunya akan membuatku dicecar dengan pertanyaan lainnya.

"Oh ya?" Dia berhenti sejenak. "Siapa?"

Nah, sesuai dugaanku. Aku memberi isyarat padanya agar mendekat. Dia menurut dan mendekat.

"Rahasia." Jawabku setengah berbisik.

"Memang ada cewek dengan nama Rahasia di sini?" Dia sedikit kesal.

Aku hanya tertawa melihatnya dibakar rasa penasaran. Dan sampai dengan beberapa hari berikutnya, dia selalu menanyakan hal yang sama kepadaku.

***

"Siapa dia? Ayo dong kasih tahu." Chris setengah merengek.

Aku menarik nafas panjang. Sejujurnya aku mulai bosan diteror dengan pertanyaan yang sama setiap kali bersamanya.

"Oke. Kalau aku kasih tahu, kamu jangan tanya yang lain lagi ya." Aku menatapnya.

"Janji!" Dia menatapku setengah berbinar.

Aku terdiam sejenak? "Kamu!" Aku berusaha mengucapkan itu dengan nada sewajarnya.

Di luar dugaan, dia terdiam. Aku melanjutkan makanku dengan tenang. Dan saat menatapnya dia sedang menatapku. Kami saling menatap sekian detik. Lalu tertawa bersama. Syukurlah dia hanya menanggapi itu sebagai candaan.

"Kamu sudah berjanji ya. Tidak boleh bertanya lagi" aku tersenyum penuh kemenangan. Lebih karena aku sudah jujur kepadanya, bahwa aku menyukainya. Meskipun aku tahu dia mungkin tidak akan menganggap itu sebagai suatu hal yang serius.

***
Keesokan harinya aku mendatangi mejanya, karena sampai dengan jam makan siang sudah lewat lebih dari 10 menit dia tidak juga muncul. Tapi aku sedikit kecewa, ketika dia juga tidak tampak di mejanya.

"Kemana dia?" Pikirku. "Apa dia tidak masuk kantor? Sakit atau malah sedang ada tugas keluar kantor?" Aku bertanya-tanya.

"Ya sudahlah, aku makan sendiri saja." Akhirnya aku memutuskan untuk pergi makan sendiri. Meskipun tentu saja aku merasa kesepian dan ada yang hilang, tapi dalam hatiku masih mencoba berpikir positif, bahwa mungkin saja Chris sedang ada tugas keluar kantor.

***
Tapi sejak saat itu, dia memang tidak pernah lagi mendatangi mejaku. Seolah-olah dia menghilang begitu saja. Bahkan setiap aku mencarinya, dia terlihat tidak sedang di tempat.

Awalnya, aku mencoba berpikir bahwa dia mungkin sedang tugas di luar kota. Tapi suatu hari aku melihatnya di kantin atas sedang makan bersama teman kantor yang lain.

Aku sengaja mengambil tempat duduk yang dapat terlihat olehnya. Dan kami sempat beradu pandang. Aku sangat berharap dia akan datang kepadaku sekedar menyapaku. Tapi yang terjadi tidak seperti itu. Dia kemudian pergi begitu saja, tanpa mampir dulu ke tempatku.

Saat itulah jelas bagiku, bahwa dia memang sengaja menjauhiku. Hatiku tentu saja sedih. Aku mulai berpikir, seandainya aku tidak mengatakan hal itu kemarin, mungkin tidak seperti ini jadinya. Mungkin hari ini aku masih bisa menikmati canda dan tawanya.

Dan rasanya penyesalan itu sangat menyakitkan di hatiku. Aku ingin bertanya langsung kepadanya, tetapi aku tidak tahu harus bertanya seperti apa. Dan apakah aku memang harus bertanya kenapa dia menjauhiku? Atau mungkin lebih baik aku membiarkannya semakin menjauh dariku begitu saja?

Rasanya seperti maju kena, mundurpun kena. Akhirnya aku kembali hanya bisa pasrah, dan hanya bisa berdoa.

"Tuhan, aku hanya ingin dia bahagia, dan seandainya bisa, aku ingin menjadi bagian dari kebahagiaannya. Tapi jika ternyata itu tidak bisa, ya sudah yang penting dia bisa bahagia saat ini." Itulah yang sering aku ucapkan untuk menghibur hati.

Di hari-hari ini, keputusasaan kembali menghantuiku. Pada akhirnya, kali ini akupun bertekad untuk melupakannya. Benar-benar melupakannya.


=(9)=


- Sayangnya, setiap kali aku bertekad untuk melupakannya, takdir seolah selalu membawaku ke arah yang lainnya. -

Setelah beberapa hari kembali berusaha mengikhlaskannya, atasanku kembali memanggil aku dan Chris untuk sebuah tugas kecil lainnya. Ini tidak lain merupakan kelanjutan dari tugas sebelumnya yang dianggap sukses.

Namun, kali ini terlihat bagiku yang terjadi tidak yang seperti dulu pertama mengenalnya. Rasanya begitu canggung dan sulit berkomunikasi dengannya. Karena dia yang dulu begitu aktif dan banyak bercanda, kini justru terlihat lebih banyak diam dan pasif, tidak seperti dulu. Sejujurnya ini membuatku serba salah saat berada di dekatnya.

"Kenapa dia begitu dingin padaku?" Aku masih saja tidak tahu apa yang membuatnya bersikap seperti ini padaku. Aku sering kali mencuri pandang ke wajahnya yang kini lebih sering terlihat serius. Meskipun tidak kehilangan pesonanya, namun jarang sekali aku bisa melihat senyuman paling manis yang dia punya. Senyuman yang dulu selalu menghiasi wajahnya. Senyum yang aku rindukan.

Namun, kemudian aku memutuskan untuk bersikap biasa saja. "Toh, aku memang sudah berniat melepaskannya. Lebih baik aku berkonsentrasi pada pekerjaanku. Bagaimanapun aku sedang mempertaruhkan kepercayaan atasanku! Jadi, terserahlah Chris mau bersikap seperti apa!"

Walaupun sulit menerima sikapnya yang dingin, aku tetap berusaha membalasnya dengan bersikap seolah tidak ada perbedaan, aku tetap mengajaknya bercanda dan berbicara dengan cara seperti dulu. Aku terus mencoba untuk tidak terlalu mempedulikan bagaimana cara dia merespon, karena yang terpenting bagiku adalah diriku sendiri. Aku harus memastikan tidak ada perbedaan pada diriku, dulu dan sekarang.

Usahaku tidak terlalu sia-sia. Setidaknya pekerjaan kami tetap berjalan lancar, tentu salah satunya berkat inisiatifku. Bahkan kemudian pekerjaan kami kembali berakhir dengan sukses. Aku sangat puas, meskipun aku dapat merasakan bahwa kali ini hanya aku yang terus berusaha mengajaknya berkomunikasi.

Aku sedikit malu mengingat caraku mengajaknya berinteraksi, memang bukan keahlianku. Tapi aku berusaha sebisaku.

Di pertemuan terakhir, setelah pelaporan pertanggungjawaban. Aku mendekat ke tempat duduknya. Sejenak aku pandangi wajahnya yang menawan dan sibuk dengan gamenya.

"Chris." Aku menyapanya pelan.

Dia berhenti sejenak. Tapi tidak mengangkat pandangannya sama sekali. Kemudian kembali asyik meneruskan permainannya. Aku mencoba tidak menganggap semua itu.

"Terimakasih sudah banyak membantuku." Kalimat itu terucap begitu saja.

Dia berhenti kembali. Kemudian menatapku sekilas. Aku mencoba tersenyum padanya, tepat sebelum dia kembali asyik bermain.

"Maaf, kalau ada yang kurang berkenan dariku." Aku menarik nafas panjang.

"Selamat tinggal, Chris." Bisikku lirih, hanya dalam hatiku.

Aku sudah siap untuk diacuhkan dan tak dipedulikan olehnya. Aku sudah merelakannya. Dan aku berbalik untuk segera meninggalkannya.

"Tuhan, setidaknya aku ingin dia tahu kalau aku tidak ada maksud jahat padanya. Aku sudah berterimakasih dan meminta maaf padanya. Aku sudah lega sekarang. Terimakasih, Tuhan." Aku berlalu sambil bersyukur karena hari-hari menghadapi sikap dinginnya sudah berakhir.
Tetapi langkahku terhenti, ketika dia memanggilku dengan suaranya yang khas.

"Maaf." Dia tampak memandangiku.

Aku membalasnya dengan tersenyum. "Maaf sudah membuatmu.." Dia tidak meneruskan ucapannya. Hanya memberikan isyarat.

Aku mengangguk perlahan. Dan kembali berbalik. Tapi kembali terhenti oleh kalimatnya yang lain.

"Ada waktu untuk minum kopi?"

Aku menoleh. "Kamu tahu aku tidak suka kopi." Aku tertawa kecil. Dia tersenyum. "Tapi aku bisa minum teh atau coklat."

Dia tampak berbinar. Sudah lama aku tidak melihatnya seperti itu.

"Nanti sore, sepulang kantor ya."

Aku tersenyum dan mengangguk. Lalu segera meninggalkannya dengan perasaan bahagia.

***

Aku meniupi teh yang kupesan karena terlalu panas. Dia tampak memandangiku dan tertawa kecil saat melihat ekspresiku meminum teh yang terlalu panas.

"Kamu tidak berubah." Dia membuka pembicaraan. Aku memandangnya sejenak. Tidak ada lagi kesan dingin di sana.

"Aku bukan power ranger." Aku menjawab sekenanya. Dan kami tertawa bersama.

"Terimakasih, ya." Tiba-tiba dia berwajah serius.

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya." Dia menggaruk pelan kepalanya. "Menurutmu, apakah aku berubah?"

"Kamu power ranger?" Aku memasang mimik serius saat bertanya padanya.

Kami tertawa lagi sesaat kemudian.

"Aku harap, aku tidak berbuat sesuatu yang membuatmu merasa tersakiti."

Aku merasa dia mengucapkannya dengan serius. Dan aku langsung menjawab dalam hatiku. "Ya! Kenapa kamu bersikap seperti itu." Tapi yang keluar dari mulutku justru kalimat yang lain.
"Tidak ada apa-apa."

"Syukurlah." Kami kemudian saling terdiam. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya, dan aku merasa demikian juga sebaliknya. Tetapi kami sendiri bingung mulai dari mana, dan harus bagaimana mengungkapkannya.

Waktu berjalan dengan sangat lambat. Namun pada akhirnya, aku berhasil menghabiskan minumanku. Tidak ada pembicaraan lain. Aku putus asa menunggu hal penting apa yang ingin dia sampaikan. Dan itu membuatku memutuskan untuk segera pulang, mengingat hari menjelang gelap.

"Chris, aku duluan ya. Sudah hampir gelap." Aku berdiri. "Terimakasih untuk sore ini." Aku segera berlalu tanpa peduli responnya yang kaget melihatku meninggalkannya.

"Tunggu dong." Chris menarik tanganku dan memaksaku duduk kembali. "Aku mau tanya sesuatu."

"Apa?"

"Masih ingat dengan pertanyaanku yang dulu?"

"Yang mana? Kamu bertanya banyak hal."

"Tentang orang yang kamu suka." Dia tampak memandang dengan kosong.

Aku menarik nafas panjang dan terdiam. Entahlah apa lagi yang akan terjadi. Tapi aku pikir aku tetap harus menanggapinya dengan ringan dan bercanda.

"Ya, maksudmu kamu?" Aku tertawa menggodanya.

"Aku bertanya dengan serius." Mimik mukanya tetap serius.

Aku terhenti tertawa. Dan sedikit gugup dengan keseriusannya.

"Apakah kamu benar-benar menyukaiku?"

"Ya. Aku tidak ada alasan untuk tidak menyukaimu." Aku masih tetap menjawab sediplomatis mungkin.

Dia tampak mengambil nafas panjang. "Itu begitu menggangguku selama ini." Dia terhenti sejenak. "Aku tidak bisa berhenti memikirkannya."

Aku memandanginya sejenak. "Tuhan, apa yang telah aku katakan. Sehingga membuatnya terus memikirkannya."

"Maafkan aku, Chris. Tapi kenapa? Apa kamu benar2 takut kalau aku suka beneran? "

"Oh, tidak. Bukan begitu maksudku." Chris tersenyum.

"Lalu?"

"Aku tidak ingin hal itu.." Dia terdiam sejenak. ".. hanya akan menjadi harapan kosong, untukmu." Dia begitu lirih pada kalimatnya yang terakhir.

Aku terdiam. Masih mencoba mengerti, masih antara percaya dan tidak.

"Sejujurnya, aku benar-benar merasa nyaman saat bersamamu." Chris melakukan pengakuan yang membuatku melambungkan kebahagiaanku. "Dan aku merindukan masa-masa itu."

"Benarkah?" Aku berusaha meyakinkan pendengaranku. "Lalu kenapa, kamu seperti menghindar dariku?"

Chris tampak terdiam sejenak. "Aku hanya merasa, aku tidak yakin bahwa semua itu benar."

"Maksudmu?"

"Aku berpikir seharusnya tidak seperti itu."

"Seperti apa?"

"Entahlah. Tetapi sebenarnya aku terus memikirkannya."

Aku tersenyum lalu tertawa kecil. "Chris, aku bahkan tidak mengerti kita sedang membicarakan apa?"

Dia menatapku sejenak, lalu tersenyum dan tertawa kecil. "Benarkah? Syukurlah, karena akupun begitu."

Kami melepas ketegangan suasana dengan tertawa. Itu cukup membantu, meskipun masih ada yang mengganjal di hatiku, tentang apa yang dia utarakan.

"Kamu masih belum punya pacar?" Dia tiba-tiba bertanya.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Masih setia menungguku?" Dia bertanya menggodaku.

Aku menatapnya dan tertawa. "Ya, begitulah. Aku tipe setia."

"Kebetulan aku sudah single." Dia meneruskan candaannya. Atau setidaknya aku menangkapnya sebagai candaan.

"Benarkah?" Aku berusaha menutupi keterkejutanku. "Kamu bukan putus karena mau mengejarku, kan?" Aku bertanya dan tetap memposisikan diriku sedang bercanda dengannya.

Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. Entahlah, aku tidak tahu isi hatinya saat ini. Tapi setidaknya, lagi-lagi aku bisa mengutarakan isi hatiku padanya.

"Apa kamu benar-benar merasa nyaman denganku?" Aku bertanya padanya.

Dia mengangguk perlahan, seolah malu mengakui hal itu. Aku tersenyum melihat ekspresinya.

"Jangan menjawab jika kamu ragu. Bagaimana kalau kita nikmati saja semua ini?" Aku tidak tahu dari mana mendapatkan ide dan keberanian untuk menyatakan itu.

Dia menatapku sejenak. Lalu tersenyum, mengisyaratkan persetujuannya.

"Bersikaplah seperti dulu, Chris. Ceria dan penuh canda."

"Kamu akan melihatku kembali seperti itu."

Aku tersenyum lega. Hari telah menjadi gelap. Tapi hatiku terasa terang benderang.
"Terimakasih, Tuhan, untuk mengembalikan Chris padaku. "

- bagian awal dari beberapa bagian cinta, untukmu Chris. -
«13456725

Comments

  • wow...nice story...flow like a river...^_^
  • calon novelis sejati nh TS nya

    mengeksplore abis2an 2 tokoh utamanya dan membuat tokoh sampingan seperti angin lalu

    nice, keep writing bro ;-)
  • Masih ada kelanjutannya kah?
  • Kelen badai ombak samudra pasifik sampai ke laut atlantik, sungguh sangat enerjik, sambil goyang itik, hingga habis titik tik tik tik.....
  • wow... keren...
  • Thanks all for commenting. Senang jika kalian menyukai cerita ini. Cerita ini masih panjang, tetapi tidak bisa janji cepat untuk updatenya.
  • edited May 2014
    =(10)=


    - Tahukah kamu sebelum kamu benar-benar hadir di sini, bahkan untuk memimpikanmu pun aku tidak berani? -


    Chris benar-benar menepati janjinya. Dia kembali bersikap seperti dulu. Kami kembali sering pergi bersama. Bahkan mungkin bisa dikatakan lebih sering. Mungkin karena sekarang dia sendiri. Mulai makan siang di kantor, dengan segala obrolan dan candaan di dalamnya. Ditambah lagi kami sering pulang kantor bersama, untuk kemudian mampir ke supermarket, cafee, atau nonton bareng.

    "Pulang yuk," Chris seperti biasa muncul sambil sibuk memainkan handphonenya.

    Aku menoleh ke arahnya sebentar. Dia benar-benar seperti orang autis kalau sudah sedang bermain games.

    "Menyebalkan." Aku bergumam pelan. "Tunggu. Kenapa aku sebal ya kalau dia seperti orang autis seperti itu? Jangan-jangan aku cemburu. Tapi cemburu sama siapa? Sama games?" Aku tersenyum sendiri. "Lucu sekali."

    Aku meneruskan pekerjaanku, dan tidak mempedulikannya.

    "Hei, pulang yuk!" Chris memunculkan wajahnya tepat di depanku.

    "Oh, ada kamu." Aku menanggapinya dingin. "Sejak kapan?"

    "Yeh! Aku dari tadi di sini." Dia mencibirkan bibirnya. "Dasar autis!"

    Aku memandangnya sejenak. Menarik nafas dan meniupnya kencang-kencang.

    "Hei! Apaan sih." Dia menghindar.

    "Kira-kira menurutmu, siapa yang autis? Aku apa kamu?" Aku berkata dengan mimik segalak mungkin.

    "O.. o.. Ampun deh. Maap.. maap.. " Dia menunduk-nunduk dengan menempelkan tangan di depan dadanya, meminta maaf dengan gayanya yang khas.

    Aku tidak bisa berlama-lama kesal terhadapnya. Dia bisa dengan cepat membuat aku melupakan kekesalanku.

    "Dimaafkan. Besok tolong diulang ya?" aku berdiri meninggalkannya.

    "Hei, kenapa?" Dia bertanya sambil mengejarku.

    "Lumayan kan. Ngumpulin kata maaf, kalau udah banyak nanti aku jual."

    Dia meraih pundakku. "Oh gitu? Berarti, untungnya bagi dua ya." Dia tampak memasang muka dengan ekspresi lucu.

    Aku menepuk halus wajahnya. "Udah yuk, makin ngawur aja." Aku bergegas keluar kantor. Dia terdengar tertawa sambil mengikutiku.

    Demikianlah, kami berinteraksi setiap hari tanpa ada lagi pembahasan tentang perasaan kami masing-masing. Kami hanya melakukan apa yang membuat kami merasa nyaman. Yang terpenting bagi kami saat ini adalah hidup terasa menjadi penuh warna saat kami bersama. Menurutku itu sudah cukup, setidaknya untuk saat ini.

    ***

    Chris menghentikan mobilnya tepat di depan lobi apartemenku.

    "Sudah sampai, Tuan." Chris menatapku sambil menengadahkan tangannya.

    "Apaan?" Aku tidak mengerti dengan maksudnya.

    "Ongkosnya, Tuan." Dia terkekeh.

    "Oh, begitu. Oke. Gampang itu, kamu kasih aja nomor rekening kamu ya." Aku membuka pintu dan bergegas segera turun. Sebelum menutup pintu aku berhenti sejenak dan menatapnya. "Tapi ini daerah kekuasaanku. Kamu mestinya bayar kalau berhenti di sini. Jadi anggap saja kita impas." Aku tersenyum.

    Dia menggeleng-geleng sambil tertawa. "Besok pagi aku jemput ya." Dia mengucapkan kalimat singkat yang mengagetkanku.

    "Hah? Buat apa. Tidak usah." Aku menolaknya. "Nanti kamu minta bayaran lebih lagi. Mending aku naik kendaraan umum saja."

    "Ayolah, Tuan." Dia memelas. "Saya butuh banyak uang... untuk sekedar membeli nasi dan sedikit emas."

    "Sudahlah, sudah kelamaan." Aku tidak enak berlama-lama mengobrol di depan lobi. "Sampai ketemu di kantor ya. Terimakasih, untuk tumpanganya." Aku menutup pintu mobil itu.


    Mobil itu berlalu dalam pandanganku. Aku tersenyum mengiringi kepergiannya.


    ***

    Pagi ini, aku terbangun oleh dering telepon. Aku hampir tidak percaya bahwa Chris menelepon sepagi ini. "Ada apa lagi dengan anak ini?"

    "Ya, Halo."

    "Hai, kamu sudah bangun?"

    "Sudah."

    "Bohong. Kamu pasti baru bangun."

    "Tidak aku sudah bangun dari tadi kok." Aku berbohong.

    "Tidak percaya. Pasti kamu baru bangun."

    "Ya sudah kalau tidak percaya. Ga ada untungnya juga kalau kamu percaya. Lagian percaya itu sama Tuhan, bukan sama aku."

    "Ah, kamu. Ayo turun."

    "Turun ke mana?"

    "Ke lobi lah."

    "Hah? Ngapain?"

    "Ya berangkat ngantor lah. Aku sudah nunggu di lobi ini."

    "Hah? Siapa suruh?"

    "Kamu."

    "Kapaaaaaan?!"

    "Kemarin."

    "Ga ada."

    "Iya, hati kamu bilang sama hati aku, supaya pagi ini aku jemput kamu."

    "Gendeng."

    "Turun! Cepat." Chris menutup telepon sebelum aku sempat menjawabnya.

    "Konyol! Bikin aku harus buru-buru aja." Aku mengeluh pelan. Tapi sebentar kemudian aku tersenyum sendiri. Bagaimanapun, aku tetap tidak bisa bilang aku tidak senang jika dia menjemputku sepagi ini. Aku pun bergegas bersiap-siap dengan penuh semangat.

    ***

    Chris berdiri dan segera mendekatiku begitu aku keluar dari lift. Dia tampak lebih rapih dari hari biasanya, dan tampak sangat bersemangat. Aku melihatnya dan menebak dia menggunakan baju baru, karena sebelumnya aku belum pernah melihat dia menggunakan baju itu.

    "Lama banget sih!"

    "Masa." Aku menanggapinya ringan. "Di mana mobilnya?" Aku menoleh kanan kiri.

    "Di sana, Tuan." Chris menunjukkan ke arah ujung apartemen.

    "Jauh bener."

    "Ya itu gara-gara kamu kelamaan. Tidak boleh parkir terlalu lama di sini." Dia melangkah menuju mobilnya. Aku mengikutinya sambil tersenyum.

    "Hei, baju baru ya?"

    "Siapa bilang."

    "Kamu."

    "Mana ada?"

    "Iya, hati kamu bilang sama hati aku, kalau pagi ini kamu pakai baju baru." Aku tertawa puas bisa membalasnya.

    "Puas bener ketawanya." Chris memajukan mulutnya saat kami sampai ke mobilnya.

    "Lumayan." Aku berusaha berhenti tertawa.

    "Sudahlah. Kita hampir telat ini." Dia segera masuk ke dalam mobil.

    Aku segera masuk ke dalam mobil dari sisi yang lain. Lalu kamipun segera berangkat ke kantor.


    =(11)=


    - Mulailah dengan bermimpi, meskipun di saat hatimu merasa sepi -


    "Mau mampir?" Aku berbasa-basi menawarkan Chris untuk main ke kamarku.

    "Mau-mau." Dia menyambut dengan senang.

    "Yah, kok mau sih. Aku kan cuma basa-basi."

    "Kena, deh". Dia tersenyum penuh kemenangan.

    "Ga usah aja ya." Aku mulai ragu mengajaknya masuk ke kamarku. "Kamarku berantakan."

    "Ga papa lah." Dia menarikku menuju lift. "Aku biasa kok melihat sesuatu yang berantakkan."

    "Justru itu. Aku malah jadi takut."

    "Takut apa? Aku gak gigit kok?"

    "Tapi menjilat?" Kami tertawa cukup keras. Chris memberiku isyarat untuk mengecilkan suaraku. Tampak orang-orang di sekeliling kami di dalam lift sedang memandangi kami. Aku langsung terdiam.

    Dan begitu keluar dari lift, kami tertawa sepuasnya sambil menyusuri lorong menuju kamarku. Sesampainya di pintu kamar, aku berhenti sejenak.

    "Ini kamarku. Kamu tidak usah masuk ya?"

    "Kenapa?"

    "Nanti tambah berantakkan."

    "Enak aja! Cepat buka" Dia tampak tidak sabaran.

    "Jangan." Aku menggeleng sambil menutupi bagian depan celanaku.

    Dia tertawa melihat responku. "Apaan sih."

    Aku ikut tertawa, lalu perlahan mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamarku. Aku membukakan pintu untuknya pertama kali. Dia segera melangkah masuk mendahuluiku. Lalu memandangi setiap sudut kamarku.

    "Oke, lumayan."

    "Lumayan apa?"

    "Lumayan hancur berantakan." Dia tertawa setengah mengejekku.

    "Tadi sebelum kamu ke sini tidak seperti ini. Ini semua gara-gara kedatanganmu." Aku tidak mau kalah darinya.

    "Tapi aku kagum lho sama kamu."

    "Kagum kenapa?"

    "Kamu kok bisa tinggal di tempat seperti ini."

    "Iya dong." Aku menjawab bangga. "Tapi aku lebih kagum lagi sama kamu."

    "Karena apa?" Dia tampak sudah menebak bahwa aku akan balas mengejeknya.

    "Karena kamu begitu inginnya masuk ke sini."

    Kami kembali tertawa. Kami meneruskan membicarakan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak penting. Apapun, itu hanya hal yang membuat kami tertawa.

    Obrolan kami terhenti ketika handphone Chris berdering nyaring.

    "Ya ampun, jadul sekali ringtonenya." Aku kembali mengejeknya.

    "Mama.." Chris memberitahuku bahwa itu telepon dari Mamanya.

    "Oh..." aku mengangguk-angguk sambil memberi isyarat agar dia mengangkat teleponnya.

    Chris berdiri dan keluar dari kamarku sejenak untuk menerima panggilan tersebut. Aku dapat mendengar beberapa bagian pembicaraannya tapi tidak terlalu jelas. Lagi pula aku tidak terlalu ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak begitu lama Chris kembali.

    "Aku harus pergi sekarang."

    "Ya pergilah."

    "Mamaku memintaku mengantarkannya ke suatu tempat."

    "Oke."

    "Kamu tidak menahanku?"

    "Tidak."

    "Yakin?"

    "Yakin." Aku berdiri mendorongnya keluar dari kamar. "Ayo aku antar kamu turun."

    "Yah, kok aku tidak ditahan gitu."

    "Lho, malah pengen yang aneh-aneh." Aku mengunci kamarku dan mendorongnya berjalan menuju lift.

    "Ga aneh itu."

    "Sudah, kasian Mamamu."

    "Oke. Oke, aku pergi. Tidak usah diantar. Aku tahu jalan pulang kok." Dia bergegas meninggalkanku.

    Aku berjalan cepat mengejarnya. "Jangan GR. Aku mau turun cari makan kok."

    "O.." Dia tersenyum mengangguk-angguk.

    ***

    Malam ini aku kembali membaca setiap lembar yang telah kutulis untuk Chris di buku impianku. Ada banyak hal yang kini menjadi nyata. Meskipun tidak seratus persen sama dengan yang aku tuliskan. Tetapi pada beberapa bagian aku merasa jauh lebih membahagiakan daripada yang aku tulis.

    Aku mensyukuri setiap lembar yang aku tuliskan. Aku bersyukur untuk semua mimpi yang menjadi nyata. Dan untuk semua bahagia yang hadir pada hal-hal yang masih menjad mimpi.

    Hati yang terlalu bergembira membuatku malah sulit untuk tertidur malam ini. Bagaimanapun,
    Chris seolah-olah masih saja di sini, dan menggodaku. Aku tidak melawan, kunikmati semua angan-anganku malam ini, dan tersenyum sambil memejamkan mata, hingga alam bawah sadarku membawaku ke alam mimpi.

    =(12)=


    - Makanan dan kebersamaan itu membentuk sebuah ikatan, seperti ikatan darah yang saling berkaitan -

    Pagi ini aku kembali terbangun oleh dering telepon. Dan siapa lagi kalau bukan Chris yang menelepon pagi-pagi seperti ini.

    "Halo?" Chris menyapa dari ujung telepon saja.

    "Nomor yang Anda tuju sedang mengantuk. Silakan tunggu beberapa saat lagi." Aku membisikkan kalimat itu dengan suara yang masih parau.

    "Eh, parah. Ayo cepat bangun."

    "Ini masih kepagian."

    "Aku sudah di bawah nih."

    "Bohong."

    "Beneran."

    "Kamu sudah tahu kamarku, kamu tidak akan mungkin mau menunggu di bawah."

    "Hehehe, ketahuan ya."

    "Iya, sifatmu gampang ditebak."

    "Yah, artinya aku orangnya jujur."

    "Ga ada hubungannya."

    "Ada."

    "Sudah, ah. Aku mau mandi dulu. Kamu langsung ke kamarku saja kalau sudah sampai. Dah.." Aku langsung menutup telepon sebelum dia berceloteh lebih banyak.

    Dengan masih sedikit mengantuk aku menuju kamar mandi dan segera bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dan tepat di saat aku sedang memakai bajuku, terdengar suara pintu di ketuk dari luar.

    "Ya. Sebentar."

    Chris tidak menjawab. Hanya suara pintu yang diketuk lebih keras.

    "Sebentaaar." Aku setengah berteriak. Aku melanjutkan prosesi berpakaianku.

    Suara pintu kembali diketuk lebih keras. Aku akhirnya memilih diam. Chris tidak menyerah. Dia kembali mengetuk lebih keras. Aku diam saja, dan makin sengaja berlama-lama. Akhirnya suara ketukan itu hilang. Aku tersenyum menang. Dan kemudian membuka pintu.

    Chris sudah berdiri rapih di sana, dengan wajah sedikit kesal.

    "Lama banget sih." Dia segera masuk sebelum kamar bahkan sebelum aku persilakan.

    "Aku lagi berpakaian tadi." Jawabku singkat.

    "Justru itu, harusnya buka dulu. Baru kamu berpakaian." Dia bersungut-sungut.

    "Terus kamu bisa lihat aku berpakaian gitu?"

    "Yeh, GR banget. Siapa juga yang mau lihat."

    "Kali aja."

    "Aku mau rekam tahu."

    "Tuh, lebih parah kan pikiranmu."

    "Lagian sama-sama lakinya ini. Kenapa juga, aku kan punya juga. Ngapain harus lihat?"
    Chris masih tetap protes.

    "Iya deh, maaf." Aku membungkuk dan menempelkan tanganku di depan dada, meniru gayanya saat meminta maaf.

    "Dimaafkan." Dia menjawab dengan apa yang biasa aku katakan saat dia meminta maaf. "Aku bawa makanan nih, tapi enaknya makan di taman bawah kali ya?"

    "Wah, baik banget. Udah jemput, bawain makanan segala. Besok boleh bawain uang sekalian ngga?" Aku berkomentar seasalnya.

    "Kamu makan uang?" Chris bertanya ngawur.

    Aku diam saja tidak menanggapinya, mengambil tasku dan memberinya isyarat untuk turun. Dia mengikutiku keluar kamar, dan saat aku mengunci kamarku dia masih saja bertanya.

    "Kamu makan uang? Kamu tuyul ya?" Dia tertawa.

    "Eh, asal kamu tahu ya. Tuyul itu hanya berteman dengan tuyul. Kalau aku ini tuyul, ya sudah pasti kamu juga tuyul."

    "Oh jangan salah, kita bukan teman kok." Dia berkata ringan. "Kita ini bagaikan kepompong."

    Aku menggeleng-geleng mendengar celotehnya yang makin tidak karuan. Lalu segera saja kutinggalkan dia dan bergegas menuju lift.

    "Hei, tunggu dong. Kamu tahu kan kepompong? Itu lho.. persahabatan."

    Aku hanya tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk menanggapinya, dan aku membiarkan dia terus berbicara sepanjang perjalanan lift menuju lobi.

    "Ngomong-ngomong, ini apartemen kok kumuh banget ya."

    "Ngga usah banyak protes. Ini apartemen murah. Bedalah sama apartemen yang paling mahal di ibukota ini. Kalau ngga suka ngga usah mampir-mampir sini." Aku menyindirnya. Chris memang menyewa salah satu apartemen paling mahal di kota ini, sementara kebalikannya aku menyewa apartemen yang paling murah.

    "Apartemenku tidak mahal. Harga yang aku bayar jauh lebih murah dari yang kamu bayar. Kita pernah bahas itu kan?" Dia memang paling tidak mau kalah kalau berdebat.

    Ya, meskipun mahal, apartemen yang Chris tinggali biayanya dibagi rata empat orang, karena dia tinggal berempat bersama saudara-saudaranya. Sehingga pada akhirnya, harga yang dia bayar memang lebih rendah daripada harga yang harus kubayar.

    "Iya, tapi kan harus cari empat orang dulu baru bisa murah gitu." Aku membela diri.

    "Hmm.. Mau tinggal bersamaku? Nanti dibagi lima lebih murah lagi kan?" Dia menawarkan padaku.

    "Terus aku tinggal di kamar mandi ya?"

    "Ya engga dong, kamu tinggal di balkon aja."

    "Hu..." Aku mencibirnya yang tertawa puas dengan kalimat terakhirnya.

    Sebenarnya tentu akan sangat menyenangkan jika aku bisa tinggal bersamanya. Pasti bisa semakin dekat dengannya. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Bagaimana dengan saudara-saudaranya. "Masa iya tiba-tiba saja aku masuk ke dalam kumpulan keluarga itu. Apa nanti yang muncul di pikiran mereka."

    "Ga usah melamun." Chris membuyarkan pemikiranku. "Kita sudah sampai ini. Ayo makan."

    Chris segera mendapatkan tempat duduk yang lumayan nyaman lalu membuka bekal yang sudah dibawanya. Aku duduk di sampingnya, memandangi bekal yang dia bawa.

    "Apa itu?"

    "Ini guna-guna. Aku ingin kamu makan ini, supaya aku bisa mengguna-gunaimu." Seperti biasa dia menjawab seasalnya.

    "Kamu masak sendiri."

    "Iya dong, mana ada yang jual guna-guna."

    Aku mengangguk-angguk, memandangi makanan yang tidak jelas terbuat dari apa. Namun sekilas aku perhatikan itu seperti mie instant yang direbus kemudian dicampur dengan sayuran, telur dan keju.

    "Itu yakin kamu yang masak." Aku bertanya lagi.

    "Nanya aja terus." Chris mengeluarkan sendok, memberikannya satu kepadaku. Lalu memisahkan makanan itu ke dua tempat. Dan menyerahkan satu padaku. "Selamat makan."

    Aku masih memandangi makanan itu. Semantara Chris melahap makanannya dengan cepat. Akhirnya akupun memakan makanan "aneh" itu. Sejujurnya rasanya lumayan juga.
    "Ternyata anak ini bisa masak juga" aku tersenyum setelah merasakan suapan pertama di lidahku.

    Beberapa orang yang berlalu lalang di depan kami berdua, sedikit membuatku merasa canggung, terlihat sebagai dua orang laki-laki yang duduk makan bersama di taman seperti ini. Dan aku merasa Chris juga merasakan hal yang sama, sehingga dia buru-buru menyelesaikan makanannya.

    "Suasana di sini ternyata tidak bagus ya." Dia memandangi sekitar. "Di sini panas. Besok kita makan di kamar saja ya."

    Aku mengangkat bahu, dan mengangguk setuju. Kami tahu alasannya di hati kami masing-masing, dan kami tidak membahasnya.

    "Kamu lama sekali sih makannya." Chris mengomentariku yang juga belum selesai.

    "Bukan aku yang lama, kamu yang terlalu cepat!" Aku membela diri.

    "Mana mungkin?"

    "Aku baru satu suap, kamu sudah habis lima suap."

    "Apa lima suap?"

    "Iya, lima suap!"

    "Tujuh kali."

    Aku hampir tersedak menahan tawa.

    "Tuh, kan. Pakai acara ketawa sih. Nih minum." Chris menyodorkan botol minumannya.

    Aku menyambutnya dan segera minum. Dalam hati aku merasa ini momen yang cukup romantis, tetapi kami tidak ingin mendramatisirnya. Biarlah hati kami yang merasakannya.

    Akhirnya aku berhasil menyelesaikan makananku. Chris bertepuk tangan, saat aku menyelesaikan suapan yang terakhir.

    "Bagus-bagus. Bagaimana makanannya? Enak kan?"

    "Ya daripada beli. Ini kan gratis."

    "Siapa bilang gratis. Sini bayar." Chris menyodorkan tangannya.

    Aku tertawa sambil merogoh kantongku, mengeluarkan uang recehan 500 rupiah dan menaruhnya ditangannya.

    "Laris manis!" Chris mengetuk-ngetuk tempat makannya dengan uang recehan tersebut. Aku tertawa melihatnya. "Tapi jujur, ini pertama kali lho aku masak."

    Aku terkejut. Lalu memegangi perutku, dan menunjukkan ekspresi rasa sakit.

    "Aduh, aku sakit." Aku merintih seolah kesakitan.

    "Berhentilah mengejekku." Chris merajuk sambil mengecek handphonenya. "Kita hampir telat nih. Ayo berangkat."

    Kami segera membereskan peralatan makan kami, lalu segera menuju mobilnya dan berangkat ke kantor.

    ***

    "Aku kok masih kenyang ya, Chris." Aku mengelus-elus perutku yang masih terasa kenyang.

    "Dipaksa makanlah. Ini kan memang sudah jamnya makan siang." Chris tetap memaksaku untuk makan siang bersamanya.

    "Ini gara-gara pagi ini aku sarapan sih. Biasanya aku tidak pernah sarapan."

    "Oh, pantas saja kamu kurus kering begitu. Ck.. ck.. ck.. aku tidak menyangka hidupmu begitu sulit. " Chris memasang mimik prihatin.

    "Justru aku ini proporsional tahu. Kamu tuh yang agak-agak.." Aku tidak meneruskan.

    "Agak cute?" Chris bertanya tetap dengan mimik prihatin.

    "Memang cute sih." Aku berbisik dalam hati, kemudian tersenyum masam kepadanya. "Narsis!" Ucapku pendek.

    "Ayolah," dia menarikku dan memaksaku menemaninya makan siang.

    ***

    Pulang kantor Chris seperti biasa mengantarkanku pulang. Hari ini tidak ada mampir kemanapun, karena aku memang sudah memintanya untuk langsung pulang. Sebagai basa-basi Chris aku tawari untuk mampir, tetapi kali ini dia menolak, dan juga mengatakan bahwa dia juga ingin langsung pulang. Dengan senyum khasnya dia mengatakan akan kembali menjemputku besok, dan memintaku untuk bersiap-siap lebih pagi.

    Begitulah yang kemudian berlangsung di hari-hariku. Setiap pagi kami sarapan bersama, kemudian berangkat ke kantor bersama, makan siang bersama dan pulang kantor juga bersama. Terkadang kami mampir ke suatu tempat, kemudian makan malam bersama. Aku tidak tahu harus menyebut ini hubungan seperti apa? Tetapi aku tetap sangat bersyukur untuk semua hubungan ini.

    "Tuhan, terimakasih untuk Chris. Bisa menikmati banyak waktuku bersamanya sudah membuat hatiku selalu bahagia. Aku tidak tahu harus meminta apa lagi padaMu. Terimakasih, Tuhan."
  • anjir manis banget ini mah hahahaha. keren lah hehe.
  • edited May 2014
    aaa baru tau ada cerita semanis ini, udah ketinggalan hampir 2 hari, jadi pengen baca buku yang di tulis tokoh utama, tapi perasaan kenapa ga enak gini ya, aaaaa udah manis banget udah cukup tinggi kalo jatuh jadi sakit, moga2 tuh buku ga menjadi.......
  • hweww Chris masakin buat Ryo jga donhkk :V H
    hahakzz lanjut dah bang... :* so suittt....
  • Again, thank you all for coming, reading and commenting.

    I hope all of you will be always healthy and happy, and for you too Chris, for sure :)
  • =(13)=


    - Jika hatimu terasa gundah maka hati-hatilah, bisa jadi kamu sedang berjalan ke arah yang salah... -


    "Kita nonton ya?" Chris membelokkan mobilnya ke salah satu mall tanpa menunggu aku menjawab pertanyaannya.

    "Itu kamu nanya, atau ngasih tau sih?" Aku balik bertanya.

    Dia tampak tidak terlalu peduli. Dan sibuk mengambil karcis parkir.

    "Emang mau nonton film apa sih?" Aku kembali bertanya.

    Dia menatapku sejenak. "Rahasia." Dia memainkan matanya sambil tersenyum khas. Senyum yang mematikan!

    Aku terdiam, dan tidak terlalu banyak bertanya. Hari ini sebenarnya aku merasa tidak terlalu fit, tapi tentu saja aku tidak bisa melewatkan acara nonton ini. Jadi aku kuat-kuatkan badanku untuk menemaninya menonton.

    ***

    "Kamu kok jadi pendiam sekali. Lagi bisulan ya?" Chris menebak sekenanya.

    Aku menatapnya sejenak. Dia tampak sibuk dengan makan malamnya. Jadi aku memutuskan untuk tidak menjawab.

    "Sariawan?" Dia bertanya lagi.

    Aku kembali melihat ke arahnya. Dia tetap terlihat sibuk sendiri. Aku berpikir, "ini anak paling suka ngajak ngomong orang tapi ga lihat ke orang yang diajak ngomong. Dasar aneh."

    "Atau kamu lagi kebelet?" Kali ini dia menatapku, masih sambil mengunyah.

    Mata kami beradu sejenak. Aku mengalihkan mataku. Terlalu berbahaya bagiku menatapnya lama-lama. Anak ini mempunyai semua hal yang bisa membuatku lupa diri.

    "Ya, sudah kalau kamu tidak mau ngomong. Biar aku saja yang ngomong." Dia kembali melahap makanannya. "Anggap saja aku lagi siaran." Sebentar kemudian dia kembali menatapku.

    Aku masih tetap merasa kikuk setiap kali tahu dia sedang memandangiku. Meskipun aku sangat menyukainya, dan sangat ingin balas menatapnya. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada hal lain.

    Kebetulan kami makan malam di salah satu restoran Jepang, di mall yang sama tempat kami menonton. Chris memaksaku menemaninya makan malam, meskipun aku sudah menolak dengan alasan pemborosan untuk makan di mall. Namun dia tetap saja bisa memaksaku duduk di sini. Aku sendiri sebenarnya sudah merasa cukup kenyang, sehingga hanya memesan minuman saja.

    "Aku suka kasian deh sama kamu." Chris membuka topik obrolan yang lain.

    "Kenapa?"

    "Susah sekali aturan hidupmu. Mau makan saja susah, mesti mikir dulu." Dia tampak masih juga makan.

    Aku hanya menarik nafas panjang menanggapinya. Sebenarnya yang dia katakan ada benarnya juga sih. Aku memang agak susah kalau urusan makan. Sangat berbeda dengan dia yang memang doyan makan. Anehnya, dia tidak terlihat gemuk. Menurutku dia tetap dalam ukuran proporsional, meskipun wajahnya tampak sedikit chubby. Tapi dengan tubuhnya yang tinggi, dia sama sekali tidak terlihat seperti orang yang banyak makan.

    "Selesai." Dia menaruh sendoknya. Lalu meraih minumannya.

    "Kita pulang yuk." Aku mulai mengantuk.

    Dia menatapku sejenak. "Kamu mengantuk ya?"

    Aku mengangguk pelan.

    "Tadi kamu tidak tidur kan di dalam?" Chris menatapku curiga.

    Aku terkekeh malu. "Tidur sebentar sih. Habis ngantuk banget. Lagi pula filmnya membosankan." Dia menggeleng-geleng kepalanya mendengarkan pengakuanku.

    "Ah, sudah bayar mahal-mahal cuma buat tidur. Rugi sekali." Chris tampak membersihkan bibirnya dengan tisu. Setelah itu dia berdiri. "Ayo, ku antar kamu pulang."

    Aku berdiri, dan berjalan gontai mengikuti langkahnya.

    ***

    "Aku mau tanya deh." Chris membuka obrolan saat mobilnya keluar dari area mall.

    "Tanya apa?"

    "Apa kamu punya mimpi?"

    "Mimpi apa?" Aku menjawab dengan malas.

    Chris terdiam sebentar. Mungkin dia melihat ke arahku yang sudah mengantuk.

    "Mimpi basah." Dia setengah berbisik ke arahku.

    Aku membuka mata. "Hah?"

    Dia tampak tertawa geli melihat respon kagetku. "Giliran mimpi basah aja dia bangun."

    "Kamu ini. Lagian nanya-nanya mimpi." Aku kembali memejamkan mata. "Setiap orang pasti punya mimpi." Aku menerawang. Kalau dipikir-pikir, aku bahkan tidak pernah memimpikan Chris. "Padahal bayangan dia selalu bersamaku saat aku sadar, tapi kenapa aku tidak pernah memimpikannya."

    "Maksudku, pernahkah kamu memimpikan sesuatu tentang seseorang."

    "Siapa?"

    "Ya entah. Kan itu mimpimu."

    "Pernahlah." Jawabku sekenanya.

    "Mimpi seperti apa."

    "Seperti mimpi basah." Lagi-lagi aku menjawab seasalnya.

    "Benarkah?" Chris bertanya dengan nada serius. "Dengan siapa?"

    "Rahasia." Aku menjawab singkat.

    "Yah.." Dia terdengar kecewa.

    Kami terdiam beberapa saat. Aku masih memejamkan mata. Tapi sama sekali bukan tidur. Pikiranku malah menerawang entah kemana. "Kenapa lagi dengan Chris. Pertanyaannya ini maksudnya apa lagi." Itulah batinku.

    "Aku punya dua orang teman. Dua orang laki-laki." Chris seolah menunggu responku.

    Aku membuka mataku, menoleh ke arahnya yang sesekali melihat ke arahku. "Lalu?"

    "Ya, akhir-akhir ini mereka sangat dekat. Sering jalan bareng. Menurutku mereka terlihat begitu nyaman dan bahagia saat mereka bersama." Dia kembali berhenti.

    "Terus?"

    "Menurutmu, apakah hubungan mereka itu aneh?"

    "Hmm.." Aku terdiam sesaat, mulai menangkap kemana arah pembicaraannya. "Apakah salah satu dari mereka berjalan dengan mengikat tali di leher yang lain?"

    "Hah?" Chris menoleh ke arahku dan menggeleng-geleng. "Tentu saja tidak."

    "Entahlah Chris. Aku merasa tidak punya hak untuk mengomentari orang lain." Aku kembali memejamkan mata. "Apalagi orang itu aku tidak pernah mengenalnya."

    "Oh.." Chris mengangguk-angguk.

    "Kamu sendiri, apakah merasa nyaman dengan apa yang terjadi di antara kita?" Chris bertanya dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.

    Aku menoleh ke arahnya. Dia tampak cemas. "Ya." Jawabku pendek. "Seperti mimpi yang menjadi nyata."

    "Mimpi lagi?" Dia menimpali dengan tersenyum. "Jadi, masih punya mimpi yang lain?"

    "Hmm.. Tidak." Aku menjawab pelan.

    "Kenapa?"

    "Sudah cukup. Aku tidak tahu harus bermimpi seperti apa lagi."

    Aku menoleh sebentar ke arahnya. Dia tampak tersenyum.

    "Kamu tidak ingin lebih?"

    "Maksudnya?" Aku bertanya seolah tidak mengerti. Padahal hatiku tahu persis apa yang dia inginkan. Tapi ketakutanku membuatku menyembunyikannya.

    "Menurutmu, hubungan seperti dua orang temanku tadi, hubungan macam apakah itu?"

    Aku hanya terdiam. "Tuhan, aku mohon jangan lagi. Aku tidak ingin salah langkah lagi. Jangan biarkan dia pergi lagi." Aku berdoa semoga kali ini aku tidak salah respon.

    "Teman dekat?" Aku bertanya pelan. Semoga jawabanku tidak salah.

    "Teman dekat atau lebih dari itu?" Dia bertanya tepat ketika mobilnya memasuki pelataran apartemenku.

    "Entahlah." Aku menjawab singkat. Dalam hati aku bersyukur karena aku sudah sampai dan bisa segera mengakhiri obrolan yang terasa aneh ini.

    "Ya sudahlah." Chris nampak menelan ludah. Dia tampak sedikit kecewa. Ada gurat kesedihan yang dia tutupi dengan senyumannya. Dia tidak bisa menyembunyikan itu dariku.

    Sebelum turun aku pun bertanya, untuk memastikan apa yang dia mau. "Chris, katakan saja padaku, apa yang kamu harapkan? Apa yang kamu mau dari hubungan kita ini?".

    Chris menghentikan mobilnya beberapa meter sebelum lobi hotel. Dia memandangiku sebentar. Aku kembali bertanya-tanya dalam hati. Kenapa aku bisa benar-benar menyukai anak ini?

    "Tidak ada."

    "Yakin, ya. Aku turun ya?" Aku bersiap membuka pintu.

    "Bisakah kita saling jujur?" Pertanyaan Chris menghentikanku. Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian menunduk.

    "Apakah kamu takut?" Chris kembali bertanya. "Jika seandainya harus lebih dari sekedar teman?"

    Aku masih terdiam. Kami saling terdiam beberapa saat. "Maafkan aku, Chris. Entah kenapa aku begitu takut untuk menghadapi momen seperti ini."

    "Maksudmu lebih dari teman seperti apa?" Aku bertanya pelan. "Saudara?"

    Dia diam saja.

    "Pacar?" Suaraku bergetar. Rasanya aku ingin menarik kembali apa yang baru saja aku ucapkan.

    "Kamu pernah memikirkannya?" Chris menimpali dengan nada sedikit datar. Tapi aku bisa merasakan ada getaran dalam pertanyaannya.

    Aku menatapnya lekat-lekat, berusaha meyakinkan bahwa yang aku dengar tidak salah. Dia tampak sedikit gelisah.

    "Tuhan, kamu tahu apa yang ada di dalam hatiku." Aku berkata lirih dalam hatiku. Rasanya menyakitkan sekali memendam cinta, hanya karena aku takut kehilangannya. Lagi.

    Jauh dalam hatiku, aku memang sangat ingin memilikinya. Tetapi ada bagian hati yang takut akan kehilangannya lagi, sehingga aku tidak berani untuk berharap agar dia menjadi milikku. Buatku apa yang aku jalani dengannya saat ini sudah cukup. Aku takut jika berharap lebih, aku justru akan kehilangan apa yang sudah aku miliki sekarang.

    "Kamu tahu, Chris." Aku mengucapkannya setengah bergetar. "Aku merasa sangat kesepian, saat kamu menjauhiku." Aku berhenti sejenak. Chris terdiam mendengar pengakuanku. "Itu merupakan masa yang sangat menyedihkan untukku."

    "Maafkan aku." Chris menjawab lirih. "Aku berjanji itu hanya akan terjadi di masa lalu.."

    "Aku tidak mengharapkan janji apapun darimu, Chris." Aku menatapnya. "Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Aku tidak ingin membencimu hanya karena menganggapmu mengingkari janji."

    Chris tidak membantah.

    "Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama." Aku kembali meneruskan. "Hari-hariku sekarang, terasa begitu penuh warna. Dan itu karena kku bisa banyak menghabiskan waktu bersamamu. Mungkin ini adalah masa paling indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Menginginkan lebih dari ini, akan membuatku takut kehilangan apa yang sudah aku miliki saat ini."

    Lagi-lagi kami terdiam.

    "Bolehkah aku tahu, " Chris menatapku, " dalam hatimu apakah kamu menyimpan perasaan itu padaku?".

    Aku hanya mengangguk pelan. Aku tertunduk malu.

    "Seperti pada seorang wanita?" Chris tampak ingin jawaban lebih spesifik.

    Aku sudah kehilangan rasa kantukku sejak tadi. Entah kemana. Tapi kali ini aku tidak bisa menjawabnya secara langsung.

    "Chris, aku tidak ingin kehilangan kebersamaan ini, dan aku ingin selalu bersamamu." Aku mencoba menyusun kata. "Bisakah aku meminta darimu satu hal saja, tetaplah bersamaku."

    "Apakah kamu mencintaiku?" Chris langsung bertanya dengan kalimat yang tegas.

    "Aku ingin kamu selalu bersamaku." Entah kenapa hanya itu jawabanku.

    Hatiku berteriak, menyuruhku mengatakan cinta kepadanya. Tapi entahlah, hanya itu yang bisa kukatakan. Aku bisa melihat raut kecewa di wajahnya. Ada bagian dari hatiku yang menjerit melihat hal itu. Tapi aku mencoba tidak menujukkannya.

    Aku segera membuka pintu mobil dan berdiri. "Chris, maafkan aku."

    Dia mengangguk dan tersenyum.

    "Jangan tinggalkan aku karena jawabanku malam ini." Aku memohon dengan lirih.

    Chris kembali tersenyum. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang sangat melegakan. "Aku tidak akan mengulangi hal yang sama. Aku juga tersiksa ketika jauh darimu. Aku berharap bisa terus merasakan bahagia bersama denganmu. Dan seandainya kamu tahu, aku merasa aku terlanjur menyayangimu. Dan aku merasa.. " Dia terdiam, tidak melanjutkan kalimatnya.

    Tapi aku seolah bisa mendengar apa yang dia katakan dalam hatinya. Ada hangat, ada bahagia saat mendengarkan pengakuannya. Rasanya benar-benar seperti sebuah mimpi.

    Ada juga bagian hati yang berteriak, "Aku juga mencintaimu, Chris." Tetapi entah kenapa itu tidak pernah keluar dari mulutku.

    "Selamat istirahat ya." Chris melambaikan tangannya.

    Aku mengangguk, "Hati-hati mengemudinya," dan aku segera menutup pintu mobilnya.

    Aku memandangi mobilnya yang segera berlalu. Kemudian melangkah perlahan. Ada gundah dalam hati, tentang apa yang telah terjadi. "Tuhan, apa aku sudah melakukannya dengan benar? Mengapa hatiku merasa gundah?"
Sign In or Register to comment.