It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Huhuhu...
--a
mksdnyaaa
Suara gelas pecah dari ponselku membangunkanku dari tidurku, tanda bahwa ada pesan masuk. Kuabaikan saja karena masih terasa berat untuk membuka mata setelah tertidur nyenyak pagi itu.
“Kang, ada sms nih?” Ganef membangunkan aku sambil meletakkan ponsel di depan wajahku.
Dengan malas kuambil ponsel itu. Tetapi begitu kulihat bahwa pengirimnya adalah Nicky, aku langsung duduk dan membaca pesan yang tertulis.
kmrn mlm aku ga sengaja baca laptop. knp bohong ttg atin?
Aku terkejut membaca pesan dari Nicky. Sangat singkat, tapi to the point. Kubaca pesan itu berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa aku ga salah baca. Keringat dingin keluar dari dahiku, perutku jadi mual akibat sekresi asam lambung yang berlebihan karena gejala stress. Mendadak stress!!! betul, itu yang aku rasakan saat itu. Aku menyalahkan diriku, kok bisa aku sampe teledor meninggalkan laptop dalam keadaan terbuka sehingga Nicky bisa membaca diariku? Terus kok beraninya dia membaca fileku tanpa permisi?................ tapi ah, bukan salah dia, bukan salah dia........ beribu maaf aku berikan untuk Nicky. Ini memang salahku sendiri setelah mengetik di laptop aku lupa menyimpannya, karena tadinya akan kulanjutkan setelah sholat malam.
Kegelisahanku berkembang menjadi prasangka. Apakah Nicky juga membaca file-fileku yang lain? Apakah dia sekarang tahu kalau aku gay? Jantungku berdebar-debar. Kurasakan detakannya tidak beraturan. Aku duduk terdiam bersila diatas kasur, masih memandang layar ponselku yang sudah menjadi gelap secara otomatis. Berulang kali aku menghela nafas secara tidak sadar.
“Berita buruk ya Kang?” Suara Ganef membuatku tersadar bahwa aku tidak sedang sendiri di kamar.
“Masalah kerjaan.” jawabku berbohong.
Aku berdiri menuju tempat laptopku disimpan. Tadinya aku mau membukanya langsung disitu, tapi aku ingat ada Ganef bersamaku, jadi kubatalkan untuk langsung membukanya.
“Aku keluar dulu bentar, Nef, mau nyambung internet dulu.” Kembali aku berbohong. Ganef mengangguk. Dia masih berbaring di tempat tidur. Tadi setelah ngobrol panjang lebar dengan ibuku, aku dan Ganef menyambung tidur kami yang kurang tadi malam.
Aku membaca diari terakhirku di ruang kerja ayahku. Kutelusuri kalimat demi kalimat yang kutulis saat malam terakhir di Bandung. Aku lega, sebab dari kalimat2 yang aku ketik tidak ada sepotong katapun yang menunjukkan bahwa aku adalah gay. Isi diari itu adalah tentang perasaanku yang tidak enak karena telah bersandiwara di depan keluarga Atin. Memang disitu aku tulis, bahwa hatiku sudah tertambat pada seseorang, tapi aku tidak menulis namanya. Yang kutulis adalah bahwa hari2 terakhirku yang tersiksa karena tidak bisa menyatakan perasaanku pada orang itu.
Mungkin itu yang membuat Nicky bingung, siapa yang membuatku jatuh cinta sehingga aku tidak bisa menyatakan cintaku. Untuk meyakinkan lagi, kutelusuri jejak-jejak file yang terbuka dua hari terakhir ini. Aku berharap bahwa Nicky tidak lancang untuk membuka file-fileku yang lain. Sebab meskipun aku sudah dengan hati2 sekali untuk tidak menuliskan ke-gay-an aku secara eksplisit di dalam diariku, tapi kalau Nicky membaca file2 yang lain, boleh jadi dia akan mengerti bahwa aku jatuh cinta berat kepadanya.
Setelah yakin bahwa Nicky hanya membaca diariku yang terakhir, aku mulai mengetik lagi sambungan diariku. Tapi baru beberapa baris aku mengetik, tiba2 aku ingat kalau Ganef belum sarapan, jadi kutunda dulu mengetik diariku. Aku kembali ke kamar, dan kudapati Ganef hanya memakai sarung bertelanjang dada. Rambutnya basah, tanda bahwa dia sudah mandi. Dia sedang duduk di pinggir tempat tidur membelakangiku sambil menundukkan kepalanya, entah apa yang sedang dia lakukan.
“Ngapain Nef?” tanyaku sambil memasukkan laptop ke dalam tasnya.
“Ini kang, bisul sudah dua hari, sakit banget, sepertinya sih sudah mau pecah.” Jawabnya masih sambil menundukkan kepalanya.
Aku melangkah memutari tempat tidur, ingin melihat bisulnya. Dan betapa kagetnya aku, ketika melihat sarungnya yang sedang diangkat memperlihatkan selangkangannya yang tak ber-cd. Tangannya diletakkan diatas hair pubic-nya dan menyingkapkannya sehingga terlihat sebuah titik merah kecoklatan yang cukup besar.
Aku tertawa : “Hah... aneh......, bisul kok disitu?” Aku mundur kembali ke posisi semula, canggung untuk melihat pemandangan ganjil itu.
Tapi Ganef malah memutarkan tubuhnya, sehingga dia duduk menghadapku sambil memperlihatkan bisulnya tanpa sungkan. “Ini sudah mateng belum ya? Sakit sekali kalau saya pegang. Kalau berdiri sakitnya berdenyut-denyut.” Katanya.
Dengan jantung berdebar, kudekatkan kepalaku mengamati bisulnya. (Tentu saja mataku tidak hanya mengamati bisul, tapi juga memandang keindahan yang berada dibawahnya). Tadi malam bisul itu tidak terlihat karena tertutupi oleh lebatnya hair pubic.Sekarang terlihat jelas sekali di sekitar mata bisul itu ada pembengkakan yang cukup besar. Telunjuk kananku menyentuh-nyentuh sekeliling bisul yang penuh bulu itu (kesempatan, hehehe).
“Belum kayaknya, Nef. Masih keras. Kalau sudah mateng matanya jadi putih, dan bengkaknya ga sekeras ini. Mungkin dua atau tiga hari lagi baru mateng. Tapi kalau mau cepet mateng, pake salep hitam atau parutan kentang aja. Trus dikompres pake air hangat tiap pagi, sore dan malem sebelum tidur.” Aku tahu tentang itu, karena selama kuliah di Bandung, beberapa kali aku kena bisul, dan adik cewekku yang kuliah di kedokteran memberikan treatment seperti itu.
Kutelepon adikku di Bandung untuk menanyakan obat antibiotik apa yang harus dibeli untuk perawatan bisul. Setelah mendapatkan jawaban, kusuruh orang di rumah untuk membelikan antibiotik itu sekaligus salep hitamnya. Aku masuk ke kamar mandi, sementara Ganef masih bersarungan dan bertelanjang dada.
Selesai mandi, kuajak Ganef sarapan. “Pake sarung aja, ga apa-apa kok.”
Kontradiktif. Itulah kesan berikutnya tentang Ganef. Cara mengajinya yang indah membuatku mengambil kesimpulan bahwa dia itu orang yang religius. Tetapi sisi lain tentang sikapnya yang tidak malu-malu itu membuatku heran. Apakah itu dilakukan karena dianggapnya hal biasa saja? Ataukah ada maksud lain dari sikapnya itu? Tapi aku kemudian tidak mengembangkan pertanyaan2 itu, sebab pikiranku masih dipenuhi oleh sms dari Nicky. Meskipun jejak2 di laptop sudah meyakinkan diriku, bahwa Nicky hanya membaca diariku yang terakhir, tetap saja kegelisahanku masih sering muncul. Khawatir akan pikiran-pikiran buruk Nicky kepadaku.
SMS-nya yang singkat, dan nadanya yang terkesan interogratif sedikitnya membuat kesan bahwa dia jengkel karena aku tidak berterus-terang tentang Atin. Aku bingung harus menjawab seperti apa. Apakah aku harus berbohong lagi? Sebab apapun jawabanku, pasti aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut alasan kebohonganku. Dan kalaupun kulanjutkan lagi, maka akan jadi kebohongan yang tak berujung. Nggak! Nggak mungkin aku bisa seperti itu kepada Nicky. Rasa sayang dan cintaku kepadanya masih sangat mendominasi hatiku. Dan ada rasa bersalahku padanya, sebab akulah yang telah membawanya kepada dunia seperti ini.
Terhadap Ganef, hanya ada perasaan tertarik secara fisik, tidak lebih. Sikapnya yang ceria dan terbuka membuatku senang, itu saja. Tidak ada rasa sayang dan cinta seperti aku mencintai Nicky. Ketika aku berpisah dengan Ganef kemarin di Bandara Sepinggan Balikpapan, perasaanku biasa saja, tidak terlalu kehilangan. Dan seandainya aku harus berpisah dengannya sekarangpun, rasanya aku rela-rela saja. Bagiku Ganef hanyalah sebuah ornamen kecil penghias lukisan hidupku, dan tanpa ornamen itu maka tidak akan mengubah kesan utama dari lukisanku itu. Tapi kalau aku harus kehilangan Nicky, wah..... nanti dulu. Aku belum siap, meskipun aku tahu itu adalah sebuah kesalahan. Membuat Nicky marah atau jengkel adalah hal yang sangat kutakuti, apalagi kalau harus kehilangan dia.
Sepanjang hari itu, aku jadi sering melamun sendiri. Kurasakan kegelisahan itu menjalari seluruh sel-sel di tubuhku, sehingga respon dari tubuhku juga menjadi negatif. Tak sanggup kuhabiskan sarapanku pagi itu, padahal ibuku sudah memasakkan nasi goreng favoritku. Sehingga diam-diam, tanpa sepengetahuannya kutawarkan sisa nasi gorengku yang tidak habis kepada Ganef. Untungnya dia memang sedang kelaparan, jadi dengan gembira dilahapnya nasi goreng yang memang lezat itu.
Tapi sekarang hubungan kami sdh renggang tanpa alasan yang pasti....
waduh, gak nyangka juga selama ini murid bang bunny ......
(loh koq malah gue yg ngerocos..?)
PS: Wah.. ada muridnya kang Bunny tuh...
dengan keterbukaannya itu (jati dirinya sengaja dia buka), itu pendapat saya yg kedua... ditunggu tulisan selanjutnya yak...