It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Amin....
Sebenernya soalnya sih gak susah-susah amat.. cuma kalo enggak tau yang mana yang keluar, jadi sia-sia ngapalin yang lain.. wakakakak.. :P
Lah... bukannya ente yang lagi sibuk sama si Bule??
AAAAAAH.... ENTE BUKANNYA NYUSUL AJA KE KELAPA GADING.... DAN MENYELAMATKAN ANE DARI HORRIBLE DATE..... T_T
Makin siang makin banyak gangguan! begitu kesimpulanku setelah hampir dua minggu ini aku naik kereta dengan jadwal yang lebih siang agar aku bisa berangkat bersama Hendra, cowok yang aku kenal di warung sate padang itu. Makin banyak gangguan adalah saat hari semakin siang maka lintasan kereta di manggarai semakin padat, hingga ujung-ujungnya kereta menjadi tertahan akibat antrian masuk manggarai. Selama dua minggu ini, untungnya aku belum pernah sekalipun berpapasan dengan Yeyen dan geng-nya yang juga naik kereta dengan jadwal yang sama. Satu gerbong dengan Hendra merupakan pengalaman yang baru buatku. Hendra ternyata juga bagian dari geng gerbong delapan alias gerbong paling belakang. Hendra berkawan akrab dengan beberapa karyawati jelita dan seorang pria paruh baya. Yang paling cantik diantara mereka adalah seorang gadis bernama Sofie. Dia dan Hendra sama-sama turun di stasiun Juanda.
"Mikirin apaan Rem?" tanya Hendra saat dia melihat pandangan kosongku ke luar jendela kereta.
"Eh.. enggak. Cuma mikirin mau ke kampus.." jawabku tersadar dari lamunan. Saat itu aku sedang duduk di kereta yang sudah meninggalkan stasiun Gambir. Dari anggota geng yang tersisa tinggallah aku, Hendra, dan Sofie.
"Emang ada apa di kampus?" tanya Hendra lagi.
"Itu... ijazah.. belum diambil..."
"Sayang Rem! nanti kalau kampus elu keburu pindah, atau malah kebakaran, elu nyesel lagi..." Ujar Hendra.
"Iya Rem... mending lo ambil buru-buru ijazah lo!" Sofie yang sedari tadi membaca koran ikut urun pendapat.
"Hmm... rencananya sih emang sabtu ini gue mau ke kampus. Udah setahun lebih sejak wisuda gue belum balik ke kampus..."
Setelah itu Hendra dan Sofie berpamitan untuk berjalan ke gerbong tengah karena akan turun di stasiun Juanda. Aku mengawasi Hendra yang berjalan menjauh bersama Sofie sambil berfikir, Ah! rupanya aku tidak terlalu berminat untuk mengejar-ngejar Hendra. Bagaimanapun menyenangkannya bergabung bersama geng Hendra, aku masih merindukan saat-saat dimana aku hanya berdua saja dengan Iqbal di kereta. Tidak selalu ada obrolan, kadang aku dan Iqbal hanya terdiam dan sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Aku membaca koran atau novel sambil mendengarkan lagu dari ponsel walkmanku, sedangkan Iqbal lebih suka memerhatikan pemandangan di luar kereta sambil mengunyah permen karet. Iqbal tidak menuntut aku agar selalu berbincang dengannya di kereta begitupun aku sebaliknya. Hanya menyadari bahwa kami dekat, berada dalam tempat dan waktu yang sama, itu sudah lebih dari cukup.
*****
Aku duduk di lobi kampus. Untunglah hari sabtu ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mahasiswa mondar-mandir yang memerhatikanku duduk. Mungkin mereka merasa heran dengan aku yang belum pernah mereka lihat, tapi sedang duduk menunggu dengan sekantung plastik besar berisi macam-macam roti dari breadtalk. Aku benar-benar khawatir kalau aku sampai bertemu dengan Pak Anwar, oleh sebab itu aku bersikap sangat waspada mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang.
Sepuluh menit kemudian Mbak Meri, staff administrasi kampus, menyuruhku masuk ke ruangannya. Hari ini dia berbeda sekali dengan yang kuingat dulu karena sekarang gadis putih berkerudung ini sangat ramah menyapaku, terlebih setelah aku menyerahkan bungkusan Breadtalk yang memang sengaja kubeli sebagai buah tangan sebelum datang ke kampus. Padahal dulu aku sempat menjulukinya 'Meri si Mata Elang' karena ketajaman matanya bila sedang mengawasi mahasiswa yang sedang ujian hingga tak ada peserta ujian yang berani bertanya-tanya atau mencontek.
"Udah setahun baru diambil Rem?" tanya Mbak Meri sambil tersenyum sementara sebelah tangannya meletakkan plastik breadtalk itu agak tersembunyi. Mungkin dia ingin memilah-milah dulu roti yang dia suka sebelum berbagi dengan yang lain.
"Iya mbak! belum sempat." jawabku.
"Ya udah, kamu tanda tangan di sini." kata Mbak Meri sambil menyodorkan buku resgistrasi pengambilan ijazah.
Sementara aku menandatangani buku itu, Mbak Meri membuka laci lemari arsip di sebelah mejanya, mengeluarkan sebuah map besar dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya. Setelah menemukan apa yang dia cari, dia mengangsurkan sebuah amplop coklat padaku dan menyuruhku memeriksa isinya. Tanganku merogoh ke dalam amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ijazah asli memang ada di situ beserta sepuluh lembar salinannya yang telah dilegalisir, namun transkripsi nilai yang asli tidak ada di dalamnya, yang ada hanya salinannya saja.
"Loh, Mbak? transkrip yang aslinya kok enggak ada ya?" tanyaku sambil terus memeriksa isi amplop itu memastikan kalau memang lembar asli yang aku cari benar-benar tidak ada di dalamnya.
"Masa sih?" Tanya Mbak Meri bingung.
Aku mengangguk sambil menyerahkan kembali amplop itu padanya. Setelah memastikan bahwa yang aku katakan adalah benar, Mbak Meri kemudian diam seperti sedang berpikir. Beberapa saat kemudian dia kemudian mengangkat gagang telepon dan memanggil seseorang. Rupanya dia memanggil pak Badru, staff kampus yang lain. Aku mengucapkan salam padanya saat dia datang ke ruangan dan dia pun berbasa-basi menanyakan kabarku.
"Tahu enggak kemana transkrip nilai asli punya Remy?" tanya Mbak Meri pada Pak Badru.
Pak Badru terdiam sesaat. Wajahnya seperti sedang berpikir keras. Lalu dia berujar,"Saya ingat! gak lama habis wisuda, ada sekitar sepuluh orang yang transkripsi nilainya dipinjam untuk bahan studi percontohan."
"Sama siapa?" tanya Mbak Meri mulai ketus, mungkin merasa kalau teritori dia sebagai pengurus arsip ijazah telah dilanggar karena tanpa sepengetahuannya arsip-arsip miliknya telah lenyap.
"Sama Pak Anwar." Kata Pak Badru. Jantungku serasa hendak copot mendengar nama Pak Anwar disebut.
"Ya udah. Makasih." kata Mbak Meri singkat. Pak Badru meninggalkan ruangan dan Mbak Meri kemudian menelepon seseorang dengan ponselnya.
"Pagi pak... saya mau tanya, apa benar bapak meminjam transkripsi nilai mahasiswa? soalnya ada yang mau ambil sekarang..." ujar Mbak Meri ramah. Sekarang jantungku mulai berdebar tak karuan mengetahui bahwa Pak Anwar lah yang sedang ditelepon oleh Mbak Meri.
"Yang mau ambil? Remy..." ujar Mbak Meri lagi sambil melirik ke arahku. Sialan! mengapa dia harus bertanya siapa yang ambil? makiku dalam hati.
Mbak Meri menutup pembicaraan dengan Pak Anwar dan masih tersenyum dia berkata padaku, "Kamu tunggu kira-kira sejam lagi ya? kayaknya kamu harus ambil langsung sama Pak Anwar, dia bilang memang akan ke kampus hari ini."
Entah Mbak Meri lihat atau tidak, tapi aku merasa ekspresi wajahku telah berubah.
*****
Gw pikir cuma gw doang yg suka males ngomong kaya gni. Tnyt ada tmn jg toh :P
Ceritanya dari pertama emang bikin penasaran.
I think you are an awesome writer.
Kalo besok2 ngeluarin novel, i'll be the 1st person to buy your novel, hehehe...
Terpaksa hari ini, petualangan diakhiri dulu pada hal 34.
I do really want to continue reading your story but its already 2.25 am
Need to rest. Btw, Koh bisa minta alamat fs-nya?
Jadi penasaran pengen liat da main character.
Arigatou ne.
Regards,
_kurosaki_
Ga mungkinlah... Ane kan lg gawe wktu itu.. :-(
Pa kbr?kangen neh..
Ke kebun raya lg yuk?hehehehehehe
Oh iya add donk YM ku Joker_leo999 sekalian mau liat foto mas remy and foto2 paul iqbal hasan nuzul and fauzi hehehehe.....
Thx