It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bikin penasaran, bagus, bagus, terus berkarya ya kang!
kirain dah ada lanjutan storynya Remy .....
.....
come on Remy lanjut dunk ....
I m waiting for the next episode ....
regards from Aceh,
joe
gue harap happy endingnya ama iqbal... 8)
cerita yg penuh dilema dan misteri...
mendingan remy keluarin novel aja deh.
pasti gue beli langsung!!!
LANJUTTTTTTTT DONG PLZZZZ
Yang dimaksud dengan kencan oleh Fauzi adalah kencan ganda alias double date. Rupanya dia berkenalan dengan seorang cewek yang bersedia pergi dengannya asalkan teman ceweknya juga di ajak.
"Gitu mas! si Lis enggak mau aku ajak kecuali temen se-kostan dia juga diajak."
"Aneh..." kataku.
"Yah.. tolongin aku lah mas! Temennya itu masih jomblo. Aku udah bilang bersedia ngenalin..."
"Apaan? ente mau ngejodohin ane?" Potongku.
"Bukan... cuma mau ngenalin aja kok.." Kata Fauzi dengan nada cemas.
Tetapi akhirnya lima belas menit kemudian, aku sudah berganti pakaian dan siap berangkat. Saat motorku hendak kukeluarkan, Fauzi berkomentar, "Mas! rapi bener sih?"
Padahal aku saat itu cuma mengenakan kemeja lengan panjang dibalut sweater rajutan berwarna hijau tua dan celana khaki. Mungkin karena aku memakai sepatu kulitku jadi kelihatan tidak kasual.
"Masa sih?" tanyaku, "emang mau kencan dimana?"
"Kita jemput dua cewek itu di tempat Bansus (bandrek susu) deket air mancur.." Kata Fauzi.
"Bilang kek!" gerutuku sambil kembali ke kamar.
Akhirnya aku mengganti bajuku dengan polo-shirt oranye, jeans dan sepatu kets. Tidak lupa aku juga memakai kardigan abu-abu ku sebagai pengganti jaket (teuteup...).
"Wah si Mas ini, bener-bener harus ganti baju tho? Tau gitu tadi aku ndak usah komentar..." Kata Fauzi geli.
Untunglah, hujan yang mengguyur kota Bogor beberapa malam terakhir ini tidak turun malam itu. Sekitar 20 menit kemudian kami tiba di air mancur, sebuah Bundaran jalan yang merupakan pertemuan simpang tiga yang mengarah ke Istana Bogor. Biasanya tempat itu ramai oleh para ABG dan anak muda yang sekadar nongkrong atau berpacaran. Beberapa tahun lalu aku masih sering kemari selepas kuliah malam bersama teman satu geng di kampus. Rupanya langit yang cerah membuat tempat itu cukup ramai walau malam ini bukan malam minggu.
Kami memarkir motor tak jauh dari tenda Bansus. Aku menghentikan Vario-ku tak jauh dari Supra-X milik Fauzi. Kemudian aku dikenalkan pada dua orang cewek imut -kalau tidak mau dibilang awfully short!- setipe dengan cewek-cewek model SPG yang naik kereta ekonomi, yang bahkan tangannya tidak mampu menjangkau palang besi untuk sekadar bergelantungan dalam gerbong.
Salah satu dari cewek itu langsung dihampiri Fauzi. Wajahnya bundar dan cukup manis, kulitnya agak gelap dengan model rambut sebahu dan poni samping ala ABG di sinetron. Dia malam itu memakai jeans ketat, kaus kekecilan berwarna pink dan kardigan hitam.
"Mas! kenalin.. ini Lis.." Kata Fauzi sambil menunjuk cewek itu. Aku menjabat tangan cewek yang bernama Lis itu sambil berkata "Remy..."
"Nah, yang ini temen satu kost nya Lis, namanya Yuli..." Kata Fauzi lagi kali ini menunjuk seorang cewek yang sedari tadi bertingkah agak canggung dan berdiri tidak mau jauh-jauh dari Lis. Baru kuperhatikan cewek yang bernama Yuli ini. Dia berwajah oval dengan kulitnya yang pucat tanpa make-up tebal. Rambut panjang sepunggung dan berponi. Badannya lebih tinggi dan lebih langsing dibanding Lis, sehingga mini-shirt kuning cerah dengan sweater putih bertudung yang tidak dikancingkan serta celana jeans slim-fitnya itu sangat cocok dikenakan olehnya.
Sempat aku bertanya dalam hati mengapa Fauzi tidak memilih Yuli yang secara keseluruhan lebih menarik dibanding Lis? pasti itu karena Fauzi lebih dulu mengenal Lis sebelum bertemu Yuli. Aku yakin di hari Fauzi berkenalan dengan Yuli, dia pasti agak menyesal berkenalan dengan Lis terlebih dahulu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.
"Mas, kok senyum-senyum aja sih? suka yaaa...?" Goda Fauzi.
"Apaan sih ente... Hai... Gue Remy.." kataku sambil mengulurkan tanganku pada Yuli. (lagi-lagi aku memakai kata Gue) Yuli menjabat tanganku cepat-cepat, wajahnya tertunduk tidak mau menatapku, tapi sekilas walaupun dibawah lampu penerangan jalan raya kulihat wajahnya agak bersemu merah.
"Kita mau makan di sini?" usul Fauzi.
Namun ketika kami masuk ke dalam kios Bansus, ternyata bangku-bangku telah terisi penuh.
"Yah... kayaknya lama..." kataku.
"Trus kita makan dimana? Warung tenda?" tanya Fauzi merujuk suatu tempat di pinggiran Jalan Raya Pajajaran dimana berjejeran tenda-tenda yang menjual aneka makanan, dan hanya buka pada malam hari saja.
"Bosen ah! keseringan!" protesku tidak memedulikan Fauzi dan dua cewek itu yang menatapku heran.
"Wah... mas ini rupanya kalau pacaran itu sering banget ya kencan wisata kuliner malem-malem? enak banget ya jadi pacar mas?" Kata Fauzi dengan nada kekaguman yang terdengar janggal.
Aku kemudian melirik ke arah Yuli dan kulihat raut wajahnya berubah. Sadar bahwa kalimat terakhirku mungkin menimbulkan pengertian yang tidak-tidak, aku buru-buru meralatnya karena tidak mau dicap sombong dan sok tahu.
"Eh, maksud ane... makanannya gitu-gitu aja... paling indomie keju, pisang keju, Pisang bakar, roti bakar..."
Wajah ketiga orang itu masih memandangku aneh, hingga buru-buru kutambahkan,"Ane tahu tempat yang lebih asik, lebih enak dan lebih murah..."
Kulihat wajah Fauzi berubah menjadi lebih lega. Lis tersenyum-senyum sedangkan Yuli malahan menatap ke arah jalan, entah apa yang dia lihat.
"Yuk ah, berangkat sekarang!" Ajakku buru-buru menyudahi percakapan yang membuat canggung itu.
******
Tempat yang kusebutkan memang jauh dari standar cafe tenda yang berdiri kokoh dan terang benderang. Tempat itu hanyalah sebuah gerobak dilengkapi tenda sederhana berupa terpal dengan sebuah meja dan bangku kayu panjang. Berbeda dengan cafe tenda yang menawarkan kehangatan, di tempat ini bila hujan kita pasti akan kedinginan dan kaki kita tetap kebasahan. Letaknya yang bukan di jalan utama juga membuat tempat ini jauh dari hiruk-pikuk orang dan kendaraan.
Terlepas dari segala kesederhanaannya, aku sangat menyukai makanan yang ada di sini. Sebenarnya menu yang disajikan di sini tak jauh dari sajian menu cafe tenda yaitu Indomie Keju, Pisang Keju, Pisang Bakar... namun di sini dijual asinan jagung bakar terenak yang pernah aku makan. Selain itu kukira cara memasak yang masih tradisional mungkin menambah kelezatan makanan-makanan tersebut.
Aku pernah mengajak Iqbal makan di sini setelah kami bosan makan di cafe tenda maupun di restoran-restoran di Mall, dan hasilnya kini dia menjadi salah satu penggila asinan jagung bakar juga.
Setelah kami sampai dengan membonceng pasangan kami masing-masing dimana sepanjang perjalanan kami tadi, Yuli masih agak malu-malu merangkul pinggangku dan sesekali memilih berpegangan pada pinggiran jok motor, aku disambut sapaan ramah ibu tua pemilik warung asinan jagung bakar yang sudah mengenaliku.
"Wah.. si A'a.. tumben rame-rame... Temen A'a anu kasep tea (yang ganteng itu) enggak ikut?" tanya si Ibu dengan polosnya sehingga membuatku tercekat.
Aku melirik ke arah mereka bertiga, wajah mereka menatapku keheranan.
"Oh.. enggak Bu, biasa... ama ISTRI nya lagi enggak dibolehin jalan-jalan..." Jawabku dengan menekankan pada kata ISTRI.
Kulihat Fauzi manggut-manggut sepertinya dia mengerti kalau yang dimaksud itu adalah Iqbal yang sudah dikenalnya.Sedangkan dua cewek itu kelihatannya sudah tidak memerhatikan ucapan si Ibu dan mulai mencari tempat untuk duduk.
Saat kami mengobrol sambil makan menu pesanan masing-masing, aku akhirnya tahu bagaimana Fauzi mengenal Lis. Dia bertemu saat Lis hendak pulang dari pabrik garmen tempatnya bekerja dan mengajaknya berkenalan. Sedang Yuli yang teman satu kost Lis bekerja sebagai staf administrasi di sebuah kantor koperasi. Sifat Yuli yang pendiam bertolak belakang dengan Lis yang ramai. Walau tidak banyak berkomentar, Yuli tetap memerhatikan saat aku bercerita tentang diriku, tempat kerjaku dan lain-lain.
Akhirnya kami harus menyudahi kencan kami malam itu, aku bersikeras mengantar Yuli hingga tempat kostnya walau dia merasa tidak enak. Di jalan saat kami berboncengan, entah mengapa Yuli yang saat bertemu sangat canggung, kini tidak ragu-ragu memeluk pinggangku erat-erat. Fauzi dengan motornya menjajari motorku. Dia membunyikan klakson dua kali hingga aku menoleh, dan kulihat Fauzi mengacungkan jempolnya sementara Lis tersenyum-senyum geli sebelum akhirnya motornya melaju mendahului motorku, meninggalkan aku yang kesal dengan godaan mereka.
"A... mau tanya dong..." kata Yuli. Dia kini memanggilku A'a.
"Tanya apaan?"
"Sorry... A'a... muslim apa bukan?" tanyanya hati-hati. Aku sudah sangat terbiasa dengan pertanyaan ini disebabkan wajah orientalku.
"Alhamdulillah muslim..." jawabku.
"Berarti enggak ada ganjelan dong..." Kata Yuli semakin erat memelukku.
Ganjelan? apa maksudnya? pikirku panik. Dalam hati aku mengutuk Fauzi sejadi-jadinya karena sudah melibatkan aku pada situasi yang tidak kusukai ini. Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
Sejak pertengkaran kami yang terakhir, aku berjanji pada Iqbal untuk selalu terbuka padanya tentang apa yang kulakukan, jadi pagi berikutnya di kereta aku menjelaskan soal kejadian semalam.
"Ya gitu... si Fauzi ngejodohin ane"
Iqbal hanya mengangguk-angguk tanpa berkomentar sementara mulutnya sibuk mengunyah permen karet. Akhir-akhir ini kulihat kecanduannya pada rokok makin menjadi-jadi. Seringkali dia masih mengisap batang rokoknya berkali-kali sebelum rela dibuangnya padahal orang-orang sudah berebut masuk ke dalam kereta. Kini dia mulai mengunyah permen karet selama perjalanan dalam kereta karena katanya tidak tahan kalau tidak merokok terlalu lama.
"Ente ngedengerin enggak sih?" tanyaku kesal. "Lagian kok kecanduan ente ama rokok tambah parah sekarang?"
"Gue makin parah sejak kenal sama lu... stress..." katanya santai. "Tapi kan gue enggak pernah ngerokok kalo deket lu.. iya kan?"
"Enggak ngerokok apaan?" dengusku kesal. Aku berhak merasa kesal karena terakhir kali kita sedang bercinta, Iqbal terasa sekali sedikit terburu-buru menyudahi permainan dan langsung keluar dari kamar dengan alasan ingin minum, tetapi saat aku lihat dia ternyata sedang merokok di dapur.
"Ceweknya cantik ga?" tanya Iqbal mengalihkan pembicaraan.
"Lumayan sih... tapi kan ane gak tertarik..."
Seorang Ibu melirik ke arahku dengan tatapan heran.
"Ya jangan keliatan ngasih harapan lah..." saran Iqbal.
"Nomor HP sih belum tuker-tukeran, walaupun kayaknya si Yuli itu udah enggak tahan pengen ditanya berapa nomor HP nya..."
Iqbal kembali mengangguk-angguk."Ya udah... bilang aja sama si Fauzi lu belom siap kalo dijodohin... apa perlu gue sms dia?"
Aku menatap heran pada Iqbal karena kalimatnya yang terakhir."Emang ente udah tahu nomor HP nya si Fauzi? ane aja belum tukeran nomor HP ama dia!"
Iqbal berhenti mengunyah permen karetnya, raut wajahnya berubah. "Udah... waktu pertama ketemu. Tapi dia duluan yang nanya nomor HP gue! katanya tolong diajak kalo ada proyek..."
"Proyek apaan?! proyek ngerokok bareng?!" potongku cepat.
Tapi anehnya Iqbal tidak marah, malahan dia terlihat menahan tawa. Dia kemudian meraih HP nya dan mengetikkan sesuatu. Tak lama HP ku bergetar karena ada SMS masuk, dari Iqbal, dia menulis: "Gw seneng kalo elo lagi cemburu."
Aku menatap Iqbal jengkel sementara dia tersenyum-senyum menatap keluar jendela kereta sambil masih mengunyah permen karetnya.
*******
Saat aku hendak keluar makan siang, HP ku berbunyi. Di layarnya muncul nomor tak dikenal. Aku kemudian menjawab panggilan masuk itu.
"Halo?"
"Halo mas? Nuzul nih, sori ganggu sebentar, sibuk enggak mas?" tanya suara di seberang.
"Enggak kok, baru mau makan siang. Ada apaan Zul?"
"Gua mau minta tolong mas, tapi enggak bisa cerita di telepon gini. Mas sampe rumah jam berapa?" Suara Nuzul mulai terdengar cemas.
"Sekitar jam setengah delapan. Emang kenapa Zul?"
"Nanti gua ke rumah mas ya? boleh kan?"
"Boleh aja sih... tapi emang sepenting itu ya?"
"Darurat mas! ya udah... makasih ya mas!"
Nuzul memutuskan sambungan sebelum aku sempat berkata lagi. Masalah darurat apa? aku tak habis pikir.
----
Aku memacu motorku agak cepat. Gara-gara kereta datang telat, aku baru sampai di stasiun jam delapan kurang lima menit. Saat tadi ku telepon, Nuzul bilang dia sudah menunggu di rumah.
Sesampainya di rumah, kulihat Xenia putih Nuzul sudah terparkir di jalan. Aku menghentikan motorku dan mendorongnya ke teras. Nuzul sudah duduk di situ.
"Sorry Zul, keretanya telat."
Nuzul menggeleng "Gapapa mas!"
"Yuk masuk dulu ZUl! eh.. tangan ente udah sembuh? kok bisa nyetir?"
"Masih agak kaku sih Mas, tapi udah sembuh sih!" katanya sambil menggerak-gerakkan lengan kanannya.
Aku memasukkan kunci dan membuka pintu rumahku kemudian kunyalakan lampu ruangan tamu dan menyuruh Nuzul duduk di atas Karpet (kuingatkan lagi, di ruang tamuku hanya kugelar karpet saja).
Aku membuka pintu kulkas hendak mengambil minuman. "Mau minum apa? ini?" tanyaku sambil mengangkat kaleng 7up.
"Makasih mas, enggak minum soda..." tolak Nuzul.
"Ya udah, ini aja ya?" kataku sambil menyerahkan kaleng ramping jus jeruk pada Nuzul.
"Makasih..." katanya sambil menerima kaleng itu.
"Ada apaan sih? kayaknya ente cemas banget?" Aku duduk bersila tak jauh dari Nuzul.
Lama Nuzul tidak menjawab, dia malahan memain-mainkan kaleng jus jeruk yang dia pegang.
"Ng.. gini mas, sebenernya ini masalah cewek.."
"Cewek?"
"Iya... ada cewek di kampus yang ngejar-ngejar gua terus, sering ngirim sms, nelepon tengah malem... subuh-subuh..."
"Teroris?" tanyaku sambil tersenyum. Nuzul menatapku tidak mengerti.
"Cewek kayak gitu ane sebut teroris... pengalaman pribadi..." Aku menjelaskan.
"Gua enggak tahu gimana cara ngehadapinnya, Mas mau bantuin kan?" tuntutnya.
"Bantuin apaan dulu nih? kalo aneh-aneh ane enggak mau ah!"
Nuzul kembali tertunduk. "Tadinya gua pengen ngenalin mas ke dia... siapa tahu dia tertarik sama mas. Kan akhirnya dia enggak gangguin gua lagi. Selanjutnya terserah mas mau ditolak atau apa gitu..."
"Permintaan ente terlalu berat..." Kataku. Aku heran, baru kenal nih anak permintaannya udah macem-macem. Untung lu keren! jadi agak termaafkan.
"Gua enggak tahu lagi mas, temen-temen gak ada yang mau bantuin. Mereka bilang cewek itu cantik tapi galaknya minta ampun!"
Aku tidak mau terjebak lagi dengan perjodohan lain yang hanya akan membuatku kesal. Aku berfikir keras, apakah aku harus mengakui keadaanku pada Nuzul? Kalaupun iya tidak ada ruginya. Aku baru kenal dengan Nuzul. Paling banter kalau dia Homophobic akan menjauh dengan sendirinya. Oleh karena itu aku berdiri dan beranjak ke pintu.
"Sorry Zul, ane gak bisa bantu. Soal ngerayu cewek ane gak bisa... ane GAY!" kataku sambil membuka pintu depan, maksudnya aku paham kalau dia buru-buru ingin pulang.
Mata Nuzul membelalak tidak percaya, namun wajahnya malah menyiratkan sebuah antusiasme. Dia buru-buru menghampiriku di pintu dan mendorong pintu itu sehingga kembali menutup.
"Beneran Mas? Bagus dong!" Katanya bersemangat.
"Kok? bagus?" kataku tak percaya.
***********
SI BOTAK (THE DATE Cont'd)
"Iya! bagus! Mas Remy bisa pura-pura jadi pacar gua!" Nuzul berkata dengan nada tinggi.
Matanya berkilat-kilat sementara lengannya mencengkeram bahuku sehingga aku mundur terpojok ke dinding.
"Ente jangan macem-macem ya! ide apaan tuh?!" Protesku sambil mengacungkan jari telunjukku.
"Mas! Ide bagus! cewek itu pasti kapok ngedeketin gua! gua udah enggak tahan ama tuh cewek..." Nuzul mengguncang-guncang bahuku seperti orang yang mulai kurang waras.
Aku lalu mencengkeram lengan kanan Nuzul yang aku yakin belum sembuh benar dan mulai memelintirnya. Nuzul mengaduh kesakitan. "Aduh... duh.. Mas! Sakit! Lepasin..."
"Enggak! sebelum ente berhenti kayak orang kesurupan!"
"Iya... iya... Lepasin Mas!" Pintanya.
Akhirnya aku melepaskan lengannya. Bukannya pergi, Nuzul malah kembali duduk di karpet sambil memijat-mijat lengan kanannya.
"Ngapain ente duduk lagi? kan ane udah bilang ane gak mau!"
Nuzul tidak menjawab. Wajahnya berubah murung dan dia menundukkan kepalanya.
"Mas... gua juga mau bilang sesuatu." Katanya. "Gua rasa... gua juga Gay..."
Kedua alisku bertaut. Tapi aku mencoba tidak berkomentar atas pengakuannya. Aku kemudian duduk disebelahnya tidak berkata apa-apa memberikan kesempatan pada Nuzul untuk melanjutkan ceritanya.
"Gua... sejak kuliah kayaknya udah mulai enggak tertarik sama cewek." Katanya dengan suara pelan. "Apalagi sejak ikut tim basket kampus.... perasaan gua ada yang aneh pas ngeliat... ngeliat cowok... terutama pas di kamar ganti... ngeliat temen...." Kata Nuzul terputus-putus.
Tidak ingin melihat Nuzul menyiksa dirinya dengan bercerita, segera kuhentikan kalimatnya dengan pertanyaan.
"Keluarga ente ada yang dah tau?"
Nuzul menggeleng.
"Temen?"
Nuzul menggeleng lebih keras.
Aku menghela nafas dalam-dalam. tanpa sadar aku menggaruk-garuk kepalaku sendiri kebingungan harus berbuat apa. Melihat wajah tampannya tersaput murung begitu, lama-lama aku menjadi tidak tega.
Aku menghela nafas lagi sebelum akhirnya berkata. "Ya udah... ceritain rencana ente... Tapi ane enggak janji bakalan ngikut!"
Janji tinggallah janji. Aku tidak kuasa menolak permintaan Nuzul. Malam berikutnya selepas pulang kerja, aku langsung menuju starbucks di Botani Square Mall. Disana sudah menunggu Nuzul dan seorang Cewek cantik bermata tajam.
Sepertinya Nuzul sengaja memilih tempat di luar dan di pojokan dimana lokasi outdoor itu tidak terlalu terang dan tersembunyi di antara pot-pot berisi tanaman yang menjulang. Lagipula, karena Mal sudah hampir tutup tidak ada pengunjung lain di situ.
"sorry telat..." kataku. Nuzul dan si Cewek duduk berhadapan, aku mengangguk sedikit pada si Cewek namun dia malahan menatapku dengan pandangan menyelidik. Kuperhatikan sekilas, walaupun terkesan jutek, sebenarnya cewek ini cantik juga. Rambut Ikalnya diurai begitu saja, bibirnya penuh, hidungnya mencuat dan alis matanya yang tebal
membingkai sempurna bola matanya yang bundar bercahaya.
"Sini Mas..." Kata Nuzul memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya. Dengan canggung aku duduk di sebelah Nuzul, Tangan Nuzul menarik lenganku sehingga badanku tertarik ke arahnya. Tanpa kuduga dia memberikan kecupan di pipiku. Hei! ini tidak ada dalam skenario! teriakku dalam hati.
"Keretanya telat lagi ya Mas?" tanya Nuzul dengan nada mesra.
"Eh.. i.. iya." Kataku gugup.
Si cewek kembali menatapku penuh selidik. Kini tangan Nuzul menggenggam tanganku dan meremas-remasnya.
"Nah.. Lu dah liat kan? ini boyfriend gua!" Katanya pada si Cewek. Nuzul merapatkan bahunya padaku.
"Tapi tolong! Gua enggak mau ini tersebar... gua sayang sama boyfriend gua tapi gua belum berniat buat terbuka.. lu paham? lu yang maksa gua buat ngaku sama lu..." Kata Nuzul Galak.
Wajah si cewek mulai mengendur. Kini dia seolah-olah ingin menangis.
"Enggak ada yang perlu gua jelasin lagi kan?" tanya Nuzul tajam. Lengannya kini menarik daguku dan bibirnya kembali memberikan kecupan pada pipiku. Lebih lama.
Air mata si cewek nyaris tumpah dari matanya yang berkaca-kaca. Akhirnya dia bangkit sambil menggebrak meja sambil berkata "Lu Jahat!!" akhirnya si cewek pergi meninggalkan kami berdua.
Nuzul tidak henti-hentinya tertawa sejak dari starbucks hingga kami berada di lorong menuju tempat parkir.
"Ente seneng banget.." kataku sambil berjalan di belakang Nuzul."Soal ente nyium pipi ane, kayaknya enggak ada dalam skenario.."
"Biar lebih meyakinkan Mas! sekalian!" kata Nuzul masih terus tertawa.
"Dasar!" gerutuku.
Namun Nuzul akhirnya terdiam. Saat kami hendak melewati pintu kaca menuju tempat parkir, Nuzul berkata serius.
"Mas, makasih banyak ya, bantuannya..."
"Ente kan janji nraktir..." kataku. Aku berdiri sambil memasukkan kedua lenganku ke dalam saku celana.
Entah ada angin apa Nuzul kemudian merangkulku, kali ini dia tidak menciumku di pipi melainkan bibirnya menciumku... cukup lama... sampai akhirnya dia melepaskan bibirnya dia berkata kembali... "Mmm.. Makasih banyak ya Mas!" katanya sambil tersenyum simpul.
Aku yang tidak menyangka Nuzul berbuat demikian hanya bisa bersandar ke dinding tanpa mengeluarkan kedua lengan dari saku celanaku.
lanjut...lanjut