It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Walaupun aku tidak bisa memenuhi keinginan Hasan mendapatkan no HP produser, sebagai gantinya aku berjanji untuk cari tahu dari adikku info-info mengenai masuk ke dunia hiburan.
Kereta sebentar lagi masuk stasiun Cawang. Hasan mengajakku bersiap-siap turun untuk shalat maghrib terlebih dahulu. Setelah kami shalat Maghrib di Musholla Stasiun yang lembab, kami duduk di lantai dekat pintu masuk musholla untuk memakai sepatu.
"Cewek ente kemana?" tanyaku sambil mengibaskan sebelah kaus kakiku.
"Cewek? oh... Wanti? bukan.. dia bukan cewek saya kang." Kata Hasan sambil membuka ikatan tali sepatu ketsnya.
"Masa sih? kok kayaknya sering bareng ente di stasiun?" Tanyaku lagi.
"Ah... enggak kok Kang! dianya aja yang ngikutin melulu.. dari saya nya sih belum ada komitmen.." Hasan berkata sambil menjejalkan kaki kanannya ke dalam sepatu.
"Kasihan tahu, kalo cewek digantung gitu..." pancingku.
"Dianya yang mau kok kang! saya sih enggak maksa dia kok.." Hasan sudah mulai terdengar kesal membahas ini.
"Ya udah, nanti keburu disamber orang laen, ente baru nyesel..." kataku.
"Gapapa... dia juga suka larak-lirik cowok laen kok! emangnya saya enggak sadar kalo si Wanti itu juga sering ngelirik Akang?"
"Eh.. jangan bawa-bawa ane ya? ane gak mau nyampurin urusan ente berdua.." Kataku bercanda sambil mengangkat kedua tangan.
"Hahaha... si Akang! bisa aja.." Hasan berkata sambil memukulkan lengannya tepat pada bagian aku terantuk beton peron lebih dari seminggu lalu.
"Aduh..." aku meringis sambil mengusap betisku.
"Lho.. emang mukulnya kenceng ya Kang?" tanya Hasan.
"Enggak.. ini kena yang waktu itu kebentur peron..." jelasku.
"Kok enggak di urut?"
"Habisnya enggak biru sih, cuma bengkak aja...."
"Justru itu yang lama sembuhnya kang! coba saya lihat!" Hasan berkata penasaran, tanpa menunggu persetujuanku dia menggulung celanaku sampai ke lutut.
"Wah... ini sih harus di urut kang! darahnya enggak jalan! harus merah dulu, baru sembuhnya cepet.." Hasan berkata sambil sebelah tangannya memegang betisku dan matanya serius memerhatikan.
"Ente ahli pijit ya?" tanyaku.
"Cuma tahu dikit-dikit sih... kan kakek jago urut cimande..." kata Hasan sambil tertawa.
Aku cuma mengangguk-angguk.
"Akang bawa motor?" tanya Hasan.
"Iya, dititip di penitipan deket stasiun." Kataku.
"Ya udah, kita ke rumah saya aja dulu, akang anterin saya pulang, trus nanti saya urut kaki akang." Usulnya.
"Eh... apa enggak ngerepotin?" tanyaku kurang yakin.
"Yah.. itung-itung upah nganterin saya kang! kan enggak perlu naek ojek!" Hasan berkata sambil tertawa.
Aku tersenyum masam dianggap ojek oleh Hasan.
Kereta pun datang, kami melanjutkan perjalanan. Kereta selepas jam tujuh memang lebih kosong sehingga kami mendapat tempat duduk setelah kereta tiba di stasiun Depok lama. Temannya si cowok berjanggut kambing berpamitan pada kami saat turun di stasiun itu. Entah kelelahan atau apa, Hasan tidak lagi bersemangat mengobrol. Dia yang duduk disebelahku malahan tertidur, dalam keadaan terlelap kepalanya menyandar ke bahuku. Kucoba mendorong kepala Hasan, tapi tak berapa lama kepala Hasan kembali menyandar ke bahuku. Pada usahaku yang ketiga mendorong kepala Hasan, seorang Ibu setengah baya yang duduk di sebelahku berujar. "Kasihan de, kayaknya kecapean. biarin aja.."
Aku tersenyum singkat pada si Ibu. Setelah kulihat sekeliling ternyata tidak ada yang memedulikan kami, kubiarkan Hasan tidur menyandarkan kepalanya ke bahuku.
Aku merasa sikap Hasan seperti seorang Adik yang bermanja-manja pada kakaknya. Apa memang begitu? karena aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah bermanja-manja pada kakak perempuanku. Tapi itu dikarenakan usia kami yang cuma terpaut satu tahun. Adik perempuanku pun begitu, dia tidak pernah bermanja-manja padaku juga pasti karena usia kami hanya terpaut dua tahun.
Aku melirik ke arah Hasan. Wajah tampannya saat dia terlelap sangat manis sekali.
hebat hehe..
waktu dia tidur ya cium aja..
lanjoooooooooot!!
"San.. bangun! bentar lagi nyampe.." aku mengguncang-guncang bahu Hasan mencoba membangunkannya.
"Hah.. apa? Oh.. udah mau nyampe?" Ujar Hasan celingukan.
Aku menyandangkan ranselku dan berdiri hendak bersiap turun. Hasan mengikutiku.
Setelah kami turun, aku berjalan menuju tempat penitipan sepeda motor, sementara Hasan masih menunggu di dekat pintu masuk stasiun.
"Yuk Naik!" kataku saat motor Vario ku menepi di samping Hasan.
Hasan langsung naik dibelakang, dan tanpa ragu dia memeluk pinggangku.
"Eh, jangan kenceng-kenceng! gak bisa nafas nih!" candaku.
"Lewat mana?" tanyaku.
"Sampai depan belok kanan, nanti saya kasih tahu gangnya kalo udah nyampe." Kata Hasan.
Hampir sepuluh menit kemudian setelah menyusuri jalan raya, Hasan menepuk bahuku dan menunjuk pada sebuah gang. Aku mengikuti petunjuk Hasan.
Rumah Hasan letaknya agak jauh di dalam gang, selain itu gangnya cukup sempit dan jalan yang berkelok-kelok. Aku yang baru pertama kali masuk gang itu agak kesulitan membawa motorku saat ada tanjakan dan turunan yang cukup curam.
Akhirnya kami tiba di rumah Hasan. Rumahnya cukup mungil, salah satu dari deretan rumah yang berhimpitan sepanjang gang. Hasan turun terlebih dahulu dan membuka pintu pagar teras rumahnya. Teras yang tertutup kanopi itu lantainya hampir seluruhnya diubin, tanpa sedikitpun menyisakan tanah tempat tumbuhan kecuali beberapa pot tanaman dipojokan.
"Yuk kang masuk.." ajak Hasan.
Aku mendorong motorku masuk ke teras dan meletakkan helmku diatasnya.
"Assalamualaikum!" teriak Hasan. Tapi dari dalam rumah tidak ada jawaban.
Aku mengikuti Hasan masuk. pintu depannya yang agak rendah, membuatku sedikit membungkuk saat masuk. Di dalam ternyata ada seorang pria yang sudah tua, sedang menonton televisi dengan volume suara yang cukup kencang.
"Aki! pelanin suaranya!" teriak Hasan dalam bahasa sunda. Namun si Kakek tidak menggubrisnya.
"Itu Kakek Saya. kupingnya kurang denger kang..." Kata Hasan. Aku cuma mengangguk-angguk.
"Duduk kang.."
Aku menuruti Hasan dan duduk disofa tua ruang tamu itu.
"Ibu mana Neng?" Tanya Hasan sambil melongok ke sebuah kamar.
"Nganterin cucian A'.." kata suara perempuan dari dalam kamar.
"Tolong bikinin air Neng, ada tamu.." Kata Hasan lagi.
Tak berapa lama seorang gadis berusia sekitar 9-10 tahun keluar dari kamarnya, sekilas dia melihat kearahku sebelum menghilang ke sebuah ruangan yang sepertinya dapur.
Hasan muncul sambil membawa sebuah piring kecil dengan cairan diatasnya. Setelah dekat baru tercium olehku bau minyak gosok dan biji Pala.
"Di sini aja kang, celananya gulung aja." Kata Hasan.
Aku menaikkan sebelah kakiku ke atas sofa dan menggulung celanaku hingga lutut.
Dengan cekatan Hasan membalurkan minyak gosok itu pada kakiku.
"Tahan ya kang... Bismillah..." gumam Hasan.
Aku menghentakkan kakiku sambil mengaduh kesakitan saat Hasan mulai memijat bagian kakiku yang sakit.
"Tahan sebentar kang! jangan gerak-gerak.." Hasan memijat sambil menahan kakiku.
Aku menggigit bibirku, ujung mataku mulai berair sementara aku hanya bisa meringis kesakitan. Saat pijatan Hasan kembali menyengat, aku memukul-mukulkan tanganku ke sofa. Rupanya suaraku yang mengaduh kesakitan menarik perhatian si Kakek yang beranjak dari kursi menonton TV nya.
"Lalaunan (pelan-pelan) San!" kata Si Kakek sambil memerhatikan kakiku.
"Ieu tos lalaunan Ki! (ini udah pelan-pelan Kek!)" Kata Hasan.
Aku cuma meringis sambil nyengir malu.
Sepuluh menit yang serasa sejam pun berlalu, aku sampai tidak sadar gadis tadi sudah meletakkan teh manis hangat di atas meja. Kakiku kini berdenyut-denyut. Bagian yang terantuk kini memerah dan kembali membengkak.Teh Manis itu kemudian buru-buru kuhirup.
"Ya.. darahnya udah jalan lagi kang, emang sih sakit dulu, tapi nanti cepet sembuhnya..." Kata Hasan menenangkan.
Aku yang masih kesakitan, masih sedikit kesal dengan Hasan, tidak memedulikannya. Aku menurunkan gulungan celanaku lagi.
"Assalamualikum..." Kata suara seorang perempuan dari teras.
Seorang Ibu berusia 50 tahun-an masuk membawa keranjang plastik kosong.
"Ada tamu San? siapa? temen?" Tanyanya Ramah.
"Iya Bu, temen di Kereta. Hasan abis urut kakinya." Kata Hasan sambil meletakkan piring kecil di atas meja.
Aku menyalami si Ibu dari tempatku duduk, karena aku merasa kakiku agak sulit digerakkan.
"Ibu ke dalam dulu ya...?" kata si Ibu. Aku mengangguk.
"Coba gerakkin kakinya. Bisa jalan enggak Kang?" tanya Hasan.
Aku mencoba bangun, Tapi segera terduduk kembali karena kesakitan.
"Wah... parah juga ya? kelamaan sih enggak diurut." kata Hasan.
"Jadi gimana?" Kataku.
"Kayaknya naek motor juga enggak bisa ya? lagian di luar kayaknya juga mau hujan.." gumam Hasan.
"Besok Sabtu akang libur kan?" Tanyanya.
"Iya." Jawabku.
"Ya udah... Akang nginep aja di sini..." ujar Hasan riang.
Aku melongo.
kyknya bakal seru neh... hehe
Ketika akhirnya hujan deras benar-benar turun, aku sudah ada di kamar Hasan.Saat makan malam tadi Hasan menolak mentah-mentah ide Ibunya yang mengusulkan agar aku tidur sekamar dengan kakeknya. "Aki bau balsem!" Hasan memberi alasan. Dia juga tidak setuju aku tidur di sofa. Jadilah aku akan berbagi tempat tidur dengan Hasan di ranjang berukuran Queen size yang kini sedang kududuki.
Aku memerhatikan kamar Hasan, sebelah sisi dindingnya ditempeli poster sebuah band lokal dan digantungi tiga foto berpigura dirinya dalam berbagai pose (kelihatan narsisnya). Dua foto diantaranya diambil di studio, sedang satu foto adalah foto dia berdiri di dekat air terjun sedang bertelanjang dada, aku mengagumi tubuh langsing atletis Hasan di foto itu. Di dinding seberang terdapat Lemari pakaian kecil dan sebuah meja yang sepertinya meja belajar dia sejak masih di sekolah. Diatasnya bertumpuk beberapa majalah dan tabloid remaja.
Aku menunggu Hasan yang sedang mandi sampai lima menit kemudian dia masuk ke kamar telah berganti pakaian dengan kaus dan celana training dengan rambutnya yang masih basah. Entah kenapa sesaat aku berharap akan melihat Hasan masuk hanya dengan mengenakan handuk yang terlilit di pinggang. Mungkin karena aku baru saja melihat foto Hasan di air terjun dan penasaran ingin melihatnya secara langsung.
"Kang, mandi dulu. Kamar mandinya udah kosong tuh." Kata Hasan.
Aku mengangguk. Sambil beranjak aku membawa handuk yang sebelumnya sudah diberikan Hasan.
Setelah mandi aku kembali ke kamar Hasan dengan memakai kausku sendiri. Hasan kembali sedang memegang pring kecil berisi ramuan obat gosok.
"Ganti baju aja Kang, tuh saya udah siapin salin." Tunjuk Hasan pada kaus merah berkerah dan celana selutut di atas ranjang.
Aku meraih pakaian itu. Sepertinya pakaian itu sudah lama tersimpan dalam lemari karena berbau kamfer yang cukup menyengat. "Baju ente San?" tanyaku.
Hasan tidak menjawab, dia sibuk mengaduk obat gosok itu dengan jarinya. Kemudian aku membelakangi Hasan dan bertukar pakaian. Setelah selesai, aku menoleh dan melihat Hasan sedang menatapku lalu buru-buru dia kembali mengalihkan perhatiannya pada piring kecil itu lagi.
"Kang... sebelum tidur saya gosokin obat ini lagi ya? tadi kan kena mandi..." Kata Hasan.
"Apa enggak ngotorin sprei?" tanyaku.
"Gapapa... akang pake sarung aja." Jawab Hasan.
Dia lalu menyuruhku duduk di atas ranjang sementara dia berjongkok dibawah mengoleskan kembali obat berbau biji pala itu pada kakiku. Ada perasaan aneh saat tangan Hasan memegang kakiku hingga jantungku berdetak lebih cepat. Lama aku terdiam sampai akhirnya aku memecah kesunyian.
"Eh, ente serius pengen jadi artis ya?" tanyaku tanpa bermaksud mengejeknya.
Hasan mengangguk. Dia telah selesai dengan obat gosoknya, mengambil kain dan membersihkan tangannya, lalu duduk di sampingku.
"Akang liat sendiri kan kondisi keluarga saya? saya sih cuma berpikir akan lebih cepet dapat uang kalo bisa ikut di iklan atau sinetron. Untuk kuliah saya gak ada biaya..." Katanya.
Hasan kemudian menarik sebuah majalah dari tumpukan, membuka beberapa halaman dan menyerahkan padaku. Rupanya Majalah yang diberikan Hasan adalah majalah terbitan tahun lalu yang memuat daftar semifinalis sebuah kontes pemilihan model. Salah satu fotonya adalah foto Hasan.
"Cuma sampe semifinalis..." katanya pelan.
"Udah nyoba ikut casting?" tanyaku tanpa melepaskan pandanganku dari majalah.
"Udah sih, tapi enggak bisa sering-sering. Kan harus jaga counter.. gimana juga saya enggak mau dipecat."
Aku meletakkan kembali majalah itu di atas meja. Jarum di jam meja kecil sudah menunjuk ke angka sepuluh lewat lima belas. Aku benar-benar sudah mengantuk. Setelah memakai sarung aku rebahan. Hasan ikut rebahan disampingku. "Sori ya jadi sempit..." kataku. Hasan tertawa kecil, kemudian dia memeluk gulingnya dan memunggungiku. Ditengah suara hujan aku memejamkan mataku dan akhirnya terlelap.
Lewat tengah malam aku terbangun karena kakiku kembali terasa sakit. Aku merasa tubuhku menggigil kedinginan namun juga keringatan karena kepanasan. Pasti ini karena demam akibat diurut, pikirku. Kemudian aku baru merasakan bahwa sebelah tangan Hasan melingkar di pinggangku seolah sedang memelukku. Aku menoleh dan mendapati wajah Hasan yang sedang tertidur lelap sudah sangat dekat dengan wajahku. Duh, seperti di kereta tadi, wajah Hasan yang tampan itu benar-benar sangat manis saat terlelap, apalagi ditambah bibirnya yang kemerahan, ingin sekali aku menciumnya. Aku berfikir bagaimana reaksi dia kalau dia tersadar sedang tidur sambil memeluk aku. Aku menatapnya lagi cukup lama dan tanpa berfikir panjang aku kemudian mengecup dahinya. Hasan bergerak pelan namun tetap terlelap, dan aku kembali memejamkan mataku.
Lanjut.... Lanjut......
Seruuuuuu......
Lanjooot pliz
remm rasanya nyepong gimana sih?
Paginya aku terbangun karena cahaya di luar jendela sudah sangat terang. Hasan sudah tidak ada di sampingku. Saat kurasakan kakiku tidak begitu sakit lagi, aku buru-buru turun dari ranjang dan melepas sarungku.
"Eh, udah bangun De.." Sapa Ibu Hasan saat aku keluar kamar. Dia membawa segelas teh manis panas dan meletakkannya di meja.
"Hasan udah berangkat, tadi dia bilang enggak tega bangunin ade shalat subuh soalnya kayaknya masih demam.. Gimana? udah baikan?" tanyanya.
"Udah bu, kakinya juga udah enggak sakit lagi." Kataku.
"Diminum dulu teh manisnya, Ibu ke belakang dulu ambil pisang goreng." Kata Ibu Hasan sambil berlalu.
Aku menghirup teh manis itu, segar sekali. Saat itulah aku baru memerhatikan dengan jelas sebuah foto keluarga yang berbingkai agak kusam tergantung di dinding ruang tamu. Dalam foto itu ada Ibu Hasan yang terlihat lebih muda sedang menggendong bayi perempuan. Di sampingnya berdiri seorang pria yang sepertinya Ayah Hasan. Disamping Ayah Hasan, seorang remaja tampan yang wajahnya mirip Hasan berdiri sambil tersenyum. Dan seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dengan wajah tanpa ekspresi berdiri di samping Ibu Hasan, yang aku sangat yakin anak laki-laki itu adalah Hasan saat masih kecil. Melihat wajah Ayahnya aku paham darimana ketampanan Hasan didapat.
"Itu foto sewaktu Bapaknya Hasan masih hidup..." Suara Ibu Hasan membuyarkan lamunanku. Dia meletakkan piring berisi pisang goreng panas di samping gelas teh manis.
"Kapan meninggalnya Bu?" tanyaku hati-hati.
Akhirnya ibu Hasan menceritakan kejadian kalau Ayah dan Kakak Hasan yang bernama Aryan menjadi korban kecelakaan bus 9 tahun lalu saat hasan berusia 11 tahun. Betapa Hasan sangat menyayangi kakaknya, namun Hasan tidak menangis melihat kakaknya meninggal.
"Hasan itu waktu kecil pendiam dan pemalu. Kemana-mana selalu ikut kakaknya. Bahkan kalau tidur juga selalu sama kakaknya."
Aku diam mendengarkan.
"Ibu ingat dia mengamuk saat ibu berniat sumbangin baju-baju kakaknya. Akhirnya beberapa baju kakaknya masih dia simpan... termasuk yang dipake sama dek Remy..." Kata Ibu Hasan lagi.
Aku kaget mendengar penjelasan Ibu Hasan. "Ibu juga sempet heran, biasanya kalau ada saudara yang nginap pun, Hasan enggak bakal ngebolehin orang lain pake baju kakaknya... Tapi Ibu semalam tidak mau nanya sama Hasan, takut dia marah..."
Entah kenapa, cerita Ibu Hasan dan aku yang memakai baju almarhum kakaknya membuatku merinding. Setelah kuhabiskan teh manisku, tanpa mandi terlebih dulu, aku segera berganti pakaian dan pamit pulang.
Dalam perjalanan ke rumah sambil mengendarai motor aku masih berpikir soal apa yang sebenarnya ada di pikiran Hasan. Sampai-sampai ketika aku sudah dekat dengan pekarangan rumahku, baru aku sadar motor Iqbal sudah berada di depan pagar rumahku.
Aku menghentikan motorku di luar pekarangan. Baru kulihat Iqbal yang sedang duduk di teras sambil merokok. Sadar aku memakai baju yang sama dengan hari kemarin, aku lebih memilih diam saat aku masuk pekarangan rumahku.
Aku berdiri bersandar di pilar teras rumahku menunggu sepatah kata keluar dari mulut Iqbal. Namun dia masih tetap diam sambil merokok yang membuatku merasa tersiksa.
"Kenapa semalem teleponnya enggak diangkat?" tanya Iqbal dengan nada dingin tanpa melihatku.
Aku baru sadar belum mengecek HP ku dalam ransel sejak semalam.
"Di-silent." kataku.
Iqbal kembali terdiam.
"Kemana semalaman?" tanya Iqbal lagi.
Aku tahu tidak ada gunanya berbohong. Akhirnya aku jawab. "Semalam nginap di rumah Hasan.." kataku.
"Kenalan elo di kereta itu?" tanya Iqbal.
Aku mengangguk sebelum meneruskan, "Dia ngurut kaki ane, trus karena hujan akhirnya ane nginep di rumahnya..."
"Jangan ketemu-ketemu dia lagi..." potong Iqbal dengan nada masih sedingin es.
"Kita enggak ngapa-ngapain kok!" protesku kesal. Aku langsung melirik ke kanan-kiri ku memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan kita. Untunglah hari sabtu itu masih jam setengah tujuh belum ada tetanggaku yang terlihat.
"Jangan nemuin dia lagi!" Bentak Iqbal.
Dibentak begitu aku menjadi semakin marah. Keihatan sekali kalau Iqbal berpikir telah terjadi sesuatu antara aku dan Hasan.
"Oya? gimana kalo ane minta ente jangan nemuin istri ente lagi..?" Kataku dingin yang sedetik kemudian kusesali telah melontarkan kata-kata itu pada Iqbal.
Iqbal tidak menjawab. Dia menatapku cukup lama dengan tatapan bercampur antara kemarahan dan kekecewaan. Dia kemudian melemparkan batang rokoknya, berdiri dan melewatiku begitu saja menuju motornya. Sebelum dia naik motornya dia sempat berkata, "Kayaknya lu udah enggak sabar ya ngasih pertanyaan kayak gitu ke gue?"
Aku diam tidak mau meminta maaf. Sampai akhirnya suara motor Iqbal menjauh, aku kembali ke pekarangan untuk memasukkan motorku ke dalam. Dalam rumah aku terduduk dan berpikir soal hubungan aku dan Iqbal. Situasi ini tidak membuatku sampai menangis. Kata orang-orang terdekatku hatiku memang sekeras batu, jarang banget feel bad about anything... Tapi tetap saja membuatku sangat gelisah.
Aku membuka ranselku dan mengambil HP ku. Kulihat Misscall dari Iqbal sebanyak 3 kali, dan sebuah sms baru... dari Hasan.
Kubaca isi SMS itu: "Kang! besok ikut jalan-jalan ke Salabintana yuk!"
Kayak cerbung aja, makin ingin tahu kelanjutannya.