BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Pilih agama ato hasrat/cinta

145679

Comments

  • @dole_dole aku muslim ... kenapa aku gay, aku engga tau karena kalo aku jawab pasti sama dengan yang lain termasuk kamu juga ...
  • edited September 2017
    Ya gimana gak mau disamain sama "anak baru".
    Baca komennya lipi aja sewot.
    Bilang gak mempan dinyinyirin ya masih sewot juga.
    Yaelah
  • edited September 2017
    Anywaaayy,
    Ini gue ada makalah yang berisi pemikiran Kierkegaard soal eksistensialisme, yang mana di dalamnya dibahas soal Abraham yang rela mengorbankan anaknya, Ishak (tapi ya gak jadi mati juga).
    Nama yang berbeda lagi kalau di agama lain.
    Dibahas pula bahwa iman adalah subyektifitas tertinggi.
    Gue ikut diskusinya, dan itu lebih jelas dari makalah yang ada di sini.

    https://drive.google.com/file/d/0B1UHuFw0RO1BN21Ya0RJeUdKMU0/view

    Menurut pemikiran Kierkegaard, yang menentukan iman kamu, ya kamu sendiri sebenarnya. Seberapa Kristen elo, ya lo yang nentuin dengan berpatokan pada hukum kasih, which is hukum yang paling utama
    Yaitu kurang lebih berbunyi, pertama: "Cintailah Tuhan, Allah-mu dengan segenap hatimu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu" dan yang kedua "kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri".
    I don't know about other religion, but this is what I believe.
    Gue masih memaknai kekristenan dan pelan pelan belajar lebih dalam lagi (daripada yg diberikan orangtua dan gereja Katolik), tapi gue udah gak pernah ke gereja dan gak merasa perlu.
    Kecuali kalau Natal sama Paskah.
    Demi keluarga aja.

    Gue juga belajar lebih dalam lagi, juga pelan pelan, soal seksualitas, gender dan konstruksi sosial yang membentuk norma norma yang ada.
    Dan gue sih berkesimpulan bahwa selama bukan pemerkosaan, gak melalui kekerasan dan paksaan, tapi karna suka sama suka dan sama sama dewasa (karna yang dewasa secara fisik dan emosionalnya udah siap dan lebih tau konsekuensinya, makanya anak anak dan remaja awal belum diperbolehkan) homoseksual itu gak dosa.

    Lagipula makna dosa pun bergeser terus.
    Kata Yahudi (aliran tertentu) dosa, kata Yesus gak.
    Agama pun bergeser.
    Yesus itu dari lahir sampai mati ya Yahudi juga lho padahal.
    Dia (hanya) "mengenalkan keyahudian" yang lebih ramah dan lebih membumi aja.
    Masa setelah Paulus aja ajarannya dia jadi dinamai Kristen yang lalu pecah pecah aliran di kemudian hari.
    (Soal ini gue dengar dari dosen filsafat yang jadi pembicara di diskusi yang gue maksud di atas).
    If Jesus can do that, we also can actually.
    Asal dasarnya tetep hukum Kasih.

    Well, that's from Christianity perspective.
    Althou some of us might not agree
  • edited September 2017
    Gereja yang memfasilitasi diskusi itu juga sangat aktif, sampai ikut gerakan segala.
    Waktu demo buruh ikut.
    Waktu ada aksi yg namanya bela demokrasi juga ada.
    Gue denger sendiri pendetanya bahkan ikut menyuarakan hak hak LGBT.
    Di kerumunan orang banyak.
    Karna pada dasarnya Yesus itu juga aktivis dan dia membela orang tertindas.
    Yesus pula yg memperkenalkan hukum kasih.
    Ada beberapa contoh di injil di mana orang/kelompok tertentu yg pada masanya dipandang sebagai kafir atau pendosa, dibela oleh Yesus.

    Di kesempatan lain, di sebuah acara soal feminisme, seorang Kyai membahasa kesetaraan laki laki dan perempuan, juga soal lesbian.
    Kurang lebih dua tahun lalu, gue ikut diskusi di mana salah satu pembicaranya adalah pendiri pesantren waria.
    Temen gue, punya buku berjudul homosexuality in Islam.

    Juga kurang lebih dua tahun lalu, PGI (kalau gak salah singkatan Persekutuan Gereja gereja Indonesia) mengeluarkan (semacam) surat pernyataan untuk menyikapi LGBT yang isinya supaya kita harus hidup berdampingan dan saling mengasihi tanpa sama sekali membahas kita ini dosa atau menyarankan konversi (dari homo jadi hetero).

    Yang mau gue sampaikan adalah, kalau mau, ada kok sudut pandang lain yang menyatakan bahwa LGBT itu gak dosa.
    Having sex with people with the same sex is not a sin.
    Dan yang belajar ini, yang menyampaikan ini, adalah orang orang beragama juga. "Pemuka agama" malah. Beberapa di antaranya belajar filsafat.
    But then again, iman itu subyektif.
    Ya kalau gak mau percaya silakan, tapi ya jangan diadu dong. Karna subyektif itu tadi.
    Gue sih share ini, ya karna mau menjawab keingintahuan nya TS aja.

    Maka kalau mau jadi homo beriman, cus.
    Kalau mau jadi homo beriman dan beragama, cus.
    Kalau mau jadi homo atheist, cus.
    Ga masalah.
  • percumah juga ngomong ama dia, otaknya keknya gabakal nyampe.

    gabakal ngerti dia.
  • inibudi wrote: »
    Ya gimana gak mau disamain sama "anak baru".
    Baca komennya lipi aja sewot.
    Bilang gak mempan dinyinyirin ya masih sewot juga.
    Yaelah

    Bkn sewot itu bro hanya menyamakan bahasa yg lipi pake..


  • inibudi wrote: »
    Anywaaayy,
    Ini gue ada makalah yang berisi pemikiran Kierkegaard soal eksistensialisme, yang mana di dalamnya dibahas soal Abraham yang rela mengorbankan anaknya, Ishak (tapi ya gak jadi mati juga).
    Nama yang berbeda lagi kalau di agama lain.
    Dibahas pula bahwa iman adalah subyektifitas tertinggi.
    Gue ikut diskusinya, dan itu lebih jelas dari makalah yang ada di sini.

    https://drive.google.com/file/d/0B1UHuFw0RO1BN21Ya0RJeUdKMU0/view

    Menurut pemikiran Kierkegaard, yang menentukan iman kamu, ya kamu sendiri sebenarnya. Seberapa Kristen elo, ya lo yang nentuin dengan berpatokan pada hukum kasih, which is hukum yang paling utama
    Yaitu kurang lebih berbunyi, pertama: "Cintailah Tuhan, Allah-mu dengan segenap hatimu, dengan segenap kekuatanmu, dan dengan segenap akal budimu" dan yang kedua "kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri".
    I don't know about other religion, but this is what I believe.
    Gue masih memaknai kekristenan dan pelan pelan belajar lebih dalam lagi (daripada yg diberikan orangtua dan gereja Katolik), tapi gue udah gak pernah ke gereja dan gak merasa perlu.
    Kecuali kalau Natal sama Paskah.
    Demi keluarga aja.

    Gue juga belajar lebih dalam lagi, juga pelan pelan, soal seksualitas, gender dan konstruksi sosial yang membentuk norma norma yang ada.
    Dan gue sih berkesimpulan bahwa selama bukan pemerkosaan, gak melalui kekerasan dan paksaan, tapi karna suka sama suka dan sama sama dewasa (karna yang dewasa secara fisik dan emosionalnya udah siap dan lebih tau konsekuensinya, makanya anak anak dan remaja awal belum diperbolehkan) homoseksual itu gak dosa.

    Lagipula makna dosa pun bergeser terus.
    Kata Yahudi (aliran tertentu) dosa, kata Yesus gak.
    Agama pun bergeser.
    Yesus itu dari lahir sampai mati ya Yahudi juga lho padahal.
    Dia (hanya) "mengenalkan keyahudian" yang lebih ramah dan lebih membumi aja.
    Masa setelah Paulus aja ajarannya dia jadi dinamai Kristen yang lalu pecah pecah aliran di kemudian hari.
    (Soal ini gue dengar dari dosen filsafat yang jadi pembicara di diskusi yang gue maksud di atas).
    If Jesus can do that, we also can actually.
    Asal dasarnya tetep hukum Kasih.

    Well, that's from Christianity perspective.
    Althou some of us might not agree

    Dari tulisan panjang lebar elu gw simpulin bahwa sebenernya elu juga ragu sama agama elu sendiri (menurut gw)

    Kalo elu bilang agama bisa d geser, apa gak sekalian kitab suci d revisi..
    Ayat2 alkitab mau elu jadikan apa sementara elu nyari reff lain. Gw ini bicara agama bkn versi ahli filsafat..

    Patokan agama itu kitab suci bkn?

  • edited September 2017
    Tapi pada kenyataannya emang begitu.
    Lo bukan orang Kristen atau Katolik kan?
    di Alkitab itu JELAS BANGET bahwa Yesus sedang menggeser nilai nilai Yahudi.
    Yang dikemudian hari, lama setelah Yesus wafat dan naik ke Surga, "dipatenkan" jadi agama tersendiri bernama Kristen.

    Kenapa Alkitab gak direvisi?
    SUDAH.
    Alkitab sekarang (setidaknya Alkitab Kristen dan Katolik) itu udah direvisi berulang kali (bukan cuma satu kali).
    Tafsirannya pun jadi bukan cuma satu karna Alkitab itu diterjemahkan.
    Beberapa ayat jadi kehilangan esensinya karna bahasa Ibrani (atau Yunani, gue agak lupa) ada yang gak memiliki padanan katanya dalam bahasa mana pun (tapi definisinya bisa dijelaskan dalam bentuk kalimat)
    Ini fakta yang benar benar terjadi.

    Makanya baca dulu.
    Emang dikira ajaran agama sekarang (terutama Kristen) gak lewat pemikiran para ahli filsafat?
    Semua agama Abraham yg sekarang kita kenal itu lewat pemikirannya mereka mereka.
    Termasuk juga Islam.
    Kitab Suci kalau gak dikritisi ya jadinya ada orang yg bisa (dan boleh) membunuh berdasarkan satu ayat aja.
    Untuk memahaminya, filsafat bisa banget membantu.
    Juga kajian sejarah dan sosial politik di jamannya.

    Agama itu subyektif ya.
    Kalau dibilang ragu, semua orang ragu.
    Termasuk gue.
    Dan gapapa juga sih.
    Kalau mau yakin banget, yakin ke arah yang mana?
    Emang klaim agama udah 100% bener?
    Agama yang mana? Aliran apa?
    Siapa yang menentukan kepastian kebenaranya?
    Alkitab? Versi tafsirannya aja ada banyak.
    Tafsirannya siapa yang mau diambil?
    Kristen lahir karna "keraguan" ajaran Yahudi.
    Islam lahir karna "keraguan" agama dan kepercayaan lain sebelumnya.
    Konon, agama baru adalah penyempurnaan agama sebelumnya.

    Dan yang gue yakini, pada akhirnya kepastian, hanya akan ada dan bisa terlihat saat dunia ini berakhir.
    Meanwhile, gue ambil ajaran yang baik baiknya aja dari semua agama yang ada tp gak cuma fokus ke ritual salah satunya (aja).
    Dan buat gue, itu cukup dan gak salah.
    Terus berproses dengan patokan hukum kasih dan memandang hidup (termasuk kaitannya dengan agama dan spiritulitas) dengan kritis.
    Gak diem di tempat dan terima mentah mentah sepenuhnya apa yang udah ada
  • Isi dari link di atas
    “Yes, yes, there are indeed good Chatolics—and good Muslims—all over the world,” kata tokoh Ateisme Baru, Richard Dawkins. Mereka adalah, kata Dawkins, “ones who don’t take their religion seriously.” Orang-orang beragama yang baik, menurut Dawkins, adalah orang-orang Katolik dan Muslim—dan saya kira pemeluk agama pada umumnya— yang tidak serius dalam beragama.

    Pernyataan Dawkins tersebut mungkin menjengkelkan bagi kebanyakan umat beragama. Secara tidak langsung, Dawkins ingin mengatakan bahwa agama adalah sesuatu yang jahat, sehingga umat beragama yang serius dalam beragama akan menjadi orang yang jahat. Saya, dan saya kira semua ateis, setuju dengan pernyataan Dawkins tentang agama.

    Kenapa begitu? Pertanyaan ini akan terjawab dengan menengok sejenak kritik dari tradisi Nietzschean terhadap “pemikiran yang serius” dan bagaimana kekerasan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan dari sebuah “pemikiran yang serius”. Sebuah kritik, dalam wawasan tradisi Nietzschean, bertugas “mempermainkan” keseriusan tersebut.

    Kehendak untuk Benar

    Dalam wawasan tradisi Nietzschean, khususnya yang dikembangkan oleh Martin Hedegger dan Jacques Derrida, kita harus selalu curiga terhadap segala rupa pemikiran yang "serius". Pemikiran "serius" adalah pemikiran yang terobsesi dengan "kebenaran" dengan mengasumsikan adanya suatu fondasi yang kokoh bagi pengetahuan (knowledge), sehingga kebenaran dan kesalahan seolah-olah bisa kita bedakan secara—dalam istilah Descartes—"clear and distinct".

    Kehendak untuk benar (will to truth) membentuk watak pengetahuan yang bercorak metafisik. Suatu pengetahuan bisa menjelaskan kenyataan secara benar jika ia bertolak dari sebuah sumber kebenaran yang kokoh pada dirinya-sendiri. “Tuhan”, “kesadaran”, “rasio”, dan “fakta”, misalnya, adalah contoh konsep-konsep fondasional yang, dalam pengamatan Nietzsche, memberikan watak metafisik dalam sejarah pemikiran Barat.

    Kehendak untuk benar adalah hal yang manusiawi. Menurut Nietzsche, kehendak untuk benar adalah manifestasi dari kehendak untuk kuasa (will to power), sebuah naluri yang mendorong manusia, dan bahkan organisme sederhana seperti amuba, untuk bertahan dan mengembangkan diri. Dengan mengklaimkan suatu kebenaran, manusia sebetulnya tengah membangun supremasi bagi eksistensinya atas dunia di mana dia tinggal.

    Hanya saja, orang lupa bahwa kebenaran yang ia klaim itu adalah manifestasi dari kehendak untuk kuasa. Kepercayaan pada adanya fondasi yang kokoh bagi pengetahuan membuat manusia menganggap kenyataan dapat dijelaskan sebagaimana adanya. Padahal, Nietzsche menegaskan, seluruh fondasi pengetahuan adalah antropomorfisme, hasil rekaan manusia sendiri, citra yang terbentuk dari kerja nalar yang bersifat retorikal.

    Nietzsche menolak logika sebagai aparatus nalar dalam mengenal kenyataan. Bagi Nietzsche, logika—yang dieksplisitkan oleh Aristoteles dalam tiga hukum identitas—adalah sejenis retorika, yang bekerja dengan mekanisme “penyamaan atas hal-hal yang berbeda”. Dengan logika, orang mengklasifikasi entitas-entitas dan memberinya identitas, “nama panggil” (nick-name).

    Proses identifikasi tak lain dari kerja retorikal yang mana sebuah entitas diberikan sebuah nama panggil yang bukanlah nama diri dari entitas tersebut (proper name). Karena logika itu sendiri adalah sebuah retorika, setiap konsep yang lahir dari penalaran logis sejak awal adalah sebuah metafor. Argumentasi ini menjadi titik tolak Nietzsche untuk memberikan status metaforis bagi konsep-konsep tentang kebenaran yang lahir dari proses penalaran.

    Kebenaran Agama dan Hierarki Kekerasan

    Untuk mendukung suatu klaim kebenaran, manusia, menurut Nietzsche, menyusun hierarki atas hal-hal yang pada mulanya setara. Fondasionalisme dalam pengetahuan adalah pengingkaran atas sifat metaforis kebenaran. Para kreator pengetahuan melegitimasi klaim kebenaran dengan menciptakan suatu metafor induk, metafor yang diingkari sifatnya sebagai metafor, yang diasumsikan menjadi sumber bagi metafor-metafor lain.

    Agama, misalnya, sebagai pengetahuan paling purba, mengidap “keseriusan” yang kronis dalam memburu kebenaran. Saking terobsesi dengan kebenaran, agama mempostulatkan begitu saja adanya suatu entitas yang eksis sebagai sumber bagi kebenaran. Entitas itu bisa memiliki beragam nama panggil sebanyak bahasa manusia, tapi secara umum ia disebut "Tuhan".

    Demikian dalam imajinasi kaum agamawan, “Tuhan” adalah proper name yang merepresentasikan suatu entitas sumber. Agamawan mengingkari sifat metaforis dari konsep “Tuhan”, yaitu bahwa kata ini, “Tuhan”, adalah nama bagi sebuah citra yang terbentuk dari kerja retorikal nalar atas hal-hal yang dipersepsi secara inderawi, dan bahwa citra tersebut tidak pernah membuktikan apapun tentang eksistensi dari suatu entitas sumber.

    Berangkat dari asumsi yang keliru tentang Tuhan sebagai entitas sumber, agama menarik garis demarkasi yang tegas bukan hanya antara apa yang Ada dan Tiada, tetapi juga antara benar dan salah dalam epistemologi, dan antara baik dan jahat dalam moralitas. Tuhan adalah sumber kenyataan, kebenaran, dan kebaikan.

    Menurut saya, klaim agama seperti ini bukan saja menggelikan, tetapi juga mengerikan. Menggelikan, karena orang (agamawan) bisa merumuskan benar/salah dengan berpijak pada suatu sumber yang eksistensinya diandaikan begitu saja.

    Siapa pun dapat mengklaim "inilah kebenaran menurut sumber kebenaran" tanpa dituntut membuktikan apakah entitas sumber kebenaran itu sungguh ada dan apakah yang dikehendaki sumber kebenaran—jika sumber kebenaran itu sungguh ada.

    Juga mengerikan karena agama, sebagai pengetahuan dengan pendasaran spekulatif, memicu kekerasan praktis yang merupakan konsekuensi langsung dari kekerasan teoretis dalam fondasionalisme-nya yang mengorganisasi kenyataan dalam susunan hierarki entitas-entitas.

    Dalam moralitas agama, misalnya, adalah sah menolak kepemimpinan orang kafir, karena secara hierarki orang kafir lebih rendah derajatnya dibandingkan orang beriman menurut “pengetahuan ketuhanan”.

    Yang paling mengerikan, karena mengklaim pengetahuannya bersumber dari suatu entitas absolut, agama menjadi ideologi paling totaliter, dalam pengertian merengkuh dimensi apapun dalam kehidupan manusia untuk disesuaikan dengan sistem berpikirnya. Absolutisme ini juga sekaligus menjadikan agama sebagai ideologi yang kebal kritik atas dukungan orang-orang bebal yang “membelanya” secara membabi buta.

    Sedikit Catatan

    Sampai di sini, kita dapat memahami kenapa Dawkins mengatakan bahwa pemeluk agama yang baik adalah para pemeluk agama yang tidak serius dalam beragama. Agama, seperti ditunjukkan dalam kritik Nietzschean, mengandung kekerasan yang tidak bersifat kebetulan, tetapi secara esensial melekat pada bangunan teoretisnya yang mengorganisasikan realitas dalam susunan hierarki.

    Meski demikian, saya merasa perlu memberikan sedikit catatan bahwa sistem pemikiran apapun berpotensi menjadi sumber kejahatan manakala memiliki watak yang sama dengan agama. Artinya, pernyataan Dawkins berlaku juga bagi kalangan ateis.

    Ateis juga perlu “mempermainkan” keseriusan dalam berateisme sehingga dapat menjadi ateis yang baik. Caranya ialah dengan memperlakukan Tuhan sebagai hipotesis, sehingga terbuka kemungkinan bahwa Tuhan sebagai pencipta sebagaimana diyakini kalangan agamawan sungguh-sungguh ada sebagai sebuah entitas faktual.

    Barang kali Tuhan adalah entitas alien purba yang bersinggasana di galaksi lain, atau di semesta lain yang tidak terjangkau oleh teknologi observasi antariksa sekarang. Atau mungkin juga, seperti dikisahkan film Jupiter Ascending, Tuhan alien itu menciptakan bumi sebagai tempat bermain dan kawasan peternakan, di mana manusia dikembangbiakkan untuk dimainkan demi kesenangan atau sebagai binatang ternak yang dikonsumsi untuk keabadian-Nya.

    OMG! Sepertinya saya terlalu serius “mempermainkan” keseriusan ini. Agar tidak semakin serius, saya tutup tulisan ini sehingga saya bisa menjadi ateis yang baik. Semoga.
  • My response
    gue sebenernya gak sepenuhnya setuju juga dengan artikel di atas. Iarna buat gue, justru ketika kita bisa kritis dan memiliki sudut pandang baru dalam memaknai agama dalam rangka hidup yg "lebih baik" ya saat itu sebenarnya kita lagi serius beragama.
    Tapi konteks serius di artikel ini bukan begitu sih, jadi ya gue cukup setuju aja
  • edited November 2017
    Unch... Keren deh debatnya.
    Teesnya kmna ya? Udah di azab Tuhan ya?
Sign In or Register to comment.