BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ROLE PLAY

15678911»

Comments

  • Methan wrote: »
    Sangat hebat untuk pria berumur 40tahun.

    nih umur 40 thun ala daddy Corbusier sis, so it's easy for him... hehe

    oh my...
  • Ternyata pada punya bakat terpendam "maling", tolong dong hatiku dicuri, any one. Please
  • steve pov

    "Thanks," ucapnya setelah Mobilku berhenti di depan rumahnya.

    "Are you sure?" Tanyaku memastikan.

    "What?" Ujarnya tak menangkap apa yang aku maksud. Jujur ini sedikit memalukan bagiku karena harus memohon padanya untuk bermalam di tempatku.

    "I mean... Why don't you spend this night with me?" Jelasku.

    "Aku sudah bilang tadi jika waktuku untukmu sudah cukup untuk hari ini. Ingat,! Kamu sudah mengambil jatah kerjaku untuk menemanimu Steve." Jelasnya untuk yang kesekian kali karena memang kami sudah membicarakannya sejak keluar dari areal gedung sekolah.

    "But...."

    "No but... Be a good man, oke,?." Ujarnya tak mau membahas lagi.

    "Yeah," jawabku tak rela.

    "Oke, I need to......"

    Prang....

    Suara keras dari rumahnya menghentikan ucapannya.

    "Shit,!!" Umpatnya tak menunggu waktu untuk masuk ke dalam rumahnya.

    Tak ingin banyak tanya, aku mengikuti langkah terburunya. Dan...

    BUUGH

    Suara pukulan keras menyambutku ketika kakiku memasuki rumahnya.

    BUUGH

    BUUGH

    Pukulan itu terus berlanjut tak ada sinyal untuk berhenti. Rumah ini sangat jauh dari kata rapi. Dan disana dia berubah menjadi orang yang tak terkendali. Berada di atas tubuh korbannya, dia menjadi orang asing bagiku. Kepalan tangannya tak henti dia tujukan pada setiap bagian tubuh lelaki korbannya. Darah yang keluar dari korbannya tak sedikitpun menghidupkan sisi pedulinya.

    "Help please,!!" Teriakan seorang wanita membuatku mengalihkan perhatian. Dia berusaha mendekat namun terlalu takut hal itu akan membahayakannya.

    "Plese Keane, stop it,!" Ujarnya lagi, namun tak sedikitpun didengar olehnya.

    Dia masih terus membabi buta. Mataku tak lepas dari mereka, hingga sebuah tarikan di celana mengalihkan perhatianku. Didekat atau samping, kulihat seorang dengan darah di wajah serta ekspresi kesakitannya memegangi bagian perut, dia.....

    "Nathan?" Ujarku begitu teriangat namanya. Aku ingin mencoba membantunya berdiri namun justru dia menunjuk kakaknya yang tengah hilang kendali. Dia menangkupkan tangan pertanya memohon.

    "What?" Ujarku jujur bingung dengan tingkahnya.

    Dia tetap melakukan hal yang sama.

    "Kamu ingin aku menghentikan kakakmu?" Tebakku dan binggo, dia mengangguk dengan senyum di paksakan karena aku yakin dia cukup kesakitan untuk melakukannya.

    Seketika kualihkan pandanganku pada kejadian utama. Dan ini gila, dia semakin tak terkendali. Dia sudah mengangkat kursi dan siap memukulkannya pada korbannya yang sudah ketakutan.

    "Hey, Stop it,!" Seruku langsung meraih tubuhnya dan menjauhkannya. Beruntung, kursi jatuh tepat disamping sang korban.

    "Let me go,!" Teriaknya tak terima dengan yang kulakukan.

    "No, you will kill him if you..."

    "Yes I would. So let me go,!" Potongnya berusaha lepas dari kendaliku. Dia sangat kuat, aku tidak yakin akan bisa melakukan ini untuk waktu yang lama.

    "No,! I......"

    BUGH

    Dia memukulku dengan sikunya pada perutku dan berhasil lepas.

    "Damn,!" Umpatku. Ini cukup menyakitkan. Dia kembali berjalan dan beruntung aku masih bisa meraihnya kembali.

    "LET ME GO STEVE,!!!"

    "No, I wouldn't." Dia terus meronta. Jujur emosi membuatnya tak bisa kukendalikan. Aku sudah bersiap untuk lebih mengencangkan bagian sikunya agar tak mendapat hal tadi, namun sial....

    "Agghh..." geramku saat dengan keras dia membenturkan kepala bagian belakangnya pada wajahku. Kurasa dia berhasil mematahkan hidungku. Beruntung aku masih menguncinya.

    "Let me go Steve,!!" Kesalnya.

    "No,!!" Ujarku mantap. Bahkan tak peduli jika dia akan kembali menyerangku, aku semakin mendekatkan kepalaku disamping miliknya.

    "Stop it Keane,! Please." Bisikku penuh penekanan. Dia terdiam.

    "Jangan biarkan Nathan menjadi adik seorang pembunuh." Lanjutku. Dia masih diam.

    "Please,!" Mohonku. Dia tak menberontak, dia bahkan terduduk ketika tanganku lepas dari tubuhnya.

    "It's oke. I'm here..." ujarku merangkulnya.

    Tak butuh waktu lama, satu-satunya Wanita di tempat ini langsung memeluknya, membuatku melepaskan rangkulan. Sial, aku tidak suka dengan pemandangan ini. Kualihkan pandangan dan melihat kini Nathan sudah berdiri walau masih tetap memegangi perut. Dia menatapku dan tersenyum. Bisa kuartikan itu sebagai kata terima kasih.

    Aku menghampirinya.

    "Are you oke?" Tanyaku. Dia mengangguk walau terlihat kesakitan.

    "Sebaiknya kita ke Klink,!" Ujarku merangkulnya namun dia sedikit menolak. Tatapannya tertuju pada kakaknya dan wanita itu.

    "It's oke. Aku akan mengiriminya pesan agar dia tidak mengkhawatirkanmu." Ucapku. Dia menggeleng. Aku bingung.

    "Apa yang kamu khawatirkan hm?" Tanyaku bingung. Dia menatap kakaknya lalu pada korbannya.

    "Kamu mengkhawatirkan lelaki itu?" Tebakku, dia kembali menggeleng.

    "Oh, kamu khawatir jika kakakmu akan bertindak tak terkendali lagi?" Tanyaku dan dia mengangguk.

    "Setahuku kakakmu adalah lelaki sejati. Dia tidak akan ingkar janji, aku bersedia menjaminnya." Jelasku. Aku tak hanya sekedar bicara, ucapanku tadi adalah hasil dari semua waktuku yang kuhabiskan dengannya.

    "Bisa kita ke klinik sekarang? Kau tau? Pukulan kakakmu menyakitkan." Ucapku membuatnya tersenyum dan mengangguk.

    "Come on,!" Ajakanku kali ini tak ditolaknya.

    Akhir untuk malam yang berbeda.

  • ada apa kah gerangan,
  • itu kakaknya Keane yang lagi punya masalah itu kan ...?
  • x pov

    Pagiku Kali ini tidak disambut oleh suara ribut dari luar kamar. Pagi ini juga bukan Nathan, namun Jenny yang berada di sampingku. Dia tengah tertidur pulas sekarang. Wajahnya kini lebih damai, walau emosiku akan kembali naik ketika melihat wajahnya yang dihiasi beberapa luka. Lelaki brengsek itu harus membayar apa yang dilakukannya pada Jenny.

    Jenny tak bercerita banyak tentang lelaki brengsek itu. Aku hanya tahu satu fakta menyeramkan, lelaki itu adalah ayah dari anak dalam perut kakakku. Semalam, aku berhasil membuat kesepakatan dengan Jenny, jika dia tak membutuhkan lelaki itu untuk membesarkan anaknya. Aku, yang akan menanggung semua. Dia tidak butuh lelaki tempramen itu untuk berada di sampingnya. Apapun yang terjadi nanti, hanya aku tumpuannya. 

    Kejadian tadi malam benar-benar melelahkan. Aku hilang kendali mungkin menjadi yang terburuk. Beruntung Steve bersedia masuk dalam hal yang sama sekali bukan urusannya. Ingatkan aku untuk berterima kasih padanya nanti, dan mungkin juga permintaan maaf karena memukulnya.

    Sampai saat ini aku belum melihat kondisi adikku. Aku terlalu fokus pada jenny sehingga sedikit melupakannya. Aku tahu Nathan tidak akan mempermasalahkannya, namun sebagai kakak aku merasa tak adil. Aku harus menemuinya.

    "Morning?" Sapaan selamat pagi adalah yang pertama menyambutku ketika kakiku melangkah melewati dapur.

    Dia Steve, orang yang menyapaku.

    "Morning," balasku.

    "Duduklah, akan aku buatkan kopi,!" Titahnya seolah tak ada kejadian buruk semalam.

    Tak mau ambil pusing aku mengikuti perintahnya.

    "Nathan sudah berangkat sekolah. Aku melarangnya dan menyuruhnya untuk istirahat, namun dia menolak." Sela Steve seolah tahu tingkahku yang terus memandang pintu kamar adikku.

    "Dia remaja yang kuat," Ujar Steve memberikan kopi buatannya. Dia kini duduk di kursi sebelahku.

    "Dari mana kamu mendapat kopi ini?" Tanyaku heran karena aku jarang menyediakan stok kopi di rumah. Aku bukan penikmat kopi.

    "Aku membelinya saat pulang mengantar Nathan." Ujarnya sukses membuatku memandangnya heran. Steve bukan orang yang cepat akrab pada orang asing.

    "Why?" Tanya Steve menyadari pandangan heranku.

    "Nothing," jawabku tak mau memperpanjang.

    "How's Jenny now?" Tanya Steve.

    "She is better. How's Nathan? I mean did something........"

    "No. He is fine. I said you before, he's a strong guy."

    "Yeah, I know. Umm thank you for tonight."

    "Anytime." Jawabnya santai. Dia kembali menyesap kopi miliknya. Aku suka gaya santainya.

    "It's hurt?" Tanyaku menyentuh pelan areal hidungnya yang terlihat membengkak.

    "Lucky me, it's not broken." Jawabnya masih tetap santai.

    "Sorry...." ucapku berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia memandangku.

    "It's oke." Balasnya tak mempermasalahkan.

    "So, where's you slept last night?" Ujarku mengalihkan pembicaraan.

    "Nathan cukup baik hati untuk berbagi tempat tidur denganku." Jawabnya sontak membuatku kembali teringat pada kejadian Steve dan Frank. Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku jika mengingatnya.

    "Why you smiling?" Tanyanya heran.

    "I remembe......"

    "No no no... Stop it." Potongnya seolah tahu apa yang ingin aku katakan.

    "Aku tahu apa yang ingin kamu katakan, jadi berhentilah." Sambungnya.

    "Memang apa yang akan aku katakan tadi?" Godaku.

    "Jangan memancingku."

    "I'm not." Ujarku makin membuatnya sedikit kesal.

    "Berhentilah mengingat kejadian aku dan ayah tirimu." Ujarnya membuatku tak bisa sembunyikan senyum lebarku.

    "Did I?"

    "Damn it. Asal kamu tahu semalam aku kembali bertemu dengannya dalam kondisi mabuk."

    "Kalian berciuman lagi?"

    "Fuck no,!" Jawabnya langsung.

    "So..??"

    "Dia tidak melakukan apapun, hanya saja...."

    "Hanya saja??"

    "Semalaman aku tidak bisa tidur tenang karena dia selalu saja berjalan kesana kemari tak jelas. Dia bahkan beberapa kali masuk ke dalam kamar Nathan. Dan satu lagi, kenapa pintu kamar Nathan tidak bisa di kunci?" Jelasnya panjang lebar dengan nada kesalnya. Aku berusaha untuk tak tertawa.

    "Itu salah satu kebiasaan unik Frank saat mabuk. Pintunya rusak dan aku belum sempat memperbaikinya." Ujarku tak ambil pusing.

    "kebiasaan aneh, Kamu harus segera memperbaikinya,!"

    "Haruskah?" Aku masih ingin menggodanya.

    "Tentu saja. Apa maksudmu berkata 'haruskah' hm?" Ujarnya mulai mendekati tempat dudukku. Tangannya bertumpu pada sandaran kursi.

    "What?" Tanyaku memasang wajah innocent. Menggodanya dengan hal menyebalkan baginya lumayan menyenangkan kurasa.

    "What do you mean with 'what'? I need an explanation not a question." Ujarnya dengan nada dibuat serius. Aku cukup paham sifat Steve.

    "Oke. Melihat Frank dengan tingkah konyolnya kadang membuat penghuni rumah ini terhibur, dan.... Hiburan kita akan semakin lengkap jika kamu juga ikut serta." Jelasku santai.

    "Jadi kamu menjadikan penderitaanku sebagai bahan leluconmu hm?" Tanyanya dibuat seolah tengah mengintimidasi.

    "I'm not said that words." Balasku tak takut dengan tatapannya. Aku bahkan membalas tatapannya.

    "Ya, kamu mengatakannya."

    "No. I'm not."

    "Yes, you said that words."

    "No.... Hey lepas..." ujarku terkejut karena tiba-tiba Steve mengalungkan lengannya di leherku. Tidak menyakitkan, karena kutahu dia hanya bermain-main.

    "Say sorry to me,!" Pintanya.

    "No...." aku masih kokoh dengan pendirianku walau sudah tubuhku berada di kekuasaannya.

    "Say it,!" Ujar Steve tak mau menyerah. Aku berusaha membebaskan diri, sial bagiku karena kalah persiapan. Ini akan sulit.

    "No....." Aku juga belum menyerah pada pendirianku. Tapi....

    "Ahahaha..." sial tangan bebasnya tak sengaja mendarat di titik lemahku. Ya aku tidak bisa menahan geli di daerah pinggangku.

    "Wow, aku menemukan kelemahamu." Ujarnya menang. Senyum merekah dia suguhkan.

    "No no no Steve.... Don't...." pintaku karena Steve kembali menyerang pinggangku dengan jarinya. Posisinya yang berada di belakangku memudakan niatnya.

    "Hahahaha stop it..." ini akan semakin sulit.

    "No... Say sorry to me first,!" Steve kembali meminta dengan paksaan.

    "No I wouldn't." Tolakku masih berusaha lepas dari kunciannya.

    "So, enjoying this beautiful tickle......" ujar Steve kembali dengan senang hati menyerangku lagi.

    "Ahahahaha no.... Stop it.... Steve..."

    "Say sorry..."

    "Oke...I'm sorry."

    "What you say? I'm not heard what you saying?" Sial dia masih saja menggoda. Dia kembali pada aksinya.

    "Ahahaha..... I say Sorry..."

    "I said SORRY... Please stop it, oke?" Ujarku berhasil menahan tangannya agar tak kembali membuatku kegelian.

    "Hhuuuft... Sialan kamu..." ujarku melihat Steve puas tertawa. Jujur sekarang aku juga tak bisa menahan tawa mengingat tingkah kekanakan yang kamu lakukan tadi.

    Kami sekarang tertawa seperti orang tak waras mungkin. Saat kami bertatapan, kami akan kembali tertawa. Ini aneh, tapi menyenangkan.

    "Morning?" Sapa suara lain menginterupsi.

  • mesranya ...
  • mesranya ...
Sign In or Register to comment.