BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ROLE PLAY

1567810

Comments

  • jadi Steve udah diterima ya ...
  • Aku tag please
  • X pov

    Pagi ini sesuatu yang berbeda hadir di rumah ini. Sesuatu yang cukup lama tidak hadir, aku cukup menikmatinya, dan Nathan juga kukira. Kami disini, mengelilingi meja bulat di dapur dengan makanan sederhana. Semoga akan ada hari seperti ini lagi kelak. Amen.

    "What you smiling at?" Interupsi sosok baru di rumah ini, Steve. Aku memandangnya sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab pertanyaannya dengan gelengan.

    "Nothing, how's my pancakes?" Tanyaku mengalihkan topik.

    "Hm... Good,"

    "What will you say for that?"

    "Thanks,"

    "You're welcome," balasku tak bisa menghilangkan senyum untuk k nyertainya.

    Percakapan itu menjadi akhir untuk pagi baruku dengan Steve. Dia harus kembali pada kehidupannya. Kuharap ada cerita yang lebih baik kelak.

    Kualihkan pandanganku pada pintu masuk ketika pintu itu terbuka. Disana Jenny dengan wajah lelahnya berjalan masuk.

    "Huuffft... I'm so tired." Ucapnya sesaat setelah pantatnya menyentuh sofa. Kepalanya ia sandarkan lelah di sandaran sofa. Aku duduk disampingnya, memandangnya.

    "Why?" Tanya Jenny tahu jika aku tengah memandangnya walau sedari tadi dia menutup mata, bahkan sampai saat ini matanya belum ia buka.

    "What happen?"

    "What you mean?" Ucapnya berbalik tanya.

    "You know what I mean." Ucapku yang berhasil membuatnya membuka matanya.

    "Kamu memaksaku untuk menjawab pertanyaanmu?" Jenny berujar masih tak menjawab apa yang aku tanyakan.

    "Kamu tahu jika aku benci pemaksaan."

    "Then?" Kini aku yang justru terdiam.

    "Katakan apapun yang ingin kamu katakan nanti jika masih menganggapku sebagai keluarga." Ujarku tak ingin melanggar prinsipku untuk tak mencampuri urusan orang lain.

    "I'm your brother," sambungku beranjak dan mengecup keningnya. Aku tidak ingin memaksanya.

    "Can you help me?" Sela Jenny saat kakiku baru 3 kali melangkah. Aku berbalik kembali menatapnya, dia juga menatapku.

    "Do you think I can to do it?"

    "Yes." Jawabnya yakin.

    "Then, I will do anything to do it." Finalku memutuskan kembali duduk disampingnya.

    "Thanks,"

    "Jangan memgucapkannya ketika aku belum melakukan apapun untukmu."

    "You deserve it."

    "Yeah, whatever you said." Ucapku dengan senyum yang langsung dibalas olehnya dengan hal serupa.

    "Berapa usia keponakanku sekarang?" Tanyaku saat mengalihkan pandanganku pada perut Jenny.

    "Almost eight weeks."

    "Dia sehat,?" Tanyaku memberanikan diri menyentuh perutnya.

    "Semoga." Jawabnya membuatku menatapnya. Dia tersenyum. Dia meletakan tangannya di atas telapak tanganku yang ada di perutnya. Jenny benar-benar menginginkan anak ini.

    "What?"

    "I like your smile." Ujarku yang langsung membuat Jenny memelukku.

    "I hope he will do what you do." Ucapnya terus memelukku.

    "I will kill him by myself if he refuse it." Balasku membalas pelukannya. Kukecup keningnya.

    "Thank you."

    "Kamu tidak menanyakan siapa orang yang aku maksud?" Tanyanya melepaskan pelukan.

    "Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik. Jika kamu ingin mengatakannya maka katakan, tapi jika tidak, diamlah. Aku akan tetap sama untukmu." Jelasku membuatnya kembali memelukku.

    "Jangan pernah meninggalkanku apapun yang terjadi." Lirihnya.

    "Bahkan jika kamu yang memintaku untuk pergi, aku akan tetap di sudut lain yang tidak kamu lihat untuk membuatmu tak sendiri." Balasku membuat Jenny mengeratkan pelukan.

    Menit berlalu tanpa suara. Aku dan Jenny masih dengan posisi nyaman kami untuk terus berpelukan. Ini adalah sisi lain kakakku, dan kuharap dia hanya memperlihatkannya dihadapanku. Terdengar egois?. Aku memang selalu egois untuk bisa terus menikmati bahagia bersama keluarga.

    "I'm tired.," gumamnya.

    "Istirahatnlah." Balasku melepas pelukan.

    "Can I sleep here?" Tanyanya menyentuh pahaku yank ingin ia jadikan bantal tidurnya.

    "Do anything you want." Balasku membuatnya langsung memposisikan tidurnya dengan kepala di pangkuanku.

    "Are you comfy?" Jenny membalasnya dengan anggukan. Matanya langsung tertutup, dan hanya beberapa menit nafasnya terdengar teratur. Dia memang kelelahan kukira. Semoga hal ini akan sedikit mengurangi bebannya.

  • kasihan Jenny ...
  • X pov

    Hari berganti, aku masih tetap sama. Aku masih tetap menjadi aku. Aku cukup lega dengan hal itu, karena tak punya beban untuk mengejar sempurna. Apa yang ada dan apa yang berubah disekelilingku, tak bisa kuhindari untuk menikmatinya. Sulit terkadang, namun tak ada kata mustahil selama ada harapan.

    Aku yang masih tetap sama, tak diikuti oleh suasana sama. Sedikit waktu hidupku berubah ketika Steve memutuskan untuk mengikuti tawaranku. Dia datang mengunjungiku. Tidak hanya sekedar hadir, kini sebagian waktuku akan menyangkut tentangnya. Satu minggu berlalu, Steve masih nyaman dengan kunjungan rutin untukku.

    Malam ini, dia juga hadir. Aku tahu dia benci tempat ramai, namun dia tidak melontarkan protes ketika harus menemuiku di tempat kerjaku yang jauh dari kata sepi. Dia masih sering membuat sedikit keributan, namun tak butuh orang lain untuk dia bisa mengendalikan keributan buatannya.

    Steve tak terlalu suka berada dekat denganku ketika aku tengah bekerja. Dia hanya akan duduk di tempat yang sama saat pertama dia menginjakan kaki di tempat ini.

    "Keep your hands off from him." Kalimat awal Steve untuk sedikit keributan tengah aku dengar.

    Aku menghentikan gerakanku. Malam ini aku tak berada di tempat khusus, aku berada di dance floor membaur bersama pengunjung. Aku melakukannya karena ingin menikmati malam, tak hanya sebagai tontonan nafsu.

    "What the fuck who you think you are huh?" Respon sempurna untuk pancingan dari Steve.

    "I said,...."

    "Pergilah,! Malam ini aku bersamanya." Potongku sebelum situasi makin kacau.

    "See? Get off from here, now." Ujar Steve menang karena aku lebih memilihnya.

    "Fuck you," umpat orang yang hampir menjadi sasaran keributan Steve.

    Steve hanya memberinya jari tengah sebagai balasan.

    "Ssttt... Come here,!" Aku manerik tubuh Steve untuk mendekat. Kualihkan wajahnya untuk menatapku. Kuletakan kedua tanganku di bahunya. Posisi kami tak sesuai dengan musik di tempat ini, tapi siapa yang peduli.

    "Why?" Tanyaku kembali bersuara. Dia mengerutkan dahi tanda tak paham ucapanku.

    "Why you changed?" Jelasku.

    "No, I'm not." Balasnya.

    "Yes, you're." Bantahku tak setuju.

    "Don't you like it?" Ujarnya.

    "Ini bukan masalah suka atau tidak. Aku hanya ingin tahu kenapa kamu berubah?"

    "Kamu menuntut jawaban dariku?"

    "Jika kamu meletakan aku sebagai penyebabnya, maka iya. Aku menuntut jawaban." Terangku. Aku tahu sekarang bahkan tengah sedikit melanggar prinsipku.

    "Steve yang dulu kukenal tak mengumpat, dia berpakaian rapi, lebih suka tempat sepi, dia tertutup." Sambungku.

    "Nikmati saja perubahanku,! Itu akan lebih menyenangkan dibanding memikirkan alasanku." Jawabnya tenang.

    Aku ingin membantah, namun urung. Steve benar, sejak kapan aku terlalu pusing memikirkan sesuatu. Jalani dan nikmati adalah aku yang dulu, dan akan selalu menjadi aku.

    "I will." Ujarku membuatnya tersenyum.

    Aku melakukan apa yang Steve katakan. Aku menikmati semuanya. Dan sekarang, aku sangat menikmati berciuman dengannya di tempat ini.

    Peduli setan dengan pekerjaanku. Malam ini aku ingin bersama dengan orang yang tengah berciuman denganku. Setiap sapuan bibirnya di bibirku, aku menyukainya. Malam ini akan menjadi malam yang cukup panjang.

    *
    Steve berada di sampingku, bersandar pada headboard, sama sepertiku. Malam ini kami berakhir di sebuah hotel. Aktivitas malam yang melelahkan tapi juga menyenangkan baru saja berakhir setengah jam lalu. Tidak ada dari kami yang ingin mengeluarkan suara terlebih dulu. Kami memilih diam. Tidak ada saling pandang, kami memilih menikmati pemandangan temaran lampu kamar. Detik jam sejak tadi mengambil alih suasana sepi tempat ini.

    Aku cukup senang saat kembali menikmati kegiatan kamar dengan Steve. Jujur aku merindukan moment ini. Aku tidak munafik jika melakukannya bersama Steve bukanlah yang pertama atau yang ternikmat, namun harus kuakui bersamanya adalah yang paling berkesan. Ada begitu banyak hal berbeda ketika bersama Steve, mungkin itu adalah faktor utamanya.

    Aku tahu jika Steve sekarang bukan orang yang sama dengan dulu. Dia banyak melakukan hal lain yang tak dilakukannya saat dulu dia menyewaku. Dia merubah atau berubah menjadi orang baru kukira. Fisik bahkan sifatnya sedikit baru bagiku. Aku tidak tahu apakah itu baik untuknya atau tidak, yang jelas seperti yang Steve pernah katakan, jika aku hanya cukup menikmatinya.

    "Do you want?" Sela Steve menawariku rokok yang telah terlebih dulu dia hisap. Ini adalah hal baru dari Steve, dia merokok.

    "Sure," balasku mengambil tawarannya.

    Itu adalah percakapan pertama dan terakhir kami di hotel ini. Tidak ada hal yang ingin kami keluarkan dari mulut kami setelahnya. Berbagi sebatang rokok dan menikmati waktu malam berganti, itu adalah kegiatan yang kami pilih. Tidak terlalu buruk kukira.

  • Nicee author..i'll always waited
  • Belum sempet baca .. :/
  • X pov

    "Steve? What are you doing here?" Tanyaku melihat Steve datang menemuiku di ruang ganti. Ini yang pertama dilakukannya.

    "Aku ingin menemuimu?" Jawabnya mendekatiku. Dia duduk di meja rias dengan gaya santai khasnya.Beruntung setiap pekerja sepertiku mendapat ruang khusus untuk bersiap.

    "Bukannya setiap malam kamu selalu menemuiku hm?" Tanyaku kembali. Aku memandangnya dari tempat dudukku yang kini berhadapan dengannya.

    "Aku ingin malam ini kamu bersamaku." Ujarnya seperti biasa dengan kalimat memerintah.

    "What?" Heranku. Dia mendekatkan wajahnya.

    "Tonight is my birthday," ujarnya tepat di depan wajahku.

    "Happy birthday then," balasku mengucapkan selamat dengan kecupan singkat. Aku tresenyum karena tulus mengatakannya.

    "Ikut denganku malam ini,!" Ucapnya, lagi dengan kesan memerintah.

    "Apa akan ada bayaran untuk mengganti pekerjaanku malam ini?" Ujarku dengan senyuman menantang.

    "Apa kamu pernah pergi bersamaku dan berakhir tanpa hal yang kamu inginkan?" Ucapnya tak mau kalah dengan kalimatku.

    "Oke, aku bersedia menghabiskan malam yang kesekian bersamamu lagi," ujarku tak pikir panjang.

    "Where are we going?" Tanyaku disela aktivitasku memakai kembali pakaianku.

    "O..O...." Sial, berada di tempat sepi membuat Steve kembali pada sisi liarnya. Dia memandangku dengan penuh nafsu sekarang.

    Pembuktian nyata tak butuh waktu lama. Steve tak peduli dengan pertanyaanku dan langsung meraup bibirku dengan miliknya. Jujur aku selalu menikmati kegiatan ini bersamanya. Setiap sentuhannya selalu sukses besar untuk membawaku larut dalam hal yang ia diinginkan. Dia benar-benar memabukan. Bibirnya.....

    "We'll be late,..." Sial, dia menghentikan ciumannya sepihak. Senyum itu dia pasang dan sangat menyebalkan untuk kulihat saat ini. Aku hanya bisa memandangnya kesal.

    "Come on...!" sambungnya menarik tanganku untuk keluar dari ruang ganti. Aku pasrah sekarang.

    "What now'?" Tanyaku saat kami tengah berada di dalam mobil milik Steve.

    "Just sit peacefully,." Sarannya.

    Aku hanya membalasnya dengan ekspresi tak mau peduli lagi. Jujur aku masih cukup kesal dengan kejadian di ruang ganti. Steve yang memulai dan dia juga yang seenaknya mengakhiri tanpa peringatan.

    *
    "What are we doing in Nathan's school?" Tanyaku begitu Mobil yang kami kendarai berhenti tak jauh dari sekolah adikku.

    "Nathan's school?" Tanya Steve terlihat bingung dengan ucapanku.

    "Yeah, Nathan. My little brother."

    "I don't know if this place is your brother's school."

    "Not your fault, so what we are doing here actually?" Ucapku kembali ke topik pembicaraan.

    "Come on,! Follow me," ucapnya tak menjawab pertanyaan. Tanpa basa-basi dia keluar dari mobil dan berjalan mendekati gerbang sekolah.

    "What....." ucapanku terpotong ketika tanpa ragu dan kubilang canggih Steve memanjat salah satu sisi pagar pembatas dengan mudah.

    "Come on,!" Serunya ketika sudah berada di atas tembok. Sempat heran, namun tak mau ambil pusing, aku mengikuti ucapannya.

    Kami mendarat dengan mulus di areal dalam sekolah. Kuakui Steve cukup mahir untuk masuk ke dalam tanpa diketahui petugas penjaga.

    Steve terus berjalan dengan semua triknya untuk tak diketahui penjaga. Aku hanya diam mengikutinya, karena memang mulutku tak penting untuk mengeluarkan suara saat ini. Beberapa menit bejalan, baru kutahu tempat tujuan Steve adalah lapangan football. Aku mulai memelankan langkahku untuk melihat sekitar, hanya cahaya lampu remang penerang.

    Mataku mulai menelusuri setiap sudut lapangan. Tak berbeda jauh dengan lapangan football layaknya. Mataku terhenti lama pada sosok yang tengah terbaring di tengah lapangan. Ya, dia Steve. Kakiku berjalan menghampirinya, hingga kini kakiku tak terletak jauh darinya. Matanya tertutup damai.

    Dia membuka mata ketika tubuhku menghalangi sinar lampu yang tadi menghadapnya. Tak ada suara untuk beberapa waktu, kami setia pada posisi masing-masing. Berlahan senyumnya berkembang, aku membalasnya dengan hal yang sama.

    "Just laying here,!" Steve membuka suara. Dia menunjuk sisi kananya untuk kutempati. Aku kembali menurut.

    "Just dark on our top." Ucapku sesaat setelah berbaring dan memandang langit malam yang memang gelap minim hiasan khasnya.

    "Sejak pertama kali aku datang ke tempat ini di waktu yang sama, disana akan tetap sama, gelap." Balas Steve.

    "Kamu sering datang ke tempat ini?"

    "Tak terlalu sering, hanya waktu tertentu. Dulu sekitar tiga bulan aku pernah bersekolah di tempat ini dan saat itulah aku menemukan tempat ini."

    "Kenapa hanya tiga bulan?"

    "Alasan klasik, pekerjaan orang tua." Jelasnya.

    Kembali terjadi suasana diam sejenak diantara kami. Aku dan Steve memilih untuk menikmati malam. Mata kami sama-sama tertutup untuk menikmati suasana sepi dan semilir angin malam.

    "Are you comfy?" Steve bersuara untuk memecah hening.

    "Yes, aku sekarang tahu alasanmu menyukai hal sepi." Jawabku tanpa membuka mata.

    "Kenapa memilih gelap?" Selaku yang kini membuka mata dan mengalihkan pandanganku kesamping untuk lihat sisi wajah Steve.

    "Karena gelap selalu sukses menggambarkan siapa dirimu sebenarnya." Ucap Steve mulai bersuara.

    "Dalam gelap, hanya ada aku dan aku. Tak ada sesuatu yang terlihat selain aku. Siapa aku, aku yang menentukam dalam gelap itu. Tidak ada apapun atau siapapun yang berusaha masuk tanpa seijinku." Sambungnya. Matanya kini beralih menatap milikku. Aku beri senyum sebagai balasan kalimat spesialnya.

    "Siapa kamu, kamu yang menentukan." Ucap Steve melanjutkan. Aku kembali tersenyum.

    Aku tidak tahan untuk sekedar memandangnya. Kugerakan tubuhku untuk mendekatinya, hingga kuputuskan untuk berada diatas tubuhnya. Bersangga pada kedua lengan, aku membuat jarak kecil agar ada sedikit ruang untukku menatapnya.

    Steve tersenyum menanggapi tingkahku. Aku kembali membalasnya dengan hal sama. Tidak ada suara dari mulut kami. Kupangkas jarak antara kami hingga bibirku menyentuh miliknya. Tidak butuh waktu lama, dia membalasnya dengan sempurna. Tangannya bahkan tak sudi diam, mereka dengan senang hati menyusuri tubuhku yang sangat mudah dilakukannya dengan pososi kami. Aku tahu dia sudah terlarut dengan hal yang kubuat. Hingga....

    "Why?" Tanyanya karena aku menghentikan kegiatan.

    "Seperti inikah posisimu dengan Frank waktu itu,?" Tanyaku sukses membuat Steve tak ragu menyingkirkan tubuhku.

    "You are mood breaker." Kesalnya kini bangkit dari posisinya untuk menggak minuman kaleng yang entah sekak kapan berada di dekatnya.

    "Hahaha sorry," ujarku mengikuti untuk bangkit dari posisi berbaringku.

    "Thanks." Sambungku saat Steve memberiku minuman kaleng lain yang baru dibukanya.

    Dia terlihat kesal sejenak. Kukira ini balasan tepat untuk kelakuannya di ruang ganti tadi.

    "Jadi kita imbang?" Ucapku.

    "Ya kurasa," balasnya langsung paham dengan topik yang kuangkat.

    Kita kembali berpandangan dan.....

    "Hahaha..." tawa kami pecah untuk sesaat sebelum memutuskan untuk menghentikannya agar tak ketahuan perugas penjaga.

    Malam ini berakhir tanpa nafsu. Kami menikmati waktu dengan topik tidak penting yang keluar dari mulut kami. Ini adalah malam yang berbeda untuk kami, dan ternyata tetap bisa kami nikmati.

  • makin mesra aja ...
  • Sangat hebat untuk pria berumur 40tahun.
  • Sangat hebat untuk pria berumur 40tahun.

    nih umur 40 thun ala daddy Corbusier sis, so it's easy for him... hehe
Sign In or Register to comment.