Halooo... ini cerita keduaku
yang "YOU" masih berlanjut kok
moga suka sama cerita yang satu ini ..
Prolog
“apa yang kamu lakukan di sini??” tanya seseorang yang mengenakan baju putih tipis yang memperlihatkan sedikit bagian tubuhnya yang cukup berisi membungkus tubuhnya.
“..ak—aku hanya..” jawab lelaki berambut lepek dengan bibirnya yang tipis.
“keluar kau!!” bentak lelaki berbaju tipis.
“aku di perintahkan ayah untuk tidur dikamarmu..” ucapnya pelan.
“kau…!! Keluar!! Aku meminta kau secepatnya keluar dari kamarku atau kau akan ku usir dan menyuruh kau tidur di halaman..!!” bentaknya.
“kak.. jangan kak.. aku mohon..” ucapnya memelas memohon dan menunduk.
“…arrgghhhh….!!” Dia tidak bisa menahan emosinya hingga menarik baju lelaki itu dan mendorong tubuh lelaki berambut tipis mencekram lengannya membawa lelaki berambut tipis keluar menuju halaman belakang rumah.
“jangan pernah kau menginjak kamarku lagi!!” bentaknya lalu mengunci pintu halaman belakang..
“kak… aku mohon kak.. aku mohon.. maafkan aku kak…” ucapnya memohon dengan suara yang mulai parau.. kemdian lelaki itu terduduk lesu bersender dengan pintu, sementara lelaki yang membentaknya sedang mengawasi lelaki itu dari kamarnya dilantai dua..
“apa kamu masih mengingat kejadian itu?”
“kamu selalu mengingat hal itu rupanya..”
“yaa begitulah.. karena ketika itu adalah hari yang cukup menyakitkan bagiku..”
“..maafkan aku saat itu yaa..”
“bukankah aku sudah memaafkanmu sebelumnya?”
“entahlah.. kamu selalu mengingatkan tragedi itu seolah-olah kamu tidak memaafkanku”
“aku mengingat hal itu bukan karena aku tidak memaafkanmu”
“..hmm.. lalu??”
“sejak saat itu aku berfikir bahwa keluargaku salah.. ibuku salah telah menikah dengan ayahmu--”
“cukup..! tidak ada yang peru di salahkan..”
“….”
“seharusnya yang pantas untuk di salahkan adalah aku.. aku terlalu egois.. aku tidak mau mendengar perkataan ayah.. bahkan melihatnya saja aku tidak mau saat itu, terlebih lagi ketika aku melihatmu dan ibumu berada di rumahku.. aku terbakar api emosi melihat kalian berada dirumahku, aku membentak ayah.. membentakmu dan ibumu.. akulah yang salah.. bahkan aku membentak kembaran mendiang ibuku..”
“…….”
“bagaimana bisa aku menebus semua kesalahanku sekarang??”
“… kamu tidak perlu menebusnya.. dengan penyesalanmu saja itu sudah lebih dari sebuah tebusan”
“benarkah itu??”
“tentu…”
“.. t-tapi itu hanya menurutmu saja.. bagaimana dengan ayah?”
“ayah telah memaafkanmu kak..”
“kau yakin itu??”
“bagaimana jika kita berziarah ke makam mereka?”
“aku tidak bisa..”
“ayolah.. kamu lebih pantas menyesal di depan makam mereka ketimbang menyesal di hadapanku saja.. ayooo!”
“tapi… aku…”
“ayoook ahh!!”
“sayang.. kamu terlalu memaksa”
“jangan memanggilku sebutan itu.. ini tempat umum!!”
Cinta tidak harus nampak terus-menerus terhadap pasangannya, cinta tidak harus selalu melakukan hal yang baik terhadap pasangannya, cinta juga bukanlah hal yang harus selalu di ucapkan terhadap pasangannya. Menurutku.. cinta adalah sebuah senyuman.. senyuman yang teramat berarti bagiku.. senyuman yang selama ini inginku lihat.. senyuman yang menenangkanku.. membuat diriku lupa akan segalanya.. senyuman yang menghanyutkanku.. menghanyutkanku hingga aku lupa siapa dirimu sebenarnya.. kau.. kau adalah……
@lulu_75 @awi_12345 @Aurora_69 @Adhitiya_bean @key_st5 @Llybophi @andrik2007 @Kokushibyu
Comments
Bagian I
Author POV
Seorang lelaki bernama Iyas Satria Kunawin lahir sebagai putra pertama dari pasangan Handika Kunawin dan Tyas Satriani Indramukti, mereka tinggal di sebuah kota besar yang teramat-sangat padat bertempat tinggal di kawasan perumahan nan asri yang memiliki banyak pepohonan rindang serta taman-taman yang diperunttukan di perumahan bernama Green Resident. Handika Kunawin ayah Iyas adalah seorang Manager di salah satu perusahaan mebel terkemuka di kotanya sedangkan Tyas Satriani Indramukti ibu dari Iyas adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus pengurus posyandu di jalan Pemuda dekat dengan tempat tinggal mereka.
Pada tanggal 20 September merupakan hari yang menggembirakan sekaligus menyedihkan bagi keluarga Kunawin, pada hari itu.. saat yang di nanti-nanti keluarga besar Kunawin. Tyas Satriani Indramukti tengah hamil besar dan siap untuk proses bersalin, namun.. saat proses bersalin berlangsung dimana saat anaknya keluar dari dinding Rahim terjadi pendarahan yang cukup hebat membuat Tyas kejang-kejang, sang dokter beserta asisten melakukan penyuntikan oksitosin agar mengurangi resiko pendarahan, pendarahan cukup hebat berhasil di tangani oleh dokter beserta asisten, namun… kejang-kejang Tyas terus saja berlangsung hingga dokter mengecek preeclampsia. Dokter dan asisten berusaha tenang melihat kondisi Tyas kejang-kejang tanpa henti. Dokter kandungan telah menerapkan serta melakukan kemampuannya dalam proses bersalin.
“suster.. apakah nyonya Tyas pengidap anemia??” tanya seorang dokter sembari memeriksa kondisi Tasya berusaha menghentikan kejangnya dengan menyuntik cairan.
“…dari data yang telah kami dapat.. nyonya Tyas memiliki riwayat anemia dok dan riwayat darah rendah..”
“benarkah itu..?? sebelum proses bersalin nyonya Tyas dalam kondisi fit bukan? Suster!! saya mengecek kondisinya bukan??” tanya dokter memastikan apa yang telah dilakukannya benar sesuai prosedur.
“iyaa dok.. dokter melakukannya bahkan dokter mengecek kondisi darah nyonya Tyas”
Dokter kandungan seperti kehilangan akal sehat melihat Tyas yang terus kejang-kejang, dokter meminta asisten yang lain tuk memanggil dokter spesialis kandungan.
‘yaa tuhan… saya telah melakukan prosedur bersalin dengan benar… saya melakukannya dengan benar.. saya mengecek segala kondisinya, mulai dari darahnya, mentalnya hingga jantungnya..’ batin dokter kandungan dengan nafas memburu.
Di lain ruang.. Handika dan Iyas menunggu di ruang tunggu dengan perasaan dan detak jantung yang berdegup kencang, Handika dan Iyas saling berpegangan tangan sekaligus mendoakan seorang ibu yang tengah berjuang melahirkan anak. Handika terkejut ketika melihat suster keluar dari ruang bersalin, Handika beserta Iyas beranjak dari tempat duduknya menghampiri suster yang berjalan tergesa-gesa.
“…su—suster.. bagaimana keadaan istri saya suster” tanya Handika berusaha menenangkan diri.
“..m—maaf pak.. permisi..” jawab suster melewati Handika dan Iyas.
Handika terus memandangi suster yang pergi dari ruang bersalin begitu pula dengan Iyas. Iyas berusaha menenangkan ayahnya sambil meremas pelan kiri pundak ayahnya. Handika dan Iyas kembali duduk di kursi tunggu. Selang beberapa menit.. suster tersebut kembali menuju ruang bersalin beserta rombongan dokter spesialis. Melihat hal tersebut Handika berdiri cepat kemudian menahan suster.
“suster.. bagaimana keadaan istri saya??” tanya Handika lagi.. Handika merasakan adanya sesuatu yang telah terjadi dengan istrinya.
“m—maaf pak.. permisi..” jawab suster itu lagi..
Handika memandang ruang pintu bersalin dengan tatapan kosong, Handika mempunyai firasat buruk menimpa istrinya.
“ayah..tenanglah ayah..” tegur Iyas memeluk ayahnya dari belakang, melingkarkan kedua tangan di bagian depan perut ayahnya.
“ayah takut nak…” jawab Handika berusaha menahan air matanya.
“berdoalah ayah.. yakinlah ayah.. ibu baik-baik saja..” ucap Iyas serak menahan air mata jatuh dari matanya yang sedikit sipit.
Handika menggengam erat tangan Iyas yang melingkar, Handika berusaha berfikir positif..
‘sayang… aku mohon.. kuatlah sayang’ batinnya sedih mengingat kejadian 13 tahun silam saat melahirkan Iyas.
Beberapa meter dari Handika dan Iyas berpelukan, seorang ibu berkisaran umur 24 tahun di iringi dengan seorang laki-laki berkisaran umur 15 tahun tengah berjalan menghampiri mereka. Wanita itu nampak tertegun melihat ayah dan anak saling berpelukan, begitu juga dengan lelaki yang seumuran dengan Iyas. Wanita itu mengambil langkah ragu menghampiri mereka kemudian Handika tersadar saat melihat bayagan yang terpantul di dinding dekat dengannya, Handika menoleh ke kanan melihat wanita tersebut berdiri bersampingan dengan anak lelaki.
“…. A—Andin…”
@lulu_75 @andrik2007 @awi_12345
Maaf yaa belum ada bau-bau dengan dunia ke gay-an.. hehee... masih awal soalnya Happy reading beb
Bagian II
Author POV
Handika tersadar saat melihat bayagan yang terpantul di dinding dekat dengannya, Handika menoleh ke kanan melihat wanita tersebut berdiri bersampingan dengan anak lelaki.
“…. A—Andin…” gumam Handika pelan cukup terkejut sementara Iyas menatap ayahnya lalu berganti dengan memperhatikan wanita serta lelaki itu.
Dengan langkah pelan namun pasti wanita itu menghampiri Handika di ikuti oleh lelaki di sebelahnya, wanita itu tersenyum ramah saat menghampiri dekat Handika.
“S—sedang apa kamu di sini??” tanya Handika bingung.
“seharusnya Andin yang berkata demikian mas… mas sedang apa di sini??” jawab Andin sopan tersenyum manis.
“k—k—kebetulan istri saya sedang melakukan proses bersalin di dalam” ucap Handika.
“benarkah?... waaah… selamat untuk mas, dapat buah hati lagi nih hihi”
Sementara Handika dan Andin mengobrol santai sembari duduk di kursi tunggu, Iyas dan lelaki tersebut saling memperhatikan diri satu sama lain. Di pikiran Iyas adalah ia bertanya-bertanya.. siapa wanita yang bernama Andin dengan lelaki yang seumuran dengannya. Sementara lelaki tersebut saat melihat Iyas.. yang ada di pikirannya adalah bahwa ia sangat ingin sekali berteman dengan Iyas.
‘jadi dia anak pak Dika… dia terlihat baik’ batin lelaki tersebut melihat Iyas sedemikian riang.
Tak lama kemudian Andin berpamitan dengan Handika karena kedatangannya kerumah sakit adalah menjenguk saudaranya yang dirawat di ruang UGD, sementara itu Iyas duduk dengan rasa penasaran melihat kepergian mereka. Handika kembali duduk bersampingan dengan anaknya dan juga tetap dengan rasa was-wasnya terhadap istrinya yang tengah berjuang melahirkan buah cintanya. Selang beberapa menit, pihak keluarga Tyas berdatangan ingin mengetahui kondisi yang di alami Tyas terutama saudari kembarnya yang bernama Tia. Handika cukup rileks saat melihat saudari kembarnya karena kehadiran Tia selalu membuatnya tenang apalagi Tyas dan Tia memiliki wajah yang hampir sama dari segi mata, bibir, hidung dan yang membedakannya adalah alisnya saja namun ketenangan Handika berangsur-angsur mulai sirna karena beberapa dokter spesialis keluar dari ruang bersalin apalagi Handika melihat kepanikan pada wajah-wajah dokter yang berjalan cepat meninggalkan ruangan.
“dok.. bagaimana keadaan istri saya??” tanya Handika menghadang dokter spesialis.
“……… pak.. sebaiknya bapak tenang dan berdoa agar istri bapak serta buah hati bapak dapat terselamatkan..”
Mendengar perkataan dokter yang rancu membuat Handika terkejut, kembali menegang dengan detak jantung yang mulai berdegup kencang.
“m---maksud b—b—bapak??” tanya Handika gugup. Tia berusaha menenangkan Handika dengan memegang jemari Handika kemudian menautkannya dengan erat.
“….. saya benci mengatakan hal ini.. t—tapi…”
“dok… segera dok!!” ucap dokter lainnya yang berada di depan mereka.
“m—maaf pak.. permisi” ucap dokter itu melewati Handika dan Tia.
Raut wajah Handika kian terlihat kusut setelah mendengar perkataan dokter, Handika duduk dengan lesu bersender dengan dinding, melihat ayahnya demikian.. Iyas langsung sigap menghampiri ayahnya serta memberikan sebuah pelukan hangat pada ayahnya, Demikian keluarga yang tengah hadir bersabar menunggu memberikan support kepada Handika dan memberikan doa pada Tyas. Kecemasan Handika kian menguasai dirinya membuat ia menunduk berlama-lama sesekali meremas rambut kepalanya, saat Handika melihat kedua dokter itu kembali, Handika lagi-lagi menanyakan hal yang sama. Handika terkejut ketika melihat dokter kedua mendorong sebuah tabung oksigen.
“pak… bapak harap tenang dan berdoalah.. permisi” ucap dokter itu sopan.
Kedua dokter tersebut kembali ke ruang bersalin.. Handika kembali terduduk lesu sesekali mermas rambutnya, Handika kembali mengingat kejadian dimana Tyas melahirkan Iyas.. Betapa sukarnya Tyas pada saat itu melahirkan putra pertamanya hingga Tyas mendapatkan perawatan yang terbilang gawat darurat bahkan banyak dokter sepsialis yang ikut membantu seperti halnya dengan hari ini. Handika tidak kuasa menahan kekhawatirannya terhadap Tyas, pikiran-pikiran negatif kembali bermunculan di dalam otak Handika dan tiba saatnya dimana kekacauan Handika kian mendalam setelah dokter utama yang menangani Tyas keluar dari ruangan memberikan duka yang teramat dalam bagi Handika, Iyas, Tia dan beberapa keluarga Tyas yang hadir.. bahwasannya… Tyas Satriani Indramukti beserta buah hatinya tak dapat tertolong akibat pendarahan yang kembali mengalir serta lepasnya solution plasenta. Tyas Satriani Indramukti dinyatakan telah meninggal dunia.
Iyas POV
Aku telah kehilangan seorang yang teramat dekat denganku, seorang yang selalu menemaniku, seorang yang selalu membangunkanku sebelum berangkat sekolah, seorang yang selalu berbagi hal denganku, seorang yang mau menghabiskan waktunya menemaniku tidur, seorang yang teramat penting bagiku, dalam kehidupanku dan dalam keseharianku. Aku telah kehilangan ibu kandungku yang meninggal akibat melahirkan adikku.. yaaa! Adikku… aku bahkan tidak pernah melihat wajah adikku.. aku terlalu sedih saat itu dimana saat proses pengkuburan mendiang ibu dan adikku.. aku begitu rapuh.. aku begitu tak kuasa menahan kesedihanku, melihat kedua jasad keduanya akupun tak sanggup.. aku lebih memilih diam dimobil saat itu.
‘maafkan aku ibu’ batinku sedih hingga tak lama mataku mengeluarkan kesedihan kembali.
Dan… malam ini adalah hari dimana ibuku telah meninggalkan kami selama 40 hari. Malam 40 harinya ibu dimana kami melakukan acara kematian (Tahlilan) di iringi dengan dzikir dan doa-doa untuk beliau. Sigh… aku terus saja di balut dengan kesedihan meskipun aku tidak menangis se hebat-hebatnya. Bagaimana perasaan kalian kehilangan orang yang kalian sayangi? Pasti sakit kan? Pasti sedih kan?
“Iyas.. jangan nangis lagi ahh..” tegurnya manja memusut pundakku.
“gak.. aku gak nangis..” ucapku bohong menyapu segelintir air mataku yang hampir terjatuh.
“…jangan bohong sama aku” tegurnya. Aku membalas dengan senyumku (fake smile)
Aku kembali mendengarkan serta membaca doa-doa untuk mendiang ibuku. Sigh.. saat aku kembali mengucapkan doa-doa.. air mataku kembali memberontak dari kedua kelopak mataku. Sigh.. aku berada di kesedihan yang teramat dalam. Setelah acara Tahlilan selesai, berangsur-angsur para pendoa keluar dari rumah sembari bersalaman dengan ayahku, tante Tia, mas Kiki serta lainnya dari keluargaku.
“Iyas.. mau kemana??” tanya tante Tia melihat aku yang hendak menaiki anak tangga.
“Iyas capek tante…” jawabku lalu menaiki anak tangga.
Aku merebahkan tubuhku di atas ranjangku yang berukuran single bed merilekskan ototku dan pikiranku, tidak sengaja aku kembali melihat fotoku dengan ibuku, dimana foto itu bertepatan dengan ulang tahunku. Ibu mengadakan kejutan kecil-kecilan bersama teman-teman dekatku, ibu membawa sebuah kotak yang didalamnya adalah sebuah kue coklat kesukaanku bertuliskan ucapan selamat ulang tahun di atas kuenya, ibu memberikannya disaat aku bangun tidur dengan rasa kantuk yang teramat berat apalagi saat itu aku begadang karena aku menunggu kejutan tengah malam karena sebelumnya kejutannya berada di tengah malam.
*doook dook*
Aku tersentak mendengar suara ketukan pintu kamar, aku kembali berbaring di atas ranjang.
“masuk…!” perintahku.
*kreeeeek*
Aku mengernyitkan kening saat melihat orang yang memasuki kamarku.. bukankah dia lelaki yang kutemui di rumah sakit bersama dengan wanita yang bernama Andin.
“m—m-maaf mas.. mas di panggil pak Dika” ucapnya gugup menunduk membuka pintu kamar sedemekian sempit.
“bilang saja kalau aku sudah tidur..” jawabku datar tanpa melihatnya.
“tapi mas.. kata pak Dika ini penting” jawabnya.
“…aku lagi capek.. bilang saja kalau aku sudah tidur!!” jawabku cukup kasar.
“b-baiklah..” ucapnya kemudian menutup pintu.
‘di acara tadi aku tidak melihatnya.. apakah ia baru saja tiba?’ batinku.
**
Dengan tangan meraba-raba aku berusaha mematikan jam waker yang tergeletak di atas meja tidur, selesai mematikan jam waker yang berbunyi, dengan perlahan aku berusaha membuka mataku melihat sekeliling kamarku. Buram… susah sekali aku membuka kelopak mataku ini. Perlahan aku mengubah posisi tidur ku menjadi duduk menyenderkan punggungku pada bed headboard. Lagi-lagi aku tidak sengaja melihat foto yang terpampang di dinding berhadapan langsung pada arahku duduk sekarang ini. Biasanya…. Beliaulah yang selalu membangunkanku di pagi hari, mengecup manis pucuk kepalaku, mengelus lenganku dan pipiku bahkan mencubit pipiku dengan gemas. Sigh… ibu….
‘ohh Tuhan… mengapa aku sangat susah melupakan ibuku’ batinku sedih melihat lurus fotoku bersama dengan ibuku.
‘aku harus tegar… karena aku ikhlas.. aku ikhlas ibu pergi meninggalkanku..’ batinku akhirnya aku beranjak dari ranjang, memakai sandal kamar berbentuk kelinci.. ohh Tuhan… Sigh… Sandal berbentuk kelinci ini adalah pemberian mendiang ibu.. di dalam kamarku ini banyak sekali barang-barang pemberian ibu.. rasanya aku tidak sanggup melihatnya, semua kenangan seakan-akan terekam di memori otakku.
‘… m—maafkan Iyas ibu.. Igghh—yass kembali menanghhings’
*doook doook*
Aku berusaha menenangkan diriku dari isak tangis yang begitu saja bergulir di ragaku, tidak ada habisnya aku menangisi kepergian ibu bahkan Ayah.. tante Tia… mas Kiki berusaha membuatku pulih dari kesedihanku, berusaha membujukku agar aku riang, membuat lelucon-lelucon agar aku tertawa, tapi… semua itu bagiku sia-sia saja.. aku hanya tertawa sesaat.. aku hanya riang sesaat dan setelah itu aku kembali dalam kesedihanku.. aku terlalu cengeng.. aku tidak bisa melupakan ibu meskipun aku sudah mengikhlaskan kepergiannya.
*doook doook*
“Iyas sayang… buka pintunya sayang, sayang sekolah bukan??” terdengar suara tante Tia mengetuk pintu kamar.
“… i-iyaaa tante” aku memelankan suaraku.
“cepat yaa sayang.. tante tunggu di bawah, tante sudah menyediakan sarapan kesukaan Iyas”
“iyaa tante” jawabku.
Aku menepuk-nepuk pipiku agar aku tak menangisi mendiang ibuku.. sulit rasanya aku membendung rasa sedihku ini, namun.. aku juga tidak mau berada di dalam kesedihan terus-menerus, terlebih lagi teman dekatku menasihatinku agar aku tabah, mengikhlaskan semuanya agar ibu tenang di akhirat. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin mengikhlaskannya.. tapi.. ragaku.. pikiranku.. perasaanku.. sangat sukar melupakannya.
Aku beranjak menuju kamar mandiku yang tidak jauh dari aku duduk di atas ranjang, aku membasuh wajahku, merasakan dinginnya air bak mandi kemudian aku memperhatikan wajahku di depan cermin kamar mandi. wajahku terlihat kusut.. mataku terlihat merah seperti terkena penyakit mata. Aku kemudian mengambil obat mata yang tersusun di rak perlengkapan mandiku.
‘mungkin dengan obat mata.. mataku akan kembali seperti semula dengan cepat.. aku tidak mau tante Tia tahu kalau aku baru saja menangis’
Setelah aku berurusan dengan mandi, berseragam, bercemin, merapikan wajahku yang sedikit kusut, aku bergegas keluar dari kamar sembari membawa tas sekolah menuruni anak tangga menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan makan.
“ehh sayang… sudah cakep yaa.. yuuk sini sarapan dulu” sapa tante Tia hangat penuh senyum. Aku mendekatinya duduk bersampingan dengannya, dengan sigap tante Tia mengambil sesendok nasi kemudian beralih mengambil sesendok ayam asam manis di dalam wadah.
“ini tante looh yang buat.. di habisin yaa sayang” ucapnya menaruh piring dengan nasi+ayam asam manis.
“m—makasih tante..” jawabku.
“ohh iyaa… Iyas panggil ayah dulu..” ujarku kemudian berdiri dari bangku.
Tante Tia menggenggam tanganku membuat diriku spontan terkejut.
“ada apa tante..??”
“…..ayah Iyas pergi keluar kota mengadakan rapat di sana sayang..” jawab tante Tia pelan..
….. Ayah pergi keluar kota lagi??!!!
“… tante!! Kenapa tante tidak melarang ayah tuk menetap di rumah, menyuruh ayah mengabaikan pekerjaannya.. kenapa ayah lebih memilih bekerja ketimbang menemani Iyas dirumah…!!”
“s—sayang.. tante telah berusaha membujuk ayah Iyas.. tapi.. ayah Iyas tidak bisa mengabaikan pekerjaannya karena ayah Iyas mengadakan meeting dengan orang penting..”
“jadi!! Jadi ayah lebih mementingkan orang penting itu daripada Iyas.. jadi ayah menganngap kalau Iyas bukan orang penting.. begitukah tante..!!”
“……s---sayang.. bukan begitu maksud ayahmu sayang…”
“sejak kematian ibu… ayah lebih sering mementingkan dirinya sendiri.. ayah jarang menetap dirumah, ayah mementingkan pekerjaannya!! Ayah melupakan Iyas!! Ayah… argghhhhhhh….”
“s—saayang… sayang mau kemana!”
Aku memilih tuk menjauh dari rumah ini, aku memilih bergegas secepat mungkin menuju sekolahku, aku memilih tuk mengeluarkan isi hatiku kepada kedua teman dekatku. Tanpa ku sadari air mataku kembali bercucuran, mengalir dengan deras tanpa hambatan. Aku mengabaikan panggilan tante Tia yang terus-menerus memanggilku.
‘arrghhhhhhh…. Aku benci ayah!! Ayah mementingkan pekerjaan daripada aku!!!’
Aku berhenti ketika melihat sepasang kaki dekat dengan posisiku berdiri saat ini, memakai sepatu hitam pekat dengan tali sepatu berwarna hitam pudar serta kaus kaki pendeknya yang hanya sampai pada mata kaki. Aku mengerjapkan mataku yang basah, melihat lebih jelas siapa yang berdiri di jarak yang cukup dekat denganku. Perlahan aku mendongakan kepalaku agar aku melihatnya sejajar..
‘Elisa…!!’
@lulu_75 @awi_12345 @Aurora_69
Belum ada aroma gaynya happy reading beb~
Aku memilih tuk menjauh dari rumah ini, aku memilih bergegas secepat mungkin menuju sekolahku, aku memilih tuk mengeluarkan isi hatiku kepada kedua teman dekatku. Tanpa ku sadari air mataku kembali bercucuran, mengalir dengan deras tanpa hambatan. Aku mengabaikan panggilan tante Tia yang terus-menerus memanggilku.
‘arrghhhhhhh…. Aku benci ayah!! Ayah mementingkan pekerjaan daripada aku!!!’
Aku berhenti ketika melihat sepasang kaki dekat dengan posisiku berdiri saat ini, memakai sepatu hitam pekat dengan tali sepatu berwarna hitam pudar serta kaus kaki pendeknya yang hanya sampai pada mata kaki. Aku mengerjapkan mataku yang basah, melihat lebih jelas siapa yang berdiri di jarak yang cukup dekat denganku. Perlahan aku mendongakan kepalaku agar aku melihatnya sejajar..
‘Elisa…!!’
Bagian III
Author POV
Iyas melihat seorang wanita bernama Elisa di depannya, tanpa berlama-lama melihat wanita itu Iyas langsung mendekat dan memeluk seorang yang berada di hadapannya, meskipun yang iaa peluk bukanlah wanita yang bernama Elisa (teman dekat Iyas di sekolah) melainkan yang iaa peluk adalah seorang lelaki yang juga sebaya dengan Iyas, lelaki itu tidak tahu apa yang harus dilakukannya, iaa merasa tak enak menegur Iyas yang justru mempererat pelukannya. Lelaki itu lama-kelamaan tidak kuat menahan dekapan Iyas yang begitu erat hingga iaa meronta. Iyas tersadar saat mendengar suara meronta, Iyas mendengar suara meronta itu berasal dari seorang yang iaa peluk.
‘Elisa… kenapa suaranya nge-bass?’ batin Iyas bingung kemudian merenggangkan peluknya terhadap lelaki itu, iaa melepaskan peluknya hingga iaa tersadar dan melihat langsung bahwasannya seorang yang iaa peluk bukanlah Elisa.
‘……aku… aku salah meluk orang’ batin Iyas kacau.
“Kamu pikir aku perempuan…!!!” bentak lelaki itu tak terima mendengar gumam kecil Iyas menyebut ‘Elisa’
Iyas mengabaikan perkataan lelaki itu, iaa memilih berjalan lurus melewatinya.
“Hei….tidak sopan kau!” ucap lelaki itu tegas menarik tangan kanan Iyas.
Saat Iyas berpaling memperhatikan lelaki itu akhirnya Iyas meminta maaf atas apa yang iaa lakukan sebelumnya. Iyas tersenyum manis meminta maaf kedapa lelaki itu lalu Iyas melanjutkan langkah tuk pergi ke sekolah.
“tungguuu…!”
Iyas tidak menghiraukan panggilannya, Iyas tidak tahu harus berbuat apa lagi karena iaa merasa malu telah memeluk seorang lelaki yang iaa tidak mengenalinya.
“kamu mau kemana…..! bukannya arah keluar perumahan di sebelah sini yaaa…!”
Iyas berhenti ketika mendengar teriakan lelaki tersebut, Iyas lalu mengedarkan pandangan lurus memperhatikan jalan komplek perumahan.
‘astaga… aku salah jalan..’ batin Iyas.
Dengan rasa malu Iyas membalik badannya, berjalan menunduk kearah sebaliknya. Iyas benar-benar kacau pagi ini apalagi setelah mendengar ayahnya tidak ada dirumah, Iyas benar-benar kacau! Dari jarak beberapa sentimeter lelaki itu tersenyum melihat Iyas melangkahkan kakinya kemari, lelaki itu tersadar saat berpapasan dengan Iyas ada segelintir air mata yang jatuh dari pelupuk Iyas.
“Hei… kenapa kamu menangis..?” Iyas tetap mengacuhkannya memilih jalan lurus.
“yaaa elaaah.. jadi laki-laki kok cengeng amat..”
Iyas tiba-tiba berhenti mendengar perkataan laki-laki itu, Iyas kemudian memperhatikan wajah laki-laki tersebut dengan tatapan bencinya.
“PERGI KAUUUUU!!!” teriak Iyas keras membuat laki-laki itu meneguk ludah.
Kemudian Iyas kembali berjalan namun kali ini dengan langkah cepat karena iaa benar-benar membenci laki-laki itu sedangkan laki-laki itu berdiri diam tanpa adanya respond yang berarti.
‘sial…. jangan bilang dia anak pak Kunawin’ batinnya dengan menggaruk belakang kepalanya.
**
Iyas POV
Aku sudah tiba lebih dari 10 menit di sekolahku, aku memilih berdiam diri di ruang musik sembari melihat poster acara musik yang tertempel di dinding, rasanya berat sekali aku mengikuti acara musik tahunan di sekolahku. Semenjak ibu pergi… pikiranku selalu melayang-layang entah kemana, aku lebih banyak kacaunya dibandingkan normalnya, terkadang aku sampai salah mengumpulkan buku tugas hingga pak Hardi guru Kimia memarahiku seperti HULK yang mengamuk.
‘yaa tuhan….’ Batinku mengusap dan memijit mataku yang mungkin sekarang ini sembab.
*kreeeeek*
Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka, rupanya adik kelasku Rangga (bagian dari anggota seni musik di sekolahku)
“loooh.. kak Iyas, ngapain kak disitu?”
“…tidak apa-apa Rangga, kak Iyas hanya ingin sendiri” jawabku. Rangga menghampiriku duduk di sampingku di lantai.
“m—mata kakak sembab.. kakak begadang yaa?” tanya Rangga menerka melihatku dengan nyengirnya memperlihatkan gigi gingsulnya.
“…yaaaah begitu lah dik..” jawabku berbohong.
“hihii… buat apa sih kak begadang.. gak ada guananya tau, ohh iyaa.. adik kesini mau mengambil formulir acara musik tahunan, boleh kan kak?”
“..boleh, memangnya ada yang mau mendaftar lagi?”
“iyaa, ada kak… kelas 10.A sama kelas 10.C”
“berapa orang??”
“adik gak tau detailnya sih kak, cuman kalau kelas 10.A ada 7 orang”
“itu semuanya band?”
“gak, ada yang solo… dimana kak formulirnya?”
“ambil saja didalam laci situ” jawabku sambil menunjuk meja. Rangga berdiri dan mengambil beberapa formulir tidak lupa mengucapkan terimakasihnya lalu pergi meninggalkan ruang musik.
‘tahun ini banyak sekali yang ikut…’ batinku terus memperhatikan poster acara musik tahunan.
*kriiiiiiiiiiiiiiing*
Aku bergegas keluar dari ruang musik menuju kelasku karena bel jam pelajaran telah berbunyi, aku harus bersikap normal menyembunyikan kesedihan ku yang terjadi beberapa menit yang lalu, rasanya aku juga tidak enak selalu menyeritakan kesedihanku kepada teman-teman dekatku, aku tidak mau iaa terbawa arus sedihku. Huuuh Iyas harus kuat!!
Sesampai di kelas aku langsung duduk di kursiku yang di sebelahnya sudah terpampang seorang lelaki bernama Yosi (teman sebangku sekaligus teman dekatku). Yosi memperhatikanku semedemikian rupa hingga aku gemas melihatnya.
“kenapa..?” tanyaku akhirnya, aku tidak tahan diperhatikan Yosi.
“kamu sembab lagi.. nangis lagi??”
“sok tau kamu, aku tadi malam gak bisa tidur” bohongku lagi.
“masa sih?? Kenapa coba kamu gak bisa tidur?”
“kepo..”
“hiiiiiih… ohh yaa.. umm maaf semalam aku gak bisa datang ke acara tahlilan ibumu yaa, maaf banget..”
“jahaaaaaat kamu mah..” jawabku ngambek.
“bukannya aku jahat Yas, kamu tau sendiri kan ayahku lagi sakit”
“ahahaaaa iyaa kok aku tau, sudah… gak usah di bahas lagi.. sepulang sekolah aku kerumahmu yaa sekalian aku mau liat ayahmu”
“…oke-oke”
**
Waktu menunjukkan pukul 9.50 itu artinya 10 menit lagi adalah waktu yang di nanti-nanti para siswa-siswi kelas 11.1 (waktu istirahat).
“ohh yaa Yas, kamu ikut acara musik tahunan kan?” tanya Yosi sambil menyatat tulisan bu Indri di papan tulis.
“aku panita.. mana mungkin ikut acara itu” jawabku. Karena aku ditunjuk sebagai panitia oleh kepala sekolah.
“jadi, panitia beneran gak boleh ikut acara itu?” aku jawab dengan menganggukan kepalaku.
“yaaah.. sayang banget, padahal suara kamu bagus”
“lagipula aku gak bersemangat ikut acara seperti itu” jawabku.
“loooh… kenapa?”
“entahlah Yos, aku juga gak tau” spontan aku terkejut saat tangan Yosi menepuk pundakku.
“kamu masih memikirkan mendiang ibumu bukan?” aku terdiam sejenak, Yosi terus saja memperhatikanku hingga aku mengangguk lemah.
“…. Karna besok minggu, gimana kalau kita jalan-jalan kepantai?”
“buat apa kepantai?” tanyaku.
“biar otakmu seger… aku gak mau kamu selalu kepikiran yang seharusnya gak perlu dipikirin lagi” ucapnya membuatku tertegun. Aku seperti terkena shok terapi..
“…….. sangat sulit rasanya aku melupakannya Yos” Yosi kembali menepuk pundakku lagi bahkan mengusap lembut pundakku memberi sengatan penyemangat agar aku kuat, agar aku bisa melupakan kesedihanku.. aku tidak tahu sengatan ini hanya sesaat atau tidak.
*kringgggggggg*
“oke anak-anak… sampai jumpa minggu depan dan ingat! Persiapkan diri kalian untuk ujian semester 1!
“iyaaaaaa buu……”
Dan tibalah saatnya waktu istirahat, saat aku dan Yosi keluar berbarengan rupanya Elisa telah menunggu di depan kelas kami, kami dan Elisa tidak sekelas (Elisa berada di kelas 11.2). Seperti biasa kami hanya mengangguk seruan Elisa memilih kantin yang akan kami kunjungi, Elisa kali ini memilih kantin bakso entah atas dasar apa Elisa memilih kantin bakso.
“gak takut gendut El?” tanya Yosi memastikan.
“gak… body aku sudah terjaga dengan baik..”
“pesan gih…” sambung Elisa.
“biar aku saja” jawabku.
Aku berdiri lalu menghampiri penjual bakso kantin ini, aku juga tahu apa saja yang teman-temanku sukai dari menu bakso contohnya Elisa tidak suka dengan sayur kol, jadi di dalam mangkuk Elisa tidak ada yang namanya sayur kol sedangkan Yosi tidak suka adanya bawang goreng, Yosi bilang bawang goreng adalah peyebab dari bau mulut ahahaaa hal itu cukup membuatku tersenyum seperti orang gila memesan bakso dan yang terakhir adalah minuman, kalau minuman kami selalu memesan dengan minuman yang sama jadi aku memutuskan tuk memesan es teh saja. ketika aku hendak menuju bangku kantin, ada seorang yang menghalangiku berdiri di depanku, aku mengenal jelas orang tersebut.. dia adalah lelaki pagi tadi yang aku sendiri salah memeluknya.
‘rupanya dia bersekolah di sini juga’
“hai… kita ketemu lagi” kata dia.
Aku memilih menghindar namun tetap saja iaa berusaha menghalangiku, kulihat Yosi berdiri dari duduknya lalu menghampiri kami.
“maaaf bro.. ada apa?” tanya Yosi yang sudah dekat dengan kami berdiri.
“…. Temenmu?” tanya lelaki itu menunjukku Yosi mengangguk.
“Iyas… duduk gih” pinta Yosi.. aku mengikuti perintah Yosi lalu duduk berhadapan dengan Elisa.
“Siapa sih dia Yas??” tanya Elisa berbisik.
“aku juga tidak tahu” jawabku berbohong lagi.
Kami menoleh ke arah mereka berdua, mereka berdua terlihat sedang membicarakan sesuatu entah itu apa setelah itu Yosi sudah selesai dengan obrolan bersama lelaki itu lalu menghampiri kami.
“sebaiknya kamu langsung berbicara dengan Iyas” kata Yosi berdiri di belakangku, lelaki itu memilih duduk bersebelahan dengan Elisa. Elisa sendiri merasa enggan dekat dengan orang yang iaa tidak kenal.
“…aku minta maaf atas apa yang aku katakan pagi tadi…” ujar lelaki itu.
“…aku tidak sengaja mengatakan itu” sambungnya membuat Elisa memperhatikan aku dan lelaki itu secara bergantian.
“seharusnya aku menghiburmu saat pagi tadi kamu menangis, aku justru mengatakan hal yang bodoh membuatmu marah, aku minta maaf”
‘seharusnya aku yang meminta maaf karena aku telah memeluknya tanpa permisi’ batinku.
“kamu memaafkanku bukan?” ujar lelaki itu, aku menjawab dengan anggukan kepala.
“tentu” kataku akhirnya. Terlihat setelah itu senyum lelaki itu mengembang dengan lebarnya memperlihatkan giginya yang rapi dengan hiasan lekukan di bagian pipinya (lesung pipi)
“terimakasih….” Kata laki-laki itu.
“perkenalkan… namaku Fahri Ramdhan” ujarnya menjulurkan tangan.
“namaku Iyas Satria Kunawin” jawabku berjabat tangan dengannya.. iaa terlihat bahagia ketika aku mengucapkan kata ‘Kunawin’.
“baikah… aku permisi dulu” pamit Fahri.
“silahkan..” kataku.
“…tadi katanya gak tau siapa laki-laki itu.. tapi kenapa dia sampe minta maaf gitu yaa??” celetuk Elisa di saat aku memperhatikan Fahri pergi.
“kamu tidak dengar kami baru kenalan?? Aku benar-benar tidak tahu siapa dia tadi” jawabku.
“terus… kenapa dia minta maaf? Ohh yaa satu lagi, dia tadi bilang kalau kamu menangis? Ohhh jadi itu penyebabnya mata kamu sembab sekarang… ohh begitu.!!”
“i—iyaaa begitu…” jawabku kikuk.
“maka dari itu besok aku mengajak Iyas pergi jalan-jalan kepantai suapaya Iyas lebih segar dari hari ini..” kata Yosi duduk disampingku.
“…kepantai? Bareng Iyas? Terus aku gak di ajak gitu??” kata Elisa tak terima.
“gimana yaa El.. masa iya kita bemotor bonceng 3, kan gak mungkin.. kamu mau di tengah-tengah kami”
“stooooooppppp!!! Ok… terserah kalian deh mau kemana” ujar Elisa cukup bete dengan wajah kusutnya membuat aku terkekeh.
Untuk saat ini aku lebih bahagia dibandingkan pagi tadi yang cukup suram, aku banyak mengobrol, tertawa bersama dengan kedua teman dekatku ini. Aku bersyukur sekali mengenal Elisa dan Yosi, karena hanya mereka yang selalu ada untukku. Menyemangatiku, memelukku jika aku sedih, menemaniku tidur di siang hari seperti ibuku menemani tidur malamku. Aku sayang mereka dan aku berharap persahabatan kami terus berlangsung hingga tua nanti.. aku sangat mengharapkan hal itu.
@lulu_75 @awi_12345
Belum ada aroma gaynya.. happy reading beib~
Bagian IV
Iyas POV
Aku bangun dari tidurku tepat di pukul 8.12 pagi, sesuai dengan janji Yosi kemarin, Yosi akan menjemputku pukul 10 pagi karena aku yang memintanya. Aku sebenarnya tidak suka jalan-jalan keluar rumah tapi karena Yosi akan membawaku ke pantai akhirnya aku menyetujui ajakannya terlebih lagi ayah tidak ada dirumah di pagi minggu yang cerah ini. Biasanya ayah melakukan apa yang iaa lakukan sama seperti kebiasaan mendiang ibu.. yaaa… membangunkanku dari tidur di hari minggu atau hari libur dari pekerjaannya. Aku sangat menyukai seseorang yang membangunkanku, itu artinya iaa peduli terhadapku hanya saja aku tidak menyukai jika yang membangunkanku adalah tante Tia (kembaran mendiang ibu) aneh sekali pikirku. Daripada aku memikirkan itu lebih baik aku melakukan aktifitas pagi mingguku yaitu lari-lari kecil mengelilingi komplek perumahan.
Aku beranjak dari ranjang menuju pintu kamar tuk keluar, aku tidak mendengar adanya suara tante Tia membangunkanku ataukah iaa membangunkanku tetapi aku tak mendengarnya. Aku memegang ganggang pintu dan siap membukanya, tepat aku membuka pintu dimana ada seorang lelaki berdiri didepanku, aku sedikit terkejut melihatnya tiba-tiba di depan pintu kamarku dan lelaki itu adalah….
“kamu…..” kataku spontan terkejut.
“maaf kak… aku telat membangunkan kakak”
‘bukankah kemarin iaa memanggilku dengan sebutan mas? Kenapa sekarang memanggilku kakak?” batinku memperhatikan iaa memakai T-shirt lengan pendek nampak sebuah bundaran hitam kecil di lengan kanannya (tahi lalat)
“bukannya kamu yang kemarin kekamarku juga??” tanyaku memastikan.
“iyaa kak itu aku” jawabnya ramah.
“lalu… kamu juga yang berada di rumah sakit itu kan bersama dengan wanita yang bernama Andin?” tanyaku lagi memastikan karena aku sedikit ragu, aku ragu kalau aku sudah sadar dari tidurku.
“iyaa kak benar itu aku bersama mamaku kak” jawabnya tersenyum ramah.
‘jadi wanita itu ibunya.. muda sekali’ pikirku.
“maaf kak aku telat membangunkan kakak” ucapnya membuatku tersadar dari membayangkan wajah ibunya.
“kenapa kamu yang membangunkanku? Kenapa kamu ada disini sepagi ini? Siapa yang menyuruhmu
membangunkanku? Sebenarnya siapa kamu?? Dan siapa mamamu itu dan kau?!! aku tidak mengenal kalian berdua!!” ucapku membanjiri pertanyaan padanya dengan kata terakhir yang cukup pedas ku ucapkan.
“……..s-saya…sa-saya.. saya adalah anak dari mama Andin, mama saya adalah sekertaris pak Kunawin” jawabnya menunduk. Ucapan terakhirnya membuat ku tercengang.. sejak kapan ayah mempunyai sekertaris cantik dan semuda itu? aku tak pernah melihat wanita itu semenjak ibu masih hidup.
“kau serius??” kau tidak berbohong kan??!” tanyaku sedikit menggertak.
“i—iyaa saya tidak bohong kak..” ujarnya yang terus menunduk. Kemudian aku mengambil nafas panjang sejenak.
“… sedang apa kamu kemari??” tanyaku dengan suara kembali ramah.
“membangunkan kakak..” ujarnya lagi. Kalimat itu membuatku gemas.
“maksudku.. kenapa kamu kemari? Kerumahku sepagi ini?”
“…umm..kebetulan tante Tia lah yang menyuruhku kemari tuk membangunkan kakak”
“maksud kamu??” tanyaku tak mengerti mendengar perkataannya yang ambigu.
“tante Tia bersama mamaku keluar sejak pagi tadi kak, jadi saya di perintahkan tante Tia tuk tetap di rumah ini dan menyuruh saya membangunkan kakak”
Aku masih saja tidak mengerti dari perkataannya yang baru saja terucap dari bibirnya, aku memilih berjalan lurus mengacuhkannya karena aku benar-benar tidak suka mendengarkan nada bicaranya yang terlalu sopan nan polos bahkan memanggil dengan sebutan ‘kakak’
‘apakah aku setua itu di panggil panggil kak’ gumamku.
Terus saja aku melangkahkan kaki hingga menuruni anak tangga yang berputar dan sampailah diriku di ruang tengah. Rumahku saat ini terlihat sepi sekali, biasanya jikalau waktu minggu pagi ini ibu selalu berada di ruang tengah bersama dengan beberapa tetangga melakukan ritual paginya menonton acara gossip bersama, namun sekarang.. ruang tengah sangatlah sepi. Aku mengelus-elus dari ujung kiri sofa sampai ke ujung kanan sofa dengan perasaan yang cukup sedih membuat segelintir air mata kembali menetes. Niatan lari pagiku sirna karena aku kembali bersedih.
“kakak…” suara itu terdengar lagi di telingaku.
“kak… jangan sedih” ujarnya tiba-tiba berada di depanku berbataskan dengan sofa.
“…apa aku terlihat sedih?” ujarku konyol.
“iyaa.. di sudut mata kakak ter…”
“kamu memperhatikanku rupanya” potongku. Lalu aku duduk di sofa mendaratkan punggungku di sandaran sofa, lelaki yang tak kukenal ikut duduk di sofa bersebelahan denganku.
“s—saya turut berduka atas me..”
“cukup!!” potongku. Iaa terkejut.
“m-maaf” ujarnya pelan. Sangat pelan sekali iaa mengucapkan kata maaf.
“ngomong-ngomong kita belum kenalan, nama kamu siapa?” tanyaku sembari menoleh ke dia memperhatikan dia dari samping, memperhatikan bibirnya yang sedikit terbuka lalu dia menoleh ke arahku.
“namaku Ewinandra Aditya, panggil saja aku Ewin” jawabnya tersenyum simpul. Jika dia tersenyum matanya terlihat menyipit. Baru saja aku sedikit membuka mulut tuk memberitahu namaku, dengan lihainya bibirnya mengucapkan nama lengkapku.
“kamu tau nama lenggkapku?! Darimana kamu tau??” aku cukup terkejut dibuatnya mengetahui nama lengkapku, aku sama sekali tidak mengenalnya, aku saja baru tahu namanya adalah Ewin.
Iaa tertawa kecil seperti menghina..
“.. aku sering melihat nama lengkapmu di foto” jawabnya. Kali ini dia menyebut dirinya dengan kata ‘aku’ lagi padahal sebelumnya dia menyebut dirinya ‘saya’. LABIL!!
“foto?? foto apa?”
“tentu fotomu.. fotomu di pajang di dinding di ruangan pak Kunawin dan bertuliskan nama lengkapmu di bawahnya” ujarnya ramah tamah.
“benarkah!” kataku terkejut tak percaya. Sudah lama juga aku tidak mengunjungi ayah di kantor karena memang aku tak ada niatan sedikitpun kesana untuk beberapa bulan terakhir.
“iya kak itu benar..” sahutnya dengan senyum simpul ‘lagi’.
Aku menghela nafas sejenak melihatnya yang berkali-kali tersenyum ramah padaku, sebenarnya aku tidak masalah dengan senyuman yang terpampang di wajahnya hanya saja yang menjadi masalah adalah iaa memanggilku dengan sebutan ‘kakak’ Aku sedikit tidak menyukai panggilan itu! Iaa seperti menghinaku saja.
Aku beranjak dari sofa ruang tengah menuju ke kamarku lantai dua tuk melaksakan ritual mandiku, aku pikir iaa akan mengikutiku dari belakang namun iaa tetap saja duduk di sofa bahkan setelah aku mandi wangi dan rapi langsung kebawah pun iaa masih menetap di sofa.
“sedang apa kamu berdiam diri di situ hah??!” tanyaku dengan nada lantang dan iaa berbalik.
“menunggu kakak..” jawabnya. Aku menghampirinya duduk bersebelahan lagi.
“bisakah kamu berhenti memanggilku kakak!” pintaku tegas. Iaa mungkin kaget mendengar nadaku bicara.
“m-maaf..” jawabnya menunduk ‘lagi’.
“….aku kejam ya??” ucapan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir. Pertanyaan konyol!
“t—tidak.. tidak kejam kok” sahutnya tetap menunduk.
“…ahhh.. lupakan dah yang tadi.. ngomong-ngomong tante Tia pergi kemana??”
“aku tidak tahu” jawabnya masih menunduk.
“ohhh begitu…” ujarku kemudian beranjak ke dapur tuk melihat makanan yang sudah tersaji untukku sarapan.
‘ayam asam manis lagi!’ batinku membuka penutup wajan.
“hei.. kamu, siapa namamu tadi? Ewin!! Cepat kesini..” ujarku sedikit berteriak. Iaa langsung cekatan menghampiriku.
“ada apa??..”
“kamu bisa masak??” tanyaku.
“…sedikit, tapi.. bukannya tante sudah membuat masakan kesukaan ka—mu?”
“aku gak selera makan ayam asam manis..” ujarku. Karena aku benar-benar eneg makan ayam asam manis hampir setiap hari.
“kamu bisa masak apa?” selorohku sambil duduk di kursi meja makan.
“aku… aku bisa memasak nasi goreng” sahutnya memperhatikanku.
“yasudah, buatkan aku itu!” pintaku.
“tapi… aku takut kalau kamu akan muntah memakan masakanku” ucapan itu membuatku tertawa. Begitu tidak enaknya kah masakan yang iaa buat haha.
“jangan banyak alasan.. cepat buatkan aku nasi goreng”
“oke.. baiklah” sahutnya lesu.
Pertama-tama aku memberitahu iaa dengan seluk-beluk peralatan dapur di rumahku mulai dari pisau, talenan, mangkuk, sendok, garpu, bumbu dapur, garam, gula dan lainnya.
“ohh yaa.. cabe, tomat, kecap sama saus ada di kulkas, kamu buka aja kulkas itu” ujarku menunjuk kulkas.
“aku menunggu di ruang tengah” selorohku pergi.. aku tidak tahu reaksi apa yang iaa keluarkan karena aku tidak melihatnya, mungkin saja iaa sedikit cemberut atau mungkin iaa malah tersenyum simpul ‘lagi’ seperti biasanya.
Cukup lama aku menunggunya membuat nasi goreng untukku tapi itu tidak masalah asalkan masakan yang iaa buat enak dan membuatku kenyang hehe. Aku sebenarnya heran dengan sifat dia yang begitu lugu dan polos seperti anak SD yang dengan mudahnya di suruh-suruh. Aneh sekali pikirku.. ataukah dia terbiasa di perintah orang seperti itu? meskipun aku baru mengenalnya tapi dengan sangat yakin aku menganggap sifat dia seperti anak SD. Tidak lama aku mulai mencium aroma-aroma nasi goreng yang begitu khas, dari aromanya dapat dikatakan enak menggugah selera.
“wihhh… kelihatannya enak nih” aku menyambarnya di dapur melihat nasi goreng yang sudah iaa taruh di atas piring lengkap dengan sayur, sosis dan telur. Iaa menanggapi dengan tawa ringannya.
“…semoga saja enak” ujarnya menaruh piring nasi goreng di atas meja makan.
“bagaimana?? Apa ini sesuai dengan porsi kamu makan?” selorohnya mengambil garpu dan sendok. Kemudian aku duduk di kursi, ku hirup aroma nasi goreng yang wangi menggugah selera.
“sesuai saja…” jawabku sembari menerima garpu dan sendok yang dia ambil.
“kamu sudah makan??” tanyaku sembari menyuap sesendok nasi goreng. Ummm.. nasi gorengnya lumayan enak, dari rasa maupun tekstur pas hanya saja sedikit asin. Aku benci asin!
“aku sudah.” Jawabnya singkat memperhatikanku makan. Diaa sedikit heran melihatku banyak minum.
“rasa nasi gorengnya aneh yaa??” ujarnya di akhiri dengan nyengir kuda.
“…tidak juga.. cuman sedikit asin” jawabku. Iaa garuk-garuk kepala.
“jam berapa sekarang??” tanyaku. Iaa merespond dengan melihat jam di ruang tengah.
“jam 9 lewat 35” aku mengangguk menanggapi.
Hening….
Hening….
Hening….
Hingga aku selesai makan..
“makasih yaa” kataku. Tidak sopan sekali kalau aku tidak mengucapkan terimakasih padanya yang sudah mau mengorbankan waktu tuk membuat nasi goreng (ASIN). Lidahku serasa aneh ketika selesai makan apalagi perutku, terlihat buncit karena minum terlalu banyak.
“iyaa termikasih kembali” jawabnya.
*ting nooong*
‘itu pasti Yosi’ pikirku. Aku melangkahkan kaki ke ruang tamu, ku mengintip di jendela sekilas tuk memastikan itu benar-benar Yosi dan memang benar Yosi yang datang kemudian aku membuka pintu.
“cepet banget datang…” ujarku dengan jarak beberapa senti darinya. Ku memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung kepala benar-benar iaa siap pergi kepantai, dengan memakai sandal slides berwarna biru kehitam-hitaman, celana pendek bergaris di kiri dan kaos berwarna putih polos.
“yaah.. entar kalau misalkan aku telat di omelin lagi” aku terkekeh mendengar perkataannya. Aku memang suka memarahi seseorang jika orang itu lambat tidak sesuai dengan janji (jam karet)
“masuk dulu gih..” ujarku menyilahkan Yosi masuk.
“perutmu kenapa jadi buncit begitu??” ujar Yosi memperhatikan perutku yang membuncit. Aku malu..
“berhenti liat perutku..!!”
“lagi pula aku baru aja selesai makan..” selorohku menutup pintu rumah lalu menguncinya.
“makan berapa piring sih??” tanya Yosi. Rasanya aku hendak melemparkan vas bunga yang tertata rapi di atas meja ruang tengah.
“ckkkk… banyak tanya..” jawabku. Yosi terkejut saat melengah ke dapur, aku juga ikut terkejut karena aku di belakangnya.
“hiiih!! Ada apa!”
“siapa tuh yang di dapur??”
“siapa?? Orang?”
“ya iyaa lah.. masa iya hantu”
“…dia sepupuku..” jawabku berbohong. Aku tidak enak jika berterus terang dengan Yosi kalau misalkan cowok di dapur adalah anak dari sekertaris ayahku.
“ehh?? yang benar??”
“iyaa.. kamu tunggu di sini yaa..” perintahku.
**
Untung saja di saat kami hendak berpergian, tante Tia dan ibunya Ewin tiba terlebih dulu di rumah sehingga rumah tidak di tinggalkan dalam keadaan kosong, kalian tahu sendiri kan zaman sekarang rawan sekali yang namanya maling! Beberapa hari yang lalu, komplek di perumahan Green Resident bertepatan di blok B telah terjadi kemalingan di rumah yang cukup mengundang para maling karena rumah itu memang terbilang mewah di perumahan Green Resident, untung saja tidak ada korban jiwa di peristiwa itu karena rumah di tinggalkan dalam keadaan kosong, untuk itu aku tidak mau meninggalkan rumah dalam keadaan kosong meskipun rumah kami tidak terlihat mewah nan megah namun dari segi prabotan ataupun fasilitas rumah kami cukup di katakan dapat mengundang adanya maling.
Rencana kami pergi ke pantai bersama Yosi bertambah jumlah, yang tadinya rencana itu hanya aku dan Yosi, sekarang bertambah jumlah menjadi 4 orang. Aku, Yosi, Elisa dan Ewin.. tante Tia lah yang menyuruhku tuk membawa Ewin pergi bersama teman-temanku dan Elisa muncul di saat kami hendak berangkat meluncur ke pantai. Pantai adalah salah satu tempat favoritku tuk bersenang-senang salah satunya bermain pasir, mencari siput, bermain layangan, bermain banana boot dan yang terakhir adalah bermain gitar di bawah pepohonan atau di bawah terik matahari tepi pantai.
“ohh iyaa.. kita belum kenalan, namamu siapa??” ujar Elisa antusias ingin berkenalan dengan Ewin. Aku akui.. Ewin memiliki wajah yang tampan, wanita manapun akan tertarik dengannya bahkan ratu pilih-pilih lelaki ini sepertinya menyukai Ewin.
“namaku Ewinandra Aditya.. salam kenal, namamu??”
“aku Elisa Arrinda, salam kenal” jawab Elisa begitu riang.
“Yas… kenapa kamu gak kasih tau aku sih kalau kamu punya sepupu begini??” bisik Elisa.
“memang kenapa??” tanyaku pelan.
“…cakep tauk…”
Harga diri Elisa mulai runtuh saat berkenalan dengan Ewin, Elisa dengan tiada malunya mengedipkan mata pada Ewin. Aku merinding melihat apa yang aku lihat sekitar beberapa menit yang lalu, begitu pula dengan Yosi..
“aku pikir Elisa cewek yang tinggi harga dirinya.. ehh ternyata.. yang tadi..” bisik Yosi padaku. Aku terkekeh mendengarnya.
Aku memainkan gitar kepunyaan Elisa, memainkan lagu-lagu akustik sembari melihat hembusan ombak pantai, meskipun cuaca hari ini cukup terik tak membuatku berkeringat ataupun kepanasan duduk di atas pasir. Ku lihat Yosi, Elisa dan Ewin sedang asyiknya bermain air di tepi pantai. Kupikir dengan sifat polosnya ataupun keluguannya akan mempengaruhi caranya dia berteman atau berbaur dengan orang baru, namun apa yang aku pikirkan itu salah, dengan cepatnya Ewin berbaur dengan teman-teman dekatku itu, Ewin seperti mengenal mereka begitu lama bahkan Ewin dengan kepolosannya mampu membuat Elisa sedikit luntur.
Hari minggu yang cukup menggembirakan bagiku.. melihat teman dekatku tertawa bersama orang baru yang kami kenal.. melihat mereka bertiga tertawa bersama di bawah teriknya matahari. Ber-angsur-angsur aku bisa melupakan mendiang ibu kandungku.. tidak mungkin rasanya aku selalu memikirkannya.. apa yang dikatakan Elisa benar. Aku harus bisa melupakan mendiang ibu, tidak berada dalam ruang lingkup suram nan menyedihkan selalu membanyangkannya bersamaku. Aku harus ikhlas.. ikhlas dalam artian kepergian ibu. Aku harus ikhlas! Dan itu harus.. atau tidak ibu akan menangis melihatku dalam kesedihan.. terimakasih Elisa, Yosi dan Ewin.. aku bahagia hari ini.
@lulu_75 @awi_12345 @Aurora_69
Jangan lupa lanjutkan "YOU" nya ya