It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
boleh di mention juga ya kalau update.
oh ya boleh kritik dikit ya
"Beberapa meter dari Handika dan Iyas berpelukan, seorang ibu berkisaran umur 24 tahun di iringi dengan seorang laki-laki berkisaran umur 15 tahun tengah berjalan menghampiri mereka"
ibunya 24 anaknya 15 tahun apa gak janggal tu, mungkin maksudnya 34 kali ya.
Belum ada aroma gaynya.. hehe.. happy reading beib~
Bagian V
Iyas POV
Ahhhh…. Begitu segarnya air bak mandi di kamar mandiku ini serasa mandi dengan air pegunungan saja. Setelah mandi aku mengelap dan mengeringkan tubuhku yang basah menggunakan handuk, kemudian keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang tanpa sehelai benang, itu salah satu kebiasaanku setelah mandi, bercermin melihat tubuhku yang telanjang, merapikan rambut yang sedikit basah lalu membuka lemari mencari seragam putih abu-abu.
‘benar juga.. hari ini hari senin, dasiku kemana yaa??’ batinku saat sudah mengenakan seragam sekolah dengan rapi. Aku kemudian membuka laci meja cerminku hasilnya nihil dasiku tak ada didalam laci.
‘haduuuuh… kemana yaa dasiku’ pikirku garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Aku sudah mencari kemana-mana namun tetap saja tidak menemukan dasi abu-abu yang berlambangkan logo sekolahku itu. Sepertinya tidak ada jalan lain selain meminjam dasi ke Yosi.
“haloo.. Yosi..”
“iyaa Iyas.. kenapa?”
“kamu masih ada stok dasi gak?” tanyaku sambil menggigit bawah bibirku menunggu jawaban Yosi yang cukup lama membuatku membayangkan betapa kejamnya penyiksaan guru piket jika salah satu muridnya tidak menggunakan dasi di hari senin.
“hilang lagi nih??” bukan itu jawaban yang aku harapkan Yosi!!
“ada sih… tapi gak ada lambang sekolah, gimana dong?” sambungnya. Sial!!
“serius Yosi.. aku gak mau main-main”
“emang kamu pikir aku main-main begitu?? Aku serius Iyas”
“terus bagaimana nih.. kamu gak mungkin kan bantu meloloskan aku lagi dari kejamnya pak Bahar”
“yaaah begitu kira-kira.. karena aku sudah meloloskan kamu 2 kali dari pak Bahar”
“suruh siapa gitu temanmu atau anggota osis lainnya bantu aku atau tanyakan ke mereka apa mereka punya dasi lagi atau gak” pintaku memohon.
“…hmmm iyaa, aku tanyain mereka.. tapi kalau gak ada lebih baik kamu gak usah turun aja”
“enak aja! Aku hari ini ada kegiatan club musik!” …………tuuuuuuuuut………
“halooo… haloooo….” Sial! pasti pulsaku habis.
Aku benar-benar kacau pagi ini.. panik tanpa adanya dasi yang melingkar di sela-sela kerah baju sekolahku. Aku melihat jam dinding di ruang tengah, jarum panjang berada di angka 6 itu artinya masih banyak waktu tuk mencari dasi. Aku sebaiknya bergegas kesekolah saja sebelum jarum panjang berada di angka 12. Aku kembali ke kamar mengambil beberapa buku pelajaran hari ini lalu memasukannya ke dalam tas dan mengambil topi abu-abu yang tergeletak di atas meja tidur. Aku tergesa-gesa menuruni anak tangga kemudian ke dapur tuk mengambil roti tuk mengisi perutku yang kosong namun ada selembar kertas yang tertempel di dinding kulkas. Aku mengambilnya lalu membacanya.
‘Iyas… maaf tante pergi mendadak tanpa memberitahu Iyas secara langsung, tante kembali pulang kerumah karena suami tante sudah selesai tugas di luar kota, maaf tante tidak memberikan yang terbaik untuk Iyas, tante seringkali membuat Iyas marah dan membuat Iyas jenuh berlama-lama di rumah dan juga tante sangat meminta maaf jika masakan tante tidak seenak masakan ibu kamu.. hanya ini lah yang dapat tante berikan tuk menemanimu Iyas.. tante sayang Iyas… #LOVEDIYAS’
‘tante juga pergi…’ lirihku setelah membaca tulisan tante. Benar-benar tidak ada yang menyayangiku sekarang. Semua berubah setelah ibu wafat!
Aku memilih mengucek-ngucek kertas itu lalu merobek-robeknya membiarkan robekan itu jatuh ke lantai.
‘sialaaaaaaannnn!!!!!’ umpatku berteriak emosi.
“Iyaaaassssss!!!!” telingaku mendengar seseorang berteriak memanggil namaku. Suara berasal dari arah luar rumah.
Secepat mungkin aku bergerak ke luar rumah tuk memastikan siapa yang berteriak memanggilku. Fahri…
“kamu kenapa Iyas?? Kenapa kamu berteriak??” tanya Fahri. Wajahnya terilhat khawatir, apa dia benar-benar khawatir.
“..kapan aku teriak?” tanyaku.
“barusan aja, kamu teriak dengan lantang banget sampe kedengaran di luar pagar” begitu kerasnya kah suaraku?
“kenapa kamu kenapa??” Fahri bertanya lagi.
“aku tidak apa-apa” sekenaku bohong. Lalu Fahri memperhatikanku di bagian bawah kerah seragamku.
“dasi??”
“ehh… ohh iyaa kamu ada dasi lebih?” sadarku dari kata Fahri.
“ada, tapi dirumah…” jawabnya.
“kamu gak ada dasi?” sambungnya. Aku mengangguk.
“tunggu di sini… aku ambilkan dasiku…”
“tapi, dasinya ada logo sekolah kan?”
“ada kok.. tunggu yaa” sahutnya lalu pergi aku pun menunggu duduk di kursi besi teras.
Ku pikir Fahri bakal lama mengambil dasi dirumahnya ternyata hanya hitungan menit saja dia sudah kembali dan sekarang menggengam dasi siap memberikannya padaku.
“bisa buat dasi kan??” tanya Fahri. Dasinya belum berbentuk, masih berantakan.
“hehee..” aku hanya nyengir menanggapi.
“ohh gak bisa.. ntar aku buat”
Ku memperhatikan Fahri membuat dasi dengan lihainya, aku malu sekali rasanya karena di umurku yang sekarang ini masih belum bisa membuat pola dasi.
“niiih..” ujarnya selesai membuat pola dasi dan memberikannya padaku.
“makasih” kataku sopan.
“berangkat sekolah bareng yuuuk” ajak Fahri. Tentu aku tidak menolak, lagipula aku tidak punya teman yang sejalur berjalan kaki menuju sekolah. yaaa.. jarak sekolah dengan tempat tinggalku sangat dekat sehingga aku tidak perlu memakai motor. Sekolahku tepat di depan jalur keluar perumahan Green Resident.
**
Tidak ada pembicaraan yang berarti selama aku pergi sekolah berbarengan dengan Fahri. Kami terpisah jalur di saat kami berada di lobby sekolah.
“kelasmu di mana??” tanyaku sebelum berpisah.
“kelasku di lantai 2 gedung C” jawabnya. Lalu aku memperhatikan bet yang melekat di seragamnya.
“kamu… kamu kelas 12.2…” kataku cukup terkejut memperhatikan bet kelas yang menempel di bajunya.
“heheee iyaa aku kelas 12” sahutnya nyengir lebar. Ternyata Fahri kakak kelasku.
“…seharusnya aku memanggil kakak yaa” kataku menyadari bahwa dia lebih tua dariku.
“ahhhh… jangan begitu, aku gak suka di panggil kakak, emangnya aku tua banget apa”
“jadi aku manggil…”
“panggil nama aja atau panggil kamu aja, simple” potongnya.
“o—oke”
“udah yaa.. aku mau kekelas.. aku belum ngerjain tugas.. bye” selorohnya pergi. Dasar! Mengerjakan tugas sekolah di sekolah bukannya di rumah.
‘sedari tadi aku gak memperhatikan betnya.. aku justru memperhatikan wajahnya, aneh sekali’ batinku.
“woooooyyyy!!”
“babikkkkkk!!!” kejutku. Sialan.. Yosi.. untung saja keadaan sekolah masih lenggang guru-guru.
“ahahahaaaaaa.. latahnya babik rupanya” ujar Yosi tertawa puas.
“itu kaget bukan latah” aku menyangkal. Yosi tertawa puas namun ada sedikit perbedaan Yosi di pagi ini.. Yosi behitam
“kenapa kamu ketawa-ketawa!!” ujarnya.
“ahahaaaaahhaa kamu be item hahahaa” ledekku.
“kampreeet kamu yaaa… ini kan karena kepantai kemaren”
“siapa suruh gak pake sunblock”
“kayak cewek aja pakai sunblock” aku merasa tersendir mendengar perkataannya menekankan kata ‘cewek’.
“kampreeet luuuu!” ujarku.
“loooh.. itu kamu ada dasi, bilangnya gak ada.. senang banget yaa buat temannya panik!” ujar Yosi memperhatikan dasiku yang melingkar di kerah.
“heheee.. ini aku di pinjamkan sama orang” jawabku.
“orang?? Siapa?” tanya Yosi gesit.
“ituh.. yang kemaren..”
“Ewin?” terka Yosi.
“emangnya dia sekolah di sini! Bukan dia..” kataku.
“oohhhh… Fahri..” jawabnya. Aku mengangguk.
“kamu harus berterima kasih ke dia…” ujarnya menepuk bahu kananku.
“aku sudah berterimakasih ke dia Yos..” balasku.
“cuman bilang ‘makasih’ begitu?” aku mengangguk.
“anak TK juga bisa begitu Iyas” selorohnya mendekat berada di samping merangkul bahuku.
“lalu aku harus bagaimana?” tanyaku tak mengerti maksud Yosi.
“ajak dia jalan-jalan gitu.. atau paling gak traktir dia di kantin sekolah”
“haruskah begitu?” tanyaku.
“yaa kira-kira begitu.. kalau kamu gak pakai dasi hari ini, bisa kamu bayangkan bukan saat pak Bahar…”
“ooohhh iyaa yaaa Yosi.. aku tau” potongku. Aku benar-benar tidak ingin mengingat betapa pedihnya saat aku tidak memakai dasi sekitar beberapa bulan yang lalu.
“kalau begitu aku harus mentraktirnya yaa Yos..” Yosi mengangguk.
“sekalian dengan orang yang di sebelahmu yaa” ujarnya.
“TIDAK AKAN!!” kataku lantang pergi meninggalkan Yosi memanggil-manggil namaku.
**
Jenuh sekali rasanya aku menghadapi pelajaran Kimia hari ini di tambah lagi melihat sang pengajar berbadan besar dengan kumis yang melintang dengan kacamata bundarnya. Pak Bahri terkenal dengan guru killer di sekolah, selain fisiknya yang mendukung suaranya pun juga ikut mendukung menambah kesan angker nan teramat seram jika di dekatnya terutama ketika marah akibat salah satu muridnya tidak mengumpulkan tugas.
*took took*
Terdengar suara pintu kelas ada yang mengetok, berani sekali orang itu mengetuk pintu disaat pelajaran pak Bahri. Ku lihat pak Bahri beranjak dari menulisnya di papan tulis lalu membuka sedikit pintu kelas.
“ada apaaa…” kata pak Bahri begitu menggelegar. Dari jarak kami duduk saja terdengar dengan sangat jelas apa yang pak Bahri ucapkan.
“KUNAWIN!!” ujar pak Bahri keras memanggil nama akhirku.
“i—iyaa p—p-paak” ujarku terbata-bata takut.
“silahkan kamu keluar…” ujar pak Bahri memperhatikanku.
“p-paak s—saya tidak ada melakukan kesalahan.. hari ini tidak ada tugas yang harus di kumpul ke bapak.. kenapa bapak menyuruh saya keluar??” ujarku dengan nyali makin ciut.
“….Rangga mencari kamu..” sahut pak Bahri membuka lebar pintu kelas.
Sesisi kelas seperti suara tikus yang sedang berdecit karena menahan tawanya setelah mendengar perkataan pak Bahri.
“DIAM KALIAN SEMUA!”
“Yas… cepat sana.. kamu keluar.. entar makin marah looh pak Bahri” ujar teman sebangku ku (Yosi)
“i—iyaa ini ak-aku mau keluar” sahutku.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat kemudian mengucapkan kata permisi saat melewati pak Bahri dan menutup pintu kelas.
“kak…”
Aku terkejut bukan main saat Rangga memanggil namaku dengan memegang tangan kiriku.
“a-ada apa Rangga?” kataku masih terbata-bata.
“kakak lupa kalau kita akan mengadakan sesi temu di ruangan bersama para pendaftar acara musik??” ujarnya memperhatikanku.
“….ohhh iyaa.. sekarang?” kataku.
“jelas sekarang kakak… kita nungguin kakak looh dari tadi..”
“aku izin dulu ke pak Bahri..”
“adik udah bilang ke bapak besar tadi” ujarnya cukup keras. Reflek aku membungkam mulut Rangga, Rangga benar-benar tidak tahu tentang killernya pak Bahri.
“kita pergi sekarang..” kataku akhirnya.
Ternyata apa yang di katakan Rangga benar, sebagian siswa-siswi telah memadati ruang serbaguna club musik. Saat aku datang beberapa siswi ada yang menjerit melihatku bahkan ada yang berani terang-terangan mengambil fotoku saat aku berjalan melewati mereka duduk di lantai.
“naaaaah… akhirnya… orang yang kita tunggu-tunggu datang…” ujar Kiki semangat mengamatiku dengan senyum merkahnya.
“okee.. sudah lengkap.. sekarang kita mulai acara meet and greet kita”
Sebelum acara musik dimulai saat setelah ujian semester kami selalu mengadakan pertemuan terlebih dulu seperti saat ini. ibaratnya kami hendak memperkenalkan kepada mereka-mereka bahwasannya yang bertindak sebagai panitia adalah kami-kami ini (aku, Rangga, Kiki, Indar, Lina, Tomi, Juni, Usup, Arul dan Awan) itu adalah pantia inti dari acara musik, sebenarnya masih banyak lagi panitia yang lain. Acarapun di buka oleh Kiki dimana Kiki benar-benar memiliki suara yang bagus saat berbicara, acara pembukaan kami serempak menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai panutan dan kebanggan menjadi warga Indonesia, selain itu juga sebagai penumbuh semangat kita-kita sebagai generasi penerus. Duuuh.. hehee
Setelah menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh semangat, mataku tertuju pada seorang lelaki yang duduk bersila berada di tengah-tengah siswa-siswi lainnya.
‘Fahri..’ batinku memperhatikannya. Ia sadar bahwa aku memperhatikannya. Dia memancarkan senyum lebarnya padaku.
‘dia ikut acara musik tahunan sekolah’ batinku lagi.
‘dia solo, band atau grup vokal’ batinku lagi memperhatikannya.
“okeee… sebelum ke acara selanjutnya.. bagaimana kalau kita menyuruh saudara Kunawin tuk bernyanyi.. bagaimana setuju??” ujar Kiki penuh semangat. Dengan sigap Awan dan Arul mengambil microphone beserta tangakainya.
“nyanyi gih hehee” kekehan Arul menaruh tangkai mic.
“nyanyi Yas” ujar Awan tersenyum puas memberikan mic padaku. Aku menerimanya dengan sangat terpaksa lalu menatap tajam pada Kiki yang telah lancangnya menyuruhku tuk bernyanyi.
Apa boleh buat sepertinya aku benar-benar harus bernyanyi di depan para pendaftar acara musik, suara-suara geremuh, jejeritan memanggil namaku kian bergema di telingaku.
“seperti biasa…” ujarku pada Rangga yang siap memainkan gitar
**
“Iyas……!” suara jejeritan Elisa memanggilku. Aku melengah sebentar.
“apa??” sahutku memperhatikannya dengan nafas memburu.
“habis lari marathon?” ledekku.
“hiiiih.. dari tadi di panggil juga gak nyahut-nyahut” ujarnya bete.
“apa? Kenapa? Mau minta ttd seperti adik-adik kelas tadi??” ujarku bangga dengan apa yang baru saja terjadi setelah aku keluar kelas setelah bel pulang sekolah berbunyi.
“NAJIS..” desis Elisa.
“aku.. umm aku..”
“ada apa dan mengapa?” tanyaku.
“E—ew-ew..” aku benar-benar gemas mendengar perkataan Elisa begitu aneh ini.
“apa!” ujarku meninggikan suara.
“Ewin..” ucapnya singkat. Kenapa dia menyebut nama Ewin? Aku mengernyitkan keningku.
“umm.. kamu punya linenya gak atau pin bb atau ignya??”
Rupanya Elisa benar-benar tergila-gila pada Ewin..
“kamu mau?” tanyaku memancing Elisa. Dia pasti mengangguk dengan cepat nan semangat..
“mau banget..” jawabnya girang bergairah. Elisa benar-benar terhipnotis oleh Ewin.
“minta aja sama dia langsung..” ujarku kemudian aku tertawa terbahak-bahak.
“aihhhhh…. Iyas nah ahhhhhh” rengek Elisa menarik lengan baju kiriku.
“minta sama dia langsung.. Ewin bakal marah kalau misalkan aku ngasih tanpa se izinnya atau seenak jidat” ujarku berbohong. Sebenarnya aku tidak punya medsos yang Ewin miliki satupun, kami saja baru kenal kemarin.
“kamu kan sepupunya.. masa dia gak bolehkan sih.. ahhhh aihh Iyas”
Yosi menghampiri kami begitu juga dengan Fahri tepat setelah Yosi tiba.
“kenapa nih cewek?” ujar Yosi jijik memperhatikan Elisa.
Aku menarik kepala Yosi dan membisikan ke telinga Yosi tentang Elisa yang hendak pdkt dengan Ewin.
“ohhh.. begitu rupanya.. emangnya kamu setuju Yas kalau Elisa sama Ewin”
“setuju dong…” Elisa yang menjawab dengan nyinyir.
“siapa Ewin?” tanya Fahri.
“sepupunya Iyas..” jawab Yosi menoleh ke Fahri lalu kembali menatap jijik Elisa.
“ohhh.. begitu..”
“Yas.. pulang bareng yuuuk” seloroh Fahri mengajakku pulang.
“tunggu jangan pergi dulu yaa ampuunn Iyasss…”
Fahri terus saja menarikku menjauh dari Elisa dan Yosi, ini kesempatanku tuk mengelak berbohong lebih jauh tentang Ewin orang yang baru ku kenal itu. ternyata kebohongan itu akan berdampak buruk, akupun merasakannya sekarang. Elisa kerap menanyakan tentang Ewin ke aku bahkan menanyakan di mana Ewin tinggal. Mengapa Elisa tidak bertanya langsung pada Ewin saja pikirku. Alangkah baiknya jika aku berterus terang pada Elisa bahwa Ewin bukanlah sepupuku agar dia tidak mengandrungi beberapa pertanyaan tentang Ewin.
“.. ohh yaaa.. suaramu benar-benar bagus tadi” ujar Fahri memecah keheningan kami sedari tadi berjalan menuju rumah masing-masing. Aku dibuatnya malu karena dia memujiku.
“tidak seberapa itu..” jawabku berkata dengan normal. Tidak mungkin juga rasanya aku menyobongkan kelebihanku ini, yaaa…. Selain suara nyanyianku merdu, aku juga merdu dalam memainkan beberapa alat musik seperti piano dan gitar.
“aku gak bohong looh.. suaramu benar-benar bagus..”
“ahahaaaa iyaa.. yaa aku paham” sahutku akhirnya. aku pikir setelah aku mengatakan hal demikian Fahri akan membungkam mulutnya namun dugaanku sangat teramat salah. Fahri tiada hentinya berbicara mengenaiku, mengenai suaraku bahkan menyarankan aku sebagai penyanyi.
“dari fisik kamu juga oke looh Yas.. cakep.. bisa tuh jadi penyanyi, pasti bakal laku dah kamu”
Kata laku itu seperti menyindirku saja.. dia pikir aku ini barang di jual begitukah? Ahh Fahri.. kakak kelasku ini ternyata bawel juga, hingga detik ini iaa terus bersuara tanpa adanya jeda atau menarik nafas terlebih dahulu. Benar-benar bawel pikirku.
@lulu_75 @awi_12345 @Kokushibyu @putra_pelangi
Sok tau deh aku ya!
hahaha
ty dah di tag @Rama212
eh iya kurang konsent ni, akibat belum minum aqua mungkin, hehr
Baru bisa update lama banget yaa.. mga masih ada yang baca
Bagian VI
Fahri POV
Perkenalkan… namaku Fahri Ramdhan.. aku adalah anak tunggal dari pasangan Edo Rivaldi dan Anisa Ramdhani. Aku tinggal di sebuah kota padat penduduk bertempat tinggal di salah satu perumahan bersama mamiku, perumahan ini begitu nyaman dengan suasana asri sejuk dan rindang. Sebelumnya aku tidak bermukim di daerah ini, awalnya aku dan mami bermukim di bagian utara kota, kami pindah kemari di akibatkan sebuah pertikaian antara mami dan papi. Pertikaian itu berasal dari papiku kepergok berselingkuh dengan salah satu teman wanitanya saat aku dan mami berada di kafe dengan beberapa keluarga lainnya. Aku juga tidak menyangka di saat itu juga kami bertemu papi dengan wanita jalang itu. papi berbohong dengan perkataannya yang mengadakan rapat penting dengan pejabat tinggi lainnya di luar kota. Papiku adalah seorang anggota DPRD tingkat II di provinsi ini. Mamiku terlihat dari matanya ber-api-api saat melihat papi berduaan dengan wanita jalang itu, mamiku tidak langsung menghampiri meraka berdua karena saat itu juga aku dan mami sedang bersama keluarga dalam rangka merayakan kelulusan S1 komputer kakak sepupuku. Tidak ku sangka.. seorang yang kubanggakan menjadi orang tuaku itu telah berhianat dengan seorang yang ku sayangi melainkan mamiku sendiri. Mami begitu benci dengan papi yang telah berkhianat begitu juga denganku, aku lebih membencinya!!
Saat ini aku sudah terbiasa hidup tanpa orang tua (laki-laki). Tanpa beliau aku dan mami masih bisa hidup seperti sekarang ini bahkan kehidupan kami jauh lebih bahagia ketimbang mami masih bersama papi. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama mami salah satunya bermain Tenis. Tenis adalah olahraga favoritku begitu juga dengan mami. Setiap weekend mami menyempatkan dirinya bermain Tenis bersamaku di Tennis FunPlay (tempat). Seperti hari ini, mami menyempatkan dirinya setelah melakukan pekerjannya sebagai seorang Psikolog.
“ahhhh… capek juga” desah mami setelah mengambil bola yang keluar garis.
“capek mi? istirahat aja dulu” selorohku memutar-mutar raket Tenis.
“iyaaah… huuuh” desah mami lagi sembari duduk lalu mengelap keringat di dahi dengan punggung tangan. Aku menghampiri tas olahragaku yang tergeletak di bawah kursi panjang, aku mengambil sebotol air mineral lalu memberikannya ke mami.
“nih mi.. minum dulu” mami menerima dengan senang hati.
“makasih yaa sayang” aku lalu duduk di sebelah mami meluruskan kedua kaki.
“…bagaimana dengan sekolah barumu sayang, baik baik aja kan murid-muridnya??” tanya mami di sela-sela aku merilekskan diri.
“…baik baik aja mi” jawabku.
“ maafkan mami yaa sayang… gara-gara mami kamu jadi pindah sekolah.. kamu jadi kehilangan teman dekatmu..”
“mami mulai deh..” dengusku.
“jangan bahas itu lagi” sambungku. Mami terdiam memperhatikanku.
Hening…… aku menghela nafas sejenak.
“ohh yaa mi.. Fahri ikutan festival musik di sekolah” kataku memecah keheningan.
“festival musik? Kamu bisa bermain musik sayang?? Sejak kapan kamu bisa bermain musik, mami baru tau”
“hehee.. Fahri baru belajar sih mi..”
“belajar apa? Gitar atau piano?” tanya mami penasaran.
“gitar mi” jawabku nyengir kuda.
“bagus dong… mami seneng kalau anak mami jago main musik”
“heheee” lagi-lagi aku nyengir kuda.
“kapan festivalnya sayang?”
“ummm.. 3 minggu lagi mi”
“setelah kamu ujian semester dong” terka mami, aku mengangguk.
“kamu yakin ikut acara itu sayang? Kamu baru belajar main gitar.. waktu 3 minggu itu singkat lohh sayang”
“Fahri berusaha mi.. lagipula ada yang ajarin Fahri kok mi” kataku berbohong. Sebenarnya belum ada yang mengajariku bermain gitar, aku belajar dari melihat tutorial di youtube.
“siapa sayang??”
“ada deh pokoknya mi hehee”
**
Pagi ini cukup cerah.. aku terbangun dari tidurku tepat di pukul 5.15 pagi dan sekarang jam menunjukkan pukul 6.50 pagi, aku sudah siap berangkat ke sekolah dengan seragam serta atribut sekolah secara lengkap mengenakan tas andalanku berwarna biru tua dengan cream bermerk export. Ku menuruni anak tangga kutemui mami tengah duduk di sofa sambil menonton acara tausiah di pagi hari.
“pagi sayang…” sapa mami melihatku sekilas kemudian kembali fokus dengan tv melihat dan mendengar siraman rohani.
“Fahri berangkat dulu yaa mi..” kataku. Mami kembali memperhatikanku.
“uang saku sayang masih ada atau gak??”
“masih ada mi..”
“nih” sambungku memperlihatkan uang saku beberapa lembar uang berwarna ungu.
“yaudah kalau gitu.. berangkat gih.. ntar telat..!” seru mami. Aku mengangguk dan langsung menyambar punggung tangan mami pamit pergi ke sekolah.
Jarak sekolahku yang baru ini tidak jauh, aku hanya perlu berjalan kaki saja tuk sampai ke sekolah. berbeda dengan sekolah lamaku.. yang jaraknya berkisaran 3km dari tempat tinggalku dulu dan yang pasti aku setiap harinya memakai motor pergi kesekolah atau bahkan di antar mami menggunakan mobil. Saat aku berjalan beberapa meter dari rumah menuju sekolah, kulihat seorang remaja lelaki berjalan cepat sembari menunduk dengan mengusap-usap pelupuk matanya dan tak kusangka remaja itu menangis, terlihat segelintir air mata jatuh dari asalnya. Spontan aku cepat menghampirinya dan sekarang aku tepat berada di depannya.
Dia terus saja menunduk cukup lama hingga pada akhirnya dia mendongakan kepala sejajar denganku. Ya tuhan… dia benar-benar menangis.. matanya terlihat merah.
“Elisa” ujar lelaki itu pelan.
Aku begitu terkejutnya dengan tindakan yang dia lakukan, dia memelukku secara tiba-tiba tanpa ba-bi-bu terlebih dahulu. Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi pelukan darinya lagipula aku masih mendengar suara pelan isak tangisnya sembari memelukku, namun lama kelamaan aku tak sanggup menahan pelukannya, semakin lama pelukan darinya semakin kuat membuat aku sedikit susah mengambil nafas. Akupun meronta.
“aarrgghhh”
Mendengar aku meronta lelaki itu langsung melepas pelukannya padaku. Saat dia mundur begitu juga denganku, tatapanku langsung tertuju pada wajahnya yang memerah. Kuperhatikan dia terpengarah melihatku, kulhat juga dia meneguk liur.
“Kamu pikir aku perempuan…!!!” bentakku. Kalimat tersebut langsung terucap dari bibirku begitu saja. kuperhatikan atribut sekolahnya sama denganku, itu artinya aku satu sekolah dengannya. Aku fikir dia akan meminta maaf padaku karena telah memeluk seseorang dengan seenaknya tanpa permisi dan justru sebaliknya dia mengacuhkanku. Reflek aku menahan tangan kanannya.
“Hei….tidak sopan kau!” ujarku sembari menahan tangannya.
Kini aku dan dia saling berhadapan dengan jarak beberapa senti, sekilas ku lihat dia tersenyum ke arahku.
“maaf.. maaf atas kecerobohanku” ujar dia. Setelah mengucapkan kalimat itu, dia kembali mengacuhkanku dan berjalan ke arah sebelumnya.
“tungguuuuuuu!!” ucapku sedikit teriak memanggilnya dari kejauhan.
“kamu mau kemana…..! bukannya arah keluar perumahan di sebelah sini yaaa…!” sambungku.
Sepertinya dia sadar apa yang baru saja aku ucapkan, sudah pasti dia akan berbalik badan berjalan ke arah utara menuju keluar perumahan. Aku tersenyum geli memperhatikan wajahnya yang sedikit memerah, mungkin dia malu karena salah memeluk orang. Kuperhatikan dengan jelas saat dia berpapasan denganku, ku perhatikan di sekitaran sudut matanya ada sebuah benda bening tergelincir menuruni pipinya.
“Hei… kenapa kamu menangis..?” tanyaku. Aku berusaha menahan tangannya lagi namun kali ini dia benar benar mengacuhkanku, dia menghempas tanganku yang memegang tangannya.
Aku benar-benar di buatnya gemas dengan polahnya yang aneh.
“yaaa elaaah.. jadi laki-laki kok cengeng amat..” ujarku gemas.
Tak kusangka perkataanku itu membuatnya marah, dia berpaling dan menatapku dengan tatapan bencinya.. yaa ampun… aku sudah salah berucap, aku tidak bermaksud membuatnya marah.
“PERGI KAUUUUU!!!” jantungku seperti terkena lemparan bola Tennis mendengar suara lantangnya membentakku.
Aku terdiam memperhatikannya berlalu pergi jalan cepat, sepertinya dia benar-benar marah. Aku sendiri tidak bermaksud menyinggungnya atau mengejeknya, nada bicaraku juga tidak mengejek, aku hanya gemas karena dia mengacuhkanku bahkan menghempas genggaman tanganku.
‘sial…. jangan bilang dia anak pak Kunawin’ batinku menerka mengingat perkataan mami semalam setelah mami pulang dari acara tahlilan tetangga.
‘loooh.. mami kenapa nangis??’ ujarku heran memperhatikan mami menangis.
‘mami merasa iba dengan anak pak Kunawin sayang’
‘pak Kunawin? Yang istrinya meninggal itu mi?’
‘iyaa sayang benar.. mami iba sekali melihat anaknya’
‘emang kenapa anaknya?’
‘mami bisa merasakan betapa pedih yang di alaminya setelah ibunya meninggal sayang.. baru saja mami melihat wajahnya yang begitu suram dengan tatapan kosongnya bahkan setelah beberapa ayat di bacakan anak laki-laki itu menangis sayang.. begitu juga dengan mami yang melihatnya bersedih, mami jadi terbawa suasana’
“sudah di pastikan dia anak pak Kunawin..” gumamku.
“ahh… sial..!! kenapa aku berbicara bodoh tadi!!” umpatku sambil garuk-garuk kepala.
**
Aku tidak salah lihat bukan kalau lelaki yang memelukku pagi tadi baru saja terlihat batang hidungnya memasuki kawasan kantin lantai dasar? Dengan santai aku melangkah memasuki kantin lantai dasar sekolah, kantin di sekolah ini berada dalam ruangan dengan pembatas tembok setinggi pinggang yang membatasi tiap-tiap tempat kantin. Kuperhatikan di sudut tepat di kantin bakso aku melihat lelaki yang memelukku, aku bergegas menghampirinya tuk meminta maaf karena aku telah membuatnya marah dari ucapan bodohku.
Aku sudah di dekatnya kurang lebih 50 cm dari jaraknya berdiri, dia berpaling setelah memesan bakso berjalan menunduk, siapa sangka dia terkejut ketika dia melihat siapa yang menghalanginya.
“hai… kita ketemu lagi” sapaku ramah dan lagi-lagi dia mengacuhkanku.
Aku tidak mau kalah, aku mendahului langkahnya menghalanginya kembali.
“maaaf bro.. ada apa?” kudengar suara lelaki di samping kiriku.
“…. Temenmu?” aku bertanya pada lelaki yang menegurku dan dia mengangguk.
“Iyas… duduk gih” ujar lelaki itu.
‘jadi.. nama dia Iyas’ batinku. Iyas lalu pergi meninggalkan kami, kulihat dia duduk berhadapan dengan teman perempuannya.
“ada apa?” tegurnya.
“…begini.. aku hanya mau meminta maaf ke dia”
“hanya itu??”
“iyaa hanya itu.. tapi sepertinya dia tidak mau aku berada di dekatnya, bisa kamu memberitahu permohonan maafku ke dia??”
“emangnya ada masalah apa sampe minta maaf?”
Aku mengambil nafas sejenak.
“pagi tadi.. umm.. aku tidak sengaja membuatnya marah karena aku mengatakan dia cengeng”
“cengeng?”
“iyaa.. pagi tadi aku melihat dia menangis dengan berjalan cepat sambil menunduk”
“bisa kamu bilang ke dia kalau aku ingin meminta maaf??” sambungku.
“kemari…” kata dia sembari menarik tanganku.
“sebaiknya kamu langsung berbicara dengan Iyas” selorohnya mendorong pelan tubuh belakangku.
Aku lalu duduk di sebelah teman perempuannya berhadapan langsung dengan Iyas.
“…aku minta maaf atas apa yang aku katakan pagi tadi…”
“…aku tidak sengaja mengatakan itu” sambungku.
“seharusnya aku menghiburmu saat pagi tadi kamu menangis, aku justru mengatakan hal yang bodoh membuatmu marah, aku minta maaf” sambungku lagi.
“kamu memaafkanku bukan?” tanyaku. Kulihat dia termenung melihatku, entah apa yang dia pikirkan. Tak lama kulihat dia menganggukan kepala.
“tentu” ujarnya.
Aku tersenyum lebar setelah mendengar perkataannya begitu juga dengan dia tersenyum ramah padaku.
“terimakasih….” Kataku.
Setelah itu aku dengan percaya dirinya memperkenalkan diriku padanya, dia menyambut dengan ramah perkenalanku. Iyas Satria Kunawin.. begitulah nama lelaki tersebut. Tidak banyak obrolan antara aku dan dia karena aku juga telah di tunggu teman-teman di kantin lantai dua.
“baikah… aku permisi dulu” ujarku berpamitan dan dia menyilakan.
**
“Fahri….!” Teman sekelasku bernama Indar memanggilku.
“yaa.. kenapa??”
“kamu beneran ikut acara musik?”
“iyaa bener.. kenapa??”
“ohhh.. hmmm.. kamu sendirian ikut acara itu?” aku menjawab dengan anggukan.
“gak mau duet bareng aku??”
Duet?? Aku mengernyitkan dahiku.
“kamu ikut juga??” tanyaku.
“hehee yaa begitu deh” jawabnya.
“emangnya kamu mau duet bareng sama aku??” tanyaku memasitkan. Aku heran juga dengannya yang tiba-tiba berani menegurku hari ini. biasanya dia tidak pernah menegurkku.
“… aku sih mau aja, kalaunya kamu gak mau gak masalah sih”
“… tapi.. aku sudah terlanjur isi formulirnya” kataku.
“.. kebetulan formulirku masih kosong.. pake punyaku aja kalau kamu mau duet sama aku”
“beneran??”
“iyaa Fahri…” jawabnya ramah tersenyum lalu mengubrak-abrik isi tasnya mengambil sebuah kertas.
“nih.. isi gih..” pintanya memberikanku formulir event musik yang beberapa minggu lagi akan di laksanakan.
“o—okee” kataku canggung menerima formulirnya.
‘kenapa aku jadi gugup begini’ batinku sembari memegang kertas formulir.
“… kalau begitu kita deal duet yaa”
“..o—ooh i—iyaa” sahutku grogi.
“okedeh.. aku duluan yaa.. dadah” pamitnya meninggalkanku sendirian di kelas.
Apakah yang aku lakukan ini benar?? Aku berduet dengannya? Lagipula aku baru saja belajar bermain musik, itupun aku belajar dengan melihat tutorial di youtube. Persyaratan event musik bertuliskan para peserta minimal satu orang memainkan musik untuk kategori duo atau group vocal. Ahhh… aku sebaiknya harus ekstra belajar gitar di bantu dengan seseorang, tapi… siapa temanku yang jago bermain gitar? Aku saja tidak begitu mengenal dekat teman sekelasku.
@lulu_75 @putra_pelangi @QudhelMars @andrik2007