It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
kalo rekomendasi sekalian atuh. jadi gua nontonnya beruntun. dan bikin reviewnya sekalian.
sekaligus memicu untuk lebih produktif hahahah
@sombremaut
jean-luc godard's band of outsiders
michel gondry's human nature
wong kar-wai's fallen angels
terry gilliam's brazil
thomas anderson's punch-drunk love
spike jonze's being john malkovich
susah ndak nih nyari dead time: kala-nya joko anwar.
gondry - ga ada. gua nyari dari 2009 ga ketemu dvdnya (dulu, ga tau kalo download sekarang). selebihnya punya
kar wai - ga ada. adanya Chungking Express, Days of Being Wild, In The Mood for Love, 2046, My Blueberry Nights, The Grandmaster, Happy Together dan Ashes of Time
gilliam - ga ada. adanya Monthy Phyton, 12 Monkeys, Brothers Grimm, Doctor Parnassus
anderson - ada
jonze - ada semuanya
joko - ada
yang belom ada, kayaknya mau download atau hubungin mantan dulu buat pinjem dvdnya.
@sombremaut
In The Mood For Love
(Hong Kong, 2000)
Dir : Wong Kar-wai
Lang : Cantonese, Shanghainese, French
Film ini merupakan salah satu film yang bisa saya tonton berulang tanpa merasa bosan. Film besutan sutradara favorit saya, Wong Kar-wai, ini merupakan salah satu karya terbaiknya. Film romantis ini sangat total mulai dari setting, script sampai kostum. Film dengan seting tahun 1962 di Hongkong ini menceritakan tentang seorang jurnalis Chow Wo-man (Tony Leung) dan Su Li-zhen (Maggie Cheung), seorang sekretaris di perusahaan ekspedisi.
Film ini banyak menyajikan adegan romantis tanpa kesan eksplisit. Ilustrasi musik yang membawa perasaan romantis juga sangat tepat dengan genre yang beragam. Dan pada saat adengan menuju kea rah yang romantis, selalu berganti dengan ilustrasi musik dan adegan disajikan dengan slow motion. Salah satu cara yang ampuh untuk membuat penonton merasa “melting”. Perselingkuhan anttara pasangan masing-masing juga memberikan cerita tersendiri dalam film ini. Hubungan antara Chow dan Su merupakan “cinta platonik” yang tidak akan pernah bisa mendapatkan satu dengan yang lainnya walaupun mereka memiliki perasaan yang sama. Banyak adegan yang akan membawa perasaan melankolis dalam film ini. Disajikan tanpa banyak dialog, hanya mimik dan gesture tubuh para pemainnya. Performa Tony Leung dan Magie Cheung sangat gemilang. Chemistry yang dibangun keduanya juga sangat terasa nyata. Jika anda jeli mendengarnya, aka nada lagu “Bengawan Solo” versi bahasa Inggris yang dinyanyikan oleh Rebecca Pan.
Pertama kali diputar di Cannes Film Festival tahun 200, film ini langsung menyita perhatian para juri. Film ini mendapatkan nominasi untuk penghargaan tertinggi Palme d’Or Film ini berhasil membawa penghargaan Best Actor untuk Tony Leung. Tidak hanya itu saja, film ini juga berhasil di berbagai penghargaan internasional lainnya seperti César Award (Perancis), German Film Award (Jerman), British Independent Spirit Award (Inggris) dan masih banyak lainnya. Film ini juga berhasil mendapatkan banyak nominasi di ajang penghargaan film lainnya. Bahkan di Hong Kong Film Award 2011, film ini mendapatkan 12 nominasi dan berhasil memenangkan 5 diantaranya. Bahkan di tahun 2006, salah satu foto dari film ini digunakan untuk official poster Cannes Film Festival.
Iya saya janji nanti dikoreksi tulisannya.
Tapi jangan spoiler kak
*xad*
@sombremaut
We Need To Talk About Kevin
(USA & UK, 2011)
Dir : Lynne Ramsay
Lang : English
Di hari ibu ini, mari kita ikuti perjalanan Eva, seorang travel writer dan dinamika keluarganya di film We Need To Talk About Kevin. Film garapan sutradara Lynne Ramsay ini dirilis tahun 2011.
Film ini menyajikan pertanyaan mengenai hubungan yang tumbuh antara ibu dan anak. Apakah itu vise versa atau memang hanya satu arah? Di film ini kita diajak untuk mengkuti perjalanan seorang penulis sukses yang berkecukupan, keluarga yang lengkap dan “hubungan hangat” antara ayah dan anak. Bagaimana dengan sang ibu? Nampaknya usaha yang dilakukan belum berhasil dengan baik. Di film ini juga kita dapat melihat kenyataan bahwa anak bisa menjadi manipulatif, terlepas dari apapun sebabnya. Kita diajak untuk memahami perasaan seorang perempuan mulai dari hamil, melahirkan sampai mendidik anak dalam rumah tangga. Perasaan berjarak yang terbangun bahkan sejak dalam kandungan terbawa bahkan sampai anak beranjak remaja. Saat orang tua sadar dan ingin meruntuhkan perasaan kepada anaknya, nampaknya tidak berhasil. Film ini juga membawa proses transformasi dari seorang Eva yang tanpa beban kemudian menjadi ibu, dan terikat dengan tanggung jawab keluarga untuk kemudian kembali tanpa keluarga.
Katanya, komunikasi adalah kuncinya. Di film ini juga diperlihatkan perkenalan Kevin kepada adiknya (yang masih dalam kandungan), kemudian berlanjut saat adiknya lahir dan tumbuh. Jika dilihat seksama, antara Eva dan Fraklin, suaminya, lancar dan baik-baik saja. Eva sendiri di dalam film ini menghadapi tekanan sosial terhadap kejadian yang menimpa dirinya. Apakah Eva ternyata lebih menyayangi anak keduanya, Celia? Apakah sikap defensif Kevin hanya untuk mencari perhatian? Sampai sejauh mana kesabaran Eva diuji, bahkan saat terjadi pembantaian di sekolah Kevin? Apakah ternyata perhatian yang diberikan ayahnya kepada Kevin kurang?
Pertanyaan diatas adalah beberapa yang dapat dijawab oleh penonton sendiri setelah menyaksikan filmnya. Dari segi artistik, sebenarnya film ini kurang begitu menarik menurut saya. Durasi yang panjang, scene-scene yang dirasa kurang perlu juga banyak menyita waktu. Juga penggunaan kamera yang tidak statis (handheld) yang menyebabkan gambar goyang untuk beberapa scene. Kekuatan cerita dan akting menjadi titik utama film ini. Penampilan memukau Tilda Swinton sebagai Eva membuat film ini menjadi sangat hidup. Juga kemiripan dengan Ezra Miller menjadi nilai lebih. Untuk ilustrasi musik, terkadang terdengar sangat satir karena suasana lagu yang kontradiktif dengan kejadian. Tetapi sebetulnya menjadi kekuatan dari film ini sendiri. Selebihnya, silahkan dinikmati sendiri. Dan jangan lupa pertanyakan kembali nilai seorang ibu untuk dirimu.
Sekali lagi, selamat hari ibu
Captain Fantastic
(USA, 2016)
Dir : Matt Ross
Lang : English
Momen natal merupakan salah satu momen spesial, dimana (biasanya) keluarga berkumpul dan merayakan sebuah kebersamaan yang sakral. Menyambut Hari Natal ini, mari kita bahas makna keluarga melalui film Captain Fantastic. Film yang baru tayang di bulan Januari 2016 ini nampaknya masih sangat segar.
Film ini menceritakan tentang sebuah keluarga yang hidup di dalam hutan. Viggo Mortensen yang merupakan salah satu aktor favorit saya berperan sebagai Ben Cash, ayah dengan 6 orang anak yang mengajarkan kepada anaknya banyak hal untuk bertahan dihutan dan mendapatkan semua kebutuhannya. Mulai dari berburu, memanjat tebing sampai membaca dan bermusik. Disini kita diajak memahami pendidikan dari sang ayah kepada anaknya yang tidak pernah merasakan bangku sekolah. Bahwa sebenarnya pendidikan itu bisa didapatkan dimana saja.
Yang uniknya disini adalah saat sebuah peristiwa yang membawa mereka “keluar”dari hutan untuk menghadiri pemakaman ibunya. Mulai dari proses perjalanan, sosialisasi dengan orang bahkan komunitas lain dan juga menghadapi keluarga yang tidak pernah mereka temui sebelumnya. Sentuhan dengan teknologi, perspektif mengenai apa yang diajarkan di sekolah dan yang diajarkan oleh sang ayah. Sebenarnya film ini cukup menggelitik untuk saya, dimana hal-hal yang seharusnya belum diajarkan untuk anak dibawah umur, telah disampaikan oleh Ben kepada anak-anaknya. Paling tidak membuat saya berpendapat bahwa pelajaran yang diajarkan di sekolah secara formal, idealnya sejajar dengan perkembangan emosi dan pengetahuan seorang individu.
Kita mungkin pernah mendengar anak yang bertanya mengenai hubungan seksual kepada orang yang dewasa yang telah paham. Bukan dari konteks pertanyaannya, tetapi jawaban seperti apa yang harus disampaikan sesuai dengan pengetahuan dan kapasitas yang harus diketahui seorang anak tersebut. Juga konsumsi alkohol untuk anak dibawah umur. Film ini menyediakan hal tersebut. Bagaimana saat menghadapi tekanan sosial, mengkultuskan sang ayah (yang sebenarnya karena anak-anaknya tidak bersosialisasi dengan dunia di luar hutannya), juga tekanan dari keluarga. Pandangan anak yang naif juga membuat film ini terasa manis.
Film dengan genre “semi-road movie”, saya menyebutnya, menghadirkan kualitas akting yang mumpuni bagi seluruh castnya. Paling tidak, untuk Viggo Mortensen, dapat menjadi tiket untuk ke ajang Oscar 2017. Naskah yang fresh, juga musik yang bagus dan enak didengar membuat film ini tidak membosankan, apalagi dengan “Sweet Child O’Mine” yang di cover dengan sangat ceria di film ini. Film ini sangat cocok disaksikan bersama keluarga. Sebagai alat bonding, juga sebagai pertanyaan kepada diri sendiri, “apakah yang diajarkan oleh keluarga saya sudah sesuai dengan apa yang terjadi dunia di luar tembok rumah?”. Mungkin setelah menyaksikan film ini, kamu dapat menjawab hal tersebut.
Sekali lagi saya ucapkan, Selamat Natal
@UrsaMayor belomton filmnya kak. Nanti dicari dan ditonton dulu ya. Atau kalo punya, mau dongs