It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Algibran26 Hehe jangan lupa traktirannya bang. Kan masih belum lama Desember berakhir.
@Rama212 Modus apa itu modus kalem? Metode penarikan kesimpulan di Logika Matematika terbaru ya?
@lulu_75 Kita lihat part depan y om...
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
@viji3_be5t @riordanisme @happyday
@CouplingWith @andrik2007 @josiii @master_ofsun @Feri82 @RenataF @Satria91
Selamat membaca...
Bagi yang nggk mau di mention lagi, bilang ya.
Aku termenung memandang sebuah foto yang terpajang di feed Instagramku. Foto Reza dengan gagahnya berhasil membuat wajahku memerah, berpose keren membelakangi air terjun yang ada kabupaten sebelah. Walaupun begitu, hatiku hancur saat menyadari bahwa Reza pasti ke sana bersama Alvin selingkuhannya, bukan bersamaku. Reza, cowok yang telah mengisi hatiku, dia kelihatan kurus sekarang, ditambah dengan rambut yang mulai memanjang.
"Bro, lo di panggil Pak Samsul tuh," bisik seseorang cowok yang ada di sampingku. Aku terkesiap sambil buru-buru memasukkan ponsel ke dalam kantong celana. Aku melirik Pak Samsul yang menatapku dari mejanya. Aku meneguk ludah, lalu bangkit dari kursi menuju depan kelas. Saat ini adalah penentuan nasibku untuk malam nanti.
"Kamu ada masalah?" ujar Pak Samsul dengan suara pelan, memandangku dengan penuh selidik sesampai di depan beliau. Aku menggeleng sambil melirik tugasku yang ada di tangannya. Beliau mengangguk-angguk percaya, "lalu kenapa mata kamu memerah begitu?" tanya beliau selanjutnya membuatku sontak terkejut dengan dosenku yang satu ini. Dari bahasa tubuhku saja, beliau sudah tahu bahwa aku tengah dirundung masalah. Beliau memang sangat cocok untuk menjadi seorang dosen psikologi.
Aku menggaruk tengkukku dengan senyum terpaksa "Saya ada sedikit masalah Pak," jawabku sejujurnya. Aku memang tidak dapat menipu seorang ahli kejiwaan seperti beliau ini. Beliau lalu mengangguk-angguk sambil menatap tugasku yang beliau pegang. Begitupun aku yang juga mengikuti arah mata beliau menatap tugasku.
"Baiklah, selesaikan semua masalahmu sebelum ujian minggu depan." Pak Samsul Bahri menyerahkan tugasku sambil tersenyum. Tidak lupa beliau menepuk lenganku memberikanku semangat. Sambil membalas senyum beliau, aku mengucapkan terima kasih. Dari gelagat beliau, nampaknya tidak ada masalah dengan makalah yang telah ada di tanganku. Berarti aku dapat bernafas lega karena terbebas dari revisi yang sangat aku takutkan. Aku lalu berjalan menuju kursiku kembali dengan senyum mengembang, diikuti dengan tatapan penasaran dengan teman sekelasku.
"Bagaimana?" tanya cowok -yang membisikkan aku tadi-, sambil menatap tugasku lebih tepatnya. Aku tersenyum lebar sambil meletakkan makalahku tersebut di atas meja. Cowok tadi langsung merebut makalahku, membuat beberapa gadis yang juga hendak melihat makalahku di belakang merengut. Dia membalik-balik halaman tugasku sambil berdecak-decak.
"Gila, nasib kita sama saja," racaunya sambil membalik-balik makalahku. "Revisi juga," ujarnya tertawa masam. Mataku terbelalak mendengar pernyaannya. Setelah merebut makalah itu dari tangan cowok tadi, aku membalik-balik makalahku yang penuh dengan coretan Pak Samsul Bahri. Aku meringis sambil menoleh ke arah dosenku yang sedang mengembalikan tugas kepada mahasiswa yang ada di depan beliau. Aku tertipu dengan wajahnya yang bersahabat. Rupanya, nasibku dan nasib makalahku sama tragisnya dengan nasib Samsul Bahri di roman Sitti Nurbaya. Aku harus kembali merevisi dan menyerahkan tugas itu kembali besok pagi, atau tidak dapat mengikuti ujian minggu depan. Berarti ini maksud dari kata semua masalah yang beliau ucapkan tadi.
Beberapa gadis di belakangku terdengar terkikik di belakang sana. Aku mendesah sambil meremas rambutku. Penulisan kata, pemakaian tanda baca, kata baku dan kurangnya daftar pustaka menjadi sorotan pacar Siti Nurbaya itu dalam coretannya. Aku memasukkan makalahku itu ke dalam tas dengan muka masam. "Lagaknya tadi kayak orang yang nggak revisi, rupanya... revisi juga," ejek gadis-gadis di belakang yang membuat mukaku tambah memerah. Aku tertipu di tempat yang terang.
Aku merogoh ponsel yang ada di kantong celanaku. Mataku kembali tertuju pada foto Reza di Instagram yang belum sempat aku keluarkan. Aku menatap foto itu sekali lagi. Wajahnya, matanya, hidungnya, pipinya membuat jantungku berdegup kencang, walau ada rasa sesak di dada. Aku menggigit bibirku sambil mengetuk layar ponselku dua kali. Sedang apa Reza sekarang, apakah dia sudah makan, kenapa dia bisa kurus seperti ini, dan puluhan pertanyaan tentang Reza berkecamuk di fikiranku.
"Ye elah, bermenung lagi, ntar kesambet baru tahu rasa lo," ujar cowok di sampingku. Aku langsung menoleh kearahnya kaget. "Lagi mikirin apaan sih? Tugas tadi?"
Aku menggeleng sambil mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Seperti mengetahui isi fikiranku, cowok yang telah berdiri dari kursinya itu menatapku, "semua udah pada keluar, lo aja yang keasyikan melamun," ujarnya.
Aku tersenyum, "thanks ya," ucapku berterima kasih. Dia tersenyum sambil mohon izin untuk duluan keluar kelas yang telah sepi. Aku mengemasi perkakasku sambil menatap ponselku yang tergeletak di meja. Aku menarik nafas panjang sambil keluar dari sosial media tadi.
"Ingat lo harus move on," aku membatin.
Aku lalu keluar dari kelasku yang telah kosong itu. Masih ada beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di koridor lantai tiga gedung ungu. Untuk mengefisienkan waktu, sebaiknya aku ke perpustakaan sekarang, mencari buku yang dapat aku masukkan ke dalam daftar pustaka.
Aku berjalan menuju gerbang gedung FPsi yang megah itu. Dengan arsitektur modern, di padu padankan dengan kebudayaan lokal, menciptakan sebuah mahakarya gedung yang unik. Terlebih dengan trisula besarnya, menambah kesan bahwa ini loh, gedung psikologi kampusku itu.
Mataku tidak sengaja mengarah ke arah parkiran kendaraan roda dua. Jantungku berdegup ketika mataku menangkap sebuah motor yang tidak asing lagi olehku. Aku mengucek mataku, memastikan sebelum mengedarkan pandanganku kesekitar. "Reza pasti ada di sini," batinku sambil berjalan menuju salah satu bangku yang ada di taman depan gedung. Hatiku ragu antara menghubungi Reza dulu atau berpura-pura acuh tak acuh dengan keberadaan motornya di gedung Fakultasku. Aku merogoh kantong celanaku, menimbang-nimbang ponsel yang telah ada di tanganku. Menelfonnya atau tidak.
Seseorang seperti duduk di sampingku, membuatku menoleh ke arahnya. Aku tertegun sejenak, melihat pria yang telah berhasil membuatku merasakan apa itu cinta dan apa itu kehilangan, sedang duduk beberapa jengkal di samping kiriku. Reza nampak menatap ke depan tanpa mau memandangiku, dengan kedua tangan bertumpu pada bangku panjang yang tanpa sandaran yang dia duduki.
Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam kantong celana. Rasanya sangat canggung sekali di saat dua orang pria dewasa duduk berdua diam-diaman di bawah pohon. Pandanganku menerawang ke arah depan tanpa berniat untuk memandang pria yang ada di sampingku.
Pohon yang menaungi kita berdua dari teriknya panas siang hari, tidak mampu mengurangi hawa panas yang aku rasakan. Aku memperbaiki posisi kakiku, memberiku sedikit kenyamanan duduk di bangku besi tersebut, sehingga menghasilkan bunyi gemerisik pasir yang aku injak. Reza menoleh ke arah kakiku. Dia kelihatan terkejut sambil menatap ke arahku. Mungkin dia tidak menyangka bahwa aku masih memakai sepatu hadiah anniversary kita, pemberiannya tersebut. Aku langsung menyembunyikan kakiku ke dalam bangku besi, sehingga dia tidak melihatnya. Dia kembali menatap ke arah depan tanpa berkomentar sedikitpun, walau ada seulas senyum terpatri di bibirnya.
Reza menjulurkan tangannya, menyerahkan flashdisk yang aku pinjamkan kemarin kepadanya. "Terima kasih dengan bantuannya," bisiknya.
Aku menoleh ke arahnya, memandangi wajah Reza dan flashdisk tersebut bergantian. Dengan ragu-ragu, aku mengambil flashdisk tersebut dari tangannya. Tidak sengaja tanganku menyentuh tangannya, membuat jantungku berdesir. Aku langsung salah tingkah, membuat Reza terkekeh. Hati kecilku sangat senang karena dapat melihat senyum Reza kembali, walau akal sehatku beranggapan bahwa tidak sepantasnya pria ini tertawa di depanku setelah apa yang telah dia lakukan terhadapku.
Aku dengan cepat memasukkan flashdisk yang aku pegang ke dalam kantong celana, sambil menggeser posisi dudukku menjauhinya. Tawa Rezapun hilang setelah melihat reaksiku.
Dia kembali menatap ke depan. Hanya bunyi jangkrik dan suara teriakan mahasiswa yang masuk ke dalam indra pendengaranku. Kita berdua sama-sama diam tanpa ada yang mau memulai pembicaraan, ataupun berinisiatif untuk menyudahi pertemuan yang tidak aku sangka ini.
Reza menoleh ke arahku yang menatap pasir di tanah. Aku diam kaku tidak bergerak. Reza tersenyum lalu menjulurkan tangannya hendak mengelus rambutku, sebelum dia mengurungkan niatnya. Dia mengambil nafas berat sambil kembali bertumpu ke bangku menghadap ke depan.
"Terima kasih, kamu udah tetap perhatian sama aku, udah mengingatkan aku untuk makan," gumamnya. Aku tersentak. Reza tahu bahwa aku hanya pura-pura salah kirim pesan padanya. "Terima kasih," ujarnya lagi.
Aku bergeming.
"Maaf untuk semuanya," ujarnya sambil bangkit dari bangku yang ia duduki. Reza memandangiku yang masih merunduk tanpa mau memandanginya. Ia kembali menghela nafas, seraya berlalu pergi menuju parkiran.
Aku lalu menoleh ke arahnya, menatap punggungnya yang meninggalkanku sendirian di bangku taman kampus ungu.
"Aku memaafkanmu Za," batinku menatap Reza yang meninggalkanku sendiri.
--- tbc
R~
//kzl sama mbak2 random yg komen masalah makalah XD
Kita lihat nanti yes... Dua tokoh trsebut akan mndptkn peranan penting.
@boyszki hooh boy.
@digo_heartfire Emang ngeselin embak2nya bang. Mulutnya nggk bsa d kontol, walau ada benarnya juga yes.