It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
@viji3_be5t @riordanisme @happyday
@CouplingWith
Selamat membaca...
Bagi yang nggk mau di mention lagi, bilang ya.
"Lo nggak makan?" tanya Rini memandangiku yang bertopang dagu sambil mengaduk-aduk bubur ayam kantin MKU tanpa ada niat untuk segera memakannya. Nafsu makanku hilang setelah melihat semangkok bubur ayam itu terhidang di depanku. Mungkin aku telah bosan dengan bubur, karena semenjak di opname hingga beberapa hari yang lalu aku hanya bisa makan bubur.
Aku menggeleng lemah tanpa menatapnya. Rini mendesah sambil merebut mangkok itu dari hadapanku. "Mau dipesanin makanan lain?" tanya Rini. Aku kembali menggeleng sambil melipat kedua tanganku dan meletakkan kepala di atasnya.
"Kalau gitu makan nih bubur," ujarnya dengan volume suara yang lebih keras daripada sebelumnya, membuat beberapa orang temanku yang lain menatap kearahku. Rini kembali menyodorkan semangkuk bubur tersebut di hadapanku. "Lo masih dalam masa pemulihan, badan lo aja masih lemas, gimana mau sembuh kalau lo nggak mau makan kayak gini."
"Benar apa yang dikatakan Rini, lo harus makan tuh bubur walau sedikit. Minimal untuk ngisi perut aja, supaya tenaga lo ada untuk kuliah nanti," tambah cewek temannya Widya sambil di benarkan oleh temannya yang lain.
Dengan malas, aku lalu mengangkat kepala sambil menerima semangkok bubur yang disodorkan Rini kepadaku. Daripada diceramahi oleh wanita yang tidak akan ada putus-putusnya itu, aku lebih memilih untuk memakan bubur ayam yang ada di tanganku. Aku berdecak menatap horor semangkuk bubur ayam yang dipesan oleh Rini. Perutku seperti menolak bubur ayam itu masuk ke dalam tubuhku. Aku menatap Rini yang berlipat tangan memandangiku, berharap dia mengerti dengan apa yang aku rasakan saat ini.
"Atau perlu gue panggilin nyokap lo yang udah di kampung buat nyuapin lo?" celetuk Doni yang diikuti tawa teman-temanku yang lain.
Aku mendengus tanpa memandangi mereka. Aku lebih memilih untuk mengaduk bubur ayam tersebut sambil mengambil sesendok bubur tersebut ogah-ogahan. Perutku seperti hendak mau muntah melihatnya.
"Atau gue aja yang nyuapin lo gimana?" terdengar suara Widya di seberang meja. Doni yang ada di samping Widya langsung kelabakan sambil menggoyang-goyangkan tangannya tanda tidak terima.
"Dia bisa sendiri kok Wid. Palingan ada Rini yang nolongin dia," tukasnya sambil menatapku tajam. Dia nampak tidak senang, "mending suapin gue aja," sambungnya yang diikuti oleh sorakan heboh teman-teman satu kelas MKUku. Doni langsung malu-malu kucing sedangkan Widya menutup mukanya dengan tangan. Mungkin gadis itu syok telah menjadi korban dari gombalan buaya buntung seperti Doni.
"Emangnya lo sakit?" tanya Rini dengan salah satu alis terangkat. "Oh ya gue lupa guys," Rini menjentikkan jari, "Doni kan sakit jiwa," ujarnya sarkas. Semua hadirin yang ada di meja -kecuali aku, Widya dan Doni tentunya- tertawa terbahak-bahak sambil memandangi Doni yang sedang jengkel. Bahkan ada yang sampai memegangi perut dan menunjuk-nunjuk sahabatku itu.
"Terserah lo lah Rin, gue terima aja," Doni melempar pandangannya ke arah parkiran MKU dengan muka masam. Aku tersenyum sambil memasukkan sesendok bubur ke dalam mulut. Aku akui rasanya tidak seburuk apa yang aku fikirkan sebelumnya. Masih terasa enak seperti yang sudah-sudah. Hanya saja bawaan tubuh yang belum pulih serta rasa bosan membuat sesuatu yang enak menjadi mengerikan.
"Lo juga sih Don, pake ngelarang-larang Widya segala. Emang Widya siapa lo?" terdengar suara salah seorang gadis yang duduk di ujung meja berbentuk oval tersebut.
Doni mendengus. Mukanya memerah menahan malu karena pertanyaan salah seorang gadis yang menjebak itu. Doni lalu membelakangi kumpulan cewek terlebih Widya, menyembunyikan mukanya yang telah seperti kepiting rebus itu.
"Dududu, abang kita ngambek tuh," goda Rini membuat muka Doni berubah masam. "Wid, lo udah punya pacar belum?" tanya Rini lagi.
Sontak pertanyaan Rini membuat gadis berambut sebahu itu menjadi kikuk sambil melirik Doni sekilas. Sedangkan Doni, kalian tahu lah kalau ujung telinganya mendadak naik mendengar pertanyaan Rini barusan. Matanya membesar menunggu jawaban gadis yang nasibnya hampir sama sepertiku itu.
Widya tersenyum sambil menggeleng pelan, "belum Rin," jawabnya pasti. Doni yang masih membelakangi para gadis itu mengepalkan tangannya tanda gembira. Aku bisa melihat letupan-letupan kegembiraan dari sorot matanya. Bila tidak ada orang, mungkin dia akan memelukku dan berjoget-joget saat ini.
Eva mencubit Widya gemas, "Nah loh, Kak Revan gimana?" goda Eva yang membuat Widya tiba-tiba kaku.
"Siapa itu kak Revan?" tanya Rini.
"Itu dokter yang lagi koas di Puskesmas dekat kosan kita," Eva menatap Rini, "gue rasa sih tuh dokter demen deh sama Widya. Sejak kemarin dia ke kosan kita mulu," bisik Eva sebelum kembali mencubiti pipi Widya gemas. "Minjam ini lah, minjam itulah. Pasti ke Widya terus. Ya nggak Wid?"
Widya melambai-lambaikan tangannya. "Nggak kok, cuma teman aj kok. Nggak lebih."
Rini ber-o ria sambil melirik Doni yang membelakanginya. "Ganteng nggak?"
Eva berfikir sejenak. "Lumayan lah." Eva lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Dia nampak mengutak-atik ponselnya sebelum menyerahkannya ke Rini.
"Kak Revan yang makai baju merah, sedangkan yang disebelahnya itu adiknya Alvin," terang Eva.
Rini menerima ponsel yang Eva sodorkan padanya. Sambil menyendok bubur yang hampir habis itu, dia menatap layar ponsel Eva dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tiba-tiba Rini tersedak hingga terbatuk-batuk sambil menggapai-gapai air minum. Beberapa gadis yang ada di samping Rini langsung menyodorkan air minum pada sahabatku yang mendadak tersedak itu.
"Lo kenapa Rin?" tanya Eva.
"Nggak, nggak apa-apa kok." Rini menyeka ujung matanya yang berair. "Siapa nama adiknya tadi?"
"Owh, Alvin. Kenapa? lo kenal dia?"
"Nggak kenal sih, tapi pernah lihat," Rini melirik Doni yang masih berlipat tangan di meja acuh tidak acuh. Dia tidak lagi membelakangi para gadis lagi. Mungkin penasaran dengan Kak Revan saingannya itu. Entahlah. "Mungkin lo tau Don," ujar Rini sambil menyodorkan ponsel Eva ke depan wajah Doni. Doni nampak enggan, walaupun akhirnya menerima ponsel Eva itu ogah-ogahan. Aku tahu Doni hanya sedang berpura-pura sekarang.
"Ah ya, mungkin lo Don. Alvin kan anak FE, Akuntansi kalo nggak salah. Junior lo tuh," sambung Eva. Dia nampak berfikir keras sebelum nyeletuk, "kalo dilihat-lihat gantengan adiknya deh."
Doni memutar bola mata jengah, dia lalu melihat foto dari media sosial Eva tersebut. Pupil matanya tiba-tiba membesar dan rahangnya juga tiba-tiba mengeras. Dia menatapku, begitu pula Rini yang menatapku dengan tatapan yang sama. Ada apa dengan mereka sehingga menatapku seperti itu. Aku meneguk ludah. Pasti ada hubungannya denganku.
"Guys? Ada apa nih?" suara Eva mengagetkan Doni dan Rini. Mereka kembali seperti biasa tidak menatapku lagi.
"Ada apa sih, kok kalian segitu amat?" tanya seseorang dari temannya Eva sambil menyeruput minumannya. Rini menggeleng sedangkan Doni langsung menjawab tidak apa-apa. Mencurigakan.
"Don, gue juga mau lihat kak Revan dong. Seberapa ganteng dia," ujarku sambil langsung merebut ponsel itu dari tangan Doni. Doni sempat mengelak, walaupun akhirnya kalah cepat dibanding tanganku.
Sambil kembali menyendokkan bubur yang entah kenapa tinggal setengah itu, aku menatap layar ponsel Eva yang menampilkan akun Instagram miliknya.
Sebuah foto berlatarkan pantai dengan seorang pria berkaos merah, yang memeluk bahagia pria berkaos putih. Jantungku berdegup, dan tenggorokanku berasa tersekat. Bukan sang empunya foto yang terlalu ganteng, tidak. Aku lebih terfokus kepada adik sang punya foto. Pria mirip perempuan dengan soft lens hitam itu. Senyumnya, senyum yang sama dengan senyum ketika dia menatap pacarku Reza di foto yang diambil Doni di Grand Plaza. Dan mata itu, mata yang sama dengan mata pria jalang yang menatapku penuh kemenangan ketika aku terpuruk beberapa hari yang lalu di depan pintu kamar kos Reza.
Aku meletakkan ponsel Eva di meja. Bumi serasa berputar dan perutku bergejolak. Aku beranjak dari meja, bergegas menuju arah toilet. Aku bisa mendengar teriakan Rini yang memanggil-manggil namaku.
Aku langsung menuju wastafel, mengeluarkan isi perutku. Begitupun dengan air mataku yang telah keluar begitu saja tanpa aku sadari. Doni yang telah ada di sampingku membarut-barut punggungku tanpa bersuara. Perutku kembali bergejolak, lalu kembali memuntahkan isi perutku. Beberapa kali, sehingga aku tertunduk di wastafel toilet MKU. Kejadian-kejadian yang telah berusaha aku pendam kembali berputar-putar di kepalaku.
Aku memandang wajahku sendiri dari cermin yang ada di depanku. Wajahku yang menyedihkan.
Jadi pria itu bernama Alvin.
---
Lorong sangat penuh sesak dengan para mahasiswa yang sedang menunggu kedatangan dosen mereka masing-masing. Ada yang merumpi, saling tukar menukar tugas ataupun cemas sambil menatap layar ponsel mereka. Maklumlah, beberapa kali pertemuan lagi pertemuan telah terpenuhi dan mereka belum juga mendapatkan kepastian kapan ujian akan dilaksanakan. Dapat dipastikan mereka sangat cemas karena libur mekera yang terancam.
"Hati-hati," ujar Rini memegang tanganku. "Lo masih pusing atau gimana?"
Aku menggeleng, sambil melepaskan pegangan Rini. Aku lebih memilih duduk di salah satu bangku kosong yang tidak jauh dari posisi kami saat ini. Begitupun dengan Rini dan Doni yang turut duduk di sampingku. Pandanganku menerawang tidak jelas di tengah kerumunan lorong yang penuh dengan para pemuda-pemudi seumuranku itu. Aku berfikir sanggupkah aku bertemu dengan Reza, setelah sekian lama tidak bertemu dengannya. Dua minggu itu sudah termasuk lama bagiku.
Seperti mengetahui apa yang aku fikirkan, Doni berkomentar tanpa menatapku. Dia lebih fokus kepada layar ponselnya. "Nggak usah di fikirin, lo harus tegar. Keparat itu nggak akan ngegangguin lo," ujarnya, "palingan dia berusaha menghindar dari lo, karena malu."
"Semoga begitu," bisikku sambil menatap lantai memain-mainkan kaki. Ya aku harus tegar, move on dari dia dan menganggap kita tidak pernah ada hubungan apa-apa.
Dosen yang kami nantipun sampai. Seorang pria pendek setengah baya dengan kepala setengah botak dengan perut buncit, meneteng tas bewarna hitam berjalan cepat kearah kelas kami. Pandangan matanya yang tajam menandakan bahwa dia bukanlah orang yang senang bermain-main. Kami yang ada di lorong langsung masuk, mengikuti Pak Burhan dari belakang.
Beberapa langkah lagi menuju pintu kelas, mataku bersirobok dengan matanya, mata dari seseorang yang hingga saat ini sulit aku lupakan. Aku terpaku sebelum Rini menyadarkanku dari pesona Reza yang sulit aku ilakkan. Dia nampak tenang, dengan ekspresi datar. Tidak ada senyum yang biasa terpatri di wajahnya ketika bertemu denganku, membuat mukaku memerah dan jantungku berdegup kencang. Jantungku berdetak lebih cepat sekarang. Reza masuk ke dalam kelas tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia lebih memilih kursi di sudut depan dekat pak Burhan yang selalu dia hindari. Sedangkan aku diseret oleh kedua rekanku kearah kursi kosong di belakang. Perasaanku kacau.
Beberapa SKS itu aku lewati dengan perasaan tidak menentu. Rini dan Doni lebih memilih untuk diam, tanpa mau menggangguku. Mataku masih tertuju padanya yang ada di deretan kursi paling depan. Dia kelihatan lebih kurus dan tidak terawat, serta nampak tidak bersemangat dalam mengikuti kelas. Terlebih dirinya yang telah empat kali tidak mengikuti perkuliahan sehingga dia harus menemui dosen killer itu setelah kuliah nanti. Semoga dia diberi keringanan sehingga diperolehkan ujian dan tidak harus mengulang tahun depan.
"Saudara yang berbaju biru," teriak Pak Burhan di depan kelas, "jikalau saudara masih belum fit, saya izinkan saudara untuk tidak mengikuti kelas saya hari ini," ujar beliau menatap mataku nyalang sambil menaikkan kaca matanya.
"Maaf Prof, saya sudah fit Prof," jawabku terbata-bata. Terlebih semua mata tertuju padaku, membuatku kehilangan kata-kata.
"Bagus. Kalau sudah fit, tolong perhatikan saya di depan," ujar beliau, lalu kembali melanjutkan pelajaran.
Mataku melirik Reza sekilas. Dia nampak tidak terganggu dan malah acuh tak acuh dengan kejadian tadi sambil mencatat tulisan Prof Burhan yang mirip tulisan dokter itu. Ada sedikit rasa kesal dan kecewa yang terbersit di hatiku melihat Reza yang tidak menaruh rasa simpati kepadaku. Entah apa yang telah dilakukan Alvin hingga Reza sedingin itu kepadaku.
"Fokus bro, fokus," bisik Rini di belakang. Aku kembali melihat ke arah papan tulis yang hampir penuh dengan tulisan pak Profesor lulusan sastra Inggris itu.
Beberapa puluh menit berlalu, hingga pak Burhan keluar dari kelasnya. Tidak lupa beliau mengingatkan dengan tugas akhir dan waktu ujian yang akan di umumkan segera. Selain itu, beliau juga mengingatkan beberapa orang yang harus menemui beliau secepatnya karena kehadiran dan tugas-tugas. Termasuk salah satunya Reza, yang sedang berkemas-kemas di depan sana.
Reza nampak mencari-cari seseorang sebelum menoleh ke arahku. Jantungku mulai bedegup kencang, ketika Reza bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku berharap Reza akan duduk di depanku, menggenggam tanganku dan meminta maaf kepadaku atas kekhilafannya. Atau dia menyeretku ke tempat sepi lalu meminta maaf sambil memelukku di sana. Rini dan Doni sibuk di depan sana dengan tugas-tugas yang telah di koreksi.
Reza semakin mendekat, langkah kakinya seperti terdengar keras di telingaku, slow motion, membuat nafasku tertahan. Reza semakin mendekat, mendekat dan mendekat membuatku merunduk menahan malu. Aku berpura-pura tidak mengetahui kedatangannya. Ayolah Za, bilang bahwa kamu tidak berniat menyakitiku saat itu, kamu hanya bersandiwara dan tidak mengatakannya sungguh-sungguh.
Tapi, semua harapanku pupus sudah, hilang diterjang ombak. Reza lewat begitu saja di sampingku, memanggil seseorang yang ada di belakangku. Aku tidak bisa menggambarkankan seperti apa yang aku rasakan saat ini. Semua pengharapanku kandas sudah. Aku kembali kecewa.
"Bro, gue pinjam catatan lo, selama gue nggak masuk," ujar Reza dibelakangku. Dia terdengar bercengkerama dengan cowok itu sekedar basa-basi tanpa mempedulikanku yang ada di belakangnya. Aku seperti hantu baginya, makhluk astral yang tidak kasat mata.
Reza terdengar menepuk bahu pria itu lalu pergi tanpa menoleh kearahku sedikitpun, melewatiku saja seperti aku ini benda mati. Aku hanya bisa terpaku menatap punggungnya yang selalu membuatku nyaman. Punggung yang selalu menjadi sandaranku di kala susah.
Setelah sampai di depan kelas, seseorang gadis teman Widya memanggil namanya sambil menyerahkan tugas Reza dengan malu-malu. Cowok yang bisa disebut mantan kekasihku itu tersenyum sambil menerima tugasnya. Dia mengucapkan terima kasih dan nampak bercengkerama dengan gadis itu.
"Woi!," Doni mengagetkanku. Aku terkesiap sambil menatap cowok yang sedang mengangkat tugasku. "A minus," ujarnya sambil melemparnya ke depanku. Aku memungut tugasku itu sambil memasukkannya ke dalam tas. "Sayang, move on lo BL," ujarnya.
Rini langsung merangkulku sambil mempelototi Doni. "Lo yang A plus aja soal move on ," sindir Rini.
"Gue emang A plus klo soal move on. Minimal nggak melototin mantan kayak gitu juga kali."
"Hih," Rini memutar bola matanya, "lo kan beda kampus sama dia. Ya maklum aja lo cepat move on," sindir Rini. "Yang beda kampus aja sampai mau bunuh diri. Apalagi yang satu kelas ya? So level kalian beda."
Doni berdecak kesal. Dia kembali kalah saat berdebat dengan Rini. Memang, cewek selalu benar, kecuali Jessica yang baru-baru ini terhukum 20 tahun penjara karena membunuh rekannya. Dia lalu berjalan kearah pintu kelas dan kami lalu mengekorinya dari belakang.
"Terserah," ilak Doni. "Gue Sabtu depan ada acara. Kalian berdua bisa ikut nggak?"
Rini dan Aku saling berpandangan. Kita berdua saling berkompromi satu sama lain, sebelum akhirnya sepakat menyanggupi ajakan Doni.
"Bisa, lo tinggal panggil aja kita," jawab Rini dan aku yang mengiyakan. Doni nampak mengangguk-angguk di depan kami. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas yang telah kosong. Reza juga sudah keluar dari kelas.
Sesampainya di depan pintu kelas, Doni nampak terhenti sambil terpaku di depan kelas. Aku dan Rini berpandangan kembali sebelum bergegas kesamping Doni yang nampak memperhatikan sesuatu. Dia seperti mencegah aku untuk melihatnya, walau aku dapat cekatan mengelak dan menatap kearah koridor.
Aku terpaku sambil meneguk ludah.
Pria jalang bernama Alvin itu, tersenyum ke arah mantan pacarku di koridor kelas MKU. Begitupun dengan Reza yang nampak senang dengan kedatangan Alvin. Mereka berdua lalu berjalan beriringan menuju tangga gedung MKU, sambil sesekali mencuri aktifitas, bergenggaman tangan.
Jadi, seperti ini rasanya dikhianati.
---tbc
R~
@rama212 Emang kevar tuh Reza.
@Algibran26 Abang nggk main kasar kok, maaf klo sakit.
Same2
@lulu_75 Bkn bang
@master_ofsun Sipo2, semoga suka sampai akhir y
Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku sekilas sebelum memandang layar ponselku yang bewarna gelap. Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat dua puluh satu menit, yang menandakan bahwa Rini telah terlambat dua puluh satu menit dari perjanjian kita tadi.
Aku kembali berdecak kesal sembari menghentak-hentakkan kaki melihat chat yang aku kirim melalui BBM menampilkan tanda delay. Pasti Rini sedang menghemat kuota internetnya saat ini. Sialnya lagi, ponselku tidak memiliki pulsa yang cukup untuk melakukan panggilan hingga aku harus terjebak di depan Grand Plaza tanpa ada kepastian dari Rini.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling di depan bangunan berlantai delapan tersebut. Banyaknya kendaraan yang keluar masuk, serta beberapa pasangan muda-mudi yang baru saja keluar dari kendaraan mereka membuatku sedikit merasa iri dengan kemesraan mereka. Mereka bebas melakukan apapun yang mereka inginkan di depan orang banyak. Berbeda sekali dengan aku dan Reza yang tidak bisa seperti mereka.
Aku tersentak, ketika nada dering ponselku berbunyi. Aku menggelengkan kepala menghilangkan keirianku terhadap muda mudi tadi. Apa yang harus aku irikan dari mereka, sedangkan aku saat ini tidak memiliki pasangan. Aku merogoh saku celanaku.
"Lo dimana sih?" cerocosku tanpa mendengarkan apa yang hendak di sampaikan Rini seberang sana.
"Lo udah sampai?" tanyanya dengan nada pelan di seberang sana. Terdengar bunyi suara kendaraan di sekitarnya. Berarti dia sedang di perjalanan atau mungkin saja telah sampai.
"Belum sampai," jawabku ketus sambil melirik kekanan dan kekiri. "Gue udah di depan, lo dimana?"
"Mmm..., Maaf gue baru sempat ngabarin lo. Tapi gue nggak bisa datang."
Aku menyerngitkan dahi sambil menatap layar ponselku, sekedar memastikan bahwa yang menelponku memang Rini. Aku kembali meletakkan ponselku ke dekat telingaku setelah mengetahui bahwa memang Rini yang menelponku.
"Hallo, lo masih di sana kan?"
"Hmm, gue masih di sini kok nungguin lo dari setengah jam yang lalu."
Rini terdiam di seberang sana, sebelum diamnya berganti dengan suara ribut-ribut dan bunyi ambulans.
Aku nggak salah dengar kan, "Hallo, lo dimana sih? Kok ada bunyi ambulans gitu?"
"Gue di rumah sakit umum sekarang," jawab Rini. Dia lalu terdengar berbicara dengan seseorang sebelum melanjutkan pembicaraan, "lo tau nggak junior gue yang ngekos di kosan cewek dekat kosan lo? Yang sering nyapain kita kalo gue lagi jemput lo?"
"Oh ya, gue ingat. Cewek manis yang bertubuh mungil itu kan. Kenapa?" Aku lalu menuju salah satu kursi yang ada di pelataran Grand Plaza. Sambil mendengarkan Rini yang terdengar berbicara dengan orang lagi.
"Dia meninggal," ujar Rini di seberang sana. Aku langsung terduduk, dengak kalimat istirja' otomatis keluar dari mulutku. Gadis yang tidak aku ketahui namanya itu merupakan junior Rini dan kebetulan kosnya bersebelahan dengan kosku. Anaknya ramah dan murah senyum sehingga aku tidak menyangka kalau gadis itu bisa pergi secepat ini.
"Dia sakit apa? Kok mendadak gitu?"
"Dia nggak sakit apa-apa kok. Cuman tadi siang sebelum zuhur dia sempat ngeluh kurang enak badan sama temannya. Jadi dia pulang duluan. Pas sampai di depan kosannya...," Rini menggantung perkataannya, "dia kelindes kereta yang kebetulan lewat saat dia menyebrang," lanjut Rini. Aku langsung bergidik ngeri mendengar penuturan Rini. Berarti TKP berada persis di samping kamarku, karena kosanku berada di seberang rel kereta api dari jalan besar. "Mungkin dia nggak mendengar pluit kereta karena tersamarkan bunyi telolet bus," ujar Rini di seberang sana.
"Jadi intinya lo?"
Seperti mengetahui maksud pertanyaanku Rini langsung menjawab, "ya, kita se jurusan rencananya langsung mengantarkan jenazahnya ke kampung halamannya. Jadi ya, mungkin gue nggak bisa nemenin Doni."
Aku mengangguk-angguk sambil memikirkan nasibku nanti malam. "Yaudah, lo hati-hati ya Rin. Sama apa kesana?"
"Gue sama mobilnya Alfi," jawabnya. "Lo juga hati-hati kalo pas nyebrang rel kereta, liat kiri kanan dulu, terlebih musim telolet sekarang, klakson bus lebih keras daripada pluit kereta. Lo hati-hati."
Aku mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Rini. Setelah memintaku untuk menyapaikan permohonan maafnya ke Doni, Rini terdengar klasak klusuk tidak jelas sebelum memanggil namaku dengan suara pelan.
"Udah dulu ya, gue mau otw ke rumah duka. Jangan lupa sampaikan permohonan maaf gue sama Doni ya. Bye."
Rini memutup panggilannya tanpa menunggu jawaban dariku. Dia pasti sangat sibuk sekarang.
Aku lalu bangun dari kursi pelataran Grand Plaza. Sambil menuju tempat janjiku dengan Doni, aku lalu membuka aplikasi Instagram yang telah banjir dengan ucapan belasungkawa yang berasal dari civitas akademika universitasku. Tidak aku sangka kalau gadis itu harus meninggal cepat dengan cara tragis seperti itu.
Aku mengirimi Doni pesan lewat BBM, menanyakan posisinya sekarang. Aku lalu bersandar ke salah satu tiang yang ada di pusat pertokoan terbesar di kotaku. Banyak sekali orang yang berlalu lalang di sini. Banyak ekspresi yang terpancar dari wajah mereka. Ada ekspresi bahagia, sedih, bingung ataupun seperti menunggu seseorang.
Aku masih ingat saat pertama kaki aku jalan berdua dengan Reza setelah resmi jadian. Reza mengajakku jalan sore itu. Rasanya ada kecanggungan diantara kami berdua. Reza yang diam dan aku yang memilih merunduk berusaha mengontrol detak jantungku yang berpacu dengan cepatnya. Rasanya waktu yang kita habiskan sekedar memutari Grand Plaza ini sangat lama sekali.
Aku masih ingat, Reza mengajakku ke area permainan di sini. Dia membeli kartu, sedangkan aku hanya memandanginya dari jauh. Wajahnya, punggungnya, tangannya, kakinya, membuat kupu-kupu yang ada di perutku berterbangan hingga ke rongga dada. Rongga dadaku seperti penuh oleh dengan hawa hangat yang mengepul seperti kepulan nasi yang baru selesai di tanak.
Kita mencoba berbagai macam permainan di sini. Time Crisis, Maximum Tune, tapi yang paling aku ingat adalah disaat aku bermain permainan Street Basketball bersama Reza.
Reza merangkulku ke arah salah satu arena permainan bola basket itu. Reza pasti tahu kalau aku tidak begitu mahir bermain basket karena kita satu SMA dulu. Lemparanku pasti selalu meleset keluar dari ring basket. Aku ingat, dia tertawa disaat aku mengatakan bahwa aku tidak pandai bermain basket. Dia lalu mendekatkan tubuhnya ke tubuhku dari belakang, sehingga aku bisa merasakan hangat tubuhnya dari punggungku serta nafasnya di rambutku. Reza menggenggam tanganku dari belakang seraya menuntunku mengambil bola basket bewarna coklat cerah itu. Saat itul aku lebih fokus pada jantungku yang berdetak kencang daripada fokus memasukkan bola tersebut ke dalam ring untuk mencetak poin. Beberapa kali tembakanku meleset, bukan karena Reza yang sama bodohnya denganku dalam bermain basket, tidak. Tapi mungkin lebih di karenakan tanganku yang tidak bertenaga karena Reza tepat berada di belakangku.
Aku tersenyum sendiri, menatap lantai. Senyum getir lebih tepatnya. Kenangan bersama Reza sangat sulit aku lupakan, walau Reza yang sangat aku cintai itu telah tega berselingkuh di belakangku. Apa aku butuh pelarian untuk melupakan Reza? Entahlah, aku tidak tahu.
Aku mengedarkan pandanganku kembali ke sekeliling. Apa yang terjadi dengan Doni, sehingga sahabatku itu sangat lama membalas pesan dariku. Aku mengedarkan pandanganku ke arah bangku-bangku di balik tiang. Eh tunggu, itu bukannya Alvin selingkuhan Reza kan? Ya aku yakin itu pria jalang yang merebut Reza dariku.
Aku lalu sedikit mendekat kearahnya yang tidak berapa jauh dari posisiku tadi. Dia seperti menunggu seseorang. Pasti dia sedang menunggu Reza. Lihat saja pakaiannya, seperti orang yang hendak..., Ah lupakan. Lihat dia, dia seperti bocah di usianya yang tidak terpaut jauh dariku, dengan gayanya yang terlampau heboh dengan warna yang menyakitkan mata.
Aku menggelengkan kepala, mengusir semua rasa penasaran dan kesalku terhadapnya. Aku harus pergi dari sini sebelum Reza datang. Aku masih tidak sanggup untuk bertemu dengannya. Malu dong jikalau aku kedapatan berada tidak jauh dari selingkuhannya itu. Aku buru-buru bergegas ke posisiku semula. Posisi yang strategis untuk mengintai orang dari jauh tanpa ketahuan.
Ponselku berbunyi. Pesan dari Doni rupanya. Dia menungguku di cafe di lantai lima. Aku lalu membalas pesannya melalui BBM sambil menoleh ke arah Alvin tadi. Aku sangat terkejut, karena aku tidak menemukan Reza di sana. Alvin nampak menggamit seseorang pria paruh baya dengan mesra menuju salah satu toko di Grand Plaza. Siapa pria itu? Apa itu ayahnya?
Nada dering ponselku berbunyi, ada panggilan dari Doni. Aku harus segera ke lantai lima sebelum emosi Doni meledak-ledak nantinya. Aku masih berfikir keras dengan tanda tanya besar di fikiranku tentang Alvin, selingkuhan Reza.
---
Aku mengedarkan pandanganku ke dalam cafe mencari keberadaan Doni. Dia nampak melambai-lambaikan tangannya dari arah jam dua dekat dinding kaca yang langsung menghadap taman kota di depan Grand Plaza. Posisi yang bagus menurutku.
"Maaf terlambat," jawabku cengengesan sambil menarik salah satu kursi untuk duduk. Doni rupanya tidak sendiri. Dia bersama seorang pria yang mungkin seusia dengan kami dengan gayanya yang keren.
"Nggak apa-apa kok, gue juga baru juga datang," jawab Doni sambil menggeser daftar menu ke depanku.
Aku tersenyum, lebih tepatnya ke arah pria yang duduk di depanku. Untuk sekedar basa-basi. Wajahnya tampan tidak membosankan. Dia nampak terkesiap dengan kehadiranku, sehingga aku berdehem sambil mengambil daftar menu yang disodorkan Doni.
"Lo udah liat Instagram belum," tanyaku ke Doni sambil membalik-balik daftar menu, mencari makanan yang sesuai dengan kantongku.
"Udah, Rini nggak bisa datang karena anak FKIP yang kecelakaan itu kan?" tanya Doni. "Eh kosan korban di samping kosan lo kan?"
Aku menutup daftar menu sambil mendesah. "Ya gitu deh." Aku mengangkat bahu. "Katanya sih TKP tepat di depan pagar kosannya."
"Yang berarti di samping kamar lo dong?" potong Doni yang aku balas dengan anggukan. Doni langsung bergidik ngeri sambil menatapku horor. "Hati-hati loh, ntar malem...."
Aku langsung membuang muka sambil melirik pria teman Doni sekilas. Dia nampak tersenyum dengan lesung pipit yang menambahkan poin ketampanannya.
"Oh ya, gue lupa perkenalkan teman gue. Anak FE juga, kebetulan ketemu di depan," ujar Doni. Aku langsung tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan.
"Gaga," ujarnya menyebutkan nama. "Gaga Fernando Januar," tandasnya sambil menjabat tanganku erat.
"Oh ya aku..."
"Aku sudah tahu nama kamu kok." Pernyataannya membuatku menyerngitkan kening. "Masak ada juga yang nggak kenal dengan selebgram FPsi kampus kita," lanjutnya. Aku terpana dengan perkataannya. Memang beberapa kali fotoku di repost oleh akun Instagram aktifitas kampus. Terlebih beberapa bulan yang lalu disaat aku berhasil mendapatkan love terbanyak di lomba foto terbaik dalam rangka dies natalis kampus, yang melambungkan akun Instagramku.
Aku langsung melepaskan tangannya sambil menggaruk-garuk kepalaku. Aku jadi tersipu dengan pujiannya itu.
"Ah bisa aja," kilahku. "Bukannya kamu yang selebgram?"
"Lah kok gitu?"
"Iya, Gaga kan..."
"Owh..., bukan. Aku bukan Gaga yang itu. Aku Gaga anak FE teman Doni," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Ya nggak Don?"
Doni tersenyum sambil mengangkat bahu. "Terserah lah," jawabnya singkat. "Oh ya, lo mau pesan apa?"
Aku menggigit bibir menatap matanya penuh arti. "Terserah lo deh. Asalkan, nyaman di kantong gue," bisikku yang membuat dua mahasiswa FE di depanku tertawa.
"Okeh-okeh. Gue faham." Doni nampak mengulum senyum sambil menarik daftar menu. Dia membalik-balik daftar menu tersebut sambil berbisik ke arah Gaga, "maaf ya bro, sobat gue emang gitu orangnya," bisiknya seraya melirikku jahil. Aku bisa mendengar apa yang kamu bisikkan Don.
Setelah menuliskannya, Doni lalu memanggil pelayan cafe tersebut. Dia nampak tidak sabaran sambil melirik jam tangannya. Aku lebih memilih memandang keluar jendela menatap taman kotaku yang besar. Nampak cantik dari ketinggian. Selingkuhan Reza tadi masih mengusik fikiranku. Siapa sebenarnya om-om yang di gandengnya tadi. Entah kenapa ada perasaan tidak rela dariku, apabila om-om itu bukan keluarga Alvin.
"Hei, ngelamun aja," kejut Gaga, membuatku langsung terkesiap. Sambil tersenyum canggung aku menoleh ke arah Doni. Dia tidak ada di tempatnya. Seperti mengetahui fikiranku, Gaga pun menjawab, "dia lagi ke toilet."
Aku mengangguk. Ada kecanggungan diantara kita berdua. Dia sangat tampan hingga aku sedikit ragu untuk menatapnya secara langsung. Pesonanya mungkin dapat membobol pertahananku sebagai pria istimewa. Dia lebih memilih diam dari pada mengobrol denganku.
"Gaga, teman sejurusan Doni ya?" tanyaku mencairkan suasana.
Dia mengangguk, "kita sempat beberapa kali satu kelas," jawabnya lugas. "Kamu sendiri? Kok bisa Doni kenalan sama selebgram kampus kita?"
Aku tersipu, anak ini pintar mengambil hati rupanya. "Kita satu kelas di MKU, pernah sekelompok bareng, sama Rini juga. Karna saling nyambung akhirnya ya kita jadi dekat seperti sekarang," jawabku.
"Hei hei nggak lagi ngomongin gue kan?" tanya Doni yang baru kembali dari toilet. Dia hendak menyapu tangannya yang basah ke bajuku yang langsung aku tepis. Gaga tertawa melihat kelakuan kami berdua. Tak lama makanan yang kita pesan pun datang.
"Bay the way, siap ini kita mau kemana?" tanyaku ke Doni yang sedang menyantap makanannya. Gaga melirik kearah kita.
Doni tersenyum, "sebenarnya gue minta tolong buat temenin gue ke kota sebelah," ujarnya. Aku mengerutkan kening. Tumben sekali Doni mengajak kami untuk pergi.
"Ngapain?"
"Gue mau beli sesuatu untuk ulang tahun Widya," jawabnya malu-malu. Aku langsung tersenyum. Rupanya seperti itu. Doni benar-benar serius dengan Widya hingga mengajak aku dan Rini untuk menemaninya membeli hadiah.
"Oh ya, Widya kan ulang tahun awal Januari ya," gumamku.
"Widya siapa?" tanya Gaga bingung.
"Widya itu gebetan Doni. Kita sekelas sama dia di kelas Bahasa Inggris," jawabku sambil melirik Doni sekilas. Dia nampak malu-malu.
"Owh, gitu ya." Gaga menggaruk-garuk belakang kepalanya.
"Makanya gue ngajakin lo sama Rini buat ikut. Nyari hadiah yang cocok gitu, sekaligus penyegaran sebelum UAS."
"Aku nggak ikut ya?"
Aku dan Doni berpandangan sejenak sebelum Doni tertawa, "lo boleh ikut kok. Lo bawa mobil kan?" Gaga mengangguk, "kita ke sana pakai mobil lo aja."
Gaga berdecak, "gue dimanfaatkan," celetuknya yang membuat kita tertawa.
"Dapat di katakan begitu," ujar Doni lagi. "Lagian lo bisa beli sofenir juga kan, buat hadiah tahun baru."
"Bener juga ya, bisa dibuat untuk hadiah ultah pacar nanti. Ya nggak bro?" Gaga melirikku.
"Dia nggak punya pacar juga," sindir Doni yang disertai tawannya yang meledak. Beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah kami atas kegaduhan yang diciptakan Doni. Aku merengut sambil melipat tangan.
Gaga tertawa, "minimal buat calon pacar ya bro," ujarnya sambil melirikku. Aku tersenyum menanggapi perkataan Gaga.
Aku menatap makananku yang tinggal sedikit lagi habis. Aku memang tidak perlu membeli hadiah untuk pacar, karena aku telah mempersiapkan hadiah tersebut jauh-jauh hari. Rasanya sangat sakit ketika aku melihat kotak kado itu tergeletak di meja belajarku begitu saja tanpa bisa aku berikan kepada Reza beberapa hari lagi.
"Ah gitu aja baper lo," celetuk Doni. Aku kembali tersenyum sambil membuang ingatanku tentang Reza. Minimal, hadiah itu bisa aku buang ke tong sampah di hari ulang tahunnya yang bertepatan dengan awal musim dingin di belahan bumi utara itu.
"Siapa yang baper juga." Aku berpura-pura mengambek sambil menghabiskan makananku yang tinggal sedikit.
"Kok harus ke kota sebelah sih Don?" tanya Gaga.
Doni tersenyum, "kebetulan hadiah yang mau gue beli itu ada di sana," jawab Doni lugas. "Gebetan gue itu pernah menyukai sebuah kerajinan tangan yang ada di kota sebelah disaat liputan di televisi. Jadi berhubung bentar lagi dia ulang tahun, minimal gue bisa mewujudkan keinginannya tersebut."
Oh ya aku ingat, beberapa minggu sebelum putus dengan pacarnya, kita pernah melihat sebuah liputan kerajinan di televisi kantin MKU. Widya sangat tertarik dengan salah satu kerajinannya, dan berharap dapat memilikinya.
"Sifat penjilat emang gitu kok," ujarku sarkas sambil memasukan makan terakhir ke mulut. Gaga lalu tertawa dengan Doni yang cemberut di depan sana.
"Persahabatan kalian unik ya," ujar Gaga sambil melirikku. Aku hanya tersenyum sambil meneguk minuman yang telah kami pesan. Aku berharap semoga persahabatan yang telah kami jalin setahun ini bisa langgeng hingga kakek-nenek, tidak seperti kisah cintaku yang kandas di tengah jalan.
Doni sahabatku lalu melirik jam yang melingkar di tangannya. Dia membunyikan jari-jari tangannya, menatap aku dan Gaga bergantian dengan semangat.
"Yuk!"
Aku tersenyum menatap Gaga yang juga menatapku. "Gimana Ga?" tanyaku kepada cowok yang aku kira lebih tinggi dariku itu. Dia tersenyum sambil mengangguk.
"Yuk, dari pada kemalaman ntar," jawabnya. Doni langsung terkekeh senang sambil menyandang tas ranselnya. Aku juga begitu menyandang tas ranselku yang berisi beberapa tugas yang belum sempat aku kumpulkan.
Doni langsung bergegas ke meja kasir. Gaga sempat menolak, namun kalah cepat dengan Doni yang langsung membayar di kasir. Sedangkan aku, hanya bisa berdiri menatap mereka dalam berlomba-lomba membayar di meja kasir.
Akhirnya Doni berhasil menang dalam pertarungan di meja kasir. Kami lalu berjalan beriringan keluar dari cafe tersebut. "Kalian tunggu aja di depan ya, biar gue ke parkiran," ujar Gaga. Aku langsung menyelanya sambil menggeleng.
"Nggak ada seperti itu, kita sama-sama ke parkiran," tukasku. Doni hanya diam saja. Mungkin dia sedang membayangkan ekspresi Widya ketika menerima hadiah darinya. Sedangkan Gaga tersenyum menatapku.
"Okelah," ujarnya lagi.
Aku kembali merogoh ponsel yang ada di kantongku. Aku membuka aplikasi Instagram yang berhasil melambungkan namaku. Minimal, aku cukup dikenal oleh beberapa orang yang aktif di media sosial tersebut. Feedku masih belum beranjak dari ucapan belasungkawa terhadap junior Rini yang meninggal secara tragis itu.
Iseng, aku melihat akun Instagram Reza yang sudah lama tidak aku kunjungi. Dia tidak pernah lagi memposting foto semenjak foto terakhirnya tiga bulan yang lalu. Aku tertegun dengan captionnya di foto tersebut.
"Liatin Instagram segitu amat," goda Gaga, "kita udah sampai nih," ujarnya lagi sambil mengarahkan tangannya ke arah Honda Jazz bewarna merah. Gaga pasti anak orang kaya, sehingga dia memiliki mobil semahal ini. Aku hanya bisa terpana menatapnya yang tengah membuka pintu disamping kemudi.
"Ayo masuk!"
Aku mengangguk sambil membuka pintu penumpang. Mobilnya harum aroma terapi dengan beberapa aksesoris yang tergantung di dalamnya. Ada beberapa buah buku yang berserakan di kursi penumpang, membuatku tersenyum. Gaga suka membaca novel rupanya.
"Motor lo gimana ntar?" tanya Gaga ke Doni yang ada disampingnya.
"Gampang mah, tinggal parkir aja di sini," jawab Doni sambil menggeser layar ponselnya. Aku hanya diam menatap mereka berbincang-bincang membahas tugas mata kuliah mereka.
Akupun menoleh ke arah beberapa buah buku yang ada di sampingku. Ada beberapa novel keren yang berada di tumpukan itu. Mataku menangkap sebuah buku yang lagi booming belakangan ini. Aku mangambilnya sambil melirik Gaga dari kaca spion depan. Mataku bersirobok dengan matanya yang tengah mengamatiku. Aku terkejut setengah mati karena ketahuan sedang meliriknya.
"Kamu suka baca novel ya?" tanya pria itu, yang aku balas dengan anggukan.
"Dia mah gila novel kali Ga, kamar kosnya itu isinya novel semua," potong Doni tertawa mengejek. "Kalau lagi libur mah, kalo nggak tidur ya baca novel," tambahnya.
"Wah bagus itu berarti," ujar Gaga sambil melirikku dari kaca spion depan. Aku hanya tersenyum masam sambil menggaruk-garuk kepala. "Kalau mau pinjam novel itu pinjam aja, nggak apa-apa kok."
"Eh nggak apa-apa ya?"
"Nggak apa-apa kok, kebetulan aku udah baca novel itu kok."
Aku menatap buku bersampul biru yang belakangan di gandrungi oleh para remaja. Aku belum pernah membacanya, sehingga membuatku penasaran dengan novel tersebut.
Gaga seperti memperhatikanku dari kaca spion depan mobilnya. Aku lalu menoleh ke arah kaca tersebut sehingga mata kami kembali bersirobok. Gaga tersenyum memandangiku yang mungkin nampak lucu di matanya. Sedangkan aku, terpaku menatap wajahnya dari kaca depan mobilnya.
Gaga Fernando Januar.
--- tbc
R~