It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
***
Aku memakan bekal pemberian David dengan khidmat di kantin. Rasanya enak sekali. Tiap suapan membuatku teringat pada senyumannya yang selalu sukses menggodaku buat menambah dosa. Laras sedang menceritakan sesuatu yang ada hubungannya dengan seorang cowok imut ditengah gerombolan cowok berbody kayak PT. Rendi yang sedang dalam mood bagus menambahkan sambal ke baksonya dengan jumlah yang tidak masuk akal.
Tadi, Rendi sudah cerita padaku dan Laras bahwa orang tuanya sekarang sudah baikan. Memang, Rendi masih belum tahu pasti apa yang sebenarnya mereka perdebatkan, tapi yang penting besok mereka berencana pergi berwisata ke air terjun. Rendi seperti mau meledak saking senangnya saat dia selesai bicara. Aku memberinya senyum selamat dan menepuk pundaknya. Laras langsung nyosor dan memeluk Rendi di dadanya. Tipikal sekali.
Aku tertawa saja melihat tingkah mereka. Padahal sebenarnya hatiku sedang dipenuhi berbagai emosi yang campur aduk. Sedihku setengah. Bahagia pun setengah. Nah, sekarang ditambah lagi cemas setengah. Aku seperti mau muntah.
Beberapa anak yang melewati meja kami, yang sekelas denganku, tentu saja, tersenyum jahil melihatku sedang makan. Aku mengangkat sebelah alis dan mereka mulai cekikikkan dan berbisik-bisik seru bersama temannya, lagi. Aku yang dasarnya emang nggak pedulian dan selalu whatever dengan apa yang orang lain pikirkan, hanya mengangkat bahu dan melanjutkan makanku. Yeah, ini kan cuman chapter selanjutnya dari apa yang sudah terjadi di kelas tadi.
Jadi, para readers yang budiman, tadi saat aku masuk ke kelas setelah David lenyap dari pandanganku, seisi kelas langsung gaduh. Beberapa cowok bahkan berdiri dan mengeluarkan semacam siulan dengan empat jari tangan mereka, cewek-cewek cekikikkan dan tersenyum padaku. Lebih banyak lagi yang, mungkin mereka maksudkan untuk, berbisik-bisik. Soalnya aku masih bisa mendengar suara mereka.
"Nggak nyangka ternyata Yana kayak gitu.." Chiko berbisik.
"Kalau aku sih udah curiga dari dulu, soalnya dia pernah nolak aku.. Secara, kan aku cewek paling cantik di sini," ini yang ngomong Melody. Dulu kita akrab, tapi semenjak aku nolak dia waktu itu, dia jadi bersikap dingin sama aku. Kami bahkan tak pernah lagi bertukar sapa.
"Tapi dia sama David.." Ratna berguman.
"Iya, yah.. Nggak kepikiran Yana bakalan sama David.." Surya berbisik ditelinga Wildan.
"Padahal aku suka sama David.. Tapi setelah semua ini.." Santi berkata pada teman sebangkunya.
"Aku suka sama Yana," Fajar berguman sendiri.
"Aku suka mereka pacaran," nah, ini pasti Laras. "Mereka menggemaskan kalo berduaan,"
Hanya Stela yang kelihatannya benar-benar ingin tahu dan bukan sekedar mau sok tahu. Dia memandangku dengan tatapan penasaran, tapi saat aku mamandang balik, cewek berkacamata itu buru-buru menundukan kepala dan membaca buku sampai menutupi wajahnya, dengan posisi terbalik. Bitch, please!
Aku duduk disamping Rendi yang nyengir lebar dan mengucapkan selamat pagi. Dia mengucapkan 'selamat pagi' balik sambil tersenyum, dan terus tersenyum. Aku jengah melihatnya.
"Kamu kenapa sih?" Laras bertanya dengan nada sebal. Aku seperti ditarik paksa ke bumi.
"Apaan?"
"Dari tadi senyum sendiri," kata Rendi. Bibirnya sekarang semerah bibir Bu Helga, dia seperti habis minum secangkir darah, walau aku sadar sepenuhnya bahwa dia keracunan sambal. Ada keringat di keningnya. "Kayak orang gila tahu, nggak,"
"Nggak apa-apa, cuma inget hal lucu aja," aku nyengir kuda. Aku aneh nggak sih? Padahal tadi aku sedang nyeritain hal nyebelin, tapi aku malah senyum-senyum sendiri. Aku menyalahkan kotak bekal dan sebatang coklat yang diberikan David untuk semua itu.
"Oh seperti itu," Laras berguman penuh selidik. Matanya menyipit ingin tahu.
"Iya, seperti itu, Ras," kataku. Laras mendelik, aku melanjutkan makanku. Rendi menambah lagi sambal ke baksonya.
***
Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku dan Rendi buru-buru membereskan barang-barang kami dan memasukannya ke tas. Laras sudah selesai dan berdiri di sampingku. Kukira dia mau menungguku, eh, nggak tahunya ternyata dia pamit pulang duluan sama Cakra. Aku mengiyakan saja saat dia mengatakannya.
"Sorry, ya," katanya sambil nyengir, lalu dia melakukan sesuatu yang sangat jarang dia lakukan, kecuali di hari-hari besar semacam perpisahan sekolah.
Laras mencondongkan badannya dan mendaratkan sebuah kecupan basah di pipiku, aku terkejut nggak bisa ngapa-ngapain. Heran, deh! Kenapa belakangan ini aku jadi sangat sering dicium orang-orang? Dia nggak lama, cuma sepersekian detik sebelum dia menarik dirinya dan pergi. Rendi menyikutku.
"Gimana sih rasanya dicium Laras?" tanyanya dengan nada menyebalkan.
"Basah," jawabku cuek. Kutarik tasku ke punggung. "Yuk!"
Rendi mengikuti langkahku ke koridor.
"Yan, boleh nanya nggak?" dia bertanya sambil berjalan.
"Nanya apa?"
"Manurut kamu, enakan dicium Laras atau dicium sama aku?" aku langsung berhenti dan menoleh padanya, alisku terangkat maksimal.
"Pertanyaan macam apa itu," kataku heran. Apa sih maksudnya memintaku membandingkan hal seperti itu?
"Udah, jawab aja," Rendi berkata gemas. "Susah amat, sih! Tinggal bilang aja enakan dicium sama aku atau Laras,"
"Laras," kataku langsung. Aku kembali berjalan. Rendi buru-buru mensejajarkan langkah kakinya denganku.
"Apa sih enaknya dicium Laras? Ciuman buru-buru gitu masa enak," Rendi mencibir, sepedas jumlah sambal yang tadi dia makan. Aku menghela nafas lelah.
"Ya, udah, enakan dicium sama kamu," kataku, menyerah. Rendi mendelik.
"Nggak ikhlas banget, sih ngomongnya," dia menyilangkan lengan di dada. "Kalau nggak enak, ya bilang aja,"
"Astaga Rendi! Kamu kenapa sih?" aku menatapnya heran. Pagi-pagi dia senyum-senyum, sekarang dia jadi begini. Kepalanya kebentur lagi atau gimana sih? "Hari ini kamu aneh banget,"
"Kamu tuh yang aneh," Rendi tak mau kalah. "Pagi-pagi kelihatan capek, terus siang-siang senyum sendiri, dan pulang sekolah malah jutek banget,"
"Heh?!" apa aku bersikap seperti itu hari ini? Perasaan nggak, kok! "Maksud kamu apaan?"
Kami sudah sampai diparkiran. Aku berhenti dan berbalik menatapnya. Kami berdiri saling berhadapan dan mendelik pada satu sama lain. Aku harus mendongkak karena dia sedikit lebih tinggi dariku.
"Aku, kan cuma minta pendapatmu aja! Enakan dicium Laras atau aku,"
"Aku, kan udah bilang enakan dicium Laras. Apa itu masih kurang buat kamu?"
"Apasih enaknya dicium Laras?" dia tanpa sadar meninggikan suaranya. Aku mulai menyadari kerumunan yang mendekat. Sangat penasaran dengan pertengkaran absurd kami. Wah! Bahaya, nih! Aku mencoba baik-baik sama Rendi.
"Ren, marah-marahnya nanti aja, ya," kataku lembut. "Kamu boleh teriak lagi nanti di kamarku," aku sendiri penasaran apa sebenarnya masalah Rendi.
"Ta-" kututup mulutnya dengan tanganku dan mendorongnya mendekati motor merahnya.
"Malu, Ren. Banyak yang lihat," dia akhirnya menurut setelah aku melotot memperingatkan. Kata Rendi, kalau sedang melotot aku kelihatan kayak kecoak terbang, dan Rendi benci kecoak. Satu fakta menggelikan dari seorang cowok jangkung, atletis, dan tampan seperti dia.
Setelah memakai helm dan naik ke boncengannya, Rendi melajukan motornya meninggalkan parkiran.
***
Nineteen
***
Aku memandang pantulan wajahku di cermin. Seorang cowok berpostur standar dan bermata sipit memandang balik padaku, aku mendelik padanya dan merasa tidak puas. Kurapikan sedikit rambutku dengan tangan.
Sekarang masih setengah tujuh, tapi karena aku terlalu gelisah, antusias, dan gerogi aku memilih untuk bersiap-siap lebih awal sebelum David menjemputku. Ini bukan kencan, kan? Aku cuma mau mengantarnya membeli sepatu, memberinya beberapa komentar, lalu mungkin langsung pulang. Tapi kenapa aku bisa sampai sejengkel ini pada sehelai rambut yang jatuh menjuntai di keningku? Bila ini bukan, lah sebuah kencan?
Kuambil sepotong coklat pemberian David dan mengunyahnya sambil duduk bersila di atas tempat tidur. Saat itu Kak Andy masuk ke kamarku. Dia hanya memakai celana basket dan telanjang dada, yang berarti dia akan diam semalaman di kamarnya karena tidak ada yang mengajaknya keluar, atau seseorang yang bisa diajaknya keluar.
"Ada apa, kak?" tanyaku. Dengar, ya sekalipun dia telanjang bulat dan berjalan masuk ke kamarku, aku takkan mungkin bisa ereksi. Pertama, karena dia adalah kakakku. Kedua, aku tak berminat dengan hubungan incest.
"Nggak ada apa-apa," jawabnya. Dia duduk di sampingku. "Kamu mau kemana?"
"Main," kataku. "Kenapa?"
"Oh, sama siapa?"
"Temen sekolah,"
"Cowok atau cewek?"
"Cowok,"
"Namanya?"
"David,"
"Dia temen sekelas?"
"Bukan, dia anak IPA,"
"Apa kalian temen deket?"
"Mmm.. Ya,"
"Dia tinggal dimana?"
"Perum Permata,"
"Sama orang tuanya?"
Aku mulai jengah. "Kak, aku cowok, aku bisa jaga diriku sendiri," kataku tegas, walau mungkin gagal gara-gara coklat yang lumer di sudut bibirku. Kak Andy dengan sigap mengambil tisu di meja belajar dan melap bibirku dengan ganas.
Aku paling males kalau Kak Andy udah ngadat begini. Dia itu berkepribadian ganda. Kadang jutek banget, tapi kadang bisa lebih perhatian dan over protektif dari kakak manapun yang ada di dunia.
"Apaan sih?!" aku berusaha menghindar.
"Sstt! Diam aja napa?" akhirnya aku menyerah saat dia menahan kepalaku dan membiarkannya melakukan apapun sesuka hatinya. "Berapa sih usia kamu, Yan makan aja sampai belepotan begini,"
"Tujuh belas," jawabku malas. "Udah, ah Kak, malu tahu,"
"Malu sama siapa? Aku ini kakakmu, masa malu sama kakak sendiri," Kak Andy protes. "Inget nggak? Dulu itu kamu paling manja sama kakak, minta digendong kemana-mana, nggak mau tidur kalau nggak ditemenin.. Tapi semenjak kamu masuk SMP kamu jadi jutek gini,"
"Aku, kan pengen dewasa," kataku. "Nggak mau jadi anak kecil terus,"
"Oh, gitu, ya," dia berhenti dan memandang wajahku dengan sangat intens. Please! Jangan bilang dia mau menciumku juga! "Kamu pernah ngocok, Yan?"
Aku mengangkat alisku yang rimbun. "Itu rahasia,"
"Nggak boleh ada rahasia diantara dua pria seperti kita, Yan," katanya mengingatkan. "Nih, kakak kasih tahu, Kakak pertama kali ngocok pas umur 10 tahun. Ciuman pertama pas umur 14 tahun. Pertama kali ngesex pas-"
"Njay!!" kataku dan mendorong bibir kotornya menjauh dariku. "Stop di sana, kak! Aku nggak mau tahu,"
"Kalau gitu ceritain kehidupan seksual kamu dong!" protesnya. "Buruan, biar kakak nggak mikir yang nggak-nggak soal kamu!"
"Mikir yang nggak-nggak apaan?" tanyaku terganggu, dia menyingkirkan tanganku dari wajahnya dan memandangku lagi. "Emangnya aku punya gerak-gerik mencurigakan?"
Dia menghela nafas pelan dan mengalihkan pandangannya. "Tadi, kakak baca sebuah artikel di internet," dia berhenti sebentar, seperti menungguku bertanya. Tapi aku diam saja dan diapun akhirnya melanjutkan. "Isinya tentang hubungan sejenis yang menjangkit remaja sekarang,"
Deg! Jantungku serasa berhenti seketika. Telapak kakiku terasa dingin, yang aku yakin tak ada hubungannya dengan lantai kamarku. Hubungan sejenis? Apakah dia tahu kalau aku.. Gay? Bisex?
"Kakak cuma khawatir kalau kamu ketularan gara-gara temenan sama orang yang nggak bener," dia memberiku tatapan cemas yang mendadak membuatku jadi sangat melankolis. "Kamu adikku satu-satunya, kakak cuma pengen kamu dapat yang terbaik,"
"Kak," kataku, berusaha kelihatan kuat dan tenang. "Temen-temenku semuanya baik, nggak kayak gitu. Lagian, kakak kan yang paling tahu aku kayak apa dulu," dulu itu dia pernah mergokin aku lagi ciuman sama cewek di kamar saat rumah kosong. Kak Andy marah besar padaku, tapi dia cukup cerdas untuk tidak memberitahu Papah dan Mamah. Sebelumnya, saat masih SMP, Kak Andy pernah menemukan sepuluh JAV dan ratusan foto wanita telanjang di hapeku. Dia memarahi dan menasehatiku, lalu langsung mengambil kartu memoryku dan mematahkannya jadi dua. Apakah kakak laki-laki kalian seperti kakakku?
"Tapi kakak nyaris nggak tahu apa-apa soal kehidupan kamu sekarang ini," katanya lemah. Aku merasakan dorongan hati untuk memeluknya, menyandarkan kepalaku di dadanya. Seperti yang biasa aku lakukan saat kecil. "Kakak nggak tahu siapa aja temen kamu, kayak gimana mereka, gimana keluarga mereka, apa mere-"
"Yana!" perkataan Kak Andy terpotong teriakan Mamah dari lantai bawah. "Dicariin temen kamu, sayang!"
"Ah, itu pasti David," kataku pada Kak Andy. "Bilangin bentar lagi, Mah!" teriakku pada Mamah.
"Aku berangkat dulu, ya Kak," kataku sambil bangkit dan merapikan diriku sendiri. Aku menatap cermin, memastikan tak ada coklat di wajahku. "Kalau mau tidur di kamarku nggak apa-apa, kok,"
Setelah memakai sepatu aku bersiap turun, tapi berhenti di depan pintu saat merasakan tatapan Kak Andy. Aku berbalik dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur. Dia menatapku dengan tatapan sayu dan senyum tipis.
Aku menghela nafas dan berjalan kembali ke arahnya, lalu memberinya sebuah pelukan. Kak Andy langsung melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuhku dan menempelkan pipinya di rambutku. Kak Andy selalu seperti ini saat memelukku. Yeah, paling tidak itu saat aku masih SD. Saat aku masih takut dengan petir dan suara guntur.
"Aku bisa jaga diri, kok," kataku di dadanya. "Nggak usah khawatir,"
Kak Andy selalu terasa hangat. Apa lagi karena sekarang dia telanjang dada. Kulitnya bersentuhan langsung dengan pipiku. Aku bisa mendengar suara detak jantungnya, yang membuatku tergoda untuk membatalkan janjiku dengan David.
"Yan," dia berkata pelan. "Kalaupun tiap tahun usia kamu bertambah, dengan pola pikir dan sikap yang berbeda, kalaupun kepala kamu nanti sudah beruban, dengan sepuluh cucu sekalipun, bagi Kakak kamu tetap adik kecil yang harus dijaga dan selalu takut sama petir dan guntur,"
Aku tertawa mendengarnya. Lalu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat, berikutnya bisa kudengar suara Papah berkata. "Duh, anak papah lagi sayang-sayangan ternyata. Manisnya,"
Buru-buru aku menyingkir dan mendorong Kak Andy menjauh. "Papah ngangetin aja deh,"
"Habisnya kamu lama banget," kata Papah. "Temen kamu udah berakar di depan tahu nggak,"
"Oh, maaf, Pah, tadi Kak Andy gangguin aku sih, jadinya lama," kataku. Papah cuma geleng-geleng kepala dan kembali turun. "Oke, udah dulu pelukannya. Ada janji yang harus aku tepati,"
Kak Andy mengangguk. "Oke," katanya. "Sana, pergi," tambahnya dengan nada mengusir.
Aku mencibir sebelum turun menemui David.
Oke, akhir kata, Happy reading! Mohon kritik dan sarannya minna!
***
Twenty
***
Aku tahu dunia itu nggak sesempit yang ada dalam kepalaku, tapi aku nggak mengerti mengapa aku harus bertemu dengan Kak Ikbal di saat seperti sekarang ini. Demi Olympus, Asgard, Hogwarts, Narnia, Panem, Khayangan, dan semua tempat fiksi lainnya yang ingin aku datangi.. Tak bisa kah aku ketemu dengannya besok saja? Kepalaku bahkan masih belum dingin gara-gara perkataan Kak Andy tadi sore.
David menggandeng tanganku saat kami keluar dari toko sepatu yang baru saja kami datangi. Dia tersenyum sambil menoleh padaku, aku tersenyum balik dan merasakan wajahku memerah karenanya. Hey, kapan aku bisa berhenti merona begini? Aku mulai muak dengan diriku sendiri. Sayangnya, David tidak terlihat keberatan dengan warna wajahku. Bahkan dia juga ikutan merona bersamaku.
Ketika kami sampai diparkiran, saat itulah untuk pertama kalinya aku menyadari kehadiran Kak Ikbal. Dia duduk di motornya, bahkan tanpa melepas helmnya. Tapi dalam kegelapan sekalipun aku masih bisa mengenali sosoknya. Kalau aku ibaratkan, dia itu seperti matahari di tengah malam, Midnight Sun. Kedengaran seperti judul buku, ya? Emang.
Dia memandang ke arah kami, eh.. Nggak. Ke arahku. Aku sendiri ragu dia mengenali David dari tempatnya bertengger itu, lagi pula David sepertinya tidak memperhatikan, tapi mungkin cukup mengenaliku dari pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Apa yang sedang dia lakukan di sini? Apakah dia membuntutiku? Oh, sialan! Sekarang aku mulai mengkhawatirkan nilai-nilai sekolahku. Aku berdoa semoga para Moirae tidak bertingkah menyebalkan padaku.
David menstarter motornya, aku masih memandang Kak Ikbal, yang memandang tajam padaku, tepat di mata. Sesuatu dalam tatapannya membuatku sulit untuk bernafas. Untuk mengendurkan urat-uratku, aku menarik kedua ujung bibirku membentuk sebuah senyum canggung untuk Kak Ikbal. Selama tiga puluh detik aku tersenyum, sampai bibirku berkedut karena Kak Ikbal sepertinya masih betah menatapku seperti elang memburu mangsanya. Barulah setelahnya dia tersenyum balik, lalu memundurkan motornya tanpa suara meninggalkanku dan David di parkiran toko sepatu. Berikutnya aku mendengar suara motor menjauh.
"Bumi kepada Yana! Ganti!" Aku hampir saja melompat karena terkejut mendengar suara David. "Bumi kepada Yana! Tolong dijawab!"
Aku menoleh padanya dengan alis terangkat dan bibir mengerucut. Ekspresi apaan sih ini? "Kamu ngapain sih?" Tanyaku heran.
"Kamu yang ngapain," jawabnya sambil menatapku dengan tatapan menuduh. "Dari tadi aku ajak ngomong nggak dijawab, malah bengong kayak orang kesurupan,"
"Eh," aku buru-buru memutar otakku. Astaga! Apa aku tadi sampai sefokus itu memperhatikan Kak Ikbal sampai tidak menyadari suara David? Ish. "So-sorry, deh, nggak sengaja,"
"Dasar," David menghela nafas, lalu menyerahkan helm padaku. "Pakai, terus naik. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat,"
Setelah memakai helm aku naik ke boncengan David dan memeluk pinggangnya, sesuai instruksi yang ia diberikan. Aku sih tidak keberatan, ya.. Nggak, sama sekali nggak. Malahan aku senang. Kapan lagi sih aku bakal dapat kesempatan kayak gini? Untuk sesaat Kak Andy dan Kak Ikbal terbang menjauh saat David melajukan motornya membelah jalanan.
***
Sepanjang perjalanan ke entah-kemana, kami tidak terlibat obrolan seringan apapun. Aku sibuk dengan pikiranku yang saling hantam dan banting di dalam kepala, sementara David kelihatannya sedang fokus memperhatikan jalan. Tapi aku masih bisa memperhatikan kemana kami melaju, kok! Kami melaju meninggalkan jalan raya dan memasuki jalanan kampung yang lebih kecil. Lalu menanjak menaiki bukit yang aspalnya sudah berlubang dimana-mana. Di sisi kanan dan kiri yang aku lihat hanya pohon dan semak belukar, dan kalau tidak salah, aku juga melihat kain putih yang digantung di atas pohon mangga entah buat apa maksudnya. Sesekali kami juga menemui rumah warga yang kelihatannya sudah sepi ditinggal tidur si pemilik.
Setelah sekitar setengah jam atau lebih akhirnya kami sampai dan berhenti di sekumpulan warung pinggir jalan yang menjual aneka jajanan yang cocok di makan malam-malam begini. Ada jagung bakar, kopi, dan sesuatu semacam itu lah yang aku malas menjelaskannya.
Aku turun dari boncengan David dan membuka helm. Aroma jagung bakar langsung membelai hidungku dengan mesra.
"Aku nggak pernah ke sini sebelumnya," kataku setelah menyerahkan helm pada David. Dia turun dan merapikan rambutya.
"Sudah kuduga," kata David sambil nyengir. "Ayo, kamu bakalan ketagihan kalau udah ngerasain jagung bakarnya Mang Ujang,"
"Siapa Mang Ujang?" Tanyaku sambil berjalan mengikutinya.
"Pemilik warung langgananku," jawabnya.
"Oh, jadi kamu sering ke sini, ya," Aku mendadak tergelitik ingin tahu lebih banyak. "Sama siapa?"
"Siapa aja yang mau aku ajak,"
"Pacar kamu?"
David menoleh padaku dengan alis terangkat. Senyum geli terukir di wajah tampannya. Dan dalam keremangan cahaya di tempat ini, aku mendapat dorongan hati untuk berjinjit dan menciumnya. Tapi aku berusaha keras menahan dorongan itu. Ingat, Yan, ini tempat umum.
"Kamu kepo banget, ya," dia tertawa lalu mengacak rambutku. "Udah, ah itu nggak penting. Yang penting malam ini semuanya tentang aku dan kamu. Nggak usah bawa-bawa orang lain,"
Aku benar-benar terpesona pada caranya mengatakan 'aku dan kamu'.
***
Mang Ujang ternyata adalah seorang laki-laki tua jangkung dan kurus, berwajah ramah, yang membuat siapapun takkan ragu untuk membagi rahasia terdalam hidupnya pada pria ini hanya dalam satu tatapan mata. Aku juga merasakan hal yang sama, tapi aku tetap mengunci rapat mulutku. Kubiarkan David melaksanakan tugasnya saja. Maaf, ya.. Aku nggak sebodoh itu menceritakan tiap jengkal rahasia yang aku pendam bertahun-tahun.
Aku menunggu di sebuah bangku panjang yang menghadap ke arah kota di kejauhan. Di bawahnya ada jurang yang lumayan dalam, tapi untung di depanku ada pagar baja, jadi lumayan aman. Kusandarkan daguku pada besi dan memandang cahaya lampu dari bangunan-bangunan dikejauhan. Seperti rasi bintang yang biasa aku lihat di langit.
Sepuluh menit kemudian David kembali dengan jagung bakar, kopi, dan beberapa camilan lain di tangannya. Perutku langsung berdangdut ria melihatnya.
"Banyak banget," kataku takjub saat David mendaratkan pantatnya di sampingku. Dia cuma nyengir kuda.
"Aku yakin kamu bakal minta tambah nanti," katanya sambil ketawa. Lalu menyodorkan jagung bakar padaku. "Nih, cobain dulu. Dijamin kamu bakal minta tambah nanti,"
Kugigit sepetak jagung bakar, lalu mengunyahnya dan mencoba mendapatkan kenikmatan darinya. Seluruh sarafku langsung bereaksi mengantarkan miliaran informasi ke otakku. Demi Griever! Ini enak banget!!
"Enak banget, kan?" Tanya David. Dia juga sudah mengambil jagung dan sedang mengunyahnya saat bicara padaku. Aku menganggukan kepala dengan antusias.
Berikutnya, kami menghabiskan waktu dengan duduk, makan, dan ngobrol sambil memperhatikan pemandangan cahaya di kejauhan. Udaranya tidak terlalu menusuk, tapi cukup dingin sehingga dia bisa menyusup melalui celah jaketku yang memang bahannya tidak terlalu tebal. Dalam hati aku menoyor kepalaku. Kenapa aku tidak memakai jaket yang bahannya lebih tebal?
David sepertinya memperhatikan, karena tiba-tiba dia membuka jeket yang dia pakai dan menyerahkannya padaku. "Pakai aja punyaku. Punyamu kayaknya masih kurang tebel,"
"Eh, nggak usah,"
"Nggak usah nolak, Yan. Buruan, sebelum kamu masuk angin,"
"Eh, oke,"
Akhirnya, aku melepas jaketku, dan memakai jaket David yang agak kebesaran di tubuhku. Astaga! Betapa klasiknya adegan ini.
"Sini," David memindahkan makanan kami yang tadinya ada di antara aku dan dia ke samping tubuhnya. "Aku juga kedinginan,"
"Makanya, jangan so' ngasih jaket sama aku," cibirku. Tapi toh aku mendekatinya juga. Aku merapat padanya dan dia melingkarkan tangan berototnya di bahuku. Aroma parfumnya membuatku mengantuk. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Dan aku mencatat dalam kepalaku, dengan capslock yang jebol, tiap detil kejadian ini dengan tinta warna-warni di dinding imajiner yang hanya ada dalam kepalaku.
mention please
Dilanjut gih ceritanya
Please jngn d gantung gni.