BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

For the First Time

One
***
"Kelebat nirwana yang memaksa batas norma," Laras tiba-tiba berguman. Aku menoleh dengan alis bertaut. Sementara itu dia menatapku dengan tatapn sebalnya. "Kamu kentut, ya?"

"Apa?"

"Kamu kentut, ya?" Laras mengulang, telunjuknya melintang di bawah hidungnya.

"Apaan? Aku nggak kentut, kok," kataku heran. Kuendus udara, mencoba mendapatkan aroma apapun yang mungkin mengganggu Laras.

"Kalau nggak kentut mana mungkin bisa bau, Yan," kata Laras. Ada sejumput sarkasme di kata-katanya itu.

"Tapi bukan aku yang kentut," kututup buku sejarahku dan memandang Laras tepat di mata. Dia sama sekali tidak gugup kutatap begitu. "Denger, ya, orang tua jaman dahulu bilang, siapa yang nyium duluan berarti dia yang kentut!"

"What the!" Laras murka. "Itu cuma mitos, nggak masuk akal banget deh! Lagian kan di perpus ini cuma ada aku sama kamu, nggak mungkin rak buku itu yang kentut!"

"Kata siapa cuma ada aku dan kamu? Tuh, lihat! Dua meja di depanmu masih ada David," kataku sinis. "Apa dia semacam alien?"

"Tapi dia nggak mungkun kentut," Laras berkata. Aku mengangkat alis. "Maksudku nggak mungkin seharum ini! Dia terlalu.. Sempurna untuk punya kentut seperti ini,"

"Sempurna matamu!" semburku jengkel. Dasar babi betina!

Kulihat David bergerak tidak nyaman dikursinya. Mungkin merasa terganggu dengan pertengkaran absurd kami. Kuputuskan mengabaikannya saja dan membuka buku Sejarahku, untuk ke sekian kalinya hari ini.

"Aku tahu kok, dari gerak-gerikmu yang pura-pura nggak tahu itu, kamu menyimpan rahasia terpendam dariku. Ayo ngaku aja kamu! Nggak apa-apa kok! Palingan cuma aku timpuk pake buku ini,"

"Nggak! Aku nggak mau dan nggak bakal ngaku! Karena aku emang nggak ketut! Nggak sebiji jagung pun!"

"Demi Griever, Yan! Denger, ya.."

Kubiarkan Laras menguliahiku tentang kejujuran, yang menurutnya, kejujuran dalam diriku sudah masuk tahap langka. David kulihat bangkit berdiri, akhirnya tidak tahan dengan kebisingan yang dibuat Laras. (Inget, ya! Yang dibuat Laras!) dan kemana perginya Petugas Perpustakaan bodoh itu? Kenapa dia tidak juga datang dan mengusir Laras?
«1345678

Comments

  • Cerita baru nih...!!!
    Di tunggu lanjutannya
  • Two
    ***
    Pulang sekolah ternyata tidak seindah yang aku bayangkan. Maksudku, aku senang akhirnya bisa meninggalkan kertas-kertas berjilid itu, tapi lain ceritanya kalau sudah turun hujan begini. Aku kan nggak mau pulang ke rumah basah-basahan, takut masuk angin. Mana aku nggak bawa jaket atau payung lagi. Salahkan langit cerah yang sukses PHPin aku.

    Aku berteduh di bawah naungan genteng pos satpam sekolah. Laras sudah pulang dari tadi, kebetulan diboncengin pacarnya, Cakra, sebelum hujan. Mereka baru jadian seminggu yang lalu, dan aku mau tak mau harus ikut senang juga. Soalnya sudah sejak lama Laras memedam rasa sukanya pada Cakra. Dan Laras adalah sahabat baikku sejak SMP.

    Tetes hujan dari genteng seperti menghipnotisku. Kuperhatikan mereka terbentuk di ujung genteng, lalu jatuh menghantam bumi, hancur dan menyatu dengan teman-temannya menuju selokan. Tak kuperhatikan telah ada orang lain berdiri di sampingku, sampai dia berdehem dan aku nyaris melompat ke tengah hujan.

    "David?"

    Benar, cowok yang berdiri di sampingku adalah David. Dia menjulang seperti tiang listrik. Tampak canggung dengan rambutnya yang basah dan agak berantakan. Dia memegang sebuah payung di tangan kanannya.

    "Ngapain kamu di sini?" pertanyaan bodoh, memang. Tapi aku tak tahu harus berkata apa sekarang ini. Aku tak pernah dihadapkan pada situasi harus berbincang-bincang dengan David si cowok pendiam sebelumnya. Kami bahkan tak pernah saling bertegur sapa, mengingat dia anak IPA sedang aku anak IPS. Aku tahu siapa dia, walau dia mungkin tak tahu sama sekali siapa aku.

    "Neduh," katanya singkat dengan suara bassnya yang indah. Eh, apa?

    "Oh," kataku, tiba-tiba merasa seperti anak kecil. Dia berdehem lagi, tapi tidak berkata apapun. Apa dia sedang sakit tenggorokan, ya?

    Akhirnya, selama sepuluh menit kemudian, kami sukses diam-diaman. Aku sebenarnya ingin membuka topik pembicaraan, tapi tak ada sejumput idepun yang nyangkut di otakku. Selain itu aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Aku tidak tahu hobiya apa, makanan kesukaannya apa, band favoritnya apa.. Aku suka nonton film, makan bakso, dan Maroon 5. Hnn.. Dia suka Harry Potter nggak, ya?

    Baru saja aku hendak membuka mulut, tak tahan dengan kebekuan ini, tiba-tiba dia menyodorkan payung di tangannya padaku. Alhasil, aku memandangnya dengan mulut setengah terbuka, setengah jalan untuk berbicara, dan dia dengan wajah cool dan payung ditangan kanannya. Ishh.. Ini memalukan.

    "Ambil," katanya.

    "Apa?"

    "Ambil," ulangnya. "Pakai payungku. Terus pulang, udah sore,"

    "Lah, kamu gimana?" tanyaku. "Nggak ah, kamu kan juga perlu," aku menolak dengan dasar tidak enak, bukannya tidak mau. Well, aku memang perlu payung itu sekarang, tapi kalo harus make punya orang yang juga membutuhkan.. Nggak deh, makasih.

    "Ambil," dia memaksa, sekarang dia menjejalkan payung itu di tanganku. Aku berusaha menolaknya, lalu menyerah, karena David malah melotot padaku. Tanpa babibu dia menaikan jaketnya sampai ke kepala, lalu berlari menembus hujan. Meninggalkanku dengan payungnya.

    Aku menghela nafas. Rasanya seperti anak gadis yang digoda kakak kelasnya yang pendiam. Kupakai payung David, lalu berjalan meninggalkan pos satpam sialan itu.
  • @octavfelix hohoho mkasih mkasihh

    @Sho_Lee sipp deh!! thanx ya udh baca :D
  • @Sho_Lee
    ***
    Three
    ***

    "Kamu tadi pulang pake payungnga siapa? Perasaan tadi nggak bawa payung deh,"

    "Iya, tadi aku pake payungnya David, dikasih pinjem sama dia,"

    "David? David siapa? Perasaan kamu nggak punya temen yang namanya David deh, Yan,"

    "Aish.. David si cowok pendiem. Siapa lagi sih David yang kamu tahu selain dia?"

    "Well," Laras berguman. "Aku tahu David Beckham, David Guetta, David.."

    "Laras!"

    "Sorry!" Laras nyengir, aku memutar bola mataku, dia makin girang. "Eh, tapi kok bisa dia kasih pinjam kamu payungnya? Gimana ceritanya?"

    Kuceritakan kejadian di pos satpam tadi melalui microphone hapeku. Laras kulihat mengangguk-anggukan kepala mendengar penuturanku. Dia cukup sopan untuk tidak menyelaku saat bicara.

    "Oh seperti itu," Laras berguman di seberang sana, dia kelihatan sedang berpikir keras, walau agak sulit membayangkannya sedang berpikir keras. Biasanya dia melakukan sesuatu tanpa berpikir. "Mungkin dia sedang berusaha menjadi good boy? Perasaan dia nggak pernah deh ngelakuin hal semacam itu sama orang lain,"

    "Makasih. Aku sangat tersanjung,"

    "Ho'oh," kulihat wajah menyebalkan Laras sedang nyengir di balik jendela kamarnya. "Eh, udah dulu, ya.. Aku mau bantuin Mama masak di dapur,"

    "Serius kamu mau bantuin Mama kamu masak?"

    "Serius, lah! Udah, ya, aku tutup,"

    "Oke. Bye!"

    "Bye!"

    Setelah sambungan telepon terputus Laras menutup gorden kamarnya dan -kukira- pergi ke dapur membantu Mamanya, seperti katanya tadi.

    Apa aku harus menjelaskan? Oh, baiklah. Begini, aku dan Laras itu bertetangga. Rumahnya tepat di samping kiri rumahku. Dan yang luar biasa, jendela kamarnya juga betatapan langsung dengan jendela kamarku. Ini memberi kami satu keuntungan. Misalnya, saat kami sedang mengerjakan PR. Kami bisa berdiskusi tanpa harus keluar kamar. Tinggal buka jendel, ngomong deh. Atau saat sedang insomnia, kami bisa ngobrol melalui telpon sambil tetap bertatap muka. Seperti yang barusan. Bedanya, bukan karena kami sedang insomnia, melainkan karena cuaca diluar masih tidak mendukung. Kalau kami nekat membuka jendela, bisa-bisa kami berdua basah(?).

    Kulemparkan ponselku ke atas tempat tidur dan bersandar di kursiku sambil menghela nafas. Hujan masih turun dengan deras di luar, tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti, seolah langit tengah bersedih atas realita di muka bumi yang terlalu pedih untuk dipikirkan.

    Aishh.. Apaan bahasaku jadi puitis begini? Aku nyengir pada diriku sendiri lalu bangkit dan membanting tubuh di samping hapeku. Moodku sedang lumayan bagus, tapi aku tidak sedang ingin melakukan apapun. Kupejamkan mataku perlahan dan tak lama kemudian, aku sudah mengarungi alam mimpi. Malam itu adalah malam pertama kalinya aku memimpikan David.
  • Four
    ***

    Aku berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki seperti biasanya. Yeah.. Walau sudah seminggu ini aku jalan sendiri, karena Cakra ngotot mau nganter jemput Laras sekolah. Aku sih nggak masalah, ya kalau Laras berangkat duluan pake motor, aku juga nggak ngeluh. Apapun yang membuat sahabatku bahagia aku pasti dukung.

    Tapi pagi ini aku mendapat kejutan. Saat aku baru melewati pagar rumahku, Laras sudah berdiri di depan rumahnya, dengan dandanannya yang biasa. Cantik dan agak menantang. Laras melambaikan tangannya dan berjalan menghampiriku dengan sedikit berlari. Saat dia melakukan itu, dua semangkanya seperti mau meloncat.

    "Selamat pagi," sapanya riang, mempertontonkan deretan giginya yang rapih dan menyilaukan. Seharusnya ada tulisan peringatan di sana : HATI-HATI! JANGAN DIPANDANG TERLALU LAMA! BISA MENYEBABKAN KEBUTAAN PERMANEN!

    "Pagi," sapaku balik. "Tumben jalan kaki. Cakra kemana?"

    "Hari ini aku spesial mau pulang pergi, jalan kaki, sama kamu," katanya. Dia mengibaskan rambut panjangnya dengan gaya sok cantik. Serasa jadi Rapunzel mungkin dia. "Ceritain kejadian yang kemarin,"

    "Yang kemarin yang mana?" tanyaku heran. Banyak sekali yang terjadi kemarin soalnya. Rendi yang kepentok jendela, Ratna kepeleset di toilet.. Yang mana tepatnya maksud Laras?

    "Itu lho! Yang kamu dikasih pinjem payung sama David! Masa lupa sih,"

    "Kan udah aku ceritain kemarin," aku protes. Kenapa sih dia tertarik banget sama kejadian itu? Aku aja yang ngalamin biasa aja, kok!

    "Ya, nggak apa-apa keleus!" kata Laras. "Ayo, ceritanya sambil jalan aja,"

    Jadilah, lima belas menit perjalanan kemudian, kami habiskan dengan diskusi intens soal sikap David yang nggak biasa. Eh, sebenarnya yang nyerocos itu si Laras. Aku lebih banyak jadi pendengar dan sesekali menimpali ucapan Laras yang makin lama makin absurd.

    "Mungkin dia kena sengatan semacam serangga atau apa gitu, yang membuat otaknya jadi bekerja diluar kebiasaan. Iya, kan, Yan?"

    "Hnn,"

    "Atau bisa juga dia minum ramuan yang dicampur ke minumannya secara sembunyi-sembunyi sama orang asing saat istirahat. Masuk akal, kan, Yan?"

    "Wah, masuk akal banget, Ras, keren!"

    "Atau mungkin, dia ngelakuin itu karena emang dia mau. Maksudku, dia mungkin ada sesuatu sama kamu, yang mendorongnya untuk melakukan hal semacam itu. Katakanlah sebuah pengorbanan untuk orang terkasih. Gimana menurut kamu, Yan?"

    Oke! Ini udah kelewatan.

    "Pengorbanan matamu!" semburku jengah. Apa-apaan dengan pengorbanan untuk orang terkasih? "Nih, ngobrol aja sama tanganku!"

    "Yaelah, Kang, galak amat," komentar Laras. Entah bagaimana tiba-tiba aku membayangkannya dengan kebaya dan duduk selonjoran sambil memegang botol minuman beralkohol. "Santai aja keleus! Aku kan cuma becanda,"

    "Terserahlah," gumanku tak peduli.

    Kami sudah sampai di gerbang sekolah dan Laras pamit padaku untuk menemui Cakra. Kuanggukan kepala sebagai jawaban dan dia pun berlalu di keramaian.

    Aku berjalan di koridor dengan pikiran gentayangan kemana-mana. Entah bagaimana diskusi bodoh dengan Laras seperti mestimulasi otakku untuk terus memikirkan David. Semuanya tentang David. Lebih dari pada payungnya yang ada padaku sekarang. Ngomong-ngomong soal payung.. Niatnya payung yang dipinjamkan David kemarin mau aku kembalikan nanti, benda itu aku simpan dengan aman di tasku. Tapi gimana, ya caranya? Apa langsung aja aku cegat dia di depan kelasnya? Terus ngomong : "nih! Payung kamu yang kemarin, makasih ya!"

    Nggak deh! Mending aku kembaliin pas pulang sekolah aja. Sekalian teraktir dia makan mie ayam, mungkin.

    Di jam seperti ini koridor sedang ramai-ramainya oleh siswa-siswi yang berlalu lalang. Aku tidak terlalu memperhatikan jalanku, sehingga saat berbelok di ujung koridor, aku menabrak sesuatu yang keras dan terasa kokoh. Aku sampai terpental dan menghantam lantai. Tawa seketika bergema di sekelilingku.

    Vangke!!! Siapa sih orang bego yang naruh properti sembarangan?!

    Aku sudah sangat berniat untuk memaki orang itu saat aku bangkit, tapi nggak jadi saat melihat wajahnya. Aku cuma bisa melongo dan seperti Roro Jonggrang. Ternyata tidak ada properti apa pun di sekitar sini, tidak di depanku. Yang ada hanyalah sosok jangkung berbody ala-ala patung dewa Yunani. Berdiri dengan wajah seperti habis kena angin beliung.

    Mati aku, pikirku. Bumi, telan aku sekarang!
  • Five
    ***

    "Selamat pagi," sapa Rendi saat aku duduk di sampingnya. "Kenapa wajah kamu? Asem banget pagi-pagi," tambahnya saat meliha ekspresi wajahku. Aku hampir saja telat masuk ke kelas, tapi berhubung guru yang hendak mengajar sepertinya telat juga, aku terselamatkan.

    "Nggak apa-apa," jawabku. "Gimana kepala kamu? Udah baikan?"

    "Ho'oh," Rendi sepertinya baru ingat dia habis kepentok jendela kemarin. Tangannya naik ke kepala, meraba sepetak kulit dimana bagian bawah jendela sukses menghantamnya kemarin. Ataukah sebenarnya dia yang menghantamkan kepalanya ke jendela? Whatever. "Udah baikan. Cuma benjol dikit, tapi sekarang udah nggak,"

    "Baguslah," gumanku. Kukeluarkan buku dan alat tulis, bersiap untuk memulai pelajaran, karena lima menit lagi Bu Helga pasti melangkah ke kelas.

    "Eh, tapi kenapa wajah kamu asem gitu?" Rendi tak mudah dialihkan ternyata. Aku menarik nafas lemah, seperti orang yang depresi.

    "Ada insiden kecil tadi di koridor," kataku pelan.

    "Terus? Sok! Ceritain atuh," Rendi memaksa, wajahnya berbinar karena penasaran. "Cepetan, sebelum Bu Helga masuk,"

    "Tapi jangan ketawa, lho"

    "Iya, janji. Aku nggak bakal ketawa kok,"

    "Jadi gini.." kuceritakan padanya insiden tabrakan memalukan tadi. Saat aku selesai Rendi tidak tertawa, tapi mengerutkan kening. "Siapa yang kamu tabrak, Yan?"

    "Emm," aku menimang-nimang sebentar. "Pak Ikbal,"

    Rendi langsung meledak tertawa. Aku mendengus dan memainkan pensil dan penghapusku dengan jengkel. Memberi Rendi tatapan kubunuh-kau-nanti.

    Orang yang aku tabrak di koridor tadi memang Pak Ikbal. Guru olahragaku yang paling baik dan ganteng. Saat aku mendongkak, menatapnya takut-takut, dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. Kukira dia mau menguliahiku supaya hati-hati kalau jalan, tapi ternyata kejadiannya nggak semengerikan yang aku bayangkan.

    Setelah aku berhasil berdiri, aku menepuk-nepuk pantatku yang ada debunya sedikit. Lalu minta maaf pada Pak Ikbal.

    "Nggak apa-apa, Yan, santai aja," katanya tenang, masih tersenyum. Dia mengacak-ngacak rambutku dan memberikanku pelukan singkat yang terasa canggung. "Sana, nanti telat,"

    Dan dengan itu dia pergi berlalu menuju tujuannya yang entah kemana. Aku melongo menatap punggungnya. Seumur-umur, baru kali ini ada lelaki dewasa yang melakukan hal semacam itu padaku. Ayah dan kakakku bahkan tidak seperti itu. Beberapa anak masih tertawa dan berbisik-bisik bersama temannya, dan wajahku pasti sudah semerah tomat. Memalukan.

    "Katanya nggak bakal ketawa," protesku sebal.

    Rendi berjuang menghentikan tawanya. Aku melihat air mata menggenang di pelupuk matanya. Apa yang tadi itu semenggelikan yang dipikirkan Rendi? Menurutku biasa saja, sama sekali tidak menggelikan.

    "Iya, maaf," kata Rendi menyesal, oh, aku merasa menjadi pembohong saat mengatakannya. "Lucu banget sih! Untung Pak Ikbal nggak marah, ya,"

    "Hnn," gumanku setuju. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara derap sepatu, berikutnya Bu Helga sudah ada di depan kelas. Aku melirik jam yang nangkring di depan kelas, tepat di atas kepala Bu Helga. 10 menit. Wah, ini baru rekor!

    "Selamat pagi, anak-anak," sapanya. Bibirnya yang semerah pantat babon melengkung membentuk sebuah senyum, eh, seringai kurasa.

    "Selamat pagi, Bu," balas kami, tanpa antusias sedikitpun.

    "Mari kita mulai pelajarannya,"

    Aku menghela nafas dan mendengarkan Bu Helga yang mulai menjelaskan. Mengheningkan cipta, mulai!
  • hore.. rajin update.. :)
    semangat yaa..
  • Nice story..Interesting..Cerita cinta di sekolah, ringan dan semoga tidak terlalu berbelit-belit..OKe..can't wait for the next chap..Fighting :)
  • Nice story..Interesting..Cerita cinta di sekolah, ringan dan semoga tidak terlalu berbelit-belit..OKe..can't wait for the next chap..Fighting :)
  • @octavfelix arigatou gozaimasu!! :)
    @RaraSopi thanx mbak
  • Six
    ***

    Namanya juga Laras. Jadi aku maklum saja saat dia bereaksi berlebihan setelah aku selesai menceritakan insiden di koridor itu. Aku dengan santai dan perlahan memotong baksoku dan menusuknya sebelum memasukan mereka ke mulutku. Rendi di sampingku, memakan baksonya dengan sangat tekun.

    "Seriusan?" kata Laras, matanya membulat sempurna menatapku. Aku merasakan dorongan hati untuk menusuknya dengan garpu, tapi aku tahan demi persahabatan kami. "Kamu? Nabrak Pak Ikbal? Wahh.. Hebat banget kamu,"

    "Iya, hebat banget, kan aku? Menabrak guru sendiri di tengah koridor yang ramai.."

    "Nggak! Nggak! Maksudku bukan itu," Laras menggoyangkan dua lengannya di depan dadanya yang super besar. "Maksudku, aku baru nyadar kalau belakangan ini kamu sering banget terlibat insiden dengan cowok-cowok ganteng," dia memberitahuku dengan tatapan nyaris, apa itu? Nyaris hormat? Kagum? Whatever deh. "Pertama David, lalu Pak Ikbal.. Mungkin besok kamu bakal satu kelompok belajar sama Gilang,"

    Aku menelan baksoku sebelum mulai bicara. "Itu cuma keberuntungan nggak menyenangkan yang kebetulan terjadi di waktu dan tempat yang tidak tepat. Nggak ada yang spesial, kok!"

    "Ada, tentu saja ada," Laras nggak mau kalah. "Pertama David nggak mungkin ngasihin payungnya waktu itu kalau itu bukan kamu, Yan. Kedua, Pak Ikbal bakal marah besar kalau yang nabrak dia tadi itu Rendi alih-alih kamu,"

    "Maksud kamu apa sih? Kamu mau bilang kalau semua cowok ganteng yang berinteraksi denganku punya rasa spesial sama aku? Gitu?" aku menggeleng-gelengkan kepalaku prihatin. "Astaga, Ras. Kamu harusnya segera pensiun saja jadi Fujoshi,"

    "Ini nggak ada hubungannya sama Fujoshi," kata Laras. "Ini soal insting, Yan. Aku itu cewek. Aku lebih peka dari pada cowok kayak kamu dan Rendi, yang rentan emosinya cuma sebesar sendok teh. Aku bisa ngebedain mana tatapan ke temen mana tatapan ke seseorang yang disukai,"

    "Wah, keren sekali," kataku. "Aku sendiri heran kamu belum ngelantur bikin gosip aku sama Rendi pacaran,"

    "Oh, soal itu," Laras tiba-tiba kelihatan malu. Seperti seorang anak yang ketahuan ngambil kue dari toples Mamanya yang disimpan buat arisan. "Well, sebenarnya aku udah mikir lama, ya.."

    Sebelum Laras makin 'Nyiklak' buru-buru aku kabur, beralasan hendak ke toilet. Dalam fase ini apa yang dipikirkan Laras sama berbahayanya dengan virus Trojan, kalau tidak buru-buru bikin jarak, aku bisa ikutan 'Nyiklak' nanti.

    Laras tidak tampak senang, dia beralih menyerang Rendi yang tadi sempat tersedak saat aku berkata ".. Bikin gosip aku sama Rendi pacaran,"

    Aku berjalan di koridor yang lumayan sepi, berbelok di ujung, menuju bagian belakang sekolah. Toilet Cowok letaknya terpisah dengan Toilet Cewek. Ini dilakukan pihak sekolah untuk menekan angka cowok-berotak-cabul di sekolahku. Dan juga memperkecil peluang pasangan sejoli untuk bermesraan. Laras benci sekali pada hal ini.

    Aku masuk ke salah satu bilik dan membuka resleting celanaku. Menarik keluar sosisku, sedetik menuju pengeluaran, tapi tersendat saat aku mendengar suara seseorang yang rasanya aku kenal dari bilik sebelah. Sepertinya dia sedang menelpon seseorang. Biar kuingat-ingat dulu siapa pemilik suara ini..

    ".. Iya, aku tahu. Ini juga lagi tahap PDKT. Tunggu aja, aku yakin kamu bakal jilat ludah kamu sendiri nanti,"

    Beri aku waktu sebentar.. Aku sedang membuka laci memori di otakku..

    "..."

    "Who cares? Aku nggak peduli dengan tampang bodohnya itu. Setelah kita jadian dan aku dapat tubuhnya, aku bakalan langsung putusin dia,"

    Sebentar.. Sebentar lagi aku ingat! Sedikit lagi! Dokumen itu pasti ada di suatu tempat!

    "..."

    "Oke! Siap-siap aja aku suruh nari telanjang di pesta kemenanganku nanti,"

    Aha! Ketemu! Aku tahu siapa pemilik suara itu! Itu suara David. Walaupun aku baru beberapa kali mendengar suaranya, aku yakin 100% ini adalah miliknya. Eh, tapi dia sedang bicara dengan siapa, ya? Dan apa sebenarnya yang sedang dia bicarakan itu? Sesuatu yang kedengaran seperti taruhan?

    "Bye!"

    Aku menarik telingaku dari dinding saat mendengar suara pintu di buka. Kudengar David menggumankan sesuatu tentang orang bodoh yang mendekati matahari, dengan nada yang tak pernah aku bayangkan bisa keluar dari mulutnya itu, sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya keluar. Aku masih diam, masih sibuk memikirkan apa yang baru saja aku dengar. Hasratku untuk buang air sudah lenyap entah kemana.

    Satu pertanyaan bergelayut manja di otakku yang pas-pasan. Siapa yang sedang PDKT-an dengan David? Soalnya, siapapun dia, dia dalam bahaya sekarang.
  • baper,
    jadian,
    hari-hari yang indah,
    mulai saling menuntut,
    berbeda keinginan,
    tragedi,
    hari-hari menyedihkan,
    lessons learnt,
    ending.
Sign In or Register to comment.