It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Tsunami
@Liezfujoshi @New92 @lulu_75 @Zhar12 @RaraSopi
***
Twelve
***
Laras ingin penjelasan sedetail-detailnya mengenai acara 'menginap di rumah Yana' semalam. Rendi tidak berminat menceritakan apapun, karenanya aku mengajukan diri untuk menjadi pencerita. Rendi memberiku tatapan terima kasih yang aku apresiasi.
Aku mulai dengan kedatangan Rendi yang duduk di kasurku dengan wajah kacau. Kuceritakan bahwa dia tidak mau membuka mulutnya selama beberapa saat yang mencekam. Rendi meminum es jeruknya dengan tidak nyaman di sampingku dan mendadak menjadi sangat tertarik pada jari-jarinya. Aku sampai di bagian orang tua Rendi yang sedang tidak akur.
"Ya, tuhan," Laras menutup mulutnya dengan dua tangan saat aku selesai. "Aku tak menyangka," dia memandang Rendi dengan tatapan penuh kasih sayang dan pengertian, satu yang selalu ia gunakan jika aku dalam masalah atau sedang sial. "Ini nggak bagus,"
"Memang," kataku setuju.
"Kau sudah bicara dengan orang tuamu, Ren?" Laras bertanya, dia mengaduk jus alpukatnya pelan-pelan dengan sedotan.
"Belum," kata Rendi lemah. "Bagaimana aku bisa bicara dengan mereka jika mereka terus berteriak pada satu sama lain? Mereka bahkan takkan sadar bila aku berjalan diantara mereka,"
"Kau harus tetap mencoba, Ren," kata Laras sabar. "Coba cari tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka, dan bujuk mereka untuk berbicara secara baik-baik,"
"Tapi-"
"Coba aja," Laras memotong ucapan Rendi dengan tegas.
Rendi menganggukan kepalanya lemah. Laras sepertinya sudah sangat gemas, karena dia menggeser duduknya mendekati Rendi, dan menarik kepala Rendi ke dadanya. Jangan mikir mesum, ya! Ini tidak seperti yang kalian pikirkan, kok. Laras memang seperti itu, pelukan di dada adalah salah satu bentuk kepedulian dan rasa sayangnya. Aku menyadari beberapa cowok di sekitar kami memandang iri pada Rendi, aku cuma bisa nyengir memandang mereka. Kuputuskan untuk tidak menceritakan insiden ciuman sebelum tidur itu.
Ponselku menginterupsi dengan bunyi siulan nyaring, pertanda ada pesan masuk. Aku merogoh ponselku yang kusimpan di saku celana dan melihat sebuah pesan dari David. Dadaku berdebar seketika.
'Besok malem jadi, ya,' begitu bunyi pesannya. Aku memutar otak sebentar untuk memahami maksud dari pesannya itu. Oh! Malem minggu!
'Jadi, dong! Aku nggak lupa, kok! ' balasku dengan wajah berseri. Beberapa detik kemudian muncul balasan darinya.
' ' wtf! Emot macam apa ini?! 'Km lg dmn?'
'D kantin, sma Laras dan Rendi,' balasku cepat.
Laras menggeser pantatnya lagi menjauhi Rendi, meninggalkan Rendi dengan wajah semerah kepiting rebus dan lebih canggung dari pada tadi. Aku ingin sekali tertawa sekencang-kencangnya, karena Laras bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa beberapa menit yang lalu. Aku meminum es jerukku dengan khidmat.
"Boleh aku gabung?" terdengar sebuah suara bertanya di belakangku. Aku menoleh dan nyaris melompat ditempat dudukku.
***
Kalau kalian berpikir orang itu adalah David, atau Pak Ikbal, kalian salah besar. Maaf sudah mengecewakan kalian tapi orang yang bertanya itu adalah Gilang. Mentorku untuk pelajaran Bu Helga mulai minggu depan.
"Boleh," ini Laras yang menjawab, bukan aku. Gilang nyengir dan langsung mengambil tempat di sampingku. Walaupun kami sudah lama sekali saling kenal, tapi aku tak ingat pernah satu meja bersamanya di kantin sebelum ini. Mungkin dia hanya mencoba menjaga amanah Bu Helga saat ini. Memastikan bahwa aku tetap ada dalam pengawasannya. Oh, sialan! Kenapa otakku bisa sampai ke sana?
"Tumben kamu duduk sama kita," aku mendengar Rendi nyeletuk, ada seikat rasa sebal dalam perkataannya.
"Iya," kata Gilang. "Kebetulan aku, kan mau memastikan rekan kelompokku tetap sehat dan aman, supaya acara kami minggu depan tidak terganggu,"
"Apa? Rekan kelompok apaan?" Laras bertanya dengan nada berlebihan. Aku menutup wajahku dengan dua tangan. Bagaimana bisa aku lupa memberitahunya?
"Oh, kamu belum denger, ya? Ya, udah, aku kasih tahu kamu, ya, Ras," Gilang berdehem setelah meneguk soda di kaleng minumannya. "Mulai minggu besok, Yana sama aku, sepulang sekolah, bakal bikin kelompok belajar bersama," dia memberitahu Laras dengan angkuh. "Cuma berdua dan ini amanah langsung dari Bu Helga,"
Walaupun tidak melihatnya, aku bisa merasakan tatapan mata Laras seperti menembus melalui telapak tangan dan kelopak mataku. Menatapku tajam dengan mata menyipit.
"Oh, seperti itu," guman Laras datar.
"Iya, seperti itu," Gilang membalas. Dia berdehem lagi. "Guys, aku duluan, ya.. Ada yang harus aku omongin sama Lily. See ya,"
Setelah Gilang pergi, baru lah aku membuka tanganku. Menampilkan wajah minta maafku pada Laras. Dia pasti ingin penjelasan lagi. Seperti membaca pikiranku dia mengangguk dan meminum jusnya pelan-pelan. Dalam hati aku mengumpat keras-keras. Seperti yang pernah aku katakan, Laras suka sekali mengungkit topik yang tidak aku sukai.
***
Aku memainkan pulpenku dengan bosan sementara Pak Rahmat menjelaskan pelajaran. Rendi dengan tekun mencatat semua hal yang meluncur dari mulut pria berumur sekitar 40 tahunan itu. Berbeda denganku yang hanya berhasil mencatat judul bab pelajaranku hari ini. Soalnya aku sedang memikirkan David.
Kira-kira dia sedang apa, ya sekarang? Mikirin kamu juga, lah, bisik potongan hatiku yang sangat ngarep sama David. Aku ingin menendangnya di pantat, karena perkataannya telah sukses membuat wajahku merona. Sesuatu yang sedang coba kukurangi belakangan ini.
Untuk mengalihkan perhatian, aku menyapukan pandanganku ke seluruh kelas, pada teman-teman sekelasku. Laras sedang bertukar catatan di kertas secara sembunyi-sembunyi di bawah meja bersama teman sebangkunya, Ratna. Aku menggelengkan kepala prihatin. Tipikal sekali. Aku mengalihkan fokusku kearah jam empat Laras, dimana duduklah Gilang dan Arga. Aku langsung menyesali tindakanku, karena saat menoleh ke sana, Gilang secara ajaib menemui mataku dan tersenyum. Aku memutar bola mataku. Please, deh! Bahkan ketampanannya cuma bernilai negatif sekian juta di mataku.
Di arah jam enam Laras, dua meja kebelakang, duduklah Stela. Dia bertingkah aneh. Melamun sambil menggigit pulpennya. Tingkatnya sangat tidak Stela. Mendadak aku ingin kencing melihat wajahnya itu. Kuangkat tanganku dan memandang Pak Rahmat.
"Ya, Yan? Ada apa?"
"Pak, saya boleh izin ke toilet? Udah nggak tahan nih, pak," kataku. Kupasang wajah kebeletku yang selalu sukses meluluhkan semua pengajarku.
"Oh, iya silahkan. Tapi jangan lama-lama," katanya mengingatkan. Aku mengangguk dan tersenyum. Lalu menoleh pada Rendi.
"Mau ikut nggak?" tanyaku.
"Kalau aku ikut, kamu nggak bakal punya orang buat dicontek catatannya," jawab Rendi.
"Bener juga," kataku. "Ya, syudahlah.. Aku sendiri saja,"
Aku keluar dari kelas dengan tergesa-gesa, nyaris berlari, membawa dua kakiku menyusuri koridor. Suatu saat, aku berkata pada entah siapa, aku akan menciptakan toilet portabel seukuran ponselku, biar bisa dibawa kemana-mana dalam saku, dan bisa digunakan dalam keadaan darurat seperti sekarang ini.
Nanti kalo update mention mention yakk :v
>,<
Tengkyuuu
Update!! mohon maaf bila kurang memuaskan kawan-kawan!! *bungkuk*
***
Fourteen
***
Aku baru saja selesai dengan pengeluaranku dan keluar dari bilik saat aku dikejutkan oleh kehadiran satu sosok jangkung tepat di depan bilikku. Aku ingin berteriak, tapi berhasil menahan diri. Apa yang dia lakukan di sini? Bukan, kah ada toilet juga di Timur? Itu yang paling dekat dengan kelasnya.
"David?" jangan mikir mesum, ya! "Kok kamu bisa di sini?"
"Aku tadi udah di sini pas kamu masuk," dia nyengir.
"Masa? Kok aku nggak lihat," kataku heran. Aku membetulkan letak sosisku yang agaknya salah arah. Aku sopan banget nggak, sih?
David kulihat menelan ludahnya dan tampak gelisah. "Kamu, kan buru-buru banget, sampai nggak merhatiin sekitar," David menjelaskan dengan tawa gugup. "Terus masuk ke bilik, dan aku putuskan buat nungguin kamu aja,"
Aku tertawa mendengar penuturannya dan mengajaknya berjalan keluar. Debaran itu masih terasa, tapi rasa gugupku lumayan berkurang. Potongan hatiku yang menyebalkan sedang menari balet. Wah.. Senangnya bisa berjalan di samping David tanpa sebatalion drumband bermain di dadaku.
"Kamu nggak belajar emangnya?" tanyaku saat kami berjalan di koridor. "Ini, kan masih jam pelajaran,"
"Nggak, gurunya nggak masuk, jadi dia cuma nitipin beberapa soal untuk dikerjakan," aku nggak perlu tambahan informasi untuk tahu bahwa David sudah menyelasaikannya. Dia juara sekolah, woy! "Kamu sendiri? Aku yakin gurumu masih ngajar sekarang,"
Aku tertawa renyah. "Aku kebelet, Vid. Nggak mungkin, kan buang air di kelas?" dia ikutan tertawa dan mengacak rambutku.
Kami berjalan sambil sesekali bercanda dan terbahak(untung koridor yang ini selalu sepi..), seperti orang idiot. David menyikutku, aku menyikut balik, dan terjadilah adegan sikut-sikutan yang dimenangkan olehku. Hebat banget nggak sih aku? Walau sebenarnyaa, aku curiga ini karena David yang mengalah demi aku. Secara, kalau aku yang menang, jadinya nggak masuk akal banget. Bayangin, ya, David yang 20cm lebih tinggi dariku, dan setengah kali lebih berat(idk..), takkan mungkin kalah oleh diriku yang seperti kurcaci. Tapi ini menyenangkan sekali. Seperti di Elysium.
Kami sampai di pertigaan koridor, tempat kami tak bisa melanjutkan jalan-jalan sambil ngobrol kami. Karena aku akan berjalan ke arah kiri, sedang David ke arah kanan. Menuju kelas masing-masing. Potongan hatiku yang nyebelin kembali nangis darah dan mulai merusak perabot batin-tangga(?),
"Mm.. Aku duluan, ya, Vid," kataku sebelum berjalan pergi. "Bye,"
David menggumankan 'Bye' balik sambil tersenyum. Aku sudah tiga meter dari posisiku saat aku berbalik lagi. Niatnya mau liatin David sampai dia ngilang dari pandangan, tapi ternyata, dia juga berbalik ke arahku. Dia tersenyum dan aku merona, lagi. Sialan! Dari mana scene ini berasal?
Aku melambaikan tanganku sebagai pengganti malu, dia melambaikan tangan juga. Setelah itu, buru-buru aku melanjutkan perjalananku ke kelas sebelum kena serangan jantung, soalnya mayoret si dalam dadaku sudah mulai memberi aba-aba pada pasukannya.
***
Pulang sekolah aku diantar Rendi sampai ke rumah. Dia hanya mampir sebentar untuk mengambil bajunya yang semalam, tapi aku memaksanya untuk menemaniku makan siang dulu. Kami cuma makan berdua, soalnya Mamah dan Papa jam segini belum pulang. Kak Andy apa lagi, mungkin masih kuliah, atau main. Au ah gelap.
Setelah Rendi pergi, aku membanting badanku ke kasur. Merasakan sensasi menenangkan dari kasurku yang empuk dan nyaman. Kupejamkan mataku, bersiap tidur siang, saat Faint mulai menjerit-jerit lagi. Siapa sih?!
Kulirik ponselku dan mengumpat kasar. Nomor baru lagi?! Semoga, siapapun dia, punya alasan bagus buat menggangguku.
"Halo?!" kataku dengan sedikit agresif.
"Halo, Yan?" kata sebuah suara ngebass di seberang sana. "Ini Yana, kan?"
Aku diam sebentar. "Iya, ini Yana," kataku. "Siapa ini?"
Suara itu tertawa. Sepertinya aku tahu siapa dia..
"Ikbal. Ini Kak Ikbal," aku langsung duduk tegak dengan tangan sedikit gemetar.
"Eh, Kak Ikbal, kirain siapa," aku nyengir kuda. Iya, bener, kalian nggak salah kok! Pak Ikbal dan Kak Ikbal adalah orang yang sama. Sama-sama Ikbal Bastian dan sama-sama guru olahragaku. Kita tidak sedang membicarakan orang lain. "Ada apa, ya?"
Dia tertawa. "Nggak apa-apa sih, iseng aja," katanya. "Nggak ada kerjaan di kosan,"
Iseng dia bilang? Keterlaluan! Ingin sekali aku menekan tombol merah di ponselku. Pasukan Drumband kembali bermain di dadaku.
"Oh, gitu, ya," aku ketawa canggung. Mau ngomong apa aku coba? Satu-satunya yang nyangkol di otakku adalah kejadian di kosannya waktu itu.. Saat dia tela-STOP! BERHENTI DI SANA, YANA!! KULARANG KAU MEMBICARAKANNYA!! TIDAK SAAT INI!!
"Kamu lagi apa, dek?" Sejak kapan dia memanggilku dengan sebutan 'dek'? Oke, dia memang memintaku memanggilnya dengan sebutan 'Kakak' sore itu, tapi aku tak pernah memintanya memanggilku dengan sebutan 'dek', 'adik', atau semacamnya.
Bagaimanapun wajahku merona.
"Lagi tiduran, Kak," jawabku. "Kak Ikbal lagi apa?"
"Sama nih," katanya. "Cuma pake kolor doang," ini bisa disebut pencabulan nggak? Kayaknya nggak, ya, kan kita nggak dalam satu ruangan yang sama.
"Apaan yang gituan diceritain?" aku tertawa. "Nggak penting banget,"
"Emang kamu nggak suka kalo Kakak pake kolor doang?" dalam hati aku menyumpahi kepalanya kepentok jendela, biar otaknya agak beres dikit.
"Nggak," kataku, lalu memasang wajah menyesal. "Sama sekali nggak,"
"Serius nih nggak suka?" dia bertanya dengan nada menggoda. "Gimana kalo Kakak buka kolornya? Suka nggak?" nah, ini baru namanya pencabulan.
Aku menaikkan dua alisku yang sempurna. Apa dia mau mengajakku phonesex? Oh, astaga! Ini masih jam dua siang!
"Kak, kalau kakak cuma mau ngajakin aku phonesex siang-siang, mending aku tutup aja telponnya," kataku dengan nada sebal, walau sebenarnya sosisku udah tegang maksimal. Saat ini, aku cuma berusaha meluruskan hubungan guru dan murid ini yang mulai melewati jalur.
"Eh, jangan dong! Kakak, kan cuma bercanda," dia berkata cepat-cepat. "Maafin kakak, ya? Kamu jangan marah, dong!"
Aku berdehem. "Oke, aku maafin," kataku. "Tapi jangan becandaan pake yang begituan lagi," lalu, untuk beberapa alasan yang dapat dijelaskan, aku berguman. "Kalau beneran sih nggak apa-apa," aku benar-benar menyesali perbuatanku.
"Apa?" tanya Kak Ikbal. "Kamu ngomong apa tadi?"
"Aku nggak ngomong apa-apa," dustaku. Untung ini pembicaraan di telepon, jadi dia tidak bisa melihat wajah kepiting rebusku.
"Tadi kamu bilang 'Kalau beneran sih nggak apa-apa', bener?" dia tertawa saat aku diam saja. "Beneran nggak nih? Kalau beneran, boleh dong malem minggu nanti nginep,"
Aku lansung memutuskan sambungan teleponku, lalu melemparnya ke kasur. Kututup wajahku dengan bantal dan berteriak di sana. Demi dewa-dewi, apa yang baru saja aku lakukan? Gaea, telan aku sekarang! Ini memalukan!
Duhduhduh jangann dongg
Kalo beneran semoga si david jadi suka beneran wakakkakakaka