It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Levi kini malah asik melamun dan terlihat tak bersemangat untuk melakukan aktfitas langganannya. Melamun bagi Levi merupakan pekerjaan mengasyikan untuk dilakukannya saat ini. Menghabiskan sarapan pagi seorang diri, membayangkan malam kesepian, serta tidur tanpa sosok yang disayang adalah hal-hal yang memenuhi otaknya sekarang. Kenzo pamit untuk pergi ke suatu tampat bersama Rey. Tugas kuliah menjadi dalih, tak masalah memang, karena memang itu kewajibannya, namun tetap saja hal menyebalkan harus tinggal di rumah sendirian.
“Suntuk banget, lagi ditinggal pacar?” sela salah satu rekan Levi mengajar berhasil membuyarkan lamunannya.
“Ganggu aja kamu Rob,” balas Levi tak suka kegiatannya diiterupsi orang lain.
“Lagian, urusan rumah tangga itu jangan dibawa-bawa ke kampus,” ujar Robi, rekan mengajar Levi yang kebetulan bersebelahan meja dengannya.
“Siapa juga yang memikirkan urusan rumah tangga? Orang belum kawin juga,” elak Levi.
“Lah terus? Ngapain siang bolong abis ngajar wajah ditekuk lalu asik melamun huh?”
“Hakku mau melamun atau ngapain,”
“Tapi itu mengganggu pamandangan ruangan Lev, masih muda juga, nanti cepet tua loh,”
“Cepet tua kaya kamu ya?” ejek Levi dengan cengiran iseng yang sukses mendapat tatapan tak senang Robi.
“Jangan bawa-bawa usia,”
“Lah kan bapak Robi yang mulai,”
“Ah, kamu gak asik Lev,” ujar Robi tak ingin meneruskan acara debat tak pentingnya dengan Levi dan memilih untuk kembali fokus dengan komputer di mejanya.
“Gitu aja ngambek,”
“Siapa yang ngambek? Aku Cuma kesel sama kamu nak Levi,” ujar Robi dengan nada khas candaan.
“Nak? Emang aku anakmu,” balas Levi dengan sedikit senyum yang mengembang.
“Gitu dong senyum, muka dari tadi masam terus, gak baik buat kesehatan,”
“Kamu emang rekan kerja yang terbaik Rob,” gumam Levi bersyukur memiliki rekan kerja yang perhatian dengannya.
“Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, kalau berbagi bisa meringankan, lebih baik ceritakan saja masalahmu,!”
“Aku akan mencobanya suatu saat, sayangnya sekarang aku bukan dalam masalah besar, aku melamun hanya karena kagen dengan seseorang,”
“Siapa?”
“Mau tahu aja urusan orang,”
“Pacar?”
“Pokonya seseorang,”
“Main rahasia kaya anak perawan saja kamu Lev,”
“Emang anak perawan saja yang punya rahasia,” ujar Levi bercanda.
“Kamu bisa saja Lev,..” balas Robi juga dengan kekehan.
“Oh, ya Lev, kamu masih ada kelas?” tanya Robi menghentikan aktifitas ketawanya.
“Aku sudah tidak ada kelas, kenapa memang?”
“Em, boleh minta bantuan?”
“Bantuan?”
“Iya, aku hari ini ada kelas sampai malam,”
“Lalu?”
“Bisa tidak kamu antarkan paket ini ke suatu tempat?”
“Paket?”
“Iya, bisa kamu antarkan paket ini ke rumah tanteku?”
“Emang harus segera diantar?”
“Begitulah,”
“Paket apaan sih penting banget kayaknya?”
“Mana aku tahu?”
“Jangan-jangan itu bom, Rob?”
“Kalau bom udah meledak nih paket dari tadi pagi,”
“Ya...yaya... emang dimana alamat tante kamu?”
“Ini alamatnya,” uja Robi memberi secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
“Bukannya tempat ini dekat dengan rumahku,”
“Maka dari itu aku meminta bantuanmu, biar satu jalur,”
“Oke oke...”
“Kamu memang sohib terbaikku Lev,”
“Baru nyadar,?” canda Levi.
“Ya sudah aku tinggal ke kelas dulu ya, dan ingat antarkan paket ini dengan selamat, oke?” ujar Robi mulai bangkit dari kursi dan membawa peralatan mengajarnya.
“Ya,” jawab Levi sedikit agak malas, namun kalau dipikir lagi lebih baik dia menghabiskan waktu untuk mengantarkan paket itu daripada sendirian di rumah.
“Sebaiknya aku antar paket ini sekarang saja, daripada di ruangan ini, membosankan,” gumam Levi memberi sugesti pada dirinya sendiri untuk segera mencari aktifitas lain.
Baru ditinggal Kenzo selama satu hari rasanya terlalau lama bagi Levi. Terbiasa hidup bersama membuatnya sedikit menggantungkan hidup pada sosok lelaki yang membuatnya berani melakukan apapun termasuk bertindak menyalahi aturan ‘normal’. Namun, Levi harus terima apapun keadaannya sekarang.
Tidak mau terlarut dalam bayangan dengan Kenzo, Levi memutuskan untuk menunaikan janjinya pada Robi untuk mengantar paket yang dititipkan padanya. Levi memang tak terlalu sulit untuk mencari daerah yang dimaksud Robi, namun cukup kesulitan ketika karus mencari alamat tepat rumah tujuannya.
“Permisi,! Saya mau tanya pak, alamat ini tepatnya dimana?” tak mau tersesat dan pusing sendiri, Levi memutuskan untuk bertanya pada seorang lelaki penjaga warung pinggir jalan.
“Oh, alamat ini masih cukup jauh dari sini nak, kamu sebaiknya lurus saja terus, setelah sampai pertigaan kedua, belok kiri, setelah itu kembali lurus dan belok ke kanan saat bertemu perempatan,” jelas Bapak yang menjadi sumber petunjuk Levi.
“Pertigaan kedua, belok kiri, setelah itu kembali lurus dan belok ke kanan saat bertemu perempatan? Begitu pak?” ulang Levi untuk memastikan.
“Iya, sampai sana tinggal tanya warga sekitar, dimana letak rumahnya,” balas bapak itu lagi dan juga tambahan saran.
“Iya, terima kasih pak,”
“Ya, sama-sama,”
Julukan orang di negara ini adalah orang yang ramah ternyata benar, begitulah benak Levi sesaat setelah mendapat bantuan dari orang yang tak dikenalnya. Levi teus melajukan mobilnya mengikuti petunjuk baru yang tadi dia dapat. Sekitar sepuluh menit perjalanan, Levi sampai di titik untuk bertanya pada penduduk sekitar. Matanya sejenak mengamati lingkungan sekitar yang terlihat cukup asing. Anggukan serta gumaman kecil tercipta bersamaan dengan lingkungan yang baru dia lihat. Matanya masih setia menyusuri setiap sudut tempat baru itu, namun ada pemandangan yang menurutnya tak asing untuk kedua bola matanya. Dia melihat sosok yang sangat dia kenal, namun ada sedikit kejanggalan disana.
Merasa penasaran, Levi segera turun untuk memastikan penglihatannya. Dia mencoba mendekat pada sosok yang menurutnya tak asing, namun dia terlambat. Waktu yang dia gunakan untuk membuka pintu mobil ternyata menjadi pemisah rasa penasarannya.
“Kemana mereka?” gumam Levi pada dirinya sendiri, dia menyadari bahwa sosok yang membuatnya tertarik kini sudah tak lagi bisa terlihat oleh matanya.
Levi kini malah asik melamun dan terlihat tak bersemangat untuk melakukan aktfitas langganannya. Melamun bagi Levi merupakan pekerjaan mengasyikan untuk dilakukannya saat ini. Menghabiskan sarapan pagi seorang diri, membayangkan malam kesepian, serta tidur tanpa sosok yang disayang adalah hal-hal yang memenuhi otaknya sekarang. Kenzo pamit untuk pergi ke suatu tampat bersama Rey. Tugas kuliah menjadi dalih, tak masalah memang, karena memang itu kewajibannya, namun tetap saja hal menyebalkan harus tinggal di rumah sendirian.
“Suntuk banget, lagi ditinggal pacar?” sela salah satu rekan Levi mengajar berhasil membuyarkan lamunannya.
“Ganggu aja kamu Rob,” balas Levi tak suka kegiatannya diiterupsi orang lain.
“Lagian, urusan rumah tangga itu jangan dibawa-bawa ke kampus,” ujar Robi, rekan mengajar Levi yang kebetulan bersebelahan meja dengannya.
“Siapa juga yang memikirkan urusan rumah tangga? Orang belum kawin juga,” elak Levi.
“Lah terus? Ngapain siang bolong abis ngajar wajah ditekuk lalu asik melamun huh?”
“Hakku mau melamun atau ngapain,”
“Tapi itu mengganggu pamandangan ruangan Lev, masih muda juga, nanti cepet tua loh,”
“Cepet tua kaya kamu ya?” ejek Levi dengan cengiran iseng yang sukses mendapat tatapan tak senang Robi.
“Jangan bawa-bawa usia,”
“Lah kan bapak Robi yang mulai,”
“Ah, kamu gak asik Lev,” ujar Robi tak ingin meneruskan acara debat tak pentingnya dengan Levi dan memilih untuk kembali fokus dengan komputer di mejanya.
“Gitu aja ngambek,”
“Siapa yang ngambek? Aku Cuma kesel sama kamu nak Levi,” ujar Robi dengan nada khas candaan.
“Nak? Emang aku anakmu,” balas Levi dengan sedikit senyum yang mengembang.
“Gitu dong senyum, muka dari tadi masam terus, gak baik buat kesehatan,”
“Kamu emang rekan kerja yang terbaik Rob,” gumam Levi bersyukur memiliki rekan kerja yang perhatian dengannya.
“Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri, kalau berbagi bisa meringankan, lebih baik ceritakan saja masalahmu,!”
“Aku akan mencobanya suatu saat, sayangnya sekarang aku bukan dalam masalah besar, aku melamun hanya karena kagen dengan seseorang,”
“Siapa?”
“Mau tahu aja urusan orang,”
“Pacar?”
“Pokonya seseorang,”
“Main rahasia kaya anak perawan saja kamu Lev,”
“Emang anak perawan saja yang punya rahasia,” ujar Levi bercanda.
“Kamu bisa saja Lev,..” balas Robi juga dengan kekehan.
“Oh, ya Lev, kamu masih ada kelas?” tanya Robi menghentikan aktifitas ketawanya.
“Aku sudah tidak ada kelas, kenapa memang?”
“Em, boleh minta bantuan?”
“Bantuan?”
“Iya, aku hari ini ada kelas sampai malam,”
“Lalu?”
“Bisa tidak kamu antarkan paket ini ke suatu tempat?”
“Paket?”
“Iya, bisa kamu antarkan paket ini ke rumah tanteku?”
“Emang harus segera diantar?”
“Begitulah,”
“Paket apaan sih penting banget kayaknya?”
“Mana aku tahu?”
“Jangan-jangan itu bom, Rob?”
“Kalau bom udah meledak nih paket dari tadi pagi,”
“Ya...yaya... emang dimana alamat tante kamu?”
“Ini alamatnya,” uja Robi memberi secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
“Bukannya tempat ini dekat dengan rumahku,”
“Maka dari itu aku meminta bantuanmu, biar satu jalur,”
“Oke oke...”
“Kamu memang sohib terbaikku Lev,”
“Baru nyadar,?” canda Levi.
“Ya sudah aku tinggal ke kelas dulu ya, dan ingat antarkan paket ini dengan selamat, oke?” ujar Robi mulai bangkit dari kursi dan membawa peralatan mengajarnya.
“Ya,” jawab Levi sedikit agak malas, namun kalau dipikir lagi lebih baik dia menghabiskan waktu untuk mengantarkan paket itu daripada sendirian di rumah.
“Sebaiknya aku antar paket ini sekarang saja, daripada di ruangan ini, membosankan,” gumam Levi memberi sugesti pada dirinya sendiri untuk segera mencari aktifitas lain.
Baru ditinggal Kenzo selama satu hari rasanya terlalau lama bagi Levi. Terbiasa hidup bersama membuatnya sedikit menggantungkan hidup pada sosok lelaki yang membuatnya berani melakukan apapun termasuk bertindak menyalahi aturan ‘normal’. Namun, Levi harus terima apapun keadaannya sekarang.
Tidak mau terlarut dalam bayangan dengan Kenzo, Levi memutuskan untuk menunaikan janjinya pada Robi untuk mengantar paket yang dititipkan padanya. Levi memang tak terlalu sulit untuk mencari daerah yang dimaksud Robi, namun cukup kesulitan ketika karus mencari alamat tepat rumah tujuannya.
“Permisi,! Saya mau tanya pak, alamat ini tepatnya dimana?” tak mau tersesat dan pusing sendiri, Levi memutuskan untuk bertanya pada seorang lelaki penjaga warung pinggir jalan.
“Oh, alamat ini masih cukup jauh dari sini nak, kamu sebaiknya lurus saja terus, setelah sampai pertigaan kedua, belok kiri, setelah itu kembali lurus dan belok ke kanan saat bertemu perempatan,” jelas Bapak yang menjadi sumber petunjuk Levi.
“Pertigaan kedua, belok kiri, setelah itu kembali lurus dan belok ke kanan saat bertemu perempatan? Begitu pak?” ulang Levi untuk memastikan.
“Iya, sampai sana tinggal tanya warga sekitar, dimana letak rumahnya,” balas bapak itu lagi dan juga tambahan saran.
“Iya, terima kasih pak,”
“Ya, sama-sama,”
Julukan orang di negara ini adalah orang yang ramah ternyata benar, begitulah benak Levi sesaat setelah mendapat bantuan dari orang yang tak dikenalnya. Levi teus melajukan mobilnya mengikuti petunjuk baru yang tadi dia dapat. Sekitar sepuluh menit perjalanan, Levi sampai di titik untuk bertanya pada penduduk sekitar. Matanya sejenak mengamati lingkungan sekitar yang terlihat cukup asing. Anggukan serta gumaman kecil tercipta bersamaan dengan lingkungan yang baru dia lihat. Matanya masih setia menyusuri setiap sudut tempat baru itu, namun ada pemandangan yang menurutnya tak asing untuk kedua bola matanya. Dia melihat sosok yang sangat dia kenal, namun ada sedikit kejanggalan disana.
Merasa penasaran, Levi segera turun untuk memastikan penglihatannya. Dia mencoba mendekat pada sosok yang menurutnya tak asing, namun dia terlambat. Waktu yang dia gunakan untuk membuka pintu mobil ternyata menjadi pemisah rasa penasarannya.
“Kemana mereka?” gumam Levi pada dirinya sendiri, dia menyadari bahwa sosok yang membuatnya tertarik kini sudah tak lagi bisa terlihat oleh matanya.
“Sudahlah, sebaiknya aku segera menyelesaikan tujuanku kesini,” ujar Levi memecah kebingungan yang baru saja diciptakannya sendiri.
Dia berjalan belahan setelah memarkir mobilnya di pinggi jalan. Matanya kembali bekerja untuk mencari seseorang yang bisa menunjukan alamat yang dia cari.
“Ah, kenapa aku tidak betanya pada Ibu itu saja,” ide Levi langsung muncul ketika melihat seorang wanita tengah berada di depan rumahnya. Tanpa berpikir panjang lagi, Levi meninggalkan mobilnya dan berjalan mendekat ke arah wanita yang dia maksud.
“Permisi,!” sapa Levi untuk mendapat perhatian wanita itu.
“Oh iya, ada apa yang nak,?” balas wanita itu ramah.
“Aku sedang mencari alamat di daerah sekitar sini, tapi aku tidak tahu tepatnya dimana, Ibu bisa bantu saya?” tanya Levi sopan.
“Mana alamatnya?” tanya wanita itu.
“Oh, ini,!” balas Levi sambil menunjukan kertas bertuliskan alamat yang dia tuju.
“Oh, alamat ini,”
“Ibu tahu?”
“Iya, rumah ini tidak telalu jauh dari sini. Kamu jalan saja lurus dan rumah diujung gang adalah rumahnya. Rumah yang bercat hijau,” terang wanita itu membuat Levi paham.
“Oh, jadi saya hanya harus bejalan lurus saja dari sini dan rumahnya ada diujung gang?” ulang Levi memastikan.
“Iya, dan jangan lupa rumah yang berwarna hijau,”
“Ah, iya,” ujar Levi mengiyakan ucapan tambahan wanita itu.
“IBU...!!!!!!”
Suara terikan yang tiba-tiba kelua dari arah dalam rumah otomatis menghentikan langkah Levi yang semula hendak berpamitan. Suara itu keras dan jelas bahwa teriakan itu keluar dari mulut orang yang sudah dewasa.
“Enzo,?” ujar wanita itu panik setelah mendengar teriakan dari dalam rumahnya. Wanita itu tak lagi mempedulikan Levi yang tengah bingung. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumahnya.
“Bu........” ucapan Levi hanya tertiup angin karena berlalunya wanita itu dari hadapan Levi secara mendadak.
“Ada apa sebenarnya?” gumam Levi bingung. Tidak hanya bingung asal suara itu, dia juga kini bingung bagaimana harus bersikap, apakah menunggu wanita itu untuk berterima kasih dan pamit atau langsung pergi lalu sesegera mungkin menyerahkan paket titipan Robi.
“Kamu kenapa sayang?” samar-samar Levi mendengar pertanyaan khawatir yang terlonta dari wanita yang tadi ditemuinya. Walau dia masih ada di depan pintu rumah, namun cukup untuk Levi mengetahui sedikit percakapan di dalam rumah karena memang rumah itu tidak terlalu besar.
“Sakit bu......” sahut salah satu suara yang Levi yakin adalah pemilik teriakan mengejutkan tadi.
“Tangan kamu berdarah sayang, sebenanya apa yang terjadi?” ujar wanita itu masih tetap khawatir.
“Enzo ingin memotong bawang, katanya mau bantu tante masak buat makanan kita nanti,” suara lain muncul sepertinya memberi jawaban pertanyaan wanita itu. suara yang Levi yakin milik anak kecil karena terdengar masih agak cempreng.
“Benar itu Enzo?” suara wanita itu memastikan. Tidak terdengar suara balasan, karena selanjutnya Levi hanya mendengar perinntah dari wanita itu.
“Kemari sayang,! Ibu akan mengobati tanganmu,!” wanita itu kembali bersuara. Setelah bebarapa menit tidak ada lagi suara yang bisa Levi dengar.
“Kemana mereka?” ujar Levi penuh penasaran.
Levi paham bahwa memasuki rumah orang tanpa permisi itu tidak sopan, namun rasa penasaran Levi membutnya lupa. Dia berlahan masuk makin dalam dan berusaha kembali mendengar suara lelaki yang tadi berteriak, karena dia merasa bahwa suara itu tidak terlalu asing di telinganya. Dia akhirnya berhenti di ruang tamu karena dia kembali mendengar suara yang dicarinya.
“Bagaimana sekarang?” wanita itu kembali bersuara.
“Masih sakit,” balas suara yang Levi yakin adalah pemilik teriakan tadi. Suara yang juga terdengar tidak terlalu asing untuknya.
“Biar Ibu tiup,”
“Tidak usah, nanti Ibu kehabisan nafas,” kembali suara lelaki itu hadir dengan jawaban polos dan tidak sengaja membuat sudut bibir Levi tertarik membentuk sedikit senyuman.
“Itu tidak mungkin sayang,” balas wanita itu dengan sayang.
“Tapi....”
“Sudah sini Ibu tiup,” Levi memperkirakan bahwa wanita itu kini tengah meniup luka lelaki yang memanggilnya Ibu, atau dia adalah anaknya? Levi belum tahu soal itu, yang jelas kini suara wanita itu berlahan hilang.
“Bagaimana sekarang?” wanita itu kembali bersuara.
“Lebih baik,” balas suara lelaki yang masih Levi yakin bahwa dia tidak terlalu asing dengan suara itu.
“Astaga Ibu lupa?” sela suara wanita itu tiba-tiba.
“Kenapa tante?” tanya suara yang Levi yakin bukan suara yang dia anggap tak terlalu asing.
“Tante tadi ada tamu, aduh,! Dia pasti sekarang sedang bingung,” mendengar suara wanita itu yang kembali mengingat kehadiran Levi, membuat Levi langsung bergegas kembali ke tempat semula agar tak mendapat kecurigaan bahwa dia sedari tadi tengah menguping.
“Maaf ya nak, kamu pasti bingung karena Ibu pergi begitu saja,” ujar wanita itu setelah kembali bertemu dengan Levi di depan pintu rumah.
“Oh, tidak apa-apa kok bu, memang suara siapa tadi?” balas Levi penasaan.
“Oh itu anak saya,”
“Kenapa dia sampai berteriak tadi?”
“Tangannya teluka, tidak sengaja tekena pisau,”
“Oh, tapi sekarang baik-baik saja?”
“Iya, tadi saya sudah mengobatinya,”
“Ah, iya aku pamit dulu Bu,”
“Tidak mau mampir?”
“Terima kasih mungkin lain waktu, soalnya aku harus segera memberikan paket ini dulu,”
“Oh iya,”
“Permisi,!”
“Hati-hati,!”
“Iya,”
Tidak ingin terlalu lama mengulur waktu untuk mengirim paket yang dititipkan padanya, Levi segara beranjak dari tempatnya sekarang dan langsung menunaikan tujuan awal kedatangannya ke daerah itu. Rasa penasarannya pada pemilik suara yang terdengar tak terlalu asing ditelinganya terpaksa dia kubur. Dia harus mengutamakan tujuan awalnya yaitu mengirim paket yang dititipkan padanya.
Mobil hitam milik Levi berlahan melaju pelan karena memang tempat yang ditujunya sudah dekat. Kegiatan Levi membantu Robi untuk mengantar paket ternyata mampu dinikmatinya. Sejujurnya ada beberapa hal yang sekarang justru menyita perhatiannya dibanding memikirkan kesediriannya karena Kenzo yang pergi untuk tugas kuliahnya. Levi memutuskan untuk tak membebani pikirannya lebih banyak dan memutuskan untuk kembali masuk kedalam mobil dan melajukannya menuju tempat tinggalnya.
@lulu_75
@melkikusuma1
@junaedhi
@sogotariuz
@liezfujoshi
@hendra_bastian
@kikyo
Rumah atau apartemen yang biasa diisi dengan sedikit candaan atau sekedar obrolan ringan, kini terasa sangat sepi karena hilangnya sejenak salah satu penghuni, siapa lagi kalau bukan Kenzo. Levi sang penghuni tunggal hanya bisa pasrah dan bersabar untuk dua hari kedepan sampai Kenzo kembali.
“Kenapa harus pergi ke tempat terpencil sih? Kalau begini mana bisa aku menghubunginya?” kesal Levi mengingat fakta bahwa Kenzo pergi ke daerah terpencil yang kemungkinan besar tidak ada alat komunikasi memadai, setidaknya itulah kenyataannya karena sejak Kenzo pergi dia tidak bisa menghubunginya lagi.
Menghabiskan waktu di rumah seorang diri bukanlah hal yang menyenangkan untuk Levi lakukan sekarang. Levi melihat kearah jam tangannya, dia baru menyadari bahwa sekarang dia sudah melewatkan waktu makan siangnya. Sekarang sudah menunjukan pukul enam petang, perut yang tadi belum sempat terisi terasa cukup tak nyaman karena rasa lapar. Tidak mau kembali merasa kesepian, Levi akhirnya memutuskan untuk makan siang sekaligus malam di luar.
Mobil hitam itu akhirnya kembali keluar dari garasi, sang pemilik kini punya satu tempat tujuan yang ingin dia datangi. Mall, tempat yang sekarang ingin Levi tuju. Restoran atau rumah makan memang menjadi pilihan utama jika ingin mengisi perut, namun berbeda dengan Levi yang tidak hanya bertujuan untuk mengisi perut, tapi juga ingin mengunjungi tempat ramai untuk sekedar mengusir rasa sendiri.
BUGH
Sambutan tak cukup enak harus Levi nikmati ketika kakinya baru saja singgah di sebuah stand makanan di sebuah mall. Tubuh seorang anak lelaki berumur sekitar sepuluh tahun dengan cukup kencang menabrak tubuhnya. Tubuh Levi sempat sedikit oleng namun beruntung baginya yang memiliki keseimbangan tubuh yang baik sehingga dia bisa menguasai dirinya agar tak terjatuh.
“Maaf om,” ujar penabrak Levi.
“Hei, hati-hati,! Jangan berlarian di tempat ramai,” balas Levi sedikit menasehati.
“I...iya om, aku minta maaf,” balas anak lelaki itu.
“Memang dimana orang tuamu?”
“Aku kesini bersama Enzo dan Ibunya, juga teman-teman,”
“Lalu dimana mereka? Kenapa kamu tidak bersama mereka”
“Ada di dalam, tadi aku pergi ke toilet, karena tidak mau ketinggalan makanya aku tadi berlari dan tidak hati-hati,”
“Mau Om antar ke dalam?”
“Tidak perlu, itu mereka,!” tolak anak itu sambil menunjuk arah lima orang yang tengah menikmati makanan di meja mereka. Mata Levi secara refleks mengikuti arah yang ditunjuk. Levi diam sejenak ketika matanya melihat wajah salah satu dari lima orang itu. wajah yang suda tidak asing untunya, itu waja Kenzo. Namun dengan segera dia menepisnya karena tidak mungkin orang itu adalah Kenzo.
“Oh ya sudah tapi lain kali hati-hati,!” ujar Levi menyudahi dugaan pikirannya tentang orang yang mirip dengan Kenzo.
“Iya,” ujar anak itu sambil berlalu meninggalkan Levi.
Levi berusaha menepis pikiran dan rasa penasarannya pada orang yang memiliki wajah mirip dengan Kenzo. Dia kini berusaha konsentrasi pada makanan yang beberapa menit lalu dia pesan. Namun kembali otaknya tak bisa dia kendalikan. Tempat duduknya yang tak terlalu jauh dari orang yang sekarang mengganggu pikirannya. Lelaki yang mirip dengan Kenzo duduk bersama dengan seorang wanita dan empat anak kecil yang salah satunya adalah anak yang menabraknya tadi. Keinginan Levi untuk menepis semua dugaannya ternyata tak berhasil apalagi ketika dia baru menyadari bahwa wanita yang duduk bersama lelaki itu adalah wanita yang tadi siang bertemu dengannnya, wanita yang sudah membantunya mencari alamat rumah. Levi tidak bisa lagi untuk tidak bertanya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menghampiri meja itu.
“Kemana dia?” ujar Levi sesaat setelah membayar makanannya di kasir. Matanya menuju meja yang ingin dia hampiri tadi, namun yang terliat hanya sosok wanita satu-satunya di meja itu.
“Sebaiknya aku tanyakan pada wanita itu,” gumam Levi. Dia langsung beranjak dari kusinya dan membuat makanan yang tadi dipesannya tak tersentuh disekitpun.
“Permisi,!” sapa Levi begitu sampai di meja wanita itu.
“Iya, ada.... kamu?” ujar wanita itu.
“Iya, aku yang tadi siang bertemu dengan Ibu untuk menanyakan alamat,” jelas Levi.
“Oh, iya aku ingat. silakan duduk,! “tanya wanita itu.
“Terima kasih,” balas Levi langsung duduk berhadapan dengan wanita itu.
“Apa kamu ingin menanyakan alamat lagi?” sela wanita itu.
“Tidak, aku tidak ingin menanyakan alamat lagi, tapi boleh aku menayakan hal lain?”
“Apa?”
“Em, apakah anak-anak yang yang tadi duduk bersamamu, mereka semua adalah anakmu? Dan termasuk lelaki yang lebih dewasa itu?” tanyaku.
“Hanya dia yang anakku,!” jawab wanita sambil menunjuk seseorang. Mata Levi secara otomatis mengikuti arah yang ditunjuk oleh wanita itu.
“Lelaki yang paling besar diantara anak-anak itu?” tanya Levi memastikan setelah melihat arah telunjuk wanita itu mengarah pada lelaki yang Levi duga adalah Kenzo.
“Iya, dia anakku,” jawab wanita itu mengiyakan.
“Kamu heran kenapa lelaki sebesar dia masih asik bermain dengan anak-anak sepuluh tahunan?” sela wanita itu kembali mengalihkan pikiran Levi yang semula diliputi kebingungan. Belum sempat Levi menjawab, waniita itu kembali menyela.
“Dia terkena keterbelakangan mental, anakku yang malang,” sela wanita itu.
“Maaf,” ujar Levi merasa bersalah karena secara tak langsung membuat wanita itu menampakan raut kesedihan di wajahnya.
“Tidak apa-apa, lagian bukan kamu juga yang memulai pembicaraan ini,”
“Dia terlihat sangat bahagia,” ujar Levi memberi penilaian pada tingkah laku lelaki yang tengah diperhatikannya itu.
“Iya, Enzo selalu terlihat bahagia,”
“Namanya Enzo?”
“Iya, nama yang bagus bukan?”
“Iya, nama yang bagus, apa dia orang yang tiba-tiba berteriak tadi siang?”
“Iya, dia kadang bertindak terlalu polos dan sedikit ceroboh,”
“Bagaimana keadaan lukanya?”
“Sudah lebih baik,”
“Anda pasti sangat menyayanginya,”
“Iya, aku sangat menyayanginya. Hanya dia satu-satunya orang yang aku miliki,”
“Suami anda?”
“Dia sudah meninggal,”
“Maaf,”
“Tidak apa-apa, dia sudah meninggal sejak Enzo datang,” Levi hanya mengangguk dan tak mau memperpanjang pembicaraan karena takut justru akan mengungkit cerita masa lalu wanita yang ada di depannya hingga bunyi ponsel kini mengalihkannya.
“Maaf, aku permisi. Terima kasih atas waktunya,” pamit Levi.
“Iya,”
Perbincangan singkatnya dengan wanita yang ternyata adalah Ibu dari lelaki yang memiliki wajah mirip dengan Kenzo memberikan sedikit jawaban atas rasa penasaran Levi. Kecurigaan serta dugaan gilanya tentang Kenzo yang membohongi dirinya kini musnah walau tak sepenuhnya, karena jujur, Levi masih menyimpan jutaan dugaan di benaknya. Namun semua itu musnah seketika saat Levi melihat ponselnya dan tertera nama Kenzo sebagai sang pemanggil. Dia kembali mengalihkan pandangannya pada lelaki mirip Kenzo, dia masih asik bermain. ‘Itu tidak mungkin’ gumam Levi sebagai penutup rasa penasarannya.
“Halo?” sapa suara diseberang telfon.
“Halo Kenzo,” balas Levi.
“Kamu ada dimana? Aku sudah pulang dan tidak mendapatimu di rumah, kamu masih ada di kampus?”
“Oh, tidak. Aku sekarang ada di mall, aku sedang mencari makan malam,”
“Oh,”
“Kamu ingin aku belikan sesuatu?”
“Tidak usah aku tadi juga sudah makan, apa kamu masih lama?”
“Em, tidak, aku sudah selesai makan, Kenapa?”
“Setelah dari mall kamu mau kemana lagi?”
“Pulang, tumben kamu banyak tanya, ada apa hm?”
“Em... aku kagen,” jawab Kenzo yang kini sukses membuat sudut bibir Levi terangkat membentuk sebuah senyum.
“Aku juga sangat kangen,”
“Makanya cepat pulang,!”
“Iya, iya aku akan segera pulang. I LOVE YOU,”
“LOVE YOU TOO,” jawab suara disebrang telfon yang sontak membuat Levi sejenak bengong karena tidak biasanya Kenzo membalas kata yang baru diucapkannya. Namun, tak butuh waktu lama untuk mengembalikan senyuman di wajahnya.
“Lev?”
“..........”
“Levi?”
“.........”
“Lev!!!” kesal Kenzo merasa tak mendapat respon dari Levi.
“Eh, iya,”
“Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa diam?”
“Oh, tidak, aku tidak apa-apa. Aku akan segera pulang,”
“Oke, bye...”
“Bye..”
Bersama dengan berakhirnya panggila dari Kenzo, Levi tak membuang lagi waktunya di tempat itu. Sejenak Levi melirik lelaki yang memiliki wajah mirip dengan Levi namun tak sama secara mental, dia masih asik dengan teman-temannya. Sekarang Levi akan menanamkan dalam benaknya bahwa dugaan anehnya sama sekali tak benar.
“Kenzo?” seru Levi begitu membuka pintu. Ruang tamu tampak sepi, hal itu bisa dimaklumi karena Kenzo maupun Levi sendiri jarang bersantai di ruang tamu. Kaki Levi lantas berlanjut untuk menyusuri ruangan. Dan disini dia berhenti, di dapur. Dia mendapati Kenzo yang sepertinya tengah membuat kopi.
“Kenapa tidak menjawab panggilanku?” ujar Levi lembut. Kini dia dengan senang hati mendekap Kenzo dari belakang. Melingkarkan kedua lengannya di pinggang orang yang sangat dia cintai.
“Aku tidak mendengarnya, maaf” jawab Kenzo enteng. Dia tidak terganggu sama sekali dengan sikap Levi yang bermanja.
“Apa rumah ini terlalu besar sehingga kamu tidak mendengarnya?” kembali Levi berujar dengan bibir berlahan mengecupi bagian leher belakang, samping, hingga pundak Kenzo.
“Tidak juga kurasa,” jawab Kenzo kini selesai membuat kopi. Dia membalik badannya dan kini wajahnya berhadapan dengan milik Levi. Kedua tangannya masih setia dengan cangkir bersisi kopi panas, kedua pasang bibirnya sesekali meniup kepulan asap dari minuman buatannya.
“Lalu kenapa tidak mendengar panggilanku?” tanya Levi masih menunjukan sikap manja. Kedua tangannya masih setia di pinggang Kenzo, tatapannya intens pada dua bola mata lawan bicara.
“Mungkin karena aku sedang melamun?”
“Melamun? Apa yang kamu pikirkan sehingga menyita seluruh perhatianmu hm?”
“Aku hanya berpikir bagaimana kamu menjalani kehidupanmu selama aku tidak berada di sini,”
“Kamu ingin tahu jawabannya?”
“Aku sudah tahu jawabannya,”
“Benarkah,?” ujar Levi mengerutkan kening.
“Iya, hari-harimu pasti sangat membosankan juga kesepian,” tebak Kenzo.
“Kenapa berpikir bahwa itu jawabannya?,”
“Hanya dengan melihat isi dapur ini, aku bisa menebaknya,”
“Bagaimana caranya?”
“Isi dapur ini masih sama dengan hari terakhirku disini,”
“Tebakan bagus,” puji Levi karena memang apa yang diucapkan Kenzo benar adanya.
“Lalu sampai kapan kamu akan terus memelukku seperti ini? posisi ini menyulitkanku bergerak, aku juga ingin meminum kopiku,” ujar Kenzo berharap Levi melepaskan pelukan manjanya, namun bukan Levi jika tidak mau ambil untung.
“Beri aku penyembuh rasa menyebalkan selama kamu tidak berada disini,! Baru aku akan melepaskanmu,” ujar Levi sesuai tebakan Kenzo.
CUP
Kenzo mengecup singkat bibir Levi, namun ternyata bukan itu yang diinginkan Levi.
“Bukan seperti itu,” gumam Levi dengan tampak dibuat merajuk.
“Harusnya seperti ini,!” sambung Levi langsung mengambil alih bibir Kenzo. Dia alihkan kedua tangannya dari pinggang menuju tengkuk, untuk memperdalam ciumannya. Kenzo hanya merespon seadanya tanpa berniat untuk mengikuti alur yang ingin diciptakan Levi.
Ruangan yang sepi serta suasana hati yang bahagia membuat Levi tak mau menyiakan anugrah di hadapannya. Berlahan namun pasti dia semakin mendominasi ciumannya dengan Kenzo. Dia salurkan semua rasa rindu yang dia tahan beberapa hari belakangan, berlebihan memang jika mengingat Kenzo hanya meninggalkannya tak lebih dari seminggu, namun Levi tak peduli.
Dia hanya tahu bawa hidup tanpa Kenzo seberapa detikpun itu, akan membuatnya selalu merindukan sosok itu. Ciuman yang dibuat oleh Levi benar-benar membuatnya makin tak bisa mengontrol hasratnya, sementara Kenzo juga sejujurnya sudah terbawa oleh cumbuan itu, namun dia tahan karena fisiknya masih terlalu lelah untuk mengikuti permainan Levi.
Menyadari Kenzo yang tak begitu merespon, Levi tak lantas menyerah, dia punya seribu cara untuk membuat Kenzo takluk pada sentuhannya. Dia menggigit sedikit kasar bibir bawah Kenzo untuk meminta akses masuk dalam rongga hangat Kenzo, namun.
“AWW” pekik Levi sambil mengelus pipi kanannya yang terasa tersengat air panas.
“Ops, maaf” ujar Kenzo tanpa dosa.
“Kamu sengaja kan?” tuduh Levi tak terima. Dia tahu jika Kenzo sengaja menempelkan kopi panasnya di pipinya.
“Kok tahu?” balas Kenzo cuek. Dia kini berjalan santai menuju ruang tengah dan duduk di sofa depan TV.
“Kenapa kamu malakukannya? Kamu tidak merindukanku?” kesal Levi. Dia berdiri mengadap Kenzo yang masih sibuk meniup kopinya, sangat terlihat bahwa wajahnya tengah kesal.
“Duduklah,!” titah Kenzo santai.
“Jelaskan dulu kelakuanmu tadi,!” ujar Levi masih mempertahankan sikap merajuknya.
“Makanya sekarang kamu duduk dulu, sini,!” balas Kenzo. Kini dia meletakan kopinya di meja dekat sofa. Dia menepuk tempat longgar disebelahnya untuk Levi.
“Sekarang jelaskan,!” Levi sekarang hanya mengikuti perintah Kenzo. Dia duduk di sebelah Kenzo.
“Kamu tahu? Aku hanya tidur selama tiga jam dalam dua hari ini, dan itu membuatku sangat lelah secara fisik. Aku melakukannya karena aku ingin segera pulang. Aku tidak tega untuk meninggalkanmu terlalu lama, aku menumpuk semua tugasku agar semuanya selesai lebih cepat dan sesegera mungkin menemuimu, apa alasan itu cukup untuk membuatmu mengerti?” jelas Kenzo dengan sabar.
Dia menghadap wajah Levi yang tadi sempat kesal itu, tangannya dengan lembut menggenggam milik Levi untuk menyatakan bahwa dia tengah bicara jujur.
“Kamu melakukan semuanya demi aku?” balas Levi yang kini merubah ekpresi wajahnya menjadi lebih bersinar.
“Tidak juga, aku memang ingin segera kembali karena tidak betah disana,” canda Kenzo.
“Aku serius Kenzo,”
“Aku juga serius Levi, tempat itu tidak menyenangkan, makanya aku ingin segera pulang”
“Oke, apapun ucapanmu tidak penting lagi. Yang terpenting sekarang adalah kamu sudah kembali bersamaku, itu lebih dari cukup,” ujar Levi langsung menarik tubuh Kenzo untuk dipeluk. Levi akhinya tak mau mendebat lagi alasan Kenzo tadi.
Dia tahu jika Kenzo memang tengah lelah dan dia tak mau membuatnya makin lelah karena sifat kekanakannya.
“Ini baru Levi yang aku kenal,” ujar Kenzo membalas pelukan Levi.
“Kamu lapar? Biar aku pesankan makanan,” sela Levi sesaat setelah melepas pelukan.
“Tidak, aku hanya ingin istirahat,”
“Kalau begitu kita ke kamar untuk istirahat. Disana akan lebih nyaman.” Kata Levi memberi usul. Dia hendak beranjak dari duduknya untuk menuju kamar mereka namun Kenzo mencegahnya.
“Tunggu,! Biarkan aku berbaring di pahamu, aku rasa itu juga cukup nyaman,”
“Tapi,...”
“Bolehkan?” tanya Kenzo memohon, Levi tak mampu menolak dan hanya bisa menganggukan kepalanya.
“Thank,” balas Kenzo dengan senyum senangnya dan langsung merebahkan kepalanya di paha Levi.
“Nyaman?” tanya Levi sambil berlahan mengusap lembut kepala Kenzo serta sedikit memberi pijatan.
“Hmm” gumam Kenzo menutup matanya dan menikmati perlakuan lembut Levi.
Suasana kini menjadi hening. Kenzo masih nyaman menikmati pijatan Levi, bahkan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus pertanda bahwa dia kini terlelap. Levi hanya bisa menikmati wajah damai Kenzo. Senyuman lega serta bahagia dia ukir dalam wajahnya.
Tangannya tak henti untuk memberi perlakuan menyenangkan untuk Kenzo. Tubuh Levi sejujurnya juga sudah lelah, namun dia berusaha untuk tetap terjaga agar Kenzo tak kehilangan kenyamanan, namun apa daya fisiknya juga butuh istirahat hingga akhirnya matanya ikut terpejam.
Keduanya menyusuri alam mimpinya masing-masing, merefleksikan setiap kejadian lalu serta angan masa depan dalam sebuah mimpi yang datang tak beraturan.
Dia bukan orang yang terlalu berpikir jauh pada masa depan, dia hanya manusia yang selalu ingin menikmati setiap moment detik berikutnya, namun bukan berarti dia tidak peduli dengan hal yang akan datang. Kehidupan sosial menuntutnya untuk memikirkan hal itu. Di pagi yang cerah ini dia kini hanya bisa berkali-kali menghirup nafas panjangnya sebagai refleksi menenangkan diri supaya mendapat pemikiran yang lebih rasional dan tentunya tak buruk untuk dilakukannya.
“Masih memikirkan masalah perampokan dan kejadian di parkiran?” sela sebuah suara yang sukses membuyarkan lamunan manusia yang berada di sampingnya. Levi, dialah orang itu.
“Mungkin,” jawab Levi yang kini merubah posisinya menjadi bersandar di kepala ranjang.
“Ada hal lain?” tebak Kenzo berusaha menatap intens mata sang lawan bicara. Dia gunakan tangan kirinya sebagai penyangga kepalanya.
“Mungkin,”
“Jika kamu terus berbicara mungkin, maka kamu hanya akan mendapat jawabannya dengan kemungkinan,” kesal Kenzo yang hanya mendapat jawaban tak memuaskan dari Levi. Levi yang melihat kekesalan Kenzo malah tersenyum gemas.
“Lalu kamu mau mendapatkan jawaban apa hm?” tanya Levi kini menyamakan posisinya persis seperti Kenzo, berbaring miring dengan tangan sebagai penyangga dan memghadap wajah Kenzo.
“Ada hal yang terjadi selama aku tidak ada disini? Dan itu yang membuatmu melamun seperti tadi?” tanya Kenzo berusaha mengembalikan topik.
“Banyak yang terjadi memang, namun hanya sedikit yang masih belum bisa aku dapatkan solusinya,” ujar Levi akirnya tak mau mennyembuyikan apapun dari Kenzo. Dia kini membaringkan penuh tubuhnya, pemandangan langit-langit kamar menjadi hal menarik rupanya sekarang untuk Levi nikmati.
“Mau bercerita?”
“Tidak,” tolak Levi mantap.
“Kenapa?” tanya Kenzo heran dan agak kaget tentunya.
“Aku tidak mau hanya bercerita, namun juga menyelesaikan dan mencari jalan keluarnya bersamamu, jika kamu bersedia,”
“Apa aku punya hak untuk menolak?”
“Walaupun kamu mempunyainya, aku tidak akan memberikannya,”
“Oke, sekarang bagaimana kalau kita memulainya dengan menceritakan masalah itu,?”
“Hm... orang tuaku menanyakan tentang statusku, mereka ingin aku segera berumah tangga, mereka mengatakan jika aku masih belum memiliki pasangan, mereka akan menjodohkanku dengan anak rekan kerja ayahku,”
“Solusinya adalah kamu harus menikah,”
“Hal itu menjadi masalah selanjutnya, aku tidak mungkin menikah dengan orang pilihan mereka,”
“Kalau begitu, bawa orang yang ingin kamu nikahi pada mereka,”
“Tapi....”
“Tapi kenapa? Kamu ragu membawanya?”
“Bukan ragu, aku hanya belum menanyakan padanya, apakah dia bersedia untuk kubawa pada orang tuaku,”
“Kenapa tidak menanyakannya?”
“Baiklah, sekarang aku akan menanyakannya. Beeb, di weekend ini aku mau mengajakmu ke tempat kedua orang tuaku, kamu bersedia?”
“Kamu yakin?”
“Aku sudah meninggalkanmu dari sejak awal, jika aku tidak yakin.”
“Apakah dengan ini maka masalahmu akan selesai?”
“Belum tentu, yang aku yakin dengan hal ini maka akan ada hal lain yang akan terjadi, baik itu sesuai prediksi atau melenceng,”
“Kamu sudah siap menghadapinya?”
“Siap atau tidak bukan menjadi inti masalah ini, yang paling penting adalah kamu percaya padaku untuk semua yang akan aku lakukan dan berjanjilah untuk terus disampingku pada apapun yang akan terjadi nanti,”
“Kalau begitu aku ada satu permintaan sebelum aku menyetujui usulanmu tadi,”
“Apa?”
“Kamu akan selalu membantuku untuk tetap percaya bahwa ada orang yang dengan tulus menerimaku, apapun yang terjadi padaku.”
“Itu syaratnya?”
“Iya, apa kamu sanggup?”
“Iya,” jawab Levi mantap yang langsung mendapat hadiah senyuman dan kecupan sayang di kening dari Kenzo.
“Aku harap kamu menepati janjimu,” gumam Kenzo dalam hening dan pejaman mata ketika mengecup tulus Levi.
“Apa pembicaraan kita sudah selesai?” sela Kenzo.
“Aku rasa iya,” jawab Levi dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya. Tangannya masih setia melingkar di pinggang Kenzo untuk mendekapnya erat.
“Kalau begitu aku mau mandi dan berangkat kuliah,” ujar Kenzo hendak bangun dari tempat tidurnya namun lengan kekar Levi tak memperbolehkannya.
“Aku masih ingin menikmati pagi ini,” manja Levi.
“Aku ada kuliah pagi pak dosen,”
“Skip?”
“Kamu yakin?”
“Ya,”
“Oke, tidak masalah, toh dosen kelasku sendiri yang memintanya,”
“Apa?”
“Kuliah pagiku adalah kelas anda juga pak dosen,”
“Benarkah?” kaget Levi yang benar-benar lupa dengan jadwal mengajarnya di kelas Kenzo.
“Iya,”
“Kalau begitu aku tarik ucapanku tadi, sekarang bersiaplah ke kampus,!” ujar Levi panik. Kenzo hanya memandang kekonyolan itu sambil tersenyum heran.
“Sekarang ayo kita mandi,!” ujar Levi langsung menarik tangan Kenzo.
“Hey,! Sebaiknya aku dulu yang mandi,”
“Kita bersama saja sayang, menghemat waktu,”
“Menghemat waktu atau mencari kesempatan hm?”
“Hehe dua-duanya,” cengir Levi.
“Enak saja,! aku mandi duluan, aku gak mau terlambat,”
“Kan aku dosennya,”
“Bodoh,!” ujar Kenzo langsung menuju kamar mandi dan meninggalkan Levi yang kini merubah wajahnya menjadi kesal.
“Lihat saja nanti, tunggu pembalasanku sayang!” teriak Levi yang hanya berbalas dengan juluran lidah Kenzo.
“Hey,! Jangan bertingkah seperti itu,! kamu membuatku ingin memakanmu sekarang,”
“Dasar otak dosen mesum,!” balas Kenzo dari balik pintu kamar mandi dan Levi kini kembali merasa menang.
“Pagi yang menyenangkan,” gumam Levi dengan senyum kelegaan.
Levi tahu bahwa membicarakan hal seberat apapun pada Kenzo, dia akan tetap mempunyai cara mudah untuk melewatinya. Levi tahu bahwa menyelesaikan masalah barunya ini memakan waktu bahkan tenaga dan pikiran lebih, namun selama mendapati Kenzo ada disampingnya, dia akan tetap percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.