BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MATEMACINTA?! [ UPDATE EPISODE 17 ]

1626365676878

Comments

  • Kok pritriani jadi sarah???
    Harusnya si sony introspeksi diri, nanya dulu kebenaran beritanya dari si hedy dan si steve...jangan main marah aja...aku kurang suka sama sikap sony dan steve....
    Okey di tunggu berikutnya...
  • kereennnn
  • kereennnn
  • Lanjut . . .
  • Lanjut . . .
  • semangat kakak *kiss*
  • hahahahhaha ada2 aja wkwkwkwkwk
    @Agova
  • nanti ya
    @ardi_yusman

    Iyakah, typo.....sama aku juga -_-.....oke bro
    @akina_kenji

    makasih
    @diccyyyy
  • nanti
    @Yudin87

    makasih adeeeek >_<
    @roy_rahma
  • d tunggu y kk
  • Ok... Di tunggu crta ny
  • EPISODE 13 – PUISI

    Aku berdiri di depan pintu rumah Sony dengan sedikit gugup. Aku nggak tahu apa yang akan kulakukan kalau Sony membuka pintu dan sudah berdiri dihadapanku.

    Aku cuma bisa berharap kata-kata Martabak benar, Sony masih mau baikan sama aku. Nggak lucu banget kan, kalau aku langsung diusir begitu Sony melihatku di sini? Pintu terbuka.

    "Hedy....," ujar Sony. Dia tampak terkejut.

    "Eh, mmh....hai, Sony! Gue...."

    Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Sony tiba-tiba langsung memelukku.

    "Gue kangen banget sama elo, Hedy! Maafin gue ya. Gue udah ngomong yang nggak-nggak ke lo. Masih mau temenan sama gue, kan?"

    "Gue mau, asal lo lepasin pelukan lo. Gue sesak napas nih? Lo mau baikan, apa mau nyelakain gue sih?"

    Syukurlah, kayaknya aku nggak akan diusir eh.

    "Eh, sori, sori!" Sony cepat-cepat melepaskan pelukannya.

    "Abis, gue seneng banget ngeliat lo dateng ke rumah gue. Gue kira lo nggak bakalan ke sini-sini lagi, bahkan walau gue undang ke ultah gue."

    Aku menyerahkan kotak yang sejak tadi kusembunyikan di belakang punggung.

    "Nih, buat lo."

    "Ultah gue kan besok. Lo, lupa, ya? Kok gitu? Nggak jadi baikan deh."

    "Yee, jangan ngambek gitu dong. Ini bukan kado ultah. Ya anggap aja kado baikan. Mmh....gue mau minta maaf, Sony gue juga salah. Gue udah ngomong macem-macem sama elo."

    "Maaf diterima," ucap Sony riang.

    "Eh, tunggu dulu!" Tiba-tiba dia menatapku serius. "Ini nggak berarti besok lo nggak ngasih kado ke gue, kan?"

    "Liat besok deh. Kalau kepepet, paling gue kasih lo kartu doang," ujarku cuek sambil nyelonong masuk rumah.

    "Gue nggak terima. Lo kan janji mau ngasih gue kado spesial kalau gue sweet seventeen," protes Sony sambil mengikuti masuk.

    "Gue janji kan cuma biar elo mau neraktir gue nonton. Udah lama banget tuh, masih inget aja lo." Aku berjalan menuju ruang tengah.

    "Nggak bisa, janji tetap janji. Asyik, chochoball!" Perhatian Sony langsung teralih saat melihat isi kotak yang kuberikan.
    "Tapi gue bisa langsung gendut abis makan ini." Lanjut Sony.

    "Lo kira bikin mi instan, bisa melar secepat itu. Nggak mungkinlah. Lagian....." Ucapan dan langkahku berhenti begitu melihat Martabak, Tommy, dan Angga di ruang tengah.

    Sony ikut berhenti. "Eh, Hedy gue lupa bilang kalo Bakti, Tommy, sama Angga ada di sini, bantuin gue ngedekor ruangan. Lo mau gabung, kan?"

    "Kenapa nggak?" Aku melirik Martabak, tapi dia memalingkan muka dan berlagak nggak tahu apa-apa.

    Dasar tuh anak, masih nyebelin aja. Padahal dia yang bikin aku ada disini.

    "Bagus deh. Guyz, ada tambahan orang nih!" seru Sony semangat sambil menarikku ke tengah ruangan. Di situ Martabak, Tommy, dan Angga sedang membuat hiasan.

    Aku bergabung dengan mereka. Awalnya memang rada canggung, apalagi sama Martabak, tapi lama-lama aku bisa juga akrab sama dia.

    Nggak akrab-akrab banget sih!

    "Aduh, berantakan banget sih, lo bisa buat potongan hiasan pesta? Tommy aja bisa bikin yang lebih bagus. Lo serius tidak sih?" protes Martabak, mengomentari hasil kerjaku.

    "Biarin aja, Bakti kan dia baru belajar," bela Angga.

    "Gue mau pesta Sony perfect. Gue nggak terima kalau kerjaan dia jelek."

    "Sini Hedy, gue ajarin." Tommy yang sedang memasang lampu hias di tangga turun menghampiriku lalu mencontohkan cara menggunting pita biru dan huruf HAPPY BIRTHDAY biar jadi bagus.

    "Jago banget lo, Tom! Lo beneran punya sisi feminim," komentarku.

    Tommy tersenyum, membuat hatiku terasa dialiri listrik.

    Gila, dahsyat banget! Itu senyum apa setrum sih?

    Menjelang malam, kami berhenti bekerja. Sisa kerjaan yang berat-berat seperti mengatur kursi, menyiapkan panggung buat band, juga mengurus lighting dan sound system akan dikerjakan teknisi besok.

    "Thanks ya, semua! Kalian udah bantuin nyiapin pesta ultah gue. Terutama elo, Tom. Lo kan lagi sibuk ngurusin lomba baca puisi besok, tapi masih sempat bantuin gue," ucap Sony sebelum kami makan bareng setelah capek kerja.

    "Nyantai aja Sony, urusan OSIS udah nggak ada masalah. Gue kan udah nyiapin semuanya dari kemarin-kemarin. Lagian kali ada yang kurang, masih ada anak lain."

    "Lo emang top banget, Tom! Ya udah, kalo gitu kita mulai aja makan-makannya. Kalian boleh makan apa aja sepuasnya, nggak usah sungkan-sungkan," ujar Sony, lalu kami mulai berisik mengambil makanan di meja.

    "Lomba besok siapa yang menang ya?" tanya Sony, membuat bahan pembicaraan saat kami sedang menikmati makanan.

    "Didik, kali. Dia kan fans berat Gibran. Orangnya aja puitis gitu," tebak Tommy.

    "Cowok keriting kelas sebelah itu?" tanya Sony.

    "Iya, tapi dia puitis kan kalo lagi ngegombal sama cewek doang," ucapku sambil mengunyah.

    Didik itu sekelas denganku waktu kelas satu, jadi aku tahu sedikit tentang dia.

    "Elo bisa nggak sih, ngomong nggak pake mulut penuh gitu?" protes Martabak.

    "Eh, omong-omong, nggak ada yang ikut lomba dari kelas kita lho." Tommy mengalihkan pembicaraan sebelum aku membalas kata-kata Martabak.

    "Iya ya, padahal ketua lomba itu dari 2-F," ujar Sony.

    "Biarin aja. Daripada milih sembarang orang buat ikut terus malu-maluin kelas kita." Martabak melirik ke arahku.

    "Bagus deh kalo lo sadar diri," balasku. Martabak langsung pasang muka cemberut.

    "Angga, lo nggak mau ikut lomba?" tanya Tommy pada Angga yang sejak tadi diam.

    "Eh, nggak. Gue nggak bisa baca puisi," jawab Angga malu-malu.

    "Coba aja, Angga masih bisa daftar sampai besok sebelum acara," bujuk Tommy.

    "Nggak usah. Gue nggak bisa," tolak Angga agak kikuk.

    Setelah makan, kami pamit pulang. Tommy dan Martabak sudah menuju mobil masing-masing sementara aku, Angga, dan Sony masih ngumpul di depan rumah.

    "Gue seneng banget kita bisa ngumpul dan temenan lagi," ucap Sony.

    Aku dan Angga tersenyum. "Gue bakalan nyesel banget kalau sampai kehilangan sahabat kayak kalian berdua," balasku tulus. "Tapi gue bakalan lebih nyesel kalau kehilangan Zero Wing Gundam gue," tambahku.

    Angga dan Sony berebut menjitakku. Kami tertawa.

    Aku dan Sony nggak membahas apa pun soal Steve, tapi membiarkannya dulu.

    Mudah-mudahan Steve, si kunyuk keras kepala itu akan berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini.

    Semoga Steve tahu gimana cara jelasin semuanya ke Sony.

    Tadinya aku mau menyarankan agar Sony mengundang Alkali tampil di pesta ultahnya, tapi dengan keadaan kayak gini, sepertinya Sony lebih memilih menampilkan atraksi debus daripada band Steve itu.

    Angga pulang bareng Bakti karena rumah mereka searah, sementara aku bareng Tommy.

    Sebelum masuk mobil Tommy aku berjalan ke mobil Bakti.

    "Makasih, tadi siang lo mau ngomong ke gue dan bikin gue ke sini, Bakti" kataku tulus dari luar jendela kemudi.

    "Nggak masalah, Hedy. Besok gue traktir makan bakso deh," balas Bakti sambil mengeluarkan kepalanya lewat jendela mobil.

    Aku tersenyum kemudian berjalan ke mobil Tommy.

    Setelah melambai pada Sony, kami keluar dari halaman rumah Sony yang luas

    ***

    "Gimana persiapan lomba baca puisi besok, Tom?" tanyaku setelah lama kami terdiam.

    Rasanya canggung juga berduaan kayak gini padahal tadi kami bercanda dengan akrab bersama yang lain.

    "Beres," jawabnya tanpa memalingkan pandangan dari jalan.

    "Oh ya, lo pernah bilang bahwa tujuan kegiatan ini nggak tercapai. Apa maksudnya sih?" tanyaku penasaran.

    "Bukan apa-apa," jawab Tommy nggak antusias.

    Aku kembali menatap ke luar jendela. Nggak minat melanjutkan obrolan lagi.

    Sesaat kemudian aku merasa mobil melaju makin pelan. Ngapain Tommy menepi di dekat deretan pertokoan?

    "Hedy, gue.....gue pengen bilang sesuatu. Lo mau denger, kan?" kata Tommy tiba-tiba sesudah mematikan mesin mobil.

    Aku jadi sedikit kaget lalu mengangguk pelan. Hatiku mulai deg-degan.

    "Jujur, gue ngerasa nyaman ngomong sama elo. Baru sekarang gue merasa kayak gini sama seseorang. Gue pengen cerita sesuatu yang belum pernah gue bilang ke orang lain. Gue pernah mau ngomongin soal ini sama lo, tapi disela sama Bakti waktu lo makan mi di kantin."

    Aku mengingat-ingat pembicaraan di kantin pagi itu.

    "Soal perasaan itu?" tanyaku pelan walau dalam hati aku makin kelimpungan.

    Aku nggak lagi memakai plester bergambar gajah di mukaku, jangan-jangan Tommy mau bilang suka?

    "Hedy, sebenarnya selama ini gue suka......"

    Jantungku hampir meledak mendengar kata-kata pelan Tommy.

    Akhirnya!

    ".....sama seseorang terutama cowok," ucapnya menyelesaikan kalimat yang langsung menurunkan tekanan jantungku dan membanting harapanku ke jurang setelah sepat melambung tinggi.

    Oh God !!! dia menyukai cowok

    Tapi

    Seseorang? Siapa? Berapa besar peluangku?

    "Siapa?" tanyaku penasaran.

    "Itulah masalahnya. Gue nggak tahu siapa dia." Tommy menatapku.

    "Mungkin lo pikir ini konyol, tapi gue beneran suka orang ini walau gue nggak tahu siapa dia entah cowok maupun cewek dan juga gimana tampangnya."

    "Gimana lo bisa suka sama dia? Gimana lo bisa tau dia kalau lo nggak tau dia? Maksud gue, lo nggak tau orangnya, tapi kenapa lo kenal dia? Kenapa bisa suka? Aduh......gue nggak ngerti gimana bilangnya, lo jelasin sendiri aja deh." Aku sedikit bingung dan sibuk mengatur napas karena fase deg-degan salah sasaran tadi.

    "Dia menyampaikan perasaan sukanya ke gue lewat puisi-puisinya. Kadang-kadang beberapa hari sekali, gue selalu nemuin satu lembar puisi di tas atau di laci meja gue. Kata-katanya benar-benar nyentuh perasaan gue. Gue benar-benar ngerasa dia membuatnya dengan hati, bukan ngegombal dengan kata-kata indah. Lo ngerti maksud gue kan, Hedy?"

    "Ya." Aku langsung teringat puisi-puisi Angga.

    Puisi dari hati, bukan dari pemikiran untuk merangkai kata-kata.

    "Puisi-puisi itu udah banyak banget." Tommy kelihatan putus asa.

    "Lewat puisinya dia menggambarkan perasaannya. Biasanya dia sering melukiskan kekagumannya sama gue, juga kesedihannya karena nggak bisa bareng gue. Gue jadi frustrasi sendiri. Gue yakin yang mengirimkan puisi itu cowok. Gue pengen bilang ke cowok itu buat nunjukin dirinya karena kalau gue ketemu dia, gue akan bilang gue suka sama dia. Entah gimana tampangnya yang jelas gue luluh sama ketulusan perasaannya ke gue.

    "Banyak cewek yang ngedeketin atau mencoba menarik perhatian gue tapi gue berpikir mereka ngelakuin itu karena gue dianggap cowok idola di sekolah karena gue kapten basket jadi gue bakal dianggap keren. Tapi gue tau cowok ini nggak kayak gitu. Gue ngerasa dia tulus sama gue." Tommy menatapku.

    "Gue konyol, ya? Udah lama gue pengen berbagi rahasia ini sama seseorang, tapi gue ngerasa nggak ada yang bisa ngerti, sampai gue temenan sama elo...."

    "Gue memang nggak ngerasain apa yang lo rasain, tapi beneran, gue nggak nganggap lo konyol," ucapku.

    "Gue nggak nyangka aja, cowok kayak lo bisa punya perasaan sama cowok yang bahkan nggak lo tahu tampangnya." Aku menoleh ke deretan pertokoan di depan.

    "Jadi, kegiatan lomba puisi di sekolah, lo adain buat nyari tahu siapa dia?"

    "Ya, tapi nggak ada puisi dia yang ikut lomba, itu bikin gue semakin frustrasi. Rasanya gue jadi pengen ngelupain dia. Gue pengen nyoba suka sama orang lain yang nyata, yang gue tahu siapa orangnya. Bukan cowok khayalan yang cuma gue kenal lewat puisi-puisinya," curhat Tommy.

    Kemudian kami saling diam.

    Mataku memandang ke luar jendela mobil. Tiba-tiba aku terbelalak saat melihat seseorang melewati pintu kaca salah satu butik.

    Itu Pak Mario. Mataku makin membesar waktu melihat Bu Pitriani menghampirinya sambil membawa entahlah, aku nggak bisa melihat dengan jelas dari sini mungkin baju atau apa.

    Kayaknya mereka lagi belanja bareng.

    Perlahan terjadi sesuatu dalam hatiku. Rasanya ada kehampaan di sana. Aku menatap mereka. Kelihatan mesra banget.

    Aku terkejut saat menyadari perlahan air mataku mengaburkan pandanganku tapi sekaligus membuatku melihat jelas apa yang sedang terjadi pada hatiku.

    Aku cemburu.

    Ya ampun, gimana ini bisa terjadi? Aku merasa.....aku suka.....aku jatuh cinta pada Mario, Pak Mario pokoknya tetanggaku itu.

    Dadaku terasa sesak, benar-benar seperti kekurangan oksigen. Aku nggak mengerti kenapa aku baru menyadari perasaan ini setelah dia bersama orang lain. Wanita sempurna dari masa lalunya. Air mataku jatuh di pipi.

    Benar juga dia tidak sama sepertiku
    Nggak, ini nggak boleh terjadi. Aku harus menghentikan perasaan ini. Aku nggak mau sakit hati.

    Cinta ini nggak akan terwujud.

    Aku takut patah hati. Aku menghapus air mataku lalu menoleh ke arah Tommy yang sedang merenung sambil melihat ke luar jendela. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin ngomong pada Tommy.

    "Tom, gue.....gue tau sekarang bukan waktu yang tepat buat bilang hal ini. Gue ngerti, elo beneran suka sama cowok yang ngirimin lo puisi-puisi itu. Tapi gue juga lagi bingung sama perasaan gue sendiri. Gue.....gue....."

    Tommy memandangku dan terlihat bingung. "Lo mau ngomong apa, Hedy?"

    "Sebenernya sejak kelas satu, gue suka sama elo. Walaupun sepertinya elo nganggap gue nggak ada dan nggak mungkin kita bersama, gue tetap nyimpen perasaan ini. Terus setelah kita sekelas di kelas dua perasaan gue makin nyata karena kita sering bareng walau nggak bertegur sapa. Dan sekarang setelah kita jadi temen dekat, gue semakin yakin dengan perasaan gue. Gue suka sama elo, Tom."

    Ya ampun, aku lagi mabuk ya? Kok tiba-tiba aku bilang suka sama Tommy? Oh, my God! Tommy kelihatan kaget banget.

    Aku sudah menyiapkan diri. Seandainya pun setelah ini dia menjauhiku dan nggak mau jadi temanku lagi, aku terima.

    Entah kenapa aku mengatakan semuanya sekarang. Tapi aku nggak menyesal. Tommy tertawa kecil.

    "Elo suka gue? Sejak kelas satu?"

    Aku mengangguk malu.

    "Jujur aja, gue kaget dan nggak nyangka. Tapi yang lebih jujur lagi, gue seneng banget, Hedy."

    "Maksud lo?"

    "Gue seneng karena ternyata lo suka sama gue." Kata Tommy tersenyum.

    "Gue juga ngerasain sama elo. Gue merasa nyaman dekat elo, dan mungkin sebenarnya gue juga punya perasaan sama elo, tapi gue nggak mau aneh-aneh dan kayaknya lo cemburu karena mengira gue pacaran sama Bakti, entah kenapa gue jadi berharap elo punya perasaan ke gue lebih dari sekadar teman. Tapi perasaan gue sendiri sama elo masih dibayangi cowok puisi itu. Sekarang gue tahu ternyata elo suka sama gue, dan sepertinya sekarang gue juga yakin gue suka elo, Hedy."

    "Sepertinya?"

    "Oke, nggak 'sepertinya' kok. Gue yakin gue suka sama elo," tegas Tommy.

    "Elo mau ngomong jujur tentang perasaan lo ke gue, gue benar-benar menghargainya. Gue tetap percaya cowok puisi itu juga punya perasaan tulus buat gue. Tapi kalau cuma untuk nunjukin dirinya aja dia nggak bisa, sepertinya perasaan itu bakal sia-sia." Tommy meraih tanganku.

    "Hedy, elo mau kan, jadi pacar gue?" tanya Tommy.

    Aku melayang. Ya Tuhan, drama cinta sinetron remaja itu ternyata bisa terjadi di dunia nyata. Dan itu terjadi padaku.

    Oh, my God! Aku mengangguk. Kalau ini sinetron, lagu siapa ya, yang jadi soundtrack adegan ini? Aku nggak percaya.

    Aku, Marhedy Mutahar Sakti , cowok badung tukang bikin ulah ini, bisa memiliki kisah cinta yang indah dengan Tommy, cowok pujaanku selama ini.
    Seharusnya aku bahagia banget dengan kenyataan ini, tapi tetap saja ada yang salah dengan perasaanku.

    Entah kenapa bayangan pertemuanku dengan keponakan Pak Karta yang mengambil mangga-mangga hasil petikanku, Pak Mario yang mengambil komik Inu-Yasha edisi terbaruku, dan Mario yang menyelamatkanku saat aku disakiti para berandalan itu terulang di benakku.

    Rasanya sekarang jarak yang begitu jauh memisahkan kami. Dia nggak sendiri lagi dan aku punya Tommy. Semua akan berbeda mulai sekarang.

    "Kenapa lo menangis, Hedy?" Tommy mengusap air mata di pipiku.

    Aku meraih tangannya. Aku nggak bisa bilang yang ingin kukatakan. Aku merasa rapuh.

    "Tom, gue....." Aku menyandarkan kepala di pelukan Tommy lalu mulai terisak.

    Perasaanku kacau, tapi aku masih bisa merasakan bahwa aku menangis buat Mario. Aku sedih. Aku merasa kehilangan dia, orang yang kucintai.

    "Tom, aku butuh kamu."

    "Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu." Dia merapatkan pelukan. Aku merasa punya tempat bersandar untuk melabuhkan kesedihanku.

    Aku mau berdamai dengan kenyataan. Aku harus belajar menerima bahwa aku nggak bisa bareng Mario dan sekarang Tommy-lah satu-satunya cowok yang seharusnya ada dihatiku.

    Aku melepaskan pelukan dan menatap mata Tommy.

    Tommy tersenyum. "Gue senang lo jadi pacar gue."

    "Jujur aja, soalnya lo jadi punya kesempatan dapetin robot Gundam gue, kan?" tebakkku dengan nada bercanda.

    Aku menghapus sisa air mataku. "Bukan itu. Tapi karena mungkin besok-besok, nggak ada lagi cewek maupun cowok ganjen yang berani ngegodain gue karena pacar gue cowok preman sekolah," sahut Tommy.

    "Dan siapa bilang waktu kelas satu gue nggak tahu elo ada? Gara-gara ketiduran di kelas di hari pertama sekolah, elo disuruh lari keliling halaman sekolah. Kayaknya semua penghuni Girindra tahu elo ada." Kata-kata Tommy membuatku malu tapi kami tertawa juga.

    ***

    Kehidupan remajaku sepertinya akan kembali normal mulai sekarang tanpa ada bagian ketika aku punya perasaan khusus pada wali kelasku sendiri.

    Bahkan mungkin akan menjadi indah karena aku pacaran dengan idola sekolah yang selama ini kusuka.

    Sesampainya di rumah, hari sudah gelap. Aku langsung menuju kamar lalu menjatuhkan diri di tempat tidur.

    Aku masih merasakan kecupan Tommy di pipi kananku, sebelum aku keluar dari mobilnya.

    Hatiku masih berputar-putar dibenakku. "Lupain Mario, cintai Tommy," gumamku meyakinkan diri, Aku pasti bisa melakukannya.

    Dering handphone mengusik lamunanku. Aku menjawabnya.

    "Halo?"

    "Hedy," suara Angga terdengar.

    "Kenapa Angga?"

    "Hedy, gue mau bilang sesuatu sama elo." Aku mendengar nada suaranya agak aneh, kayaknya dia mau ngomong hal yang serius.

    "Gue capek menyimpan hal ini sendiri. Gue pengen ngomong ke elo....."

    "Soal apa, Angga?" kataku sambil aku bangkit dan bersandar di dinding dekat tempat tidur.

    "Hedy, selama ini gue suka sama seseorang." Angga diam sesaat sebelum melanjutkan. "Gue jatuh cinta sama Tommy," ucapnya membuat mulutku terbuka karena kaget.

    Angga jatuh cinta sama Tommy? Tommy yang sekarang jadi pacarku? Ya Tuhan.....

    "Elo tau nggak, puisi-puisi yang lo liat di kamar gue, itu salinan puisi-puisi yang diam-diam gue kasih buat Tommy. Gue benar-benar cinta dia Hedy, bukan ngefans kayak anak cewek-cewek karena dia keren. Gue jatuh cinta sama Tommy yang ramah, baik, dan rendah hati." Angga terdengar menghela napas. "Beberapa hari ini karena sering ngumpul buat ngomongin pesta Sony, gue jadi sering bareng dia dan perasaan gue jadi makin kuat. Dia baik banget sama gue padahal kami baru akrab karena persiapan pesta itu. Sebelumnya kami bahkan jarang banget bertegur sapa di kelas. Ternyata dia emang sebaik yang selama ini gue bayangin. Gue cinta dia, Hedy."

    Suara Angga menjadi serak, kayaknya dia mulai nangis.

    "Gue nggak punya keberanian nyatain perasaan gue. Gue takut dia tidak sama kayak gue dan gue merusak semuanya. Gue takut perasaan indah yang gue rasain selama ini berubah jadi kekecewaan seandainya gue deketin dia dan nyampein perasaan gue ke dia. Gue takut kehilangan dia, walaupun sebenarnya gue nggak pernah memiliki dia. Tapi.....perasaan ini nyiksa gue, Hedy. Gue nggak tau harus gimana....." kata Angga sambil menangis terisak.

    Air mataku mengalir.

    Jadi, cowok yang selama ini ngasih puisi-puisi ke Tommy dan bikin Tommy jatuh cinta itu Angga? Sahabatku? Ya ampun, aku kira mulai besok kehidupan remajaku akan menyenangkan.
    Tetapi kenapa baru sekarang aku tahu bahwa Angga mencintai Tommy, cowok yang baru beberapa menit lalu jadi pacarku? Kenapa nggak sejak dulu? Kenapa nggak sejam lalu? Kenapa nggak sebelum Tommy jadi pacarku? Lama kami saling terdiam.

    Aku tahu gimana perasaan suka yang nggak tersampaikan bikin hati terasa sakit, tapi aku nggak tahu apa yang harus kukatakan pada Angga.

    "Angga, gue nggak tau gimana caranya bantuin elo. Maafin gue ya. Kayaknya lo yan paling tau apa yang harus elo lakuin." Aku menutup telepon kemudian menangis.

    Entah kenapa air mataku jadi gampang keluar akhir-akhir ini. Aku jadi cengeng. Kemarin-kemarin aku selalu punya cara untuk menghadapi semua persoalan.

    Tapi sejak aku sadar aku jatuh cinta pada Mario, perasaanku jadi mendominasi cara kerja otakku.

    Seandainya tadi aku bilang aku dan Tommy sekarang pacaran, semuanya akan beres. Besok akan jadi awal kehidupan bahagia masa remajaku, tapi semua itu harus dibayar dengan luka hati Angga dan aku nggak mau itu terjadi.

    Aku sayang Angga. Hatiku bimbang. Apa yang harus kulakukan?

    Pintu kamarku terbuka dan Edwin masuk.

    Aku cuma menatapnya. Aku terlalu lelah walau cuma buat ngomelin dia karena nggak ngetuk pintu.

    "Marmut disuruh makan sama Mama," katanya.

    Dia berjalan ke arahku, lalu naik ke tempat tidur dan duduk di sebelahku.

    "Marmut kenapa? Kok nangis?" kata Edwin sambil melihatku. Cepat-cepat aku mengusap air mataku.

    "Marmut berantem sama Om Mario lagi, ya? Om Mario memang sering nakal sama Marmut, tapi sebenarnya Om Mario sayang Marmut kayak sayang sama Edwin." Aku tersenyum melihat wajah polos Edwin.

    Dia kelihatan manis kalau nggak lagi bandel dan berulah.

    "Marmut nggak bertengkar sama Om Mario kok," jelasku.

    Aku sudah terbiasa dengan panggilan ''Marmut' dari Edwin. Malah sekarang aku ikut memanggil diriku sendiri dengan nama itu.

    "Bohong. Terus kenapa Marmut nggak mau diajak kerumah Om Mario kemarin?" tanyanya.

    "Marmut lagi banyak PR," bohongku.

    Beberapa hari ini aku memang ingin menghindar dari Mario, jadi sering beralasan macam-macam kalau diajak Edwin yang sedang memainkan boneka singa yang sejak tadi dibawanya.

    "Edwin, Marmut mau nanya, seandainya Win punya satu mainan yang sangat Edwin sukai, tapi sahabat Edwin mau mengambilnya, apa Edwin mau ngasih?"

    "Sahabat itu apa sih?" Edwin balik bertanya.

    "Sahabat itu teman yang kita sayangi, kayak Win sama Om Mario," jelasku.

    "Kalau Om Mario mau mainan Edwin, ya Edwin kasih. Karena Edwin sayang sama Om Mario. Om Mario juga sering ngasih Edwin buah-buahan, mengajak Win main, dan mengajarin Edwin belajar. Om Mario kan baik. Edwin juga masih punya Marmut. Kalau mainan Win diminta Om Mario, Marmut mau kan, ngasih mainan ke Edwin?"

    "Tentu saja. Tapi Marmut mau ngasih kalau Edwin nggak membongkarnya buat ngeliat apa isi di dalamnya," candaku.

    Aku memikirkan jawaban Edwin. Yang sebenarnya kuandaikan dengan mainan itu adalah Tommy, dan sahabat yang kumaksud adalah Angga.

    Jadi menurut Edwin, aku harus menyerahkan Tommy kepada Angga, karena aku sayang Angga? Tapi gimana dengan perasaanku dan perasaan Tommy yang sudah jadi pacarku?

    Kalau Edwin masih punya aku yang akan ngasih mainan buat dia, aku punya siapa untuk menjaga hatiku?

    Lama aku terdiam sambil sesekali mengamati Edwin yang memilin-milin kumis boneka singanya.

    "Edwin, Marmut pergi dulu. Marmut mau ngasih 'mainan' kesayangan Marmut buat sahabat yang Marmut sayang."

    Aku mengambil jaket lalu keluar kamar diikuti Edwin.

    "Ayah, Ibu aku ke rumah Angga sebentar, ada urusan darurat," pamitku dan kemudian beranjak ke garasi.

    BERSAMBUNG

    Sumber : MATEMACINTA BY Razy B.A

    Maaaf ya lama krn aku banyak masalah kuliah dan perasaan galau krn kuliah, ahhh memalukan cowok bisa galau -_-

    Untung ada my angel, makasih ya yang >_< chapter spesial bwt km

    Makasih bwt @akina_kenji yg menjadi proof readerku mengecek tulisan ceritanya hasil editnya sangat memuaskan, mohon bantuannya sampai tamat MATEMACINTAnya

    Selamat malming bwt kalian dan ini spesial chapter terpanjang utk pembaca

    BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA :)
  • Tadi aku sempat menduga klo tommy suka ama angga dan berharap tommy jadian sama angga aja,,eh hedy malah bilang suka dan mereka jadian -_-
    Dan ternyata memang angga orangnya..tapi dia telat...
    Kenapa ga ada yang suka sama martabak?
Sign In or Register to comment.