It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kapan update..??
@_abdulrojak
@Rifal_RMR
@JimaeVian_Fujo
@lulu_75
@Aurora_69
@harya_kei
@3ll0
@Otho_WNata92
@hyujin
@j4nji
@rizal_91leonardus
@Rikadza
@lucifer5245
@abyyriza
@terry22
@rama_andikaa
@Gabriel_Valiant
@ramadhani_rizky
@Otsutsuki97S
@Sho_Lee
@raw_stone
@Rars_Di
@kaha
@haikallekall
@ffirly69
@gilang22
@viji3_be5t
@LostFaro
@nakashima
@kie_kow
@littlemark04
@akina_kenji
@Daser
@sn_nickname
@Vanilla_IceCream
@Dhi96
@Greent
@Toraa
@jimmy_tosca
@cansetya_s
@tianswift26
@zenfonepro
@bapriliano
@cela
@dadannnnnnn
@bagastarz
@Agova
@syafiq
@sonyarenz
@delvaro80
@Badguydrunkby6
@boybrownis
@hearttt
@Phantex
@malmol
@roy_rahma
@RezzaSty
@aries18
@abong
@new92
@soratanz
@pangeran_awan99
@rezka15
@yansah678
@Mami100C
@hendra_bastian
@dim4z_
@BOMBO
@Rabbit_1397
@rubi_wijaya
@NanNan
@ardi_yusman
@kristal_air
@Methan
@Nova_APBS
@Bleach.boy
@dewanggaputra
@Watiwidya40Davi
@aldhy_virgo
@Ninia
@aries18
@Fruitacinno
@Tsu_no_YanYan
@akha
@malmol
@Valle_Nia
@Lovelyozan
@PHfila
@diccyyyy
@Adi_Suseno10
@revtwo
@dafaZartin
@Rangga_San
@DM_0607
@radit_rad1t
@boygiga
@Fendy200
@tsu_gieh
@Yudin87
@amir_tagung
@Djie_hk
@Dannamaku84
@mahardhyka
@rigil
@ananda1
SORAK menggoda dan siulan jail terdengar di luar kelas. Bisa dipastikan Bu Pitriani sedang lewat di depan kelasku. Itulah ritual baru anak-anak cowok yang mengegodain wanita cantik itu kalau lewat di lorong sekolah.
Aku yang kebetulan duduk di dekat jendela ikut melongok. Cowok-cowok lagi pada melototin kepergian Bu Pitriani.
"Indahnyaa makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Andai malaikat sudi turun ke bumi membawa keajaiban yang membuat daku bisa memiliki bidadari surgawi itu," ujar Didik, cowok kelas sebelah yang sok puitis.
"Jangan mimpi, Dik!" balas Tommy yang lagi duduk di sebelah cowok keriting itu.
"Lo nggak akan menang saingan sama Pak Mario."
Hah? Pak Mario?
Nama itu membuatku jadi tertarik nguping pembicaraan mereka. Kebetulan mereka ngobrol di seberang luar jendela dekat bangkuku.
"Hadi gosip Pak Mario sama Bu Pitriani itu beneran?" Suara Didik terdengar kecewa.
"Hebat juga wali kelas lo itu. Belum lama Bu Pitriani kerja di sini, Pak Mario udah berhasil ngengaet pujaan hati gue itu."
"Gue denger dari anak-anak di kelas gue sih, Pak Mario dan Bu Pitriani sempat pacaran waktu kuliah dulu. Mereka teman satu kampus," jelas Tommy.
Aku terkejut ada yang tahu soal itu.
"Paling cuma gosip." Fans Bu Pitriani itu kayaknya nggak percaya.
"Sumber beritanya keponakan Bu Pitriani sendiri jadi kayaknya itu beneran," ucap Tommy membuatku terkejut.
"Keponakan Bu Pitriani ada di kelas lo? Siapa, Tom?"
Pertanyaan Didik mewakili pertanyaanku pada Tommy.
"Si Bakti, anak Pak Bakti kepala sekolah kita...." jawaban
Tommy membuat mataku membesar.
"Jadi Bu Pitriani adik Pak Bakti?" Cowok itu menyuarakan pikiranku.
"Iya, katanya dia kerja di sini cuma buat ngisi kursi pegawai adminitrasi yang lagi kosong sampai ada orang tetap yang mendudukinya. Itu juga atas permintaan Pak Bakti. Gitu yang gue denger dari anak-anak yang cerita Bakti." Pikiranku bekerja.
Aku ingat Mario pernah bilang bahwa dia dekat dengan Pak Bakti, jadi inilah sebabnya. Dia pernah pacaran sama adik kepala sekolah itu. Dan mungkin sekarang hubungan mereka sudah kayak dulu lagi.
Tiba-tiba perasaan aneh yang kurasakan saat melihat foto Mario dan Bu Pitriani kemarin muncul lagi. Aku terkejut dengan perubahan perasaan ini. Hatiku sakit.
Aku nggak mengerti apa yang terjadi padaku. Rasanya kayak kekurangan oksigen dan dadaku menjadi sesak.
"Hedy, bisa ngomong sebentar nggak?" Suara Sony mengusikku.
Aku menoleh kepadanya.
Dia berdiri di dekat bangkuku dan dengan kikuk menatapku.
"Nggak sekarang," sahutku.
Aku beranjak keluar kelas dan nggak sengaja menyenggol bahunya waktu papasan. Pikiranku kacau. Aku berjalan tergesa melewati anak-anak yang berseliweran di lorong sekolah.
Aku bingung mau pergi ke mana. Yang jelas, aku ingin ke tempat yang tenang. Di ujung lorong, aku memutuskan akan ke perpustakaan.
Akhirnya, ada juga hal gawat yang membuatku ingin sembunyi di antara tumpukan buku. Saat melewati kantin, langkahku melambat.
Nggak sengaja, aku melihat Pak Mario dan Bu Pitriani sedang duduk mengobrol di pojok kantin. Pak Mario mengenakan kemeja biru bergaris yang ia pamerkan kemarin. Dan benar, dia kelihatan keren.
Bu Pitriani tertawa kecil menanggapi kata-kata Pak Mario yang nggak bisa kudengar dari sini. Dia manis banget. Aku melanjutkan langkah dengan tergesa.
Entah apa yang terjadi padaku, aku merasa terganggu dengan pemandangan mesra itu. Aku merasa lega waktu masuk perpustakaan dan melihat cuma ada segelintir murid di sana.
Langsung aja kuambil sembarang buku lalu duduk di kursi pojok. Aku membuka buku itu, mendirikannya di hadapanku, kemudian merebahkan kepala di atas tanganku yang terlipat di atas meja.
Aku mengatur nafas untuk menenangkan debar jantungku karena berjalan tergesa tadi.
Sekarang waktunya memikirkan apa yang sebenarnya kualami.
Kenapa aku nggak nyaman melihat Pak Rio dan Bu Pitriani bersama? Memang kenapa kalau mereka beneran pacaran lagi?
Apa urusanku? Terus, perasaan nggak enak di hatiku ini sebenarnya apa? Kenapa aku merasakannya? Apa karena Pak Mario dan Bu Pitriani? Kok aku jadi bingung begini sama perasaanku sendiri?
Aku memejamkan mata dan mencoba menyelami perasaanku, tapi yang muncul di benakku malah bayangan Pak Mario dan Bu Pitriani yang sedang berpose mesra.
Tiba-tiba rasa itu muncul lagi. Hatiku sakit. Ya ampun, aku kenapa sih? Apa aku nggak ingin Pak Mario bersama orang lain? Aku nggak suka melihat Mario sama orang lain? Eh tunggu dulu, itu kan artinya aku.....AKU CEMBURU.
Lho, aku cemburu? Itu kan artinya.......aku.......suka sama.....Mario. Hah?! Aku suka sama Mario?
"Tidak!!!" seruku tiba-tiba seraya bangkit dari kursi dan membuat semua mata menoleh ke arahku.
"Kamu ngingau, ya? Ini perpustakaan, bukan penginapan jadi jangan tidur di sini,'' omel Bu Sri, pustakawati sekolah.
Murid-murid yang sedang di perpus pada ketawa melihat aku.
Dengan malu, kutaruh buku yang tadi kuambil lalu cepat-cepat kabur keluar.
Sial!
***
Esok harinya pas jam istirahat, aku membaca puding (puisi dinding) di mading depan ruang OSIS. Puding itu berisi sepuluh puisi terbaik yang lolos seleksi dalam lomba karya puisi yang diadakan saat ini.
Tim jurinya adalah sastrawan top dan mahasiswa-mahasiswa sastra dari universitas negeri di kota ini. Dekorasi puding itu dibuat colorful dan keren banget, biar para siswa tertarik untuk membacanya.
Bagi siswa yang berminat ikut lomba selanjutnya, yaitu lomba baca puisi, bisa memilih puisi mana yang ingin dibawakan di antara kesepuluh puisi ini. Nggak masalah kalau penulisnya sendiri yang membacakan puisinya atau siswa lain.
Lomba kayak gini baru pertama kali diadakan OSIS sekolahku. Yang bikin ide adalah Tommy, wakil ketua OSIS, yang sekarang ditunjuk jadi panitia kegiatan ini.
Tommy keluar dari ruang OSIS lalu berdiri di dekatnya, ikut melihat-lihat puding.
"Dekor pudingnya keren banget, Tom," pujiku.
"Kerjaan anak-anak dekorasi dan perlengkapan tuh," jelasnya nggak antusias.
"Lomba karya puisinya sukses, ya," seruku.
"Tapi tujuan acara itu nggak kesampaian," sahut Tommy dengan nada kecewa.
"Maksud lo?" tanyaku. Dia menoleh kepadaku dengan malas.
"Gue cabut duluan ya, Hedy." Tommy beranjak meninggalkanku.
Hei, kenapa nih? Kok Tommy jadi cuek begitu padaku?
Padahal akhir-akhir ini hubunganku dengan dia udah deket banget. Apa aku terancam bakal kehilangan peluang deketin gebetan kerenku itu lagi? Masa kehilangan dua sahabat belum cukup parah? Ditambah lagi firasat buruk bahwa aku suka sama Pak Mario, wali kelasku sendiri.
Rasanya masa remaja yang indah nggak ada di garis nasibku.
Namun, kayaknya satu masalah sudah berhasil kutangani.
Kemarin aku meyakinkan diri bahwa kau nggak punya perasaan dan nggak boleh punya perasaan apa-apa sama Mario, cowok tetanggaku yang juga guru matematikaku itu.
Yang aku suka itu Tommy, cowok pujaanku sejak kelas satu yang sekarang jadi teman akrabku.
Buktinya waktu aku menyangka Tommy pacaran sama Martabak, aku cemburu berat.
Jadi bisa dipastikan, sebenarnya aku suka Tommy, kan?
"Hedy, bisa ngomong bentar nggak?" Aku terkejut oleh kehadiran Martabak yang tiba-tiba berdiri di sampingku.
Martabak tersenyum manis kepadaku
“Mencurigakan “ pikirku dalam hati.
"Plis, jangan mikir macam-macam dulu," lanjutnya, membuatku tersentak.
Hah? Dia bisa baca pikiranku?
"Gue cuma pengen ngomongin sesuatu sama elo. Ada waktu nggak? Sebentar aja."
"Mau ngomong soal apa?" tanyaku datar.
Pikiranku masih dipenuhi kecurigaan dengan sikap manis Martabak.
"Gimana kalau kita ke kantin?"ajaknya.
Eits, bahaya nih!
Jangan mau Hedy, bisik kata hatiku.
Lagian, dia itu keponakan Bu Pitriani, saingan lo buat dapetin Pak Mario.
"Oke,"sahutku.
Aku nggak merasa sedang bersaing dengan Bu Pitriani dalam hal apa pun.
Kenapa suara hatiku tiba-tiba jadi konyol begini, ya? Aku dan Martabak memasuki kantin bersamaan. Bu kantin menatap kami dengan pandangan waswas.
"Tenang, Bu, nggak bakalan ada perang makanan lagi hari ini.....," ujarku, "kayaknya...."
Kami duduk di meja dengan dua tempat duduk yang saling berhadapan di pojok kantin.
Ini kan tempat Pak Mario dan Bu Pitriani duduk berduaan kemarin, yang bikin aku patah hati dan sadar bahwa aku ada perasaan sama Pak Mario? Eh, kok aku jadi kepikiran kayak gitu?
Martabak menatapku serius. "Pertama, gue mau lo ngelupain sebentar masalah kita. Kedua, lo percaya apa yang gue bilang. Ketiga, lo nggak mesen bakso," ucap Martabak mengajukan syarat.
Aku mengangguk. "Oke, kalau gitu, sebagai awal yang baik, kita ngomong dengan manggil nama lo ' Hedy'' dan gue ''Bakti'', bukan Martabak. Gue benci panggilan itu, " tambahnya.
Aku berpikir sebentar dan kemudian mengangguk.
"Dengar, hal yang sebenarnya sekarang pengen gue lakuin ke lo adalah memukul lo karena lo temen paling jahat yang gue tahu di muka bumi ini," Martabak memulai kata-katanya.
Awal pembicaraan yang bikin aku pengen numpahin sambal di meja ke atas kepalanya, tapi aku menahan diri, ingin tahu ke mana arah percakapan ini.
"Teman macam apa yang tega ngerebut gebetan sahabatnya sendiri? Pake acara sok ngedukung segala, lagi. Bokis banget! Tapi udahlah, bukan itu yang pengen gue bahas sekarang." Martabak mengibas-ngibaskan tangannya seolah semua omongan jeleknya tadi nggak berarti.
"Gue cuma pengen bilang bahwa Sony udah maafin lo dan dia pengen temenan lagi sama elo. Jujur ya, gue nggak ngerti, apa sih hebatnya elo sampai Sony masih pengen temenan sama lo setelah apa yang lo perbuat ke dia?"
Aku menatap Martabak dengan pandangan datar.
"Kenapa dia nggak ngomong sendiri?"
"Emang lo masih mau ngomong sama dia? Kemarin Sony mau ngomong sama lo, elonya malah menghindar dan pergi. Gue ngeliat sendiri kok."
Oh, jadi kemarin Sony mau ngomongin hal ini waktu aku ingin keluar setelah mendengar soal Pak Mario dan Bu Pitriani itu?
"Gue nggak bermaksud menghindar, waktu itu gue ada......urusan mendesak."
"Terus, kenapa selama ini lo nggak nyoba ngomong sama Sony buat memperbaiki hubungan kalian? Lo emang nggak peduli sama dia, kan? Lo itu egois, keras kepala, dan nggak punya perasaan." Martabak bicara berapi-api dan membuat Bu kantin kelihatan cemas.
Untung di kantin lagi nggak banyak siswa, dan nggak ada anak 2-F di antara mereka.
"Lo tau nggak, Sony masih peduli sama lo walaupun lo udah nyakitin dia. Sony kelimpungan waktu lo datang ke sekolah dengan muka diplester. Dia tahu lo bukannya lagi nutupin luka kayak yang lo bilang ke temen-temen. Dia curiga lo bikin ulah, terus dapat masalah sampai luka kayak gitu. Dia khawatir tapi sedih. Lo pernah mikirin dia nggak sih, seperti dia peduli sama lo?"
Aku tersentak.
Kata-kata Martabak membuatku memikirkan Sony setelah lama aku nggak peduli pada keadaannya.
Aku nggak menyangka Sony masih memerhatikanku.
Kenapa selama ini aku nggak pernah memikirkan perasaannya? Aku terlalu kesal dengan hal-hal jelek yang dia bilang padaku sampai aku melupakan begitu aja persahabatan kami. Kenapa aku jadi pendendam begini? Seharusnya aku mengerti bahwa ketika dia marah itu, dia lagi emosi karena masalah Steve.
Duh.....begonya, kenapa aku jadi nggak pedulian dan egois gini? Sony aja masih mikirin aku. Kenapa aku ngelupain dia?
"Oh ya, Sony cerita ke gue soal kejadian di mal itu. Dan asal lo tau, dia jadi temen lo bukan buat balas budi karena pertolongan lo. Dia tulus jadi temen lo, walau sejujurnya gue nggak ngerti kenapa."
"Gue akan menyelesaikan semuanya. Gue juga nggak pengen kita kayak gini terus."
"Kita?"
Martabak mengerutkan dahi.
"Aku dan Sony," jelasku mengklarifikasi.
"Lo nggak berpikir gue lagi ngomongin lo sama gue, kan?"
Tampang sok Martabak kembali terpasang di mukanya.
"Idih amit-amit, nggaklah ya! Gue mau ngomong sama lo cuma buat kepentingan Sony, sahabat gue. Kalau nggak gitu, buat apa gue buang-buang waktu sama lo?"
Aku mengangkat sebelas alis.
"Segitu doang? Ya udah!" Aku berdiri ingin pergi.
"Tunggu dulu," tahan Martabak.
Dia mengambil sesuatu dari tasnya lalu menaruhnya di meja.
"Ini kartu undangan dari Sony. Lo ingat kan, besok ultahnya?"
"Tentu aja," jawabku sambil kembali duduk.
Sebenarnya aku sempat lupa, tapi kemarin Angga mengingatkanku.
Sempat kepikiran ingin memanfaatkan momen ini untuk memperbaiki keadaan tapi aku nggak tau harus berbuat apa, jadi aku cuek aja."
"Gue cuma mau nyaranin, mendingan ntar sore lo datang ke rumahnya. Kami mau mendekorasi ruangan buat pesta besok. Sony pasti seneng ngeliat lo. Gue harap lo mau ngomong sama dia dan nyelesaiin masalah kalian." setelah bicara begitu,
Martabak berdiri.
"Sebentar, Mar....eh Bakti," tahanku. "Kenapa lo mau ngelakuian semua ini? Bikin gue sama Sony temenan lagi? Bukannya lo seneng kalau dia jauh-jauh dari gue?"
"Sony itu sahabat gue dan gue nggak suka ngeliat dia setiap hari kelihatan sedih cuma karena mikirin orang nggak berguna kayak lo," ucapnya sambil melangkah pergi.
Ini baru wujud asli Martabak yang nyebelin.
Aku tersenyum juga karenanya.
"Martabak! Untung gue nggak mesen bakso!" seruku.
Tanpa menoleh ke belakang dan Martabak mengibas-ngibaskan tangannya seolah berkata ''nggak penting banget deh''.
BERSAMBUNG
Sumber : MATEMACINTA BY Razy B.A
BERIKAN LIKE DAN KOMENTAR YA
Maaaf udaptenya lama ada masalah dan habis dibekam enak sekaliiiii segar hehehehehhee
makasih atas pendapat kalian hehehehehe
ini chapter spesial for R
Kurang panjang..
@Lovelyozan
ngentut??? hahahahaha oke bro
@syafiq
@Daser
@syafiq