It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Bagus ceritanya bkin baper
Lanjutkan !
Mention..
Eh ada bang @Abdulloh_12 hehe
Belum,, usernamenya itu loh.. Hehe
Ya udh, kita kenalan aja, biar ga canggung.. Hehehe
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
@JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo
@PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
@jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
@new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
@delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
@diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
@ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan
@Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie
@sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday
@Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran
@rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto
@Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream
@shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji
@abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
@kaha @blasteran @BN @dian_des
@Pyromaniac_pcy @melkikusuma1
@asik_asikJos @opatampan @The_jack19
@ori455 @lukisan_puisi @usernameku
@dadanello @boncengek3 @earthymooned
@gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama
@OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif
@satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa
@Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part sebelumnya ...
Sesuai strategi yang telah dirancang, Askar berpura-pura memproklamirkan Adrian sebagai kacung pribadinya karena telah berusaha menentang Yakuza Junior. Sehingga Adrian tetap bisa selalu bersama Askar. Bunda meminta e-mail Mama Adrian melalui perantara Aldi untuk mengirimkan resep terbaru. Tapi anonymouse mengetahui akun e-mail Mama yang Adrian sebutkan di kantin, dan mengancam Adrian hendak mengirimkan foto mesra Adrian dan Askar.
Part 42
Gue meyandarkan punggung gue ke dinding labor kimia sambil menyelonjorkan kaki memandang anak kelas gue yang sedang ambil nilai praktikum Penjasorkes. Nama gue yang berada pada deretan awal memaksa gue mau tidak mau mendapat giliran pertama pengambilan nilai dan selesai pertama pula. Begitulah nasib anak berinisial A, selalu jadi yang pertama. Ya nggak? Kegiatan setelah pengambilan nilai bebas, sehingga gue berinisiatif untuk mendinginkan tubuh gue di teras labor sambil memandang pemandangan indah disana. Apalagi kalau nggak melihat cewek-cewek kelas gue yang terkenal bahenol ngambil nilai. Bukan hanya gue, banyak cowok-cowok mata keranjang didepan kelas mereka, yang memandang kearah lapangan dengan wajah mesum. Sungguh hebat daya tarik cewek-cewek kelas gue.
Seseorang duduk disamping kanan gue, sehingga gue menoleh kearahnya. Nampak Aldo yang menatap lurus kearah lapangan sambil memegang sebotol minuman isotonik di tangannya. Gue kembali memandang lapangan tanpa mempedulikannya. Toh ini teras sekolah, dan semua warga sekolah berhak untuk duduk dimanapun tanpa terkecuali.
Aldo lalu menyodorkan botol isotonik tersebut tepat didepan wajah gue. Gue lalu menoleh kearahnya, yang sama sekali tidak memandangi gue. Dia menatap lapangan. “Dari Askar.” Ujarnya. Gue hanya menatap botol dan wajahnya bergantian, dia kembali menyodorkan botol tersebut kearah gue hingga mau tidak mau gue terima dengan perasaan heran yang membuncah. Tumben dia baik sekarang. Lagi kesambet apa nih anak.
“Thanks.” Ujar gue masih menggenggam botol tersebut tanpa berniat untuk membukanya.
“Buka aja.” Terdengar suara Aldo. “Itu botol nggak gue kasih apa-apa kok. Itu dari Askar.” Ujarnya dingin. “Dia nggak bisa ngasih ke lo karena dia dipanggil guru BK.”
Gue menoleh kearah Aldo yang masih membuang muka. “Kenapa dengan Askar?”
“Dia bikin masalah di kelas tadi pagi. Makanya dia dipanggil guru BK.” Ujarnya sarkas. Gue langsung meringis memikirkan nasib Askar. Nggak berubah-rubah juga tuh anak. Pasti dia bakalan lama diceramahin diruang BK lalu dikasih hukuman yang gue yakin nggak akan membuatnya jera.
“Makasih.” Ujar gue kembali sambil membuka botol tersebut dan meminum isinya. Cukup pas untuk mengisi kembali tenaga gue yang terkuras habis karena latihan dan praktikum tadi. Gue lalu menyodorkan botol tersebut kearah Aldo sekedar basa-basi yang hanya dibalas dengan gelengan olehnya. Ada kecanggungan diantara kami. Gue yang merasa aneh dengannya semenjak pertama kali berjumpa, dan sikapnya yang dingin setiap kali didekat gue.
“Gue nggak haus.”
Gue lalu kembali menatap lapangan tanpa mempedulikan Aldo. Sekarang giliran Dwi yang mengambil nilai. Dia cukup hebat dalam bidang olahraga, berbanding terbalik dengan gue yang sangat bodoh di mata pelajaran tersebut. Syukurlah dibalik ketegasan pak Marhedi yang setara Hitler, beliau adalah guru yang sangat royal dalam memberikan nilai. Terlebih dengan cewek-cewek berdada besar yang ‘lengket-lengket manja’ dengan beliau disaat jam Penjasorkes berlangsung. Dijamin bakalan bagus deh.
“Gimana hubungan lo sama Askar sekarang?” Aldo buka suara. Gue langsung menoleh kearahnya, pertanyaannya menimbulkan polemik di fikiran gue. Sekedar mencari topik pembicaraan atau memang hendak bertanya tentang itu. Apalagi sikapnya yang agak kurang bersahabat itu membuat gue sedikit ragu untuk menjawab.
“Alhamdulillah, baik.” Jawab gue seadanya. Oke, gue nggak mungkin kan bilang ke dia kalau cinta kami sedang diuji kembali. Cukup Aldo hanya sekedar tahu tentang hubungan gue dengan Askar. Tidak lebih. Bisa jadi dia ada niat jahat disini.
“Huh. Sok tegar banget lo.” Ejeknya. Telinga gue langsung memanas dengan perkataannya yang sengit tadi. Gue langsung memandanginya dengan kening berkerut.
“Maksudnya?”
“Huh, lo terlampau naif Rian.” Dia melirik gue dengan sudut matanya yang penuh ejekan. Dia seperti meragukan kata-kata gue tadi. “Lo pura-pura tegar sedangkan hati lo sekarang kocar kacir. Lo memang hebat bersandiwara."
Gue memicingkan mata memandangi dia yang sedang duduk bertopang kaki memandangi cewek-cewek kelas gue yang lagi ngambil nilai. Dia emang cari gara-gara sama gue, berusaha memancing-mancing amarah dan ujung-ujungnya bakalan menjebloskan gue ke ruang BK. Tahan Rian, tahan. Nggak ada gunanya lo ngeladenin dia, dia hanya orang yang iri sama lo.
“Kalau nggak ada yang hal penting yang dapat kita bicarakan, gue mau ke kelas dulu.” Ujar gue seraya bangkit dari tempat duduk. Aldo terkejut lalu menangkap tangan gue dan menarik memaksa gue untuk duduk.
“Ada hal yang penting yang harus gue bicarakan sama lo. Kalau lo nggak mau, gue bisa saja melaporkan lo yang aneh-aneh ke Askar.” Ancamnya. Mau tidak mau gue terpaksa duduk sambil mendengus sebal menatap lapangan. Gue sangat jengkel jikalau gue harus berurusan dengan orang selicik dia, plus sikapnya ke gue yang tidak bersahabat itu membuat gue tidak tertarik dengan hal pentingnya itu.
Gue kembali meneguk isotonik pemberian Aldo tanpa menoleh kearahnya dirinya sedikitpun. Diam tanpa suara menunggunya untuk memulai kembali pembicaraan.
“Lo udah tau nggak, kalau lo bakalan dicampakkan Askar sebentar lagi?” Kata-katanya amat merendahkan gue sekali. Gue harus sabar, atau dia bakalan ngomong yang aneh-aneh tentang gue ke Askar. Terkadang omongan kaki tangan lebih didengarkan daripada omongan pasangan sendiri.
“Maksud lo dia yang akan pindah ke Surabaya?”
“Nah lo tau. Tahu darimana?”
“Lo nggak perlu tahu.”
“Lo tahu dari dia sendiri ya? Kalau lo bakalan dicampakkannya.”
“Anggap aja begitu. Dan gue bukan dicampakkan.”
“Terus apa namanya kalau nggak dicampakkan coba?”
“Dia nggak mencampakkan gue. Kita harus terpisah jarak karena nyokapnya.” Suara gue terdengar getir.
Aldo pun tertawa sambil memegangi perutnya. Tawanya sangat enak didengar, berbanding lurus dengan mukanya yang tampan. Bikin cewek-cewek kesemsem karenanya. Tapi sayang sekali, bertolak belakang dengan sikap dan perkataannya yang minus itu.
Aldo menepuk-nepuk pundak gue yang langsung gue tepis. “Adrian, Adrian. Malang banget sih nasib lo. Lo itu dicampakkan Rian, dicampakkan.” Dia menatap gue dengan pandangan mengejek. “Lo tahu kan siapa Askar, sekarang dia adalah anak satu-satunya bagi bonyoknya. Lo fikir sendiri, mana mungkin seorang anak yang tinggal satu-satunya nggak bisa memberikan perlawanan terhadap keinginan orang tuanya. Mana mungkin seorang Askar yang berkuasa dan keras kepala itu nggak bisa menolak keinginan bonyoknya, kecuali dia juga setuju dengan keinginan orang tuanya itu untuk pindah ke Surabaya.” Aldo menepuk bahu gue lagi. “Dia pasti bakalan menolak mentah-mentah keinginan orang tuanya itu, bukan malah merahasiakannya ke lo. Jadi, apa namanya jikalau dia bukan mencampakkan lo? Jikalau dia mencintai lo, pasti dia bakalan memperjuangkan supaya dia tidak pindah ke Surabaya. Lo hanya permainannya Adrian. Dia udah bosan dengan lo dan inilah kesempatannya untuk mencampakkan lo.”
Sontak perkataan Aldo tadi seperti menampar muka gue bolak balik. Mengalirkan jutaan gelombang kejut keseluruh tubuh gue sehingga tiba-tiba punggung gue mendingin seketika. Muka gue berasa panas saat ini dan air mata gue mulai menggenang. Tahan Rian, tahan. Lo harus kuat didepan Aldo, atau lo akan ditertawakannya.
“Gue yakin, apapun yang terjadi. Askar nggak berniat untuk meninggalkan gue. Askar hanya terpaksa pindah ke Surabaya menuruti kehendak nyokapnya.” Gue menatap nanar anak kelas gue di lapangan. “Gue yakin, cinta Askar ke gue sebesar rasa cinta gue ke dia.”
“Semoga seperti yang lo harapkan Adrian.”
“Ya... semoga.” Jawab gue. Gue yakin, Adrian akan tetap mencintai gue seperti sekarang walaupun jarak telah memisahkan kita.
“So, lo tetap yakin Askar akan tetap mencintai lo walaupun jarak memisahkan lo berdua?” Aldo seperti dapat membaca isi fikiran gue.
“Gue yakin 100%”
“Walau ada orang yang bakalan mendekati lo maupun dia?” kejarnya lagi.
Gue tersenyum sambil memikirkan jawaban yang tepat untuknya, sekaligus juga menguatkan hati gue yang bakalan berpisah dari Askar.
“Walaupun dia sudah ada disana, gue tetap selalu setia mencintainya sepenuh hati gue untuk selamanya. Karena gue berjanji, gue nggak akan membagi cinta gue kepada orang lain karena gue sepenuhnya milik dia, Askar Bastian Putra.”
“Walaupun dia udah mempunyai yang lain di sana?”
“Walaupun. Itu terserahnya, itu bukan hak gue untuk memaksanya setia. Walaupun dia sudah mempunyai yang lain disana, gue akan tetap setia untuknya. Karena bagaimanapun yang tejadi nantinya, gue jamin Adrian Aditya hanya untuk Askar Bastian Putra, bukan yang lain.”
Aldo kelihatan terpana mendengar jawaban gue yang udah seperti sumpah janji setia itu. Dia lalu menghembuskan nafas sambil menatap gue penuh emosi. Aldo lalu bangkit dari duduknya dan menepuk bahu gue tanpa memandangi gue sedikitpun. “Semoga bahagia Adrian Aditya.” Bisiknya. Sebelum dia pergi meninggalkan gue yang menatap kepergiannya sehingga hilang dibalik dinding. Aldi dan Dwi berlari menghampiri gue dengan cemas sambil duduk disamping gue.
“Lo nggak apa-apa kan?” tanya Aldi yang melirik kearah Aldo pergi. “Ngapain dia tadi?”
“Nggak apa-apa kok Al.” Gue membarut punggungnya. “Dia hanya sekedar memberikan isotonik ini ke gue.” Gue mengangkat botol isotonik tersebut kearah Aldi yang terperanjat dengan fakta yang telah terjadi.
“Wow. Tumben.” Ujarnya. Gue hanya bisa mengangkat kedua bahu gue sambil menatapnya yang takjub tidak percaya.
“Berarti bagus dong.” Ujar Dwi menimpali. “Si Aldo udah nggak bermuka masam lagi sama Adrian. Minimal dia nggak macam-macam sama Adrian lagi.” Dwi nyengir sambil merampas botol isotonik yang gue pegang. “Bagi gue dikit Rian. Haus nih.” Dan sekali tegukan Dwi, sukses membuat botol isotonik tersebut tidak berisi lagi.
“Kita ke kelas yuk!” ajak Aldi yang udah berdiri seraya menarik tangan gue. “Gue lapar nih, Bunda udah nyediain bekal buat kita.” dia mengusap-usap perutnya. Dwi terdengar bersorak semangat dengan air ludah pasti sudah menetes dari bibirnya. Kebiasaan kalau mendengar kata makanan.
Kita bertigapun berjalan menuju kelas sambil tertawa lepas. Walau ada sedikit kekalutan di hati gue saat ini. Semoga apa yang dikatakan Aldo tidak benar.
---
Dengan penuh keterpaksaan gue akhirnya melangkah ke ruang OSIS karena diundang rapat persiapan class meeting beberapa minggu lagi. Guepun memilih posisi paling belakang, paling sudut pula, supaya gue nggak begitu kelihatan oleh anak-anak OSIS lainnya. Sebagai salah satu anggota MPS, suara gue cukup didengarkan oleh pengurus OSIS.
‘Lo dimana sekarang?’
15.17
Notifikasi dari Askar rupanya.
‘Gw d ruang osis skrng. Ad rpt buat classmeeting’
15.17 - Baca
‘Masih lama?’
15.17
‘Knp?’
15.18 - Baca
‘Kita barengan ya? Tunggu gue di depan gerbang, gue juga ada rapat sama anak yakuza junior.’
15.18
‘Oke Nnti gw tnggu’
15.18
Gue menutup handphone gue sambil kembali menatap kedepan. Ada Ketua OSIS beserta jajarannya di depan sana, termasuk diantaranya Tia yang sedang menatap gue dari jauh. What? Tia langsung menundukkan muka ketika dia ketahuan lagi memperhatikan gue. Gue nggak begitu pasti kapan Sekretaris Umum OSIS tersebut memperhatikan gue dan melalaikan tugasnya untuk mencatat jalannya rapat kali ini, tapi gue yakin kalau dia sudah memperhatikan gue sendari tadi.
Rapat akhirnya selesai dengan sedikit terjadi perdebatan antar anggota OSIS itu sendiri mengenai class meeting yang bakalan diadakan. Tapi akhirnya, semua kembali ketangan si pemegang kekuasaan yang memutuskan semua. Banyak diantara peserta rapat yang menatap kearah gue, ya secara di MPS, gue salah satu yang paling vokal mengeluarkan pendapat penuh kontrofersi. But kembali ke gue yang lagi ngambang akibat perkataan Aldo tadi siang, gue nggak mood untuk mengeluarkan pendapat hari ini. Gue akhirnya keluar dari ruang OSIS, lalu duduk dibangku yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Gue masih nendengar desas-desus nggak jelas dari peserta rapat.
Seseorang berdehem membangunkan gue dari lamunan gue. Tia, cewek berhijab itu masih berdiri disamping bangku gue seraya menatap lantai tanpa mau melihat gue sedikitpun. Apa lantai lebih ganteng dari muka gue. Gue mengamatinya mulai dari ujung kaki hingga ujung kepalanya yang tertutup hijab sebelum dia mengeluarkan suara. “Tia boleh duduk?”
Gue mengangguk sambil bergeser memberinya tempat untuk duduk. Tia lalu duduk, masih dengan wajah tertunduk. Gue nggak mengerti dengan ini anak. Sejak awal pembentukan pengurus OSIS periode sekarang, dia udah kayak gini, merunduk-runduk nggak jelas ketika bertemu dengan gue.
“Udah selesai rapatnya?” gue memulai pembicaraan. Daripada duduk-duduk gaje berdua sambil ngelihatin rumput yang bergoyang, itu berbahaya.
“Udah, baru selesai.” Jawabnya. “Kok Rian keluar duluan? Nggak seperti biasanya?” tanyanya berhati-hati.
“Lagi nggak mood aja.”
“Owh gitu. Rian ada masalah ya?”
“Nggak juga. Nggak penting kok.” jawab gue ringkas.
Ada sejenak keheningan diantara kita. Sebelum suilan nakal Ridho terdengar menggoda gue. Terlebih Caca yang seperti biasa mengambil foto gue buat disebar di twitter gosip sekolahan. Dasar. Gue hanya mengacungkan tinju kearah mereka, sedangkan Tia semakin merundukkan kepalanya. Gue nggak tahu berapa ton massa kepalanya Tia sampai dia merunduk seperti itu.
“Nggak usah ditanggepin.” Ujar gue menenangkan Tia, sehingga kepalanya kembali ke posisi semula. Walau masih merunduk tentunya.
"Iya." Desisnya.
Gue tersenyum sambil menopang kepala menatap halaman.
“Eeng..., mungkin Tia nggak tau apa yang Rian fikirkan sekarang, tapi Tia cuman mau ngingetin aja. Jangan kita sampai terbawa sama masalah. Mungkin kita harus memikirkan masalah itu untuk mendapatkan solusi. Tapi jangan buat masalah tersebut mengubah kita menjadi orang lain. Membuat kita lalai dalam tugas kita, dan malah membuat diri kita menjadi terancam. Kalau ada masalah selesaikan dengan kepala dingin, carilah solusi yang tepat yang menguntungkan kita tapi tidak merugikan orang lain.”
Gue mengangguk-angguk sambil memperhatikannya. Dia nampak salah tingkah. “Gue hanya lagi bingung, mempercayai orang lain atau mempercayai hati gue sendiri. Sehingga nggak ada keraguan sama gue lagi untuk menentukan pilihan.”
Tia nampak terkejut. Cukup lama dia terdiam sebelum dia mengambil nafas panjang dan memulai kata-katanya.
“Terkadang kita harus mendengarkan saran dari orang lain, namun ada saatnya kita harus mendengar kata hati kita. Orang lain boleh berpendapat, tapi yang akan menentukan adalah diri kita sendiri. Jadi mungkin saja banyak orang yang berkomentar sama Rian, tapi semua kembali kepada hati Rian sendiri yang menentukan. Karena Rianlah yang akan menjalankan semua. Pilihlah mana yang menurut hati Rian benar karena hati itu tidak akan pernah bohong. Itu yang terbaik.
Terkadang seseorang bisa saja melakukan hal yang...”
Seseorang berdehem dibelakang kami, sehingga gue dan Tia hampir melompat dari posisi duduk kita. Gue langsung menoleh kebelakang dengan amarah yang udah diubun-ubun. Lagi serius gini, tuh anak datang mengacaukan suasana dan membuat gue terkejut. Untung gue nggak punya riwayat penyakit jantung, kalau iya kan gue nggak bisa pulang bareng Askar nanti.
Adik gue, Fandi hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya melihat ekspresi gue yang hendak melumatnya.
“Maaf kak, mengganggu kalian berdua.” Fandi nyengir sambil memeluk sebuah buku di dadanya. “Ada yang mau ditanyakan sama kak Tia, seperti janji kita berdua tadi.”
“Oh ya.” Tia yang tadinya syok, akhirnya dapat mengendalikan dirinya sambil menggeser bangku mempersilahkan Fandi duduk.
“Maaf ya kak.” Ujar Fandi menatap gue penuh penyesalan seraya duduk diantara kita berdua. “Fandi mau mewawancarai kak Tia tentang kepengurusan OSIS kita, mau Fandi muat di blog pribadi Fandi.” katanya. Eh si Fandi punya blog? Kalau iya, gue baru tahu deh sekarang kalau adik gue ini blogger. “Kebetulan karena kak Tia adalah Sekretaris Umum, makanya Fandi memilih kak Tia sebagai narasumber pertama Fandi.” Ujar Fandi seraya mengeluarkan beberapa helai kertas seraya menyerahkannya ke Tia. “Kak, silahkan angketnya diisi dulu kak.”
Gue hanya bisa menggeleng-geleng melihat kelakuan aneh adik sepupu gue ini. Dia udah kayak melakukan penelitian aja sekarang, ngisi2 angket gitu.
“Kak, boleh minta foto bareng kakak? Buat dokumentasi. Tapi Fandi nggak bawa handphone yang pakai kamera.”
Gue lalu menepuk kedua muka gue yang gemas terhadap tingkah laku adik gue yang absurd. Tia yang mengisi angket langsung tertegun akibat celotehan Fandi tadi. Dia nampak berfikir. Btw, bisa-bisanya seorang yang akan wawancara lupa hal yang sepenting itu. Sama kayak tentara yang lupa bawa peluru ke medan perang.
Gue lalu mengeluarkan smartphone gue dari tas, sebelum Tia mengeluarkan smartphonenya duluan.
“Pakai handphone kakak saja.” Tia menyerahkan smartphonenya ke Fandi.
“Nggak usah Tia, Fandi pakai handphone gue aja.” Gue lalu menyodorkan smartphone gue di depan Fandi dan menggeser smartphone Tia kearahnya. Fandi melototi gue tidak suka sambil mengambil smartphone Tia dan menyerahkan smartphone gue.
“Fandi pakai handphone kak Tia aja. Handphone kak Ian kameranya kurang bersih, kurang canggih.” Ujarnya sarkas, membuat nama baik gue dan smartphone gue jatuh kecemplung got penuh lumpur. Adik sialan, besok pinjam hape nggak bakalan gue pinjemin. Ingat tuh.
Fandi nampak mengutak-atik smartphone Tia yang menurut gue sama aja dengan smartphone gue. “Kakak, Fandi foto ya! Sama kak Adrian sekalian.” Ujar Fandi seraya meloncat dari bangku lalu berputar mengitari meja dan berdiri tepat di seberang kami agak menjauh. Fandi memicingkan matanya, lalu mematut-matutkan kami laksana seorang fotografer propesional. “Merapat kak Ian. Sedikit lagi!” paksanya sehingga mau nggak mau gue turuti, daripada dia ngambek. Gue menggeser posisi mendekati Tia sehingga jarak kami hanya beberapa sentimeter saja.
“Oke keluarga samara, senyum!” Pernyataan Fandi tadi langsung membuat Tia salah tingkah sambil menutup wajah dengan tangannya. “Ops Kak Tia, angkat wajahmu... yap bagus... dan... smile.”
Apaan nih maksud adik gue, apa dia udah kemakan sama fitnah si Ridho CS sampai dia sebegitu ngotot masangin gue sama Tia. Atau jangan-jangan dia agen Caca nih, buat dapetin gosip terbaru buat materi kicauannya di twitter yang selalu update cetar membahana badai katrina di khatulistiwa.
Fandi lalu kembali ke bangku dan duduk diantara kita berdua. Dia sekarang seperti nggak mempedulikan gue. Gue laksana hantu yang gagal dalam visi dan misi menakut-nakuti di sore hari. “Siip, brebes. Sekarang kak Tia sama Fandi, trus kak Tia sendiri.” Dia lalu bercekrek-cekrek ria dengan Tia dan memfoto Tia sendiri sehingga gue resmi jadi kambing congek sekarang.
Gue kembali mengobok-obok isi handphone gue sekarang mengusir kebosanan. Nggak bagus juga kalau gue tiba-tiba pergi begitu aja ninggalin mereka berdua. Cowok macam apa gue yang nggak berakhlak mulia, pergi tanpa pamit sebelumnya. Hanya ada percakapan grup kelas. Syukurlah nggak ada chat dari anonymouse. Mungkin doi lelah, ntahlah.
“Kak, fotonya disimpan di galeri ya kak?” tanya Fandi ke Tia yang dibalas dengan anggukan Tia. Fandi nampak mengobok-obok handphone Tia dengan tidak sopannya sehingga gue sebagai kakaknya merasa malu dengan tingkah konyol adik sepupu gue.
“Maafin adik Ian ya Tia.” Gue menggaruk-garuk tengkuk gue yang nggak gatal. “Dia udah ngerepotin Tia.”
“Nggak apa-apa kok Rian. Malah Tia merasa senang karena bisa membantu.” Ujarnya tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari angket pemberian Fandi. Si punya angket nampaknya sangat khusuk memeriksa galeri Tia sampai nggak merespon kata-kata gue tadi. Biasanya, bakalan ngamuk-ngamuk tuh anak kayak sapi mau dipotong.
“Hoy! Lo nengok apaan sih?”
Fandi lalu menyodorkan layar handphone Tia ke depan wajah gue sambil nyengir. Nampak foto gue tadi dengan Tia. Gue yang nampak canggung dan Tia yang tersenyum menyembunyikan malunya.
“Serasi kan kak?” Fandi lalu menyodorkan layar handphone ke wajah Tia sehingga mukanya kembali memerah, sambil ekor matanya melirik kearah gue. “Cocok banget kalau menurut Fandi. Nih foto bakalan Fandi simpan. Besok kalau anak kakak udah gede, ntar Fandi kasih lihat gimana wajah papa sama mama mereka waktu SMA.” Fandi lalu tertawa cekikikan nggak jelas, lalu menggerling nakal ke gue. “Tenang kak, nanti Fandi kirimin fotonya.” Bisiknya nakal.
Gue lalu mendengus sambil memasukan handphone ke saku lalu menyandang tas. “Tia, Rian duluan ya.”
“Loh kok Kak Tia ditinggal sih Kak?” rengek Fandi. Nampaknya dia nggak terima gue pergi. “Fandi juga, kok ditinggal. Bareng!"
“Iya, iya. Kakak nggak mau nganggu.” Gue lalu mengacak-acak rambut Fandi. “Kakak tunggu di halte depan ya.” Ujar gue tersenyum kearahnya menenangkan. Fandi hanya cemberut sambil memajukan bibirnya. Gue nggak mau aja jadi kambing congek lo berdua, jadi orang ketiga yang nggak ada di kamus besar gue.
“Tolong jaga adik Rian ya Tia. Kadang dia sedikit manja.” Ujar gue ke Tia sambil meninggalkan teras ruang OSIS menuju gerbang sekolah. Gue bisa mendengar ocehan Fandi dibelakang sana yang membuat gue tersenyum.
‘Kar, gw otw gerbang nih.’
16.46
Nggak ada balesan dari Askar rupanya. Mungkin dia lagi sibuk dengan gengnya mungkin. Gue juga malas menelponnya, takut mengganggu.
“Kak Adrian!”
meneriaki gue dari belakang, sehingga gue menoleh ke belakang. Ada Nathan si cowok tampan dari kelas X.5 yang ngos-ngosan berlari lalu membungkuk mengatur nafas setibanya di samping gue.
“Ngapain lari-lari? Di kejar anjing lo?”
Dia terkekeh sambil memegang pundak gue. “Ngajak... barengan... nih...” ujarnya dengan senyum mautnya. Gila, cewek -ditambah gay- mana yang nggak bakalan meleleh dengan senyum mautnya itu. Pantesan nih anak, waktu pas MOS dulu udah bikin cewek-cewek kepo sama dia. Gue menelan ludah sambil berusaha mengendalikan diri. Inget Rian, lo punya Askar.
“Yuk kak!” ujarnya mengajak gue barengan. “kakak dari mana?”
“Oh, kakak dari ruang OSIS.” Sambil menunjuk kearah ruang OSIS.
“Owh..., rapat persiapan class meeting ya kak?”
“Huum, rapat class meeting.”
“Apa aja lombanya kak? Lomba band antar kelas ada nggak?”
Gue terkekeh. “Emang Nathan punya band?” goda gue. Usulan yang anti mainstream. Gue suka itu.
Dia menggaruk-garuk tengkuknya. “Nggak kok kak. Pengen aja, nanti saat class meeting ada perlombaan band antar kelas. Acara kita bakalan meriah dengan adanya band yang manggung. Lagian ini buat kita juga kok. Nggak kayak Pensi yang antar sekolah, tapi ini antar kelas di sekolah kita. Gue lihat banyak bakat kearah sana di sekolah kita.”
“Kakak emang berniat ngadain acara seperti itu, tapi yaa... Nathannya nggak ikut ya gimana lagi. Nggak asik.”
“Ya gimana lagi kak, nggak ada yang bisa diajak nge-band.”
“Sebanyak itu anak-anak angkatan 61? Katanya banyak potensi di sekolah kita? Tuh kan ada di Fauzan, Akbar, Wahyu, Baihaki, Harry, siapa lagi...” gue menghitung-hitung anak-anak kelas X yang gue kenal. “Fandi lagi. Kan banyak tuh. Banyak yang bisa diajak ngeband.” usul gue asal. Gue tahu kalau ngeband itu butuh skill yang nggak dimiliki oleh semua orang.
“Hehehe gue nggak ada kefikiran untuk buat band kak. Kan masih tahun pertama.” Dia menggaruk-garuk tengkuknya lagi. “Tahun besok mungkin kak.” Dia tersenyum. “Btw, kakak lihat Fandi nggak?”
“Kenapa nanya-nanya adek kakak? Kangen ya sama pacarnya?”
“Nggak kok kak, cuman nanya aja. Lagian gue kan sukanya sama kakak.” jawabnya spontan. Gue langsung bengong mencerna kata-katanya sampai Nathan menjentik-jentikan jarinya didepan wajah gue. Tiba-tiba wajah gue memanas gegara gombalan absurdnya tadi.
“Kakak lihat Fandi nggak kak?”
“Owh, Fandi di sana...” sambil menunjuk kearah ruang OSIS, “...dia di ruang OSIS, ada tugas katanya. Tadi kakak tinggalin takut mengganggu."
Nathan mengangguk-angguk sambil menatap gue yang salah tingkah. Gue melangkahkan kaki menuju gerbang dengan kaku, begitupun Nathan yang berjalan disamping gue juga menuju gerbang. Gue yakin dia cuma bercanda.
“Kak.”
“Hmmm?” gue memandangnya yang nampak lagi menatap tanah. “Ada apa Nath? Ada masalah sama ekstrakulikuler olimpiade?”
“Nggak kok kak, anak-anak olimpiade pada asyik-asyik semua. Apalagi seniornya.” Ujar dia memandang gue. “Gue nggak ada masalah sama olimpiade.”
“Trus? Lo manggil kakak?”
“Sebenarnya ada yang gue tanyain ke kakak?”
“Tanyain apa? Insya Allah akan kakak jawab sebisa kakak. Tenang aja.” Gue tersenyum menatap wajahnya yang tampak grogi dan nggak enakan. Pasti masalah cinta nih.
“Bagaimana menurut kakak tentang seseorang yang melakukan sesuatu untuk mendapatkan orang yang dicintainya?”
“Maksudnya?”
“Ya... orang tersebut hal-hal yang nggak masuk akal gitu.”
“Hmmm..., gimana ya? Kakak juga bingung mau jawab apa. Tapi coba kakak fikir dulu.”
“Gini, gimana menurut kakak seseorang yang melakukan tindakan yang nggak sepatutnya dia lakukan demi mendapatkan orang yang dicintainya?”
“Menurut kakak sih itu boleh-boleh aja sih, tapi asalkan nggak merugikan orang lain dan juga merugikan orang yang dia suka.”
“Walau orang tersebut memanfaatkan orang lain, serta memisahkan orang yang dia suka dengan gebetannya?”
“Memanfaatkan sih menurut kakak boleh saja. Asalkan simbiosis mutualisme atau minimal komensalisme, jadi nggak ada yang dirugikan. Tapi kalau sampai memisahkan orang yang saling mencintai, menurut kakak sih itu yang nggak bener. Salah besar. Kita nggak sepantasnya berbahagia diatas penderitaan orang lain. Apalagi main sistem pecah-belah gitu, setelah hancur trus ditikung. Itu bukan perilaku seseorang pria jantan.”
Nathan ngangguk-ngangguk, dia nampak berfikir keras. Gue melemparkan pandangan sambil menyapa pak satpam yang ada di posnya lalu mengambil posisi duduk di pinggiran bangku halte. Sedangkan Nathan duduk disamping gue dengan wajah yang penuh penyesalan. Dia kemudian lalu menatap gue dan tersenyum aneh yang nggak gue mengerti.
“Tapi kalau memanfaatkan orang demi keuntungan kita bolehkan kak?”
“Ya kembali lagi dengan yang tadi, asalkan tidak merugikan orang yang kita manfaatkan dan tidak merugikan orang lain, boleh-boleh saja.
Kenapa Nathan ada suka sama seseorang ya?”
“Hehehe, ya begitulah kak.” jawabnya sambil malu-malu.
Gue memandang wajahnya yang kelihatan bingung dan menyesal. Entah kenapa gue merasa kalau jangan-jangan Nathan ada hubungannya dengan anonymouse, merujuk pada pertanyaannya tadi. Tapi gue nggak boleh berprasangka jelek dulu. Toh mana mungkin orang yang jahat menampakkan kejahatannya pada korbannya. Jarang, walau bukan mustahil.
Gue menoleh kiri dan kanan, menunggu Askar yang belum nongol-nongol juga. Kemana tuh anak. Fandi dan Tia nampak bersisian keluar dari gerbang sekolah, menuju kearah kami. Tia nampak sumringah dan begitupun Fandi yang seperti mendapatkan durian emas yang jatuh dari langit. Seperti biasa Fandi yang manja langsung merangkul tangan gue tanpa malu dan duduk disamping gue. Sedangkan Tia duduk paling ujung sambil tersenyum.
“Kakak pulang sama siapa Kak?” tanya Fandi yang seperti mengkode Tia dari jauh hingga cewek tersebut menyembunyikan wajahnya.
“Kenapa tanya begitu?”
“Ya, mana tahu Kakak nggak ada temen. Kan nanti mungkin aja ada yang nemenin.” Jawabnya. Gue tahu kemana arah tujuan dari perkataannya. Mereka sudah berkomplot rupanya.
Gue tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. “Bilang aja mau barengan. Ya kan?’ tanya gue yang dibalas cengiran Fandi. “Kakak ntar pulang bareng Kak Askar.” Jawab gue. Sontak Nathan dan Tia menatap gue dengan muka terkejut. Fandi lalu melepaskan pegangannya dari tangan gue sambil cemberut memajukan bibirnya.
“Kakak ih. Gitu.”
“Maaf ya dek, Kakak udah janji sama Kak Askar tadi. Lain kali aja ya...” ujar gue penuh penyesalan.
Fandi menoleh kearah Tia lalu kembali menoleh kerah gue dengan muka pasrah. “Ya deh kak. Besok ya.”
“Iya dek, kalau Kakak udah bebas dari Kak Askar. Kita pulang bareng ya.” Ujar gue tersenyum sambil mencubiti pipinya. Gue sampai lupa kalau gue sekarang lagi dibawah pengawasan Askar, katanya.
Deru motor Askar pun terdengar bersama deru motor beberapa anak Yakuza Junior lainnya, keluar dari gerbang sekolah. Fandi yang hendak kembali protes akhirnya memilih diam menatap kedatangan gerombolan Askar yang sangar. Ada Askar, Evan yang memboncengi Aldo dan beberapa petinggi Yakuza Junior lainnya menatap kearah kami. Setali tiga uang, Askar juga menatap kami yang lagi duduk di halte depan sekolah satu persatu.
“Oke kacung gue, naik!” Perintahnya sok berwibawa, namun membuat gue geli. Dia terdengar seperti om-om yang lagi ngejemput peliharaannya sekarang. Gue pura-pura mendengus sambil menaiki motornya yang gede dan memasang helm. Askar yang ganjen malah memerintahkan gue untuk memeluk pinggangnya supaya gue sang kacung tidak jatuh nanti di perjalanan. Syukurlah beberapa pasang mata hanya bisa melihat dan tidak dapat berbicara banyak karena Askar. Ya Askar tidak bisa ditentang.
“Gue pulang dulu. Gue harap rapat kita nanti tidak ada yang bocor ke orang lain. Karena gue nggak bakalan segan-segan buat membocorkan kepalanya.” Ancam Askar. Kelihatan banget ketakutan diwajah semua kaki tangannya. Mustahil bener zaman sekarang masih ada yang main bocor-bocor kepala, bisa-bisa masuk penjara lo. “Gue harap yang nggak ikut rapat tadi tidak berkecil hati karena nggak gue ikutin.”
Kaki tangan Askar hanya bisa mengangguk-angguk tanda mengerti tanpa mau untuk membantah lagi. Gue melihat ke sekeliling, mendapati semua pasang mata mengarah pada kami berdua lebih tepatnya kearah Askar. Tidak lupa gue yang menoleh kearah Fandi yang cemberut menatap jalanan, memastikan jikalau dia nggak berbuat yang aneh-aneh karena rencananya nggak berhasil. Ketua Yakuza Junior aka bos (akal-akalan) gue ini lalu menggas motornya meninggalkan halte sekolah membelah jalan raya kota gue, meninggalkan sebuah perasaan aneh yang ada sejak tadi. Seperti hawa kemarahan yang terus menghantui gue.
"Kar, lo dipanggil BK tadi?"
"Hooh." Jawabnya tidak bersemangat. "Aldo yang bilang ya?"
"Iya. Thanks sama isotoniknya."
"Sama-sama. Untuk lo, apa yang nggak bakalan gue kasih." Gombalnya lagi.
Terdengar notifikasi line yang mengagetkan gue.
"Bentar Kar."
Gue merogoh saku gue dan membuka smartphone gue. Hawa tadi sudah hilang semenjak dari gerbang sekolah tadi. Tapi hawa horor kembali muncul disaat gue membaca pesan dari anonymous.
‘Foto lo gue pastikan sampai ke tangan nyokap lo’
17.01
--- tbc
R~
Halo minna, Aurora kembali dg My Beloved Askar yg lama update. Maaf bngt, gue keasikan lebaran krna kekenyangan makan nastar sama minum sirup. Jadinya lupa update kisah lope2an antara Adrian n Askar. Wkwkwk.
Gmn part kali ini? Gue harap komentar antum semua buat part ini. Salah satu part terpanjang yang gue buat di MBA. Gue mohon vote n komentarnya yang banyak, buat membangkitkan semangat n gairah gue buat menulis. Terkadang author butuh dokongan moril untuk melanjutkan ceritanya. Kalau dukungan materil..., Gue rasa nggak usah deh. Wkwk.
Kalau ada yang ditanyakan atau gimana silahkan d komentar ato pm gue. Sekali lagi MBA nggak gue publikasikan di Wattpat, khusus buat Boyzstories aj. Jadi mohon votenya y, mau suka, lol maupun kesal juga boleh. Hehehe
So selamat membaca, selamat bermalam rabu. Sunt
3 Agustus 2016 - 00.17
Salam
R~
tianya ama aku aja...
Falling gw ni, kalo aldo suka sma adrian
@apell Siip Tia buat abang aj deh. Hehehe.
Siip ditunggu part depan ya bang...
@ramadhani_rizky Jangan dicurigai dulu kak. Masih bnyk tersangka lain kok.