It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Semoga saja yuri hanya anak dr selingkuhan papanya galuh.
summon ya min klo update
i've been waiting for this
jadi yuri itu anaknya papa galuh sama belinda. sedangkan galuh.anak mamanya dengan orang lain.jadi sebelum mama galuh menikah dengan papa galuh,mama galuh sudah hamil dengan orang lain,tapi orang itu tidak mau bertanggung jawab. dan papa galuh bersedia menikahi mama galuh karna ekonomi.kan mama galuh orang kaya.
Aku masih curiga kalo yuri adalah anak papanya galuh hmmmm...
Ah lanjut deh..
gua meleleh sama galuh.. kata kata nya ga nahan...
banyak teka tekiiii :P
Ku tunggu kelanjutan ceritamu...
@balaka nanti anjas dan farid akan keluar di tengaj cerita
@zeva_21 aku juga gak habis fikir mah
@kaha Ahhaha
@hah_hihi12 ayoo kita lihta
@cute_inuyasha iyah kak bener deh, tapi ada yg salah mah
@pradipta24 konflik mungkin bukan hanya itu
@awanawanku oke
@akina_kenjihmmm ini dilanjut
@AryaPutra_25 semoga tetap suka part ini juga yah
@DM_0607 aku juha mau mah
@new92 he'eh galuh emang emang deh
@Lovelyozan Salam kenal juga maksih yah
@harya_kei coba simpulkan di part ini
"Apa Nyonya sedang bercanda?" Apa aku tidak salah dengar? Seorang wanita yang tiba-tiba datang mencariku, dia seorang artis terkenal, baru saja dia mengatakan bahwa dia ibu kandungku?
Aku melihat sekeliling kalau saja ada kamera tersembunyi yang diletakan di sekitarku sekarang yang sedang merekam kami. Mungkin saja saat ini aku sedang dikerjai, dan hal ini benar-benar tidak lucu!
"Tujuh belas tahun lalu, usia saya masih 25 tahun saat mengandung kamu. Saat itu karier saya sedang berada di puncak dan tidak mungkin bagi saya untuk memiliki seorang anak.."
"Hentikan!" Sentakku langsung memotong ucapannya yang tidak ingin aku dengar. "Kalau ini hanya lelucon, lelucon ini benar-benar tidak lucu," wanita di depanku menarik bibirnya tersenyum. "Dan kalau ini bukan lelucon, maaf sepertinya anda sudah salah orang. Saya memiliki orang tua." Aku beranjak berdiri dari kursi. "Saya permisi dulu.."
"Kamu memiliki kelamin ganda..!"
Deg!
Kakiku terasa kaku seketika tidak bisa melangkah pergi dari tempatnya. Bagaimana dia bisa tahu aku memiliki kelamin ganda?
"Saya yang melahirkan kamu! Saya ibu kandung kamu..!" Wanita itu mengambil tanganku yang sudah mengepal dan digenggamnya. "Maaf, banyak hal yang terjadi sehingga Mama terpaksa melakukan itu. Dan sekarang Mama mencari kamu untuk menebus semua dosa Mama sama kamu.."
"Mama?" Aku langsung menghempaskan tanganya yang memegang tanganku. Aku menelan ludah karena tenggorakanku yang terasa tercekat dan kering. "Saya gak punya Mama! Saya memiliki orang tua, tapi itu bukan anda. Gak peduli siapa yang melahirkan saya, dia bukanlah orang tua saya." Aku menegakkan kepalaku tegas menatapnya. "Jangan buang-buang waktu anda untuk hal ini, dan saya juga tidak ingin membuang-buang waktu saya untuk hal semacam ini. Permisi!"
"Mama akan membawa kamu kembali!" Wanita itu menatapku tajam dengan mata yang berkaca-kaca. "Gak peduli dengan cara apapun!"
Aku langsung berlalu pergi. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Aku tidak peduli. Aku tidak peduli. Aku benar-benar tidak peduli dengan apa yang wanita itu ucapkan! Tapi mengapa rasanya begitu sakit sekali di dalam dadaku?!
"Mas, Kak, Yuri pulang duluan.." Pamitku pada Mas Danu dan Kak Virgo yang masih berada di dapur. Mereka berdua menatapku heran penuh pertanyaan.
Aku sudah berlalu pergi sebelum Mas Danu dan Kak Virgo sempat melontarkan pertanyaannya. Bahkan aku tidak mengganti seragam cafeku. Aku langsung mengambil tas sekolah yang ada di loker dan dengan cepat keluar melalu pintu belakang cafe.
Aku ingin segara mencari tempat untuk bisa berteriak sekeras mungkin. Rasanya sesak sekali. Belinda, artis terkenal itu ibuku? Kenapa ia yang harus datang mencariku sebagai ibuku?! Kalau saja seorang wanita biasa yang mencariku, mungkin aku bisa menerimanya dengan alasan yang bisa aku pahami.
Tapi nyatanya orang yang mencariku dan mengaku sebagai ibu kandungku, ternyata seorang wanita terkenal yang hidup dengan kemewahan dan kepopuleran sehingga dengan tega membuangku, anak kandungnya sendiri!
"Yuriii!" Seru Kak Virgo menghentikan langkahku dengan memegang bahuku. "Kakak antar pulang!"
"Yuri bisa pulang sendiri Kak.." Tolakku halus, dan lalu berbalik lagi untuk segera pergi. Saat ini aku ingin sendirian.
Kak Virgo menahan langkah kakiku lagi dengan memegang lenganku. "Biar Kakak antar!" Ucap Kak Virgo tegas. Ini pertama kalinya aku melihat Kak Virgo seperti ini. "Kakak gak akan biarin kamu pulang sendirian dalam keadaan kayak gini." Tambah Kak Virgo kemudian.
Aku tidak bisa menolaknya lagi. Kak Virgo segera mencari taksi dan mengantarku langsung sampai ke panti. Kak Virgo baru pergi setelah ia memastikan aku masuk ke dalam panti dan tidak pergi kemana-mana lagi. Selama perjalanan mengantarku, Kak Virgo juga hanya diam dan membiarkan aku dengan pikiranku sendiri. Kak Virgo selalu seperti itu, dia seperti salah satu malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjagaku.
—
—
"Kamu sudah bertemu dengan ibu kamu?"
Aku tidak menjawab pertanyaan ibu Panti dan terus mengolah adonan kue pada mixer.
Jadi ibu panti juga sudah mengetahui tentang wanita yang mengaku sebagai ibu kandungku? Sejak kapan? Sejak kapan?!
"Yuri.." Ibu panti mematikan mixer yang ada di tanganku. "Maafkan ibu.."
Aku melihat ibu panti dengan mencoba memberikan senyum pada beliau. "Yuri gak mau membahasnya Bu.."
Ibu panti mengehela nafasnya dan lalu menatapku sendu. "Kita bicara sebentar."
Aku hanya diam membiarkan ibu panti menjelaskan semuanya padaku. Ternyata dari seminggu yang lalu, wanita itu sudah mencariku kemari. Dan aku sangat tidak menduga saat ibu panti mengutarakan pendapatnya untukku tentang hal ini.
"Dia ibu kandung kamu Yuri.. Mama kamu, orang yang mengandung dan melahirkan kamu. Hidup kamu akan terjamin jika kamu bersama dengan Mama kamu."
"Ibu gak mau Yuri tinggal di sini lagi?" Tanyaku dengan menahan sesak dan mata yang berkaca-kaca. "Bukankah Ibu bilang sudah menganggap Yuri sebagai anak Ibu sendiri?" Aku menatap sedih pada wanita yang sudah berusia lebih dari 60 tahun ini. Seseorang yang aku pikir akan berpihak padaku.
"Tanah bangunan panti ini, milik keluarga orang tua kandung kamu," Ibu panti menggenggam tanganku yang mengepal. "Panti asuhan ini akan terancam kalau ibu berusaha menahan kamu di sini.." Tambah ibu panti menjelaskan lagi untuk bisa memberi pengertian padaku.
"Yuri paham..," ucapku cepat. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut penjelasan ibu panti yang hanya akan lebih menyesakan dadaku.
"Yuri, ibu harap kamu benar-benar bisa memahami keadaannya. Ini jalan yang terbaik. Kamu juga bisa mencari Papa kamu nanti kalau kamu sudah dewasa dan menjadi orang yang berhasil. Mama kamu bisa mendukung kamu untuk bisa meraih apa yang kamu impikan." Ibu panti mengusap bahuku pelan sebelum pergi meninggalkan aku sendirian.
Rasanya menyesakan sekali, ibu panti yang aku pikir bisa menjadi tempat bersandarku, ibu panti yang sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri, beliau malah menyuruhku pergi dari panti ini untuk bersama wanita asing yang mengaku sebagai ibu kandungku. Orang yang sudah membuangku.
Siang ini Galuh pergi memancing dengan kakeknya. Biasanya, kakeknya memang selalu meminta Galuh menemani beliau memancing saat beliau ingin membahas sesuatu dengan Galuh secara pribadi. Dan Galuh tidak perlu bertanya lagi untuk apa kakeknya hari ini mengajaknya keluar untuk memancing. Yah, dia sudah tahu alasannya, mungkin ini juga ada hubungannya dengan Yuri.
"Kamu mirip dengan Papa kamu."
Galuh menoleh pada kakeknya yang duduk di sampingnya dengan tenang memegang pancingannya. Mirip papanya? Galuh pikir, dia sama sekali tidak ada kemiripan dengan papanya. Bahkan Galuh meragukan bahwa dia adalah anak kandung dari papanya.
"Jadi hari ini Kakek mengajak Galuh keluar untuk membahas Papa?"
"Ah, kenapa hari ini kita belum dapat ikan satupun.." gumam beliau sendiri, kemudian kakek Galuh menoleh melihat Galuh, tersenyum kecil meneliti wajah Galuh. "Semakin besar, kamu benar-benar mirip dengan Papa kamu." Galuh membuang pandangannya ke depan, malas untuk membahas Papanya sekarang. "Tentang anak itu juga," Galuh menoleh lagi, "Kakek sudah tahu semuanya..."
"Galuh mohon, Kek. Se-enggaknya Kakek jangan ikut-ikutan Mama dan Papa kayak gitu..!" Potong Galuh menautkan alisnya.
Kakek Galuh menarik pancingnya, menggulungnya dan langsung meletakannya di sampingnya. Kakek Galuh beranjak berdiri dari duduknya. "Ikut Kakek!" Tegas Kakek Galuh sebelum melangkah pergi, berjalan mendahului Galuh.
Galuh tidak menolak dan langsung berjalan mengikuti kakeknya. Kakeknya mengajak Galuh ke suatu tempat yang berada tidak jauh dari Vila milik kakeknya. Vila yang biasa dipakai kakeknya untuk beristirahat atau sekedar ingin berlibur sendirian dari kepengatan kota Jakarta.
Vila ini tidak sebesar vila yang dihadiahkan untuk Galuh. Vila ini juga bisa dibilang sebagai rumah pribadi kakeknya atau tempat persembunyian kakek Galuh saat beliau tidak ingin diganggu oleh apapun dan siapapun. Hanya Galuh dan Mamanya yang mengetahui vila pribadi kakeknya di sini. Mama Galuh adalah anak tunggal. Kakek Galuh adalah anak dari seorang yang pernah berpengaruh di negeri ini. Soedibyo, nama kakek Galuh itu cukup terkenal di negara ini.
Kakek Galuh berhenti di satu gundukan rumput hijau yang memiliki nisan di atasnya. Galuh baru mengetahui kalau di belakang vila kakeknya yang terlihat seperti taman, ada sebuah pemakaman yang tersembunyi di sini.
Kakek Galuh duduk di samping pemakaman itu, lalu beliau mengusap nama yang tertulis di nisan itu. Galuh masih berdiri meneliti nama yang terukir di nisan.
"Galih Mahesta
Bin Hatto
Lahir, 1978
Wafat, 1995"
1995? Jadi dia meninggal di tahun saat Galuh lahir?
"Galih, dia seorang pemuda yang begitu tampan, cerdas dan berwibawa. Saat usia delapan tahun, keluarganya mengalami tragedi yang merebut nyawa mereka. Galih menjadi yatim piatu dan sebatang kara, karena ayahnya adalah sahabat kakek, kakek mengangkatnya sebagai anak. Kakek bangga sekali padanya karena tumbuh menjadi pemuda yang begitu mengagumkan." Jelas Kakek Galuh yang nada suaranya terdengar getir. Galuh kemudian ikut duduk berjongkok di samping kakeknya. Kakek Galuh menoleh melihat Galuh lalu tersenyum dengan menahan sesuatu yang memilukan. "Kesalahan dia adalah karena dia sudah menjalin hubungan cinta dengan Mamamu yang seharusnya menjadi adiknya." Kakek Galuh melanjutkan ceritanya dan kemudian menatap kembali pada batu nisan.
Entah apa yang dirasakan Galuh, dadanya mulai merasakan sesak yang entah dari mana datangnya. Dia seperti tidak sanggup untuk mendengarkan lagi cerita dari kakeknya.
"Kakek bersikeras melarang hubungan mereka berdua. Dan lalu Mamamu dan dia melarikan diri. Mereka menikah diam-diam. Kakek sangat marah dan malu saat itu. Kakek benar-benar kecewa..! Kedua anak yang harusnya bisa membanggakan kakek, tapi malah mencoreng wajah kakek..!" Kakek Galuh memberi jeda sebelum melanjutkan lagi ceritanya. "Tapi Kakek sudah melakukan kesalahan besar saat memisahkan paksa mereka. Galih bunuh diri, dan Mama kamu saat itu sedang mengandung kamu.."
Deg!
Mata Galuh berkaca-kaca seakan dia sudah mengetahui apa yang akan dikatakan kakeknya selanjutnya. "Galih.., dia Papa kandung kamu..," begitu lirih saat kakek Galuh mengucapkan kalimat yang menjadi rahasia terbesarnya.
Tubuh Galuh gemetar. Dia terduduk ke tanah tidak kuasa menahan tubuhnya. "Kakek menikahkan Mamamu dengan orang kepercayaan kakek yang sekarang menjadi Papamu. Tapi kakek baru mengetahui, itulah kesalahan terbesar kakek yang sebenarnya."
Galuh menundukan kepalanya melihat tanah dengan tangan yang mengepal kuat. "Galih tidak meninggal bunuh diri, tapi dia meninggal dibunuh." Galuh semakin kuat mengepalkan tangannya. Gemetar. Dadanya teriris pedih. Tenggorokannya tercekat mendengar semua itu. Menyakitkan. Menyesakan. Otot-otot di wajah dan lehernya terlihat menonjol menahan emosinya.
Kakek Galuh kemudian langsung menggenggam tangan Galuh yang mengepal gemetar. "Maafin Kakek..," Galuh menatap sedih dan kecewa pada Kakeknya. "Bantu Kakek mengungkap pembunuh Papa kandung kamu. Bantu Kakek menjaga Mamamu karena dia sudah banyak terluka dan menelan air mata selama ini.."
"Kakek sudah tahu siapa yang membunuh Papa..?" Tanya Galuh menahan gemetar.
"Surya.."
Deg!
"Orang yang selama ini menjadi Papa kamu.. Kakek sedang mengumpulkan bukti untuk itu. Surya sudah menguasai semua perusahaan, dia sangat berpengaruh. Kita harus bertindak hati-hati menghadapinya. Turuti kata-kata Mama kamu, jangan sampai posisi kamu tergeser oleh anak kandungnya.."
Galuh langsung meninju tanah dengan tangannya kuat. "Kakek bahkan juga sudah mengetahui kalau dia sudah memiliki anak sebelum menikahi Mama!" Galuh berteriak marah. "Kenapa Kek?! Kenapa?!!" Kenapa harus rahasia sebesar ini yang disembunyikan kakeknya?! Kenapa kenyataan yang sebenarnya lebih beribu-ribu menyakitkan dari apa yang dia ketahui selama ini. "Bilang ini gak benar Kek... Bilang kalau bukan orang yang selama ini Galuh panggil Papa, dia bukan pembunuh Papa kandung Galuh..," Kakek Galuh mengusap-ngusap punggung Galuh yang gemetar menahan isakan.
Kenapa harus kenyataan yang sekejam ini yang harus dia dengar? Bagaimanapun orang itu sudah menjadi Papanya selama hampir 18 tahun. Mengetahui bahwa dia memiliki anak lain, sudah cukup menyakitinya selama ini. Mengetahui bahwa dia bukanlah Papa kandungnya ternyata lebih menyakitkan walaupun selama ini Galuh terkadang suka memikirkan hal itu. Dan mengetahui dialah yang membunuh Papa kandungnya, membuat Galuh ingin berteriak keras, ingin menangis hebat, ingin menghancurkan apapun, dan ingin membunuh orang itu.
"Maafin, Kakek.."
—
—
Galuh langsung kembali ke Jakarta sementara kakeknya masih memilih tinggal di vila pribadinya. Galuh berusaha sekuat mungkin untuk tetap bersikap tenang, dan dia juga harus berhati-hati untuk setiap langkah yang dia ambil.
Galuh sudah memutuskan sesuatu. Galuh tidak datang ke rumahnya, tapi Galuh memutar setir mobilnya menuju panti untuk menemui Yuri.
Yuri baru saja pulang dari kerja saat Galuh sampai di depan panti. Yuri menghentikan langkahnya memasuki panti ketika melihat mobil Galuh. Senyuman langsung terulas dari wajah Yuri.
Galuh langsung ke luar dari dalam mobilnya dan menghampiri Yuri yang berdiri menunggunya. Senyum Yuri memudar terganti kerutan di keningnya saat melihat ekspresi Galuh yang tak biasa. Terlihat jelas bahwa Galuh memiliki masalah yang sulit saat ini. Sedikit menyedihkan, dan itu tidak dapat ditutupi dari sorot matanya. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh Yuri akan melihat Galuh dalam keadaan seperti itu.
"Kamu baik-baik aja?" Tanya Yuri dengan nada khawatir.
Galuh menarik ujung bibirnya mencoba memberikan senyum. Kemudian tanpa menjawab pertanyaan Yuri, Galuh langsung menarik tubuh Yuri ke dalam pelukannya. Yuri mengerjapkan matanya, tersentak kaget. "Aku merindukan kamu..," bisik Galuh pelan.
"Kita baru dua hari gak ketemu.." Komentar Yuri dan membiarkan Galuh memeluknya. Galuh diam tidak membalas komentar Yuri. "Galuh, apa ada sesuatu?" Tanya Yuri kemudian menyadari pasti ada sesuatu yang terjadi pada Galuh. Yuri melingkarkan tangannya kemudian di pinggang Galuh, membalas pelukannya.
Galuh hanya mengangguk-nganggukan kepalanya dan semakin erat mendekap tubuh Yuri. Yuri juga kemudian diam, tidak bertanya lagi karena dia tahu tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari Galuh.
"Mau berjalan-jalan denganku?" Yuri bertanya menawarkan usulannya setelah cukup lama mereka berpelukan. Galuh melepas pelukannya. "Di dekat sini ada taman.., kita bisa berjalan kaki ke sana untuk mencari angin segar.."
—
—
"Apa ini bisa disebut taman?" Galuh meneliti sekitarnya.
Yuri menghela nafasnya, sedikit kesal dengan Galuh yang masih akan selalu menjadi 'Galuh' tidak peduli seperti apapun suasana hatinya. Malas menanggapi komentar Galuh, Yuri langsung duduk di salah satu bangku.
Galuh ikut duduk di sebelah Yuri dengan masih meneliti sekitarnya. Kemudian dia menoleh melihat Yuri. "Apa kamu selalu duduk di bangku ini?" Yuri menautkan alisnya, tidak mengerti. "Hari itu juga kamu duduk di bangku ini." Galuh tersenyum.
"Kamu pernah datang ke sini?"
"Pernah sekali, saat mengikuti orang yang keluar dari rumahku, menangis hampir dua jam lamanya di halte bus, dan kemudian meruskan kegiatan menangisnya di sini." Ucap Galuh masih dengan tak melepas senyumnya.
Mata yuri membulat lebar. "Kamu ngikutin aku hari itu?"
Galuh mengerjap dan langsung mengecup bibir Yuri karena tak kuasa melihat Yuri yang begitu manis karena rona merah di wajahnya menahan malu. Yuri diam, Galuh yang tiba-tiba menciumnya membuat tubuhnya terasa kaku sulit untuk digerakan. "Berhenti bersikap menggemaskan kayak gitu!" Galuh berdesis dan menjauhkan kepalanya dari Yuri.
Yuri menghela nafasnya lega saat dia tersadar saat wajah Galuh sudah menjauh darinya. Yuri menoleh melihat Galuh yang tatapannya kosong melihat ke atas langit. Bahkan dia masih terlihat sangat mengagumkan dengan kening yang mengerut menyimpan masalahnya.
Perlahan, Yuri menyentuh tangan Galuh dan menautkan jari-jari tangannya pada jari-jari tangan Galuh. Galuh menoleh, mengerjapkan matanya ketika Yuri memberikan senyum yang begitu menenangkannya.
"Kamu tahu, sedetik saat aku datang untuk menemui kamu. Aku masih berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal." Tangan Galuh yang satunya lagi menyentuh sisi wajah Yuri. "Tapi saat melihat kamu, aku hanya ingin memeluk kamu."
"Aku juga cinta sama kamu." Ucap Yuri menatap Galuh. Galuh menaikan kedua alisnya. "Waktu itu kamu pernah bertanya, apakah aku mencintai kamu?" Yuri tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Saat itu aku mengatakan, kalau aku akan menjawabnya ketika kita bertemu lagi.. Aku juga jatuh cinta sama kamu.., itu jawabanku. Nggak apa-apa.. Saat kamu sudah gak bisa bertemu aku lagi, nggak perlu memikirkan apapun tentang aku. Gak akan ada yang berubah saat kamu menghilang nanti. Cinta yang kamu berikan untuk aku, sudah lebih dari cukup. Aku terlalu serakah kalau berpikir untuk memiliki kamu juga."
Galuh tersenyum lirih, jari tangannya mengusap pipi Yuri. Perlahan Galuh mendekatkan wajahnya pada wajah Yuri. Tangan Yuri yang menggenggam tangannya, dibawanya untuk melingkari pinggangnya. Yuri tersenyum seolah mempersilahkan untuk Galuh untuk menciumnya, benar-benar memberikannya ciuman. Bukan hanya sekedar kecupan.
Hidung mereka bersentuhan. Mata mereka saling bertatapan sendu, "Kalau nanti aku menghilang, dan aku sudah gak bisa datang untuk bertemu dengan kamu.., berjanjilah kamu jangan pernah menangis lagi.."
Yuri mengangguk pelan, memejamkan matanya sehingga membuat air matanya yang tertahan menjadi terjatuh. Sebelum Galuh menyatukan bibir mereka, Yuri sudah terlebih dahulu mengulum bibir Galuh. Bibir mereka saling bersatu, saling mengulum dengan gerakan perlahan dan lembut.
—
—
Mereka berjalan bergandengan tangan saat kembali ke panti. Entah rasa apa yang mengganjal dan memberatkan dada mereka. Satu perasaan yang mengisyaratkan bahwa mereka mungkin saja tidak akan bertemu lagi.
"Masuklah.." Ucap Galuh saat mereka sudah berada di depan panti. Genggaman tangan mereka belum juga ada yang berniat untuk melepasnya. Yuri berpikir, andai malam ini Galuh membawanya pergi ke suatu tempat, atau mengajaknya untuk melarikan diri, Yuri pasti tidak akan menolaknya.
"Mama kandungku mencari aku, dan ingin aku tinggal bersamanya." Yuri memutuskan memberi tahu tentang ini, agar Galuh tidak begitu mengkhawatirkannya lagi.
Galuh tersenyum lega mendengarnya. "Benarkah? Itu bagus..! Jangan menolaknya, paling nggak sampai kamu cukup dewasa dan bisa bertemu Papa kamu lagi."
Yuri mengangguk dengan mengulum senyumannya. "Iya, karena itu kamu jangan mengkhwatirkan aku.."
Galuh menghelas nafasnya, lega dan lalu mengecup kening Yuri untuk beberapa detik. "Masuklah.. Di sini dingin." Galuh mengusap sekali kepala Yuri.
Yuri mengangguk dan dengan perlahan mereka melepaskan genggaman tangan mereka. Satu persatu jari-jari mereka mulai terlepas sampai terakhir jari telunjuk mereka menjadi yang terkahir menyentuh. "I love you" Galuh hanya mengerakan bibirnya tanpa suara.
"I love you too.." Balas Yuri yang juga hanya menggerakan bibirnya tanpa bersuara. Yuri langsung berbalik melangkahkan kakinya berjalan memasuki panti. Tapi baru dua langkah kakinya, Yuri langsung membalikan tubuhnya lagi saat mendengar sesuatu.
Mata Yuri membelalak lebar. Yuri histeris nyaris berteriak saat melihat tubuh Galuh sudah tergeletak di tanah dengan kepala yang penuh darah. Dua orang dengan pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup memegang sebuah balok yang digunakan untuk memukul kepala Galuh.
"Galuuhhh!!!" Teriakan Yuri hanya tertahan di tenggorokannya saat dengan cepat dari belakangnya ada seorang lagi yang membungkam mulutnya dengan obat bius.
"Galuuuh..," rintih Yuri lagi dalam hatinya memanggil nama Galuh, sebelum akhirnya Yuri tidak sadarkan diri.