It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Makasih ya Bub, sudah menemani pagi kakak yg dingin dengan cerita ini #pelukabub
Lanjuuuut lagi ya^^/, jangan pacaran mulu! Klo diajak ML jangn mau!! *suapinlontong
Perawat sekolah sedang menekankan sekantong batu es ke pergelangan kakiku saat aku duduk diatas kasur putih di ruang kesehatan.
Vincent berdiri di depan jendela. Rasanya agak dejavu, hanya saja terakhir kali aku disini nggak ada Taylor Raven yang menemaniku. Dia berdiri persis disudut yang berlawanan dengan Vincent. Mereka berdua baru saja bertengkar memperebutkan yang mana diantara mereka yang akan membantuku masuk ke UKS, sebelum mereka kemudian menarik tanganku dan membawaku kedalam.
“Kayaknya Cuma terkilir,” kata perawat setelah memeriksa lukaku. “Biar kubebat nanti dengan gips, untung saja kakimu nggak patah”
Aku menghela nafas lega. Tadinya aku yakin sekali kalau aku lebih dari sekedar membuat kakiku terkilir saat menghantam tanah, tapi tadi itu keadaannya sangat menegangkan sehingga membuat tubuhku terasa sangat berat. Rasanya masih sakit juga.
Tiba-tiba pintu Uks terkuak lebar dan Olive langsung berlari masuk kedalam.
“OH MY GOD SCOTTY!!! KAU BAIK BAIK SAJA??”
Dia langsung memelukku dengan erat.
“Aku nggak percaya dengan apa yang terjadi tadi, aku sudah berada di kelas dan kuharap aku ada disana tadi!”
Tepat saat dia memelukku, Olive menyadari Taylor juga berada didalam ruangan yang sama. Dia kemudian berdiri dari kasur dan menubruknya.
“Apa yang kau lakukan disini?? Sadar nggak sih apa yang sudah ayahmu perbuat?! Dia bisa membunuh Scotty!!”
Kuangkat tanganku untuk menghentikannya. “Olive, nggak apa-apa kok. Taylor tadi juga mencoba untuk menolongku. Ini bukan salahnya”
Taylor tampak sangat gugup, seperti dia satu-satunya benda yang nggak cocok berada didalam ruangan ini. Dia menunduk saat kemudian bicara.
“Aku mencoba untuk menghentikannya, OK?? Bukan aku yang ingin menyakiti Scotty... atau Vincent...”
Mendengar namanya disebut, suara Vincent langsung terdengar dari sudut ruangan.
“Taylor, sudahlah. Bukan kau yang harus bertanggung jawab atas aksi ayahmu. God, aku lebih tahu kasus ini daripada yang lain...”
Dia memalingkan wajahnya keluar jendela saat bicara, jelas sekali nggak mau melihat Taylor dengan langsung. Ini pertama kalinya mereka berdua nggak ingin saling membunuh satu sama lain. Rasanya sangat aneh dan padahal aura permusuhan diantara mereka berdua itu tampak sangat jelas.
Tapi, kini mereka berdua didalam ruangan yang sama. Kau tahu, tanpa membunuh satu sama lain atau apapun itu. Itu bukannya berlebihan, tapi itu adalah awal.
Beberapa detik setelah Vincent bersuara, pintu UKS terbuka dan seorang guru sejarah yang samar-samar kukenal muncul dari pintu.
“Hey guys, pada ngapain nih?”
Dia benar benar datang di waktu dan tempat yang salah, dimana sekarang disini sedang ada drama yang terjadi. Kami semua langsung menoleh padanya sambil setengah tersenyum. Susah untuk berpura-pura sehat saat tadinya kau dicekik sampai mati di lapangan.
“Um, bukannya mencemaskan kalian... tapi aku membawa polisi kemari... Taylor, Ayahmu sudah diamankan untuk beberapa alasan. Kau ingin bertemu dengannya atau...?”
“Aku nggak mau” gumam Taylor disela-sela nafasnya. Perawat mengangguk-angguk mendengar jawabannya.
“OK, itu bisa dimengerti,” balas si guru pirang agak sedikit berlebihan. “Tapi kami tetap butuh keterangan saksi dari kalian berdua saat sudah siap. Mereka sedang bicara pada Alexis Mae sekarang, tapi aku akan datang lagi dan memberi tahu saat mereka sudah selesai.”
Kami mengangguk patuh dan si guru mengangkat jempolnya pada kami sebelum kemudian pergi meninggalkan ruangan.
“Ya Tuhan...” gumam Vincent saat dia kembali melihat keluar jendela.
Aku benar benar ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia dulu sangat mengasihiku saat dia berpikir aku sedang dalam bahaya dan sekarang rasanya sangat berbeda. Bahkan tadi saat membopohku ke UKS, dia memegangku dengan penuh kelembutan.
Tapi setelah semuanya selesai, dia mundur. Aku nggak tau apa itu karena kehadiran Taylor atau murni karena keterkejutannya terhadap semuanya, tapi dia nggak pernah melihat mataku sekalipun semenjak saat kami memasuki ruangan.
“OK anak-anak...” kata Perawat sambil menepukkan tangannya. “Mungkin sebaiknya kalian segera pergi ke kelas, kalian nggak bisa tetap disini”
Olive menoleh padaku dan kemudian meraih tanganku. “Scotty apa kau baik baik saja kalau aku pergi ke kelas sekarang? Kau baik baik saja kan?”
“Yeah, aku baik baik saja” jawabku jujur, meremas jarinya. “Akan ku SMS kau saat urusanku dan polisi sudah selesai, OK?”
“Ya, kau me-SMS-ku! Nanti aku akan datang lagi”
Dia kemudian dengan kesalnya meninggalkan ruangan, mencium pipiku dulu sebelum pergi. Kemudian Taylor juga menghela nafas.
“Dengar, aku harus pergi. Kau dan semuanya baik baik saja kan?”
Aku mengangguk kecil. “Aku baik baik saja kok.” Aku berhenti sebentar. “Kau sendiri?”
Vincent berpaling dari jendela saat aku memanggil nama musuhnya. Wajahnya sangat tak terbaca dan membuatku merasa gugup.
“Aku baik baik saja,” Balas Taylor bergumam. “Bahkan aku seharusnya nggak di sekolah sekarang, aku akan memberikan keterangan dulu dan kemudian pergi dari sini”
Dengan itu, dia kemudian berjalan melewati perawat (yang mulai nggak sabar melihat banyaknya kata-kata kotor yang terlontarkan di kantornya) dan keluar dari pintu. Aku nggak sempat bertanya kemana dia akan pergi setelah bicara pada polisi ataupun bertanya apa dia berniat untuk menemui ayahnya. Sepertinya itulah masalah Taylor sekarang, dan aku bukannya juga nggak punya cukup banyak masalahku sendiri yang harus kuselesaikan.
“Huft,.. terimakasih Ya Tuhan sekarang sudah sedikit tenang disini” kata perawat saat Taylor sudah pergi. “Sebaiknya aku ambilkan dulu gips untuk pergelangan kakimu, Scotty”. Ada ruang terpisah yang berisi alat alat medis di belakang ruangan ini dan dia sedang berjalan ke arah sana.
Setelah dia menghilang ke ruang peralatan, akhinya hanya tersisa aku dan vincent. Dia masih berdiri didepan jendela tapi sekarang sedang melihatku.
“Aku sekarang bisa mengerti kenapa si Taylor itu sangat kacau sekarang,” katanya, mengacak-acak rambutnya sendiri. “Leherku masih sakit dari cekikan ayahnya, jadi aku bisa membayangkan gimana rasanya sakit yang kau rasa sekarang...”
Kuletakkan tanganku di leher, menggerakkannya diatas memar yang membentuk di tenggorokanku. “Yeah.. rasanya sakit”
“Ternyata kau juga bisa meninju Specs” kata Vincent sedikit tersenyum. “Aku nggak tahu kau bisa meninju”
Kubuka telapak tanganku yang masih sakit karena tinjuan itu. “Oh God, aku nggak pernah meninju siapapun seumur hidupku! Aku bahkan nggak tahu aku tahu bagaimana cara meninju seseorang. Tapi saat aku melihatnya mencekikmu.. aku takut...”
Vincent mendekatiku beberapa langkah dan jantungku mulai berpacu. Mungkin dia sama sekali nggak menjauhiku,.. mungkin ini akan menjadi awal yang baru bagi kami...
Dia kemudian meletakkan tangannya diwajahku.
“Hari ini aku sangat ketakutan Scotty...”
Kuletakkan tanganku diatas tangannya. Kami saling menatap satu sama lain. Aku yakin kalau dia tadinya akan menunduk dan menciumku, jadi kuangkat kepalaku. Setiap saraf di tubuhku berdenyut dengan kencang. Aku hanya ingin merasakan kulit Vincent diatas kulitku, bibirrnya mencium bibirku.
Dia bergerak ke arah mulutku.... dan akhirnya, dia malah mencium pipiku lembut.
“Aku harus pergi....” bisiknya di telingaku. “Maafkan aku, aku akan bicara padamu nanti...”
Dalam sekejap, dia menghilang.
Aku duduk diruangan yang kosong, merasa tersesat dan kebingungan, menyentuh pipiku sendiri dengan menyedihkannya untuk bisa tetap merasakan kehangatan seorang Vincent di tubuhku.
--
Sisa hari berjalan seperti biasa. Aku bicara pada polisi dan kemudian menulis sebuah kesaksian diatas kertas. Aku dijemput oleh Ibu yang langsung menangis saat melihat memar-memar di leherku. Aku sudah menceritakan semuanya dengan Olive hingga sampai kedetail-detailnya sampai hari ini benar benar merasa sangat capek.
Dan kemudian aku menutup mataku, dan jatuh kedalam tidur yang sangat melegakan didalam hidupku.
--
Besoknya aku nggak sekolah. Aku berniat untuk nggak sekolah selama sisa minggunya. Olive menawarkanku untuk membawakan semua tugas tugas dan catatan untukku jadi aku masih bisa belajar di rumah. Aku Cuma ingin untuk bersembunyi di dalam kamarku sampai liburan Paskah dimulai. Dan sampai saat itu, mungkin aku nggak akan pernah keluar dari rumah.
Saat itu sudah sangat sore saat Ibu mencuatkan kepalanya didepan pintu kamarku.
“Scotty.... ada yang mencarimu...”
Aku sedang tiduran di kasurku, membaca komik sementara kakiku yang diperban kuletakkan diatas sebuah bantal.
“Nggak harus minta izin Bu,.. bawa saja Olive kemari..”
Wajah Ibu tampak gugup, seperti anak kucing yang sedang penasaran.
“Bukan Olive, sayang... tapi seorang anak muda.. eh.. tapi yang ini anak muda yang ganteng”
Aku langsung menjatuhkan komik, kaget. Wajahku pucat seketika.
“A... APA?!”
Mata Ibu berkilat senang. “Dia sangat sopan.. dan sangat tinggi.. dan menghormatiku juga... otot-ototnya sangat terbentuk yah?”
“IBU!!!”
“Akan kusuruh dia untuk kemari.... tapi jangan lupa kalau yang ini itu anak muda yang tampan jadi aku nggak mau ada hal hal aneh yang terjadi disini... AKU AKAN MENGUPING DARI BAWAH. KITA PUNYA DINDING YANG TIPIS.”
“IBUUUUUUUUUUUUUU!!!”
Dia meninggalkan kamar dan membuatku merasa malu. Beberapa detik kemudian, Vincent muncul di ambang pintuku.
“Hey Specs, bagaimana kabarmu?”
Situasinya sangat aneh. Vincent muncul di kamarku dan bicara seperti seekor ikan berkaki yang berjalan keluar dari air. Dan disinilah dia.
“Hi... apa yang kau lakukan disini?” gumamku malu malu. “Kupikir kau nggak tahu dimana rumahku...”
Vincent tertawa. “Well, aku sudah cukup sering mengantarmu pulang kerumah” Dia kemudian mengedarkan pandangannya ke seisi kamarku yang berisi banyak hal hal konyol yang memiliki banyak kenangan di setiap sudutnya. “Tepat seperti yang kubayangkan”
Aku tiba-tiba sadar.Kulihat kamarku yang berantakan. Aku nggak menebarkan celanaku dilantai kan?
Vincent melirikku yang sedang melihat sekitar dengan gugup dan mengacak-acak rambutku pelan. Kemudian menarik sebuah kursi dari meja belajarku dan duduk di sampingku.
“Jadi.... Ibumu orang yang baik.”
Aku mengerang. “Dia itu sangat memalukan!!”
Vincent tersenyum kecil. “Aku nggak akan keberatan kalau dia adalah ibuku.”
Kemudian ada jeda kecil. Tangan kami saling bertemu diujung kasur, tapi sangat takut untuk bersentuhan. Aku sama sekali nggak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dia membuatku kebingungan setengah mati.
“Scotty, maaf aku aku pergi duluan kemarin.” Kata Vincent akhirnya. “Sulit bagiku untuk mencerna semuanya...”
Aku nggak mengatakan apapun. Aku benar benar nggak tahu apa yang bisa kukatakan meskipun aku mencobanya.
Vincent kemudian kembali berbicara, tangannya menghimpit ujung tanganku tapi nggak lebih dari itu.
“Saat kita bertengkar... kupikir aku akan kehilanganmu... rasanya seperti aku ditampar oleh emosi...”
“Oh,” gumamku. “Ini juga nggak mudah untukku Vincent,”
“Aku tahu,” balas Vincent pean. “Dan kau tahu betapa aku menyayangimu, sial.. aku nggak sanggup membayangkan kalau terjadi apa-apa padamu...”
“Lalu apa masalahnya?” Tanyaku tiba-tiba. “Kau masih mencintaiku... dan kau tahu betapa aku mencintaimu... ayo kita mulai lagi...”
Dalam sekejap, kuraih tangannya. Dia nggak menariknya, tapi tangannya nggak menggenggamku. Tangannya terasa sangat lemah dan tak bernyawa.
“Nggak semudah itu,” dia menghela nafas. “Semua ini, sangat membuatku terluka dan kecewa... aku selalu peduli padamu Scotty, tapi mungkin kita seharusnya kembali ke saat awal sebelum masing masing dari kita terluka. Kau tahu, saling nggak punya perasaan atau...”
Jantungku terasa jatuh seketika ke perut.
“Nggak punya perasaan?!” Pekikku terkejut. “Apa kau bisa mendengarkan kata hatimu?? Ini nggak terdengar seperti seorang Vincent... kau sedang bicara DENGANKU, Vincent!! Aku bukan orang lain dan ini bukan hanya sekedar cinta monyet...”
Wajahnya dingin dan datar.
“Ayolah Scotty, aku akan mendaftar ke Universitar musim panas ini... kau pikir kita punya masa depan bersama? Serius?”
“Kita akan akan menemukan solusinya...” kataku tenang. “Katamu kita akan istirahat bersama selama setahun... aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu...”
“Jangan katakan itu,” kata Vincent, menarik tangannya dariku. “Kau sebenarnya nggak percaya kan? Berhenti membuatnya semakin susah daripada yang semestinya... kita cuman remaja, kita masih punya waktu yang menunggu kita didepan. Semakin cepat kita menerima ini semua, semakin mudah kita bisa melupakannya.”
Dia mencoba untuk terdengar sangat objektif dan tegas, tapi sedikit suaranya yang bergetar malah menyampaikan perasaannya yang sebenarnya. Merasa nggak terima aku lalu meraih lengannya, melingkarkan jemariku di bisepnya.
“Vincent,... kau nggak seriuskan? Aku tau pertahananmu sudah kembali dan kau hanya mencoba untuk melindungi dirimu... dan baiklah, aku tahu aku sudah membuat kesalahan bodoh. Tapi aku nggak sama seperti Ibu dan Ayahmu. Aku nggak akan pernah meninggalkanmu. Aku nggak akan pernah menyakitimu lagi.”
Aku bisa melihat matanya berkaca kaca, tapi dia mengedipkan matanya beberapa kali sehingga semua air mata itu bisa disamarkan.
“Aku ingin kau menerimanya, Scotty.. ayolah.. inilah hidup. Bukan dongeng. Mungkin dulu aku lupa kalau ini adalah hidup bukan dongeng... dan sebenarnya aku suka kau membuatku merasa seperti itu... ayo kita dewasa dalam hal ini. Menghentikan perasaan kita. Seperti kataku, nggak punya perasaan”
Mulutku terbuka dan tertutup seperti ikan emas yang mencuat di permukaan kolam. Aku nggak percaya yang baru saja Vincent katakan padaku. Malah, aku menolak untuk percaya kalau inilah perasaannya yang sebenarnya.
“Jadi kau nggak percaya kalau sebenarnya hubungan kita ini nyata?” tanyaku. “Semua kegembiraan yang pernah kita punya, dan setiap waktu yang kita habiskan besama... semua cinta yang kita punya... kau nggak percaya kalau semua itu nyata??”
“Aku nggak mengatakan itu,” gumam Vincent, meletakkan tangannya di dahi. “Aku Cuma mengatakan kalau hidup itu bukanlah dongeng. Dengar, kau akan selalu menjadi Specs kecilku... kau tahu kau akan selalu menjadi Specs kecilku... tapi mungkin ini saatnya bagi kita berdua untuk melangkah meski kita punya banyak kenangan untuk diingat.”
Pikiranku terguncang. Seperti ada seseorang yang baru saja menghantam pintu dengan keras dan membuat seisi ruangan bergoncang.
“Ini tentang Taylor kan?” kataku pasrah. “Kau masih nggak bisa memaafkanku.”
“Bukan Taylor...” jawab Vincent tegas. “Maksudku.. sedikit... tapi cuman....semuanya...”
Aku ingin bangkit dari kasurku, tapi kakiku sangat sakit. Malah, aku mendorong tubuhku kedepan mencoba untuk membuat badanku sejajar dengan Vincent.
“Kau takut, jadi kau menyerah. Begitukan? Jangan jadi pecundang!”
Vincent bangkit dari kursi.
“Aku bukan pecundang!! Banyak hal yang harus kulakukan sekarang, aku nggak bisa terus terusan memikirkanmu. Showcasenya kurang dari seminggu lagi dan aku harus fokus pada itu... bukan dengan drama ini...”
“Drama apa Vincent?? Satu satunya yang membuat masalah itu cuman kau! Aku mencintaimu!!”
Saat itu juga Ibu memutuskan untuk mengetuk pintu, dan mendorongnya sedikit dengna paksa saat dia mengintip kedalam.
“Anak anak, kalian baik baik saja? Mau sesuatu? Minum mungkin?”
Vincent kemudian berjalan menuju pintu. “Nggak, makasih Mrs. Williams, aku baru saja mau pergi. Senang bertemu denganmu”
Dia kemudian berpamitan denganku dan berjalan melewati ibuku yang kebingungan.
Kemudian aku mendengar langkah kakikunya menuruni tangga dan menutup pintu keluar meninggalkan rumahku.
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
Entahlah mesti comment apa. Semuanya diluar perkiraan.
Gak sabar untuk cerita selanjutnya ╮(╯▽╰)╭
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
Chapter 49: Decisions And Dreams
Seminggu berlalu setelah kejadian itu dan liburan Paskah pun tiba.
Aku nggak mendengar kabar apapun dari Vincent dan aku memutuskan untuk tak mengambil langkah apapun lagi. Jika dia terlalu takut untuk berjuang demi kami, biarkan saja. Aku nggak bisa terus terusan menjadi satu-satunya orang yang memperjuangkan hubungan ini. Paling tidak itu yang selalu kukatakan pada diriku sendiri. Butuh banyak tenaga bagiku untuk nggak mengangkat telfon dan menelfonnya kapanpun aku bisa.
Jadi, untuk mengalihkan perhatian, aku lalu menyibukkan diri dengan tugas yang sudah menggunung yang dibawakan Olive untukku. Kufokuskan diriku pada ujian yang akan datang dan tugas-tugas lainnya, nggak menyisakan sedikitpun tempat bagi Vincent di dalam benakku.
Aku juga ditugaskan untuk menemui polisi dan menulis lebih banyak pernyataan kesaksian melawan Alan Raven dan serangannya saat mabuk. Aku dipaksa oleh seorang polisi wanita dan juga ibuku untuk meminta pertanggung jawaban atas aksinya dan menuntutnya ke pengadilan, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk nggak melakukannya. Dia adalah Ayah Taylor dan aku nggak bertanggung jawab untuk memasukkannya kedalam penjara. Selain itu, sekolah juga sudah meminta pertanggung jawaban atas aksi mabuknya dan juga pengerusakkan pada properti sekolah. Mungkin dia akan didenda cukup besar dan juga harus melakukan pelayanan masyarakat atau yang lainnya.
Mungkin itu saja nggak cukup sebagai hukumannya, tapi aku nggak menyesali keputusanku. Aku nggak mau berdiri di tengah-tengah ruang pengadilan dan memulai mengacaukan semuanya lagi. Aku hanya ingin mencoba dan melupakan keadaan ini. Semuanya.
Tapi melupakan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Aku merasa seperti tersesat ditengah tengah hutan dan nggak tau bagaimana caranya agar bisa keluar dari sana.
--
GameGuy milik Olive berbunyi bunyi saat Munchy Monsternya mengalahkan Rattymunch ku di pertarungan virtual.
“Hey, Rattymunch mu itu lebih tinggi tiga level dari punyaku,” katanya, menoleh padaku. “Kau sengaja ya?”
Aku menghela nafas dan mematikan konsolku. “Maaf Ol, mungkin aku sedang nggak semangat untukk main game hari ini”
Aku duduk di atas kasurku sementara dia berbaring diatas lantai. Dia menelungkup di lantai dan kedua kakinya naik turun tanpa henti.
“Scotty, sudah seminggu loh... kenapa kau nggak bicara saja padanya?”
Kita tahu pasti siapa ‘dia’ yang sedang dibicarakan ini.
“Sudah! Aku sudah menceritakannya padamu... dia nggak mau melanjutkannya lagi. Jadi kupikir mungkin hubungan kami sudah berakhir.”
“God, kalian berdua benar-benar keras kepala,” gumam Olive. “Dia Cuma takut, Scotty. Tapi dia jelas sekali masih ingin pacaran denganmu.. selesaikan saja! Pergi ke apartemennya, dan paksa dia, dan jangan kau kembali pulang kerumahmu sebelum dia menjawab ‘ya’!!”
“Yeah, itu kedengarannya nggak seperti mata-mata kan yah..” kataku menyindirnya.
“Kau tahu apa maksudku!”
Aku pindah dari atas kasur dan berbaring disamping Olive di lantai. Untung saja kakiku sudah hampir sepenuhnya sembuh jadi aku bisa mulai menekan dan berjalan lagi tanpa merasakan sakit.
“Kenapa dia nggak mau berjuang untukku, Ol?” Kutanya sahabatku itu dengan suara pelan. “Kupikir dia akan menelfonku, atau mengabariku... kupikir aku benar-benar berharga baginya...”
Olive meraih tanganku dan membelainya lembut. “Dia mungkin masih mengabarimu. Kau tahu dia itu orang yang rumit, Scotty. Beri dia waktu sedikit lagi.”
“Aku muak memberinya waktu!” Pekikku kesal. “Berapa lama lagi yang dia perlukan? Dia seharusnya sadar kalau nggak bisa hidup tanpaku sekarang dan... entahlah, mungkin dia bisa melakukan sesuatu untuk itu!!”
“Mungkin dia juga memikirkan hal yang sama,” balas Olive. “Kubilang kau, kau harus pergi ke apartemennya dan nyatakan cintamu yang tak pernah mati itu padanya!!”
“Well, itu nggak akan pernah terjadi. Aku nggak akan mengejarnya lagi.”
Kulipat tanganku dan bersandar di kasur.
Aku punya perasaan kalau aku harus menunggu. Meski Vincent jelas sekali nggak akan mau untuk mengambil tindakan selanjutnya.
Mungkin inilah akhir dari segalanya. Jika aku duduk dan memikirkannya semakin lama, aku akan jadi galau sendiri. Aku harus tetap mengalihkan perhatianku.
“Ayo kita main Munchy Monster lagi,.. kali ini aku akan serius”
--
Sejam kemudian, ponselku berbunyi, bunyi sebuah pesan masuk. Dengan cepat kubuka kotak masukku secepat suara masuknya tadi.
Dari Alexis. Kubacakan keras keras pada Olive.
“Hey Scotty kecil, gimana kabarmu?
Apa Vincent sudah bicara padamu? Dia nggak mau menceritakan apa yang sudah terjadi antara kalian berdua. Tapi aku sudah bilang dia itu benar benar PECUNDANG dan dia harus menyelesaikan masalahnya itu.
Ngomong-ngomong, showcase band kami hari Kamis ini,.. kau datang?? Kupikir kau harus datang.
Latihannya berjalan dengan lancar, aku yakin pertunjukannya bakalan keren banget. Dan semoga saja kami berhasil mendapatkan kontrak rekaman itu... semua juri-jurinya sangat terkenal!!
Benar-benar malam yang besar untukku dan Vincent. Kau harus datang. Meski dia itu pecundang.
Sampai jumpa ya?
Al x”
Kubacakan pesan itu sampai habis dan menoleh pada Olive melihat reaksinya. Matanya berkilat kilat dibalik kacamatanya.
“Scotty, ini kesempatan besarmu!! Kau harus datang!!”
“Kesempatan besar untuk apa?” tanyaku penasaran.
“Tentu saja untuk mendapatkan Vincent kembali!” pekiknya. “Kau harus melihatnya tampil!”
Kukeluarkan akun emailku dan melempar ponselku diatas meja. “Dia bahkan nggak mau aku datang. Alexis itu Cuma ikut campur...”
“Dia nggak ikut campur, dia mencoba untuk membantumu,” jawab Olive. “Dia yang paling banyak menghabiskan waktunya dengan Vincent saat ini dan dia pasti tahu betapa Vincent membutuhkanmu.”
Aku harus mengakui, senang rasanya tahu kalau akhirnya Alexis mendukungku. Tapi tetap saja itu nggak cukup.
“Kalau dia membutuhkanku terus kenapa dia nggak minta sendiri padaku..”
Olive berhenti sejenak.
“Mungkin dia nggak tahu caranya seperti apa,” jawabnya.
Aku melompat ke kasurku, menyembunyikan wajahku di bantal dan mengerang kesal. Aku nggak tahu apa yang harus dilakukan. Tentu saja aku ingin menghadiri acara pertunjukannya Vincent. Aku ingin melihatnya tampil dan mendukungnya disana lebih dari siapapun. Tapi aku nggak mau tetap mengejarnya jika dia nggak ingin aku melakukan itu. Bagaimana jika semua ini tetap berlanjut dan dia mengacuhkanku? Aku nggak bisa lagi menerima penolakan.
Olive kemudian juga melompat ke atas kasur dan membalikkanku.
“Ayolahh berhenti jadi anak kecil... aku akan menemanimu!!”
Dia tolehkan kepalaku padanya.
“Entahlah,...” gumamku sambil merajuk. “Aku n ggak tahu apa itu ide yang bagus...”
“Kenapa nggak?” Pekik Olive. “Hal buruk apa sih yang bakal terjadi?”
Aku nggak menjawab, tapi aku masih ingat sekali saat dimana aku dan Vincent, saat dimana dia waktu itu meremehkan hubungan kami dengan mudahnya. Rasanya sangat sakit. Semuanya teringat dan bermain lagi dan lagi di dalam kepalaku. Kubayangkan diriku datang ke acaranya dan dia memperlakukanku selayaknya teman temannya yang lain. Itulah hal terburuk yang akan terjadi.
Aku nggak akan pergi.
--
Setelah Olive pulang, aku memutuskan untuk mengirim balasan pada Alexis.
“Hi Alexis,
Terimakasih sudah mengabariku, aku menghargainya.
Kuharap acaramu berjalan dengan lancar, tapi sepertinya aku nggak bisa pergi. Rasanya sangat berat saat ini.
Aku minta maaf. Selamat bersenang-senang, kalian pasti berhasil.
Scotty x”
Setelah hampir lima menit kemudian, dia membalas pesanku.
“ASTAGA SPECS!!!!
DATANG SAJALAH.”
Aku mulai merasa kesal dengan kebiasaan memerintahnya. Bukannya aku kaget, dia hampir selalu suka memerintah semua orang... tapi meskipun demikian, disituasi yang satu ini dia nggak punya hak untuk memerintahku. Kemudian aku mengirimkan balasan lagi padanya.
“Alexis, kau nggak bisa memaksaku.
Kupikir hubunganku dan Vincent sudah berakhir... rasanya nggak benar bagiku untuk datang.
Seperti yang kukatakan tadi, aku minta maaf. Ceritakan saja padaku nanti gimana acarany.”
Kubaca ulang pesanku sebelum mengirimnya. “Kupikir hubunganku dan Vincent sudah berakhir”. Itu adalah kali pertamanya aku benar benar mengatakan kata-kata yang sangat sentimentil itu dan melihatnya saja membuatku merasa tersengat. Membayangkan hidup tanpa Vincent itu sangat sulit untuk kupahami. Aku sudah jatuh cinta sangat dalam padanya selama beberapa bulan kebelakang. Kenapa semuanya bisa jadi sangat salah sekarang?
Ponselku berunyi lagi.
“Hubungan kalian belum benar benar berakhir Specs.
Ayolah. Aku mengundang semua orang. Aku bahkan juga mengundang si bodoh Taylor itu (aku agak merasa kasihan padanya).
Kami butuh kau disana.
Vincent butuh kau disana.
Aku tahu dia nggak memperlihatkan itu, tapi dia memang seperti itu, OK?
Kalau kau memang benar benar peduli padanya, kau harus datang. Jangan kecewakan aku Speccy kecil sialan.
Ax”
Setelah kubaca pesan itu, kumatikan ponselku dan melemparnya ke meja disampingku.
Memangnya siapa Alexis sampai bisa bisanya menyuruhku melakukan ini dan itu?? Dan kenapa aku harus membuktikan apapun pada Vincent?? Selama ini yang kulakukan adalah menunjukkan betapa peduli aku padanya, tapi dialah satu-satunya yang mempersulit semuanya.
Aku memutuskan untuk membalas pesan itu. Aku nggak perlu menjelaskan apapun lagi pada Alexis.
Kalau kehadiranku memang sangat penting, maka Vincentlah yang harus mengajakku untuk datang ke acara itu sendiri. Aku tahu banyak hal yang membuatnya bersikap dingin waktu itu, tapi aku nggak mau menghibur diriku sendiri dengan mengatakan masih ada kesempatan untuk menyelamatkan hubungan kami. Dia sudah membuatnya sejelas mungkin kalau dia ingin mengakhiri semuanya dan jika aku datang ke acara itu aku hanya akan memperpanjang masalah.
Kumatikan lampu dan mencari posisi yang nyaman di atas kasur. Banyak yang kupikirkan di kepala dan itu membuatku sulit untuk tidur, tapi rasanya agak aneh merasa senang bisa dikelilingi oleh kegelapan dimana nggak ada seoran pun yang bisa menemukanku.
Jika saja aku harus tetap bersembunyi disini, didalam kegelapan selamanya.
--
Dini hari dan aku sedang berdiri di lapangan sekolah. Vincent duduk dibawah pohon kesukannya, memainkan gitarnya pelan. Dia tampak sangat tampan dengan wajahnya yang bermandikan cahaya bulan. Melodi yang dia mainkan terdengar sangat melankolis dan benar benar indah.
“Aku suka lagu ini,” kataku sambil berjalan mendekatinya.
Dia nggak mengindahkanku. Dia tetap bermain tanpa mengatakan apapun padaku.
“Hey Vincent! Kubilang aku suka lagu ini!”
Dia nggak menoleh padaku. Melodinya tetap bermain disekelilingku, hampir terdengar mengejekku.
“Vincent, apa kau mendengarkanku?!”
Tiba-tiba ponselku bergetar. Dengan panik aku langsung mengeluarkannya dari kantongku. “Halo?”
“KENAPA KAU NGGAK DATANG KE SHOWCASENYA SPECCY SIALAN??”
Itu Alexis dan dia mencemoohku.
“Tapi acaranya kan belum dimulai sebelum Kamis!” pekikku.
Olive langsung mencuat dari belakang pohon. Dia memakai gaun yang waktu itu dia pakai dimalam Battle Of The Bands dan memegang sebuah mikrofon.
“Dan selanjutnya...” teriaknya nyaring. “Scotty Williams dan Night Birds!!”
Dia mendorongku dan aku melangkah dengan gugup ke atas panggung, sebuah cahaya menyorotku tepat di wajah. Kututupi mataku dan mencoba menghalangi cahaya yang menyilaukan mataku.
“Aku nggak tahu lagu apapun!” pekikku. “Aku bukan penyanyi!”
Penonton mulai meneriakiku dengan kesal. Kuedarkan pandanganku ke sepanjang barisan penonton depan dan aku bisa melihat Taylor Raven dan Ayahnya mencemoohku. Patricia dan teman-temannya duduk disamping mereka, mereka semua membicarakanku dan menghinaku.
Aku lalu menoleh pada Vincent yang berdiri disampingku diatas panggung.
“Aku nggak bisa melakukan ini,” desisku padanya. “Aku nggak seharusnya berdiri disini!!”
Dia menunduk sambil memainkan jari-jarinya di gitar elektrik yang ia bawa. Aku tetap memanggil namanya, tapi nggak ada apapun yang terjadi.
Lalu, Taylor tiba-tiba berdiri di kursi paling dan meneriakiku.
“Ayo Specs! Kau pasti bisa!”
Kepala Vincent langsung berdiri tegak dan membentak Taylor.
“OI!! Jangan panggil dia Specs! Itu panggilannya UNTUKKU... Aku satu satunya orang yang boleh memakai itu!!”
Aku tersentuh karena respon tiba-tibanya. Dan itu membuatku ingin bernyanyi dengan kerasnya. Kuraih mikrofon didepanku, siap untuk bernyanyi bersama band yang bermain dibelakang kami.
Begitu kubuka mulutku, aku baru sadar kalau aku ternyata telanjang bulat. Semua orang menertawakanku. Aku nggak tahu kemana perginya bajuku.
“Tolong aku,” pekikku pada Vincent. “Apa yang harus kulakukan??”
Vincent berhenti memainkan gitarnya dan melepaskan bajunya juga. Dia dengan beraninya mempertontonkan tubuhnya kepada semua penonton.
“Mereka nggak bisa menyakiti kita kalau kita bersama.”
“Tapi kita nggak bersama lagi,” pekikku. “Diatas panggung ini hanya ada aku. Dan kau bahkan nggak mau bicara padaku!”
Dia menghampiriku, badan telanjangnya bersinar karena disorot oleh lampu pentas.
“Hanya karena aku nggak bicara, bukan berarti aku nggak peduli lagi padamu.” Dia meraih tanganku dan membuat semua penonton tertegun. “Scotty, aku masih mencintaimu”
Dia dengan lembut menarik tubuhku, kemudian memelukku. Dada kami saling bersentuhan satu sama lain.
“Orang orang selalu kejam padaku,” bisiknya di telingaku. “Kadang aku harus menyueki mereka, atau aku nggak pernah bisa memainkan gitarku.”
“Kupikir kau nggak pernah terkena demam panggung,” balasku.
“Aku mungkin keren, tapi aku masih takut,” kata Vincent lantang. “Tapi aku nggak takut saat kau berada didekatku...”
Dia membelai rambut ikalku yang gelap dan kemudian mencium bibirku.
--
Tiba tiba aku terbangun.
Aku sedang memeluk bantalku dengan erat dan aku merasa sangat kepanasan dan kesal. Mimpiku terasa sangat nyata sampai aku bisa bersumpah kalau tadinya aku sedang memeluk Vincent.
Melihat sekeliling kamarku, hal pertama kali yang kulihat pagi harinya adalah CD Demo milik Alexis dan Vincent yang tergeletak di ujung mejaku, disamping kasur. Aku terdorong untuk mendengarkannya, meskipun aku belum sepenuhnya bangun.
Kumuat lagu-lagu itu di laptopku ditengah tengah rasa kantuk, dan memutarnya, membiarkan suara Vincent mengisi setiap sudut ruanganku.
Kuraih ponselku dan kemudian mengirimi Olive sebuah pesan.
“Hey Ol. Aku berubah pikiran. Kau masih mau pergi ke acaranya besok malam kan? X”
Ayo update lagi!!
Sampe bagian paling romantis itu!! Hih #colongayamnyaabub
Wow Scotty, lanjutkan nak!
“Kau yakin jalannya benar?” Tanyaku pada Olive. Dia sedang mengikuti GPS di ponselnya saat kami sedang berjalan dari stasiun kereta.
“Yeah, mungkin saja” jawabnya, menunjuk-nunjuk ke layar ponselnya. Dia memutuskan untuk tampak sedikit lebih keren dan rock untuk malam ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun dia nggak memakai kacamatanya. Dia tampak sangat keren dengan atasan hitam dan jeans dengan rambut blondenya yang disisir kebelakang. Sayang sekali dia nggak bisa melihat wajahnya sendiri saat ini.
“Kan sudah kubilang pakai kacamatamu...”
“Aku nggak butuh kacamata! Aku masih bisa melihat dengan jelas, makasih!!”
Aku memutar bola mata tapi masih percaya saat dia bilang kami sudah dijalan yang benar. Kami nggak bilang ke Alexis kalau kami datang, kami dapat informasi tentang acara ini dari sebuah halaman di Facebook.
Aku merasa sangat gugup saat kami merjalan. Sebagian dari diriku ingin kembali dan menaiki kereta pulang kerumah. Aku nggak tahu apa yang bisa diharapkan dari malam ini, atau bagaimana reaksi Vincent saat tahu kalau aku datang. Yang aku tahu cuman aku nggak bisa menyerah begitu saja. Belum. Tanpa usaha. Mungkin karena mimpi yang kualami itu, atau mungkin karena kekesalan Olive dan Alexis yang terus menerus memarahiku... tapi aku akhirnya sadar kalau aku harus datang. Apapun yang terjadi nanti, setidaknya aku tahu kalau aku sudah melakukan sesuatu untuk memperbaiki semuanya.
Setelah sepuluh menit berjalan kami akhirnya sampai di venuenya, sebuah club rock kecil bernama “The Rabbit’s Roar”. Dari luar tampak sangat nggak meyakinkan, tapi disamping bangunannya ditempeli poster-poster dari setiap band yang tampil didalam. Aku mengenal beberapa nama band dalam pengetahuan musikku yang terbatus, jadi pastilah tempat ini benar benar terkenal.
Olive meraih tasnya dan mengeluarkan tiket yang sudah kami cetak dirumah.
“OK, kau siap Scotty?”
Jantungku berdetak dengan gilanya dan mulutku terasa kering sekering gurun. Didalam venue, aku bisa mendengar bunyi musik yang sangat keras dan suara orang orang yang saling berteriak, bicara, dan juga bernyanyi. Tempat ini adalah tempat yang paling menakutkan untuk dibayangkan. Dan Vincent ada di suatu tempat disini. Kenapa juga dia harus sadar kalau aku ada diantara kerumunan orang orang ini? Mungkin inilah kesalahan terbesar dalam hidupku.
“Aku nggak bisa melakukan ini,” jawabku.
Olive menggenggam tanganku dan menarikku ke kegardu tiket.
“Kau BISA. Ayo”
Aku nggak melawan tarikannya. Aku mengikutinya ke gardu, menarik nafas dalam dalam dan menyerahkan tiketku untuk diberikan stempel.
--
Didalam, cahaya redup dan banyak sekali orang orang di setiap sudut. Aku mengenal beberapa wajah dari Havensdale, tapi ada banyak juga wajah yang pasti berasal dari sekolah lain. Rekaman musik beerbunyi dengan nyaringnya di sekeliling ruangan bersamaan dengan panitia-panitia yang mengatur panggung kompetisi.
Aku harus berteriak agar Olive bisa mendengarku. “Disini sangat ramai! Pasti Vincent nggak tahu kalau aku datang...”
“Dia akan tahu!” Teriak Olive balik. “Dia mungkin sedang dibelakang panggung sekarang, tapi dia akan keluar kok kalau sudah selesai tampilnya”
Kuharap dia benar karena sekarang aku merasa seperti titik kecil dalam lautan orang orang.
Kami menyelip-nyelip diantara orang orang sampai akhirnya kita menemukan sebuah tempat di belakang ruangan. Disana aku tiba-tiba mengenali beberapa wajah. Seorang gadis berambut merah dengan dua orang, yang satu tinggi dan pirang dan yang satunya pendek dan berambut gelap. Dungeon Adventure Club!
“Hey guys!” teriakku. “Kalian ngapain kesini?”
Mandy melihatku dan kemudian menghampiriku dengan senyuman lebar di wajahnya. Rambut keritingnya yang biasanya sulit diatur sekarang sudah diikat ponytail kebelakang dan dia memakai gaun hitam yang menggoda.
“Scotty, kau datang!! Kami nggak tahu kalau kau datang!”
Fritz dan Neil mengikutinya dari belakang, keduanya menyapaku dan Olive dengan anggukan kecil.
“Yeah, aku hampir saja nggak datang,” jawabku jujur. “Aku nggak tahu kalau Vincent dan aku masih pacaran... tapi aku harus datang”
“Apa maksudmu ngak pacaran?” Pekik Fritz. “Kalian berdua itu soulmates kan? Atau ini ada hubungannya dengan foto-foto di koridor?”
“Begitulah....” Pekikku di telinganya. “Kuceritakan nanti saja ya...”
Mandy meraih tanganku, berbicara dengan keras padaku. “Kudengar kau disakiti oleh ayah seseorang?? Apa semuanya baik baik saja?”
Semua teman temanku mengkhawatirkanku, tapi sulit ini bukan waktu dan tempat yang tepat bagiku untuk menjelaskan semuanya pada mereka. Sebenarnya aku kaget kalau Olve nggak menceritakannya pada mereka atas ketidak hadiranku. Kutebak dia nggak tahu kalau betapa aku ingin semua orang tahu atau tidak.
“Aku nggak apa-apa Mandy... ceritanya panjang...”
Olive bergabung dan kemudian memisahkanku dari mereka.
“Kupikir ini bukan jenis malam yang biasanya kalian datangi??”
“Nggak juga sih,” jawab Mandy. “Aku nggak pernah pergi ketempat seperti ini selama hidupku! Tapi kami sangat menyukai band Vincent dan Alexis, kami harus datang!!”
“Ya kami harap mereka menang” Kata Fritz menyetujui, menarik tangan Mandy dan menggenggamnya lembut. Sepertinya mereka berdua masih pacaran dan itu membuatku tersenyum.
“Neil juga sedang naksir pada Alexis,” tambah Mandy, menunjuk teman kami yang pirang dan kurus. Dia tersipu malu dan kemudian protes, tapi suaranya kalah keras dengan keributan didalam tempat ini.
Olive terbahak-bahak. “Oh my God, kau serius?! Cewek seperti itu susah sekali untuk kau atur!!”
“Kupikir dia orangnya nggak begitu,” katanya, membela diri.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. Alexis pasti menyukai tipe-tipe bad boys dan Neil sangat tidak memenuhi tipe itu.
“Ngomong-ngomong.. kalian berdua keren sekali,” kata Mandy padaku dan Olive sambil tersenyum. “Scotty, kau yakin kalau kau itu gay? Karena sekarang aku mungkin sedikit naksir padamu.. kau tampak sangat SEKSI malam ini!!”
Dia tertawa dan membuatku mengedipkan mataku padanya yang langsung membuat Fritz sedikit mengerang kesal. Aku lalu tertawa gugup.
“Oh, um, gosh, makasih Mandy... Kupikir aku biasa nggak punya banyak kesempatan untu berdandan jadi kupikir malam ini aku sebaiknya melakukan itu.” Aku menggunakan kemeja berlengan pendek dengan blazer hitam dan aku menggayakan rambutku yang ikal. Aku masih memakai kacamata, nggak seperti temanku yang manja.
Mandy mengedarkan pandangannya pada orang orang sekitar dan mendorong Alexis. “Bagaimana denganmu Nyonya Sexypants? Mungkin ada beberapa cowok disini yang sedang melirikmu!!”
“Nggak!” Pekik Olive malu malu. Dia mengedip beberapa kali. “Benean? Aku nggak bisa melihat wajah siapapun sama sekali..”
Aku tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalaku. “Dasar cewek. Aku cari minum dulu, kalian mau apa?”
“Orange Juice!”
Karena ini adalah malamnya para siswa dan semua orang berada dibawah umur, jadi barnya hanya menyediakan minuman ringan dan mengurangi harganya. Tapi, ini nggak menghentikan oorang-orang untuk menikmati acara. Aku menyelip diantara kerumunan orang orang agar bisa dilihat oleh penjaga bar. Setelah aku memesan, aku kemudian mengenali beberapa orang yang tampak familiar yang duduk di bar disampingku.
“Hey Scottyboy... jadi kau datang ya akhirnya?”
Taylor Raven memakai baju kasualnya seperti biasa, dan sebotol beer yang nggak beralkohol sedang menggantung diantara bibirnya.
“Taylor... aku nggak tahu kau datang malam ini...”
Dia mengangkat bahunya.
“Bukannya aku nggak punya hal lain yang bisa kukerjakan... tapi si cewek Alexis itu sudah mengundangku jadi kupikir aku sebaiknya datang.”
Aku nggak tahu harus mengatakan apa padanya. Rasanya pasti agak aneh baginya untuk datang dan mendukung orang yang sangat dia cemburui. Bukannya karena semua orang yang dia tahu disini sangat membencinya karena satu hal atau yang lainnya. Dia bagai ikan yang mencuat di permukaan kolam. Tapi tetap saja, dia datang mencoba untuk bersahabat setelah semua yang terjadi.
“Bagaimana dengan Ayahmu?” tanyaku.
Taylor mengangkat bahu lagi. “Mungkin baik-baik saja. Dia mabuk lagi dan itulah awalnya.” Dia melingkarkan tangannya di botol birnya. “Aku menyesal untuk apa yang sudah terjadi Scotty”
“Lupakan,”kataku. “Bukan salahmu kok”
Penjaga bar kemudian menyerahkan dua Orang Juice didepanku. Kuambil dan kemudian menoleh pada Taylor.
“Gabung bareng kami yuk”
Taylor menoleh kebelakang kearah teman-temanku. Kemudian dia kembali menoleh ke arah bar.
“Nah, kau benar. Aku sebaiknya disini saja.”
“Ayolah...” Kataku lagi. “Kami ingin kau gabung”
Dia dengan kesal berdiri dari kursinya dan mengikutiku ke belakang ruangan.
Semua teman-temanku melambaikan tangan dan tersenyum padanya, dan dia melambaikan tangan dan tersenyum balik pada mereka.
--
Sejurus kemudian, cahaya mulai redup dan acarapun dimulai. Seorang pria paruh baya yang menggunakan kaus Rolling Stone merjalan ke tengah panggung dan membacakan susunan acara malam ini dan memperkenalkan para juri yang duduk di sebuah tabel terdekat di depan ruangan. Kali ini para juri nggak terdiri dari presenter radio lokal dan jurnalis, tapi tiga orang besar yang sangat berpengaruh dari industri musik.
“Kami sudah mencari band band terbaik para siswa dari seluruh penjuru daerah selatan,” kata si pria baruh baya tadi di depan mikrofonnya. “Dan malam ini kami punya enam pertunjukan yang akan tampil untuk memenangkan hadiah utama, sebuah rekaman kontrak senilai $10000 dengan Rolling-Up Records. Mereka adalah label paling terkenal di London dan akan bekerja dengan pemenang untuk album pertamanya, siap untuk dirilis bersama perusahaan!”
Semua orang berteriak dengan semangat, mendukung siapapun yang mereka dukung sampai rela datang kemari. Aku bertepuk tangan, tapi jantungku berdebar-debar dengan cepat. Aku merasa sangat gugup untuk Vincent dan Alexis. Hadiahnya terdengar sangat menakjubkan, itulah yang mereka inginkan. Aku tahu mereka cukup bagus untuk memenangkannya, tapi kompetisinya akan berjalan dengan ketat. Aku sangat ingin mereka memenangkan itu.
“Untuk penampil pertama,” panggil pembawa acara, “jauh jauh datang dari Brighon, inilah band indie yang terdiri dari tiga orang, RAINING IN SPACE!!!”
“Raining In Space?!” ejek Taylor, menyikutku. “Nama yang konyol!”
Tiga orang laki-laki naik ke atas pentas dan memainkan nada-nada gitarnya.
“The Night Birds jauh lebih bagus dari mereka,” kata Mandy di telingaku. “Vincent dan Alexis pasti menang”
“Aku harap juga begitu,” balasku. “Mereka pantas untuk menang”
Aku terus memikirkan Vincent berdiri di ruang hijau dibelakang panggung. Dia mungkin sedang mengacak-acak rambutnya, berpura-pura untuk nggak gugup saat sebenarnya dia ketakutan. Aku yakin sekali dia nggak tahu aku datang, tapi aku tetap berharap kalau dia akan menampilkan yang terbaik.
“Kau bisa melakukannya,” gumamku pelan lagi dan lagi. “Ayo Vincent, jangan gugup.. kau bisa melakukannya...”
--
The Night Birds berada di urutan penampil keempat. Lama sekali rasanya menunggu mereka tampil dan membuatku nggak bisa menikmati penampilan orang lain.Saat pembawa acara akhirnya memanggil ‘The Night Birds’, semua orang langsung berteriak menyemangati.
“Ayo Vincent!!” Pekik Olive keras. “Dan Alexis!! Kalian bisa melakukannya!!”
“LAKUKAN DENGAN SANGAT BAIK, KALIAN BISA, AKU TAHU ITU!!” Pekik Fritz dengan aksen Jermannya.
Ada suara teriakan lain di ruangan yang berasal dari suara cewek-cewek. Mungkin Vincent Hunter Fan Club masih berdiri dengan kuatnya. Jadi aku sangat senang mereka semua ada disini untuknya.
Tiba-tiba, suara Alexis terdengar di seluruh penjuru ruangan, menggema di setiap dinding.
“BAIK SEMUANYA, APA KALIAN SIAP UNTUK BERPESTA MALAM INI??!!”
Suara gitar elektrik Vincent berbunyi dan tiba-tiba mereka berdua sudah ada di tengah-tengah panggung, memainkan salah satu lagu dari CD Demo mereka.
Saat aku melihat Vincent, aku merasa takjub. Dia tampak sangat sempurna dalam kaus hitam dan jeans, rambut di matanya dan juga semangatnya yang berkobar-kobar lewat semua nada yang dia mainkan.
Aku tahu lagu yang sedang mereka mainkan kata demi kata, dan nggak seperti yang terakhir kali kulihat mereka main, aku kini tahu sejarah dibelakang lirik-liriknya Vincent. Dia tumbuh dilingkungan yang buruk, tapi dia menuangkan rasa sakit yang dia rasakan kedalam sesuatu yang indah. Saat semua orang menggila karena musiknya, aku hampir saja ingin menangis karena rasa bangga yang kini kurasakan.
Alexis juga menakjubkan, benar benar menarik perhatian setiap cowok. Pasti sulit baginya untuk bisa menyesuaikan diri dalam penampilan yang sangat tomboy itu, tapi dia jauh lebih baik dari pemain bass lainnya yang sudah bermain sebelumnya. Energinya sangat meledak ledak dan penampilannya di pentas, membuat para penonton semakin menggila.
Lagu keduanya adalah “Bruises”, lagu kesukaanku. Aku ikut bernyanyi dan sadar kalau orang-orang disekelilingku juga melakukan hal yang sama. The Night Birds sangat membius dan kalau mereka merasa gugup, mereka benar benar nggak menampakkannya.
Dan saat nada terakhir dari lagu kedua berakhir bersamaan dengan teriakan penonton, Vincent meletakkan gitar elektriknya disampingnya. Alexis kemudian meraih microfon dan berbicara pada orang-orang.
“Terimakasih banyak semuanya... kami sangat senang bisa bermain untuk kalian malam ini...”
Aku menoleh pada Olive kebingungan. “Kenapa mereka hanya memainkan dua lagu? Band yang lainnya kan dapat kesempatan untuk menampilkan tiga lagu?”
“Aku nggak tahu,” kata Olive balik. “Ini nggak adil!”
Alexis masih bicara diatas pentas. “Aku akan turun sekarang dan meninggalkan Vincent dengan kalian untuk lagu terakhir. Dia akan memainkan sesuatu yang agak berbeda, tapi aku tau kalian akan menyukainya!!”
Dia kemudian melambakan tangan pada penonton dan turun dari kiri panggung. Pencahayaan berubah dan kemudian hanya tinggal Vincentlah yang berada di tengah-tengah pentas. Dia duduk diatas sebuah bangku sambil memegang sebuah gitar kayu akustik. Dia kemudian berbicara lewat mikrofon didepannya.
“Baiklah semuanya, kuharap kalian nggak akan marah kalau aku memainkan sebuah lagu akustik untuk penutup penampilan kami. Aku menulis beberapa hari yang lalu dan lagu ini sangat berarti bagiku dari lagu lagu yang sudah kutulis sebelumnya, jadi aku harus menampilkannya malam ini. Jika kalau bisa diam dan mendengarkannya, aku akan benar-benar menghargai itu.”
Olive menoleh padaku terkejut. “Scotty, apa yang dia lakukan?”
“A...Aku nggak tahu,” kataku gugup, mulutku terbuka lebar. Aku tiba-tiba merasa sedikit mual. Apa dia menulis lagu tentang hubungan kami yang kandas? Apa aku harus mendengarkan semua rasa sakit dan luka yang dia tulis dalam bentuk musik? Aku nggak tahu apa aku bisa mendengarnya...
Vincent kemudian terus bicara pada penonton.
“Aku menulis lagu ini untuk seseorang yang sangat kucintai. Seseorang yang sudah menghabiskan seluruh waktunya bersamaku” Dia kemudian tertawa kecil. “Kuharap suatu hari nanti cowok itu akan mendengarnya dan tahu bagaimana perasaanku kepadanya.”
Jantungku berhenti berdetak. Waktu tiba tiba terasa berhenti.
Seorang penonton cewek di barisan depan penonton berteriak mencemooh. “Tunggu, kau menulis lagu ini untuk COWOK??!”
Vincent menjawab dengan tenangnya. “Ya. Aku menulis ini untuk cowok. Ada masalah?”
Seisi ruangan langsung bersorak bersemangat. Mungkin sorakan Vincent Hunter Fan Club lah yang paling keras.
“Jadi cowok ini,” Vincent lanjut bicara seolah olah cemoohan tadi nggak pernah terjadi. “dia yang mengenalkanku pada Dolly Parton. Dulu kupikir lagu-lagunya payah, tapi kini lagunya terdengar sangat keren. Dia juga memperlihatkanku kadang kau harus menyelidiki dulu sebelum menuduh. Itulah kenapa aku membuat musik country ini. Lagu ini untuknya,... dia orang terbaik yang pernah kukenal. Dan kuharap aku cukup punya nyali untuk mengundangnya malam ini...”
Aku nggak bisa bernafas. Ini nggak mungkin... kan?
Saat Vincent ingin memainkan gitarnya, Taylor berteriak.
“DIA DISINI VINCENT. SCOTTY DISINI.”
Kepala Vincent langsung mendongak kaget. Dia melirik setiap penonton dengan cepat.
“Ya dia disini, dia disini!” Olive juga ikut-ikutan berteriak. Kemudian semua teman-temanku juga.
“SCOTTY DISINI! SCOTTY DISINI!”
Semua orang didalam tempat ini langsung menoleh padaku... tertawa, gembira dan terkejut. Dengan malunya aku langsung mengangkat tanganku dan meletakkannya di ujung dahiku, hormat ke arah Vincent.
Mata kami bertemu, dan dia dengan memasang senyum terbaiknya di wajahnya seperti orang bodoh.
Dan kemudian dia mulai memainkan lagunya.
---
@Tsu_no_YanYan @muffle
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006