It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
akhirnya kelar jg
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006 @muffle @Tsu_no_YanYan @kentiluh @cansetya_s @putrafebri25 @dheeotherside @viji3_be5t @sully_on @4ndh0 @rone @adilope
sorry update lama, semoga kalian suka. Kalian tahu, pemilik asli cerita ini aslinya selain novelis juga adalah penulis lagu. baru-baru ini dia ikut sebuah eurovision di London. Dan khusus buat chapter ini, dia menulis sendiri lagu ini. Jadi buat kalian yang penasaran dan ingin denger seperti apa sih lagu yang dinyanyikan Vincent untuk Scotty atau lagu yang ditulis Vincent untuk Scotty itu, kalian bisa denger di:
Jangan lupa untuk follow instagram dan juga akun soundcloudnya beck ya : @becky_jerams
much love. abub.
--
Chapter 51 : Reasons
Seisi ruangan menjadi sangat hening sampai sampai kau bisa mendengar bunyi tetesan keringat yang jatuh.
Vincent meletakkan tangan diatas gitarnya, memetiknya dengan pelan dan mengisi setiap sudut ruangan dengan melodi-melodi yang lembut dan manis. Segera saat nada-nada darinya berbunyi, aku bisa merasakan semuanya itu memeluk jiwaku.
Setelah beberapa baris nada, Vincent membuka mulutnya dan mulai bernyanyi. Aku tidak tahu apa dia bisa melihatku dari pentas, tapi dia melihat ke arahku dengan intensnya, semampu yang dia bisa dari atas sana. Kata-kata yang keluar dari mulutnya mengambang dan beterbangan di sekitarku seperti udara dingin di musim semi dan mendadak saja setelah itu aku merasa tak ada orang lain di ruangan ini selain kami berdua.
“They told me I wouldn’t make it
They said that i was bound to fall
Just a no good troublemaker, living on the edge of the law
But you saw something in me
A broken little light
There was nothing I could do to stop the gravity of you
Lord knows I didn’t wanna fight”
Lirik-lirik yang pernah Vincent tulis dan nyanyikan tidak pernah sesimpel, “Maaf, aku mencintaimu”. Itu bukan gayanya. Semua kata-kata yang ia mainkan jauh lebih lembut dari itu... tapi aku masih bisa mengerti semua yang dia coba katakan padaku.
Saat semua orang menjauhinya, aku tak pernah menjauhinya.
Aku tidak pernah dan aku tidak akan menjauhinya.
“All the reasons, gonna write them on the back of my hand
Why I loved you
Why I still do
Why I’m trying the best that I can
Hey, you know that...”
Dia bernyanyi dengan sepenuh jiwanya dan itu membuatku terpukau. Ada sedikit ciri khas suara seorang penyanyi Country darinya yang belum pernah kudenganr. Dan aku tidak bisa percaya bahwa lagu yang sedang dia nyanyikan ini terinspirasi dari sebuah kaset rekaman yang pernah kuperlihatkan padanya.
Seisi klub terasa sangat sunyi sekali. Semua orang menonton dengan nafas yang menggantung, antara melihat penampilan Vincent atau menunggu reaksiku. Aku hampir hampir tidak menyadari kehadiran mereka sama sekali. Aku tersesat dilautan momen momen yang hanya di mengerti aku dan Vincent saat ini.
Semua curahan hati yang pernah kita ceritakan satu sama lain. Menari di atas sofa seperti orang bodoh. Memainkan permainan yang bodoh. Makan malam bersama. Bercinta. Menceritakan masa lalu... dan juga masa depan. Rasanya seperti semua yang pernah kita alami muncul kembali tepat didepan mataku.
Kupikir hubungan kami sudah berakhir. Kupikir semuanya sudah selesai dan kami tidak bisa lagi mengembalikan hubungan kami seperti semula. Tapi sekarang, sang pemilik hatiku sedang mencurahkan isi hatinya didepan keramaian orang-orang yang menontonnya dengan takjub.
Dia masih mencintaiku. Semuanya akan baik baik saja.
“And I don’t know how to tell you sometimes
How to make you understand
You have the power to break me
It hasn’t escaped me
That my heart’s in your palm
Why don’t you save me instead?”
Aku bisa mendengar sebuah ketakutan dari suara Vincent di bagian kedua pertengahan lagu. Saat aku membuat kesalahan bodoh dengan membohonginya, jelas sekali itu benar benar membuatnya kecewa.
Kupikir menyadari kalau orang lain punya kekuatan untuk menghancurkan hatimu itu agak sedikit menakutkan, khususnya kalau kau punya masa lalu yang keras. Sama sekali tidak ada cara untuk menyingkirkan fakta bahwa mencintai seseorang itu menakutkan. Dan membiarkan orang lain untuk masuk dan menjadi spesial bagimu itu lebih jauh dari sekedar menakutkan.
Aku sekarang bisa mengerti semua keheningan yang Vincent buat kepadaku dan tingkah anehnya beberapa minggu yang lalu hanya karena dia sedang mencoba untuk melindungi dirinya. Tapi kini dia perlahan sudah mulai kembali menjadi dirinya.
Semua dinding perlindungan diri yang dia bangun perlahan hancur dan itu sangat indah.
“All of the reasons
I’ll let you write them on the back of my hand...”
Bait terakhir dari dari lagu pun menggema ke langit-langit. Vincent menutup matanya saat menyanyikan lagu itu, dia tampak sangat mencoba untuk berkonsentrasi tadi.
Saat dia membuka matanya lagi, entah kenapa matanya langsung bisa menemukan mataku di tengah-tengah keramaian orang. Entah dia benar-benar bisa melihatku atau tidak didalam kegelapan seperti ini. Air mataku jatuh membasahi pipi dan aku tidak peduli jika ada orang yang melihatnya.
Beberapa saat setelah lagu itu selesai, seisi ruangan mulai heboh.
Seisi ruangan benar benar heboh kemudian. Bersorak, bertepuk tangan dan menyemangati Vincent. Semuanya orang benar-benar terhipnotis tadi. Semua juri panel pun juga bertepuk tangan. Hatiku diisi oleh banyak rasa bangga, cinta dan kebahagiaan waktu itu. Dan semua teman-temanku menepuk-nepuk bahu dan pungguku dan juga dengan semangatnya mengacak-acak rambutku.
Vincent tersenyum diatas pentas. Dia memberikan ucapan terimakasih kecil dan mengangguk sebelum turun.
Suara sorak-sorai menyemangatinya masih terdengar bahkan setelah dia menghilang di balik panggung.
---
“Maaf nak, tapi ruangan ini hanya untuk peserta”
Penjaga pintu belakang panggung merentangkan tangannya untuk menghentikanku masuk ke dalam.
“Aku tahu... tapi aku benar benar harus bertemu dengan Vincent Hunter sekarang. Bisakah kau beritahu dia aku diluar sini mencarinya?” kataku sedikit berteriak agar bisa didengar oleh penjaga tersebut karena band yang sedang bermain membuat suaraku hampir tidak terdengar.
Sebelum penjaga tersebut bisa membalas, Alexis melengokkan kepalanya sedikit dari sela-sela pintu. Saat dia melihatku, dia mulai membentak penjaganya.
“Oi kawan, dia teman kami... biarkan dia masuk, ok??”
Si penjaga kemudian menghela nafas dan membuka pintu. “Baiklah, silahkan masuk.. tapi cepat. Ok?”
Alexis menarik tanganku dan menarikku kedalam. Dia benar-benar tampak seperti anak hiperaktif sekarang.
“Kau datang, Ya Tuhan, Scotty kau benar-benar datang!! Bagaimana pendapatmu tentang penampilan kami? Tidakkah kau menyukai lagunya Vincent? Dia mengerjakan lagu itu selama berhari hari dan aku benar benar ingin kau mendengarnya!! Tadinya itu tidak boleh dimainkan sih didepan para juri, tapi kelihatannya semua orang suka kan? Apa kau menyukainya??”
Alexis mulai terdengar sangat mirip dengan Olive dengan pertanyaannya yang datang beruntun padaku. Sembari dia bicara tangannya di sepanjang koridor di belakang panggung, melewati beberapa ruangan kecil dengan para peserta didalamnya.
“Tentu saja aku suka,” jawabku jujur. “Kalian berdua sangat menakjubkan... dan lagu itu... aku bahkan tidak tahu harus mengatakan ap...”
“Well, sebaiknya kau harus tahu harus mengatakan apa...” balas Alexis. “Karena menurutku inilah waktunya kau dan Vincent akhirnya bisa bicara.”
Dia mendorongku memasuki sebuah ruangan yang terletak tepat di ujung koridor. Dan kemudian dia menutup pintu dengan cekikikan kecil.
Ruangannya sangat sederhana. Dindingnya bercat putih dan ada mesin pendingin kecil di sudutnya. Dan tepat ditengah ruangan ada sebuah sofa hitam. Dan tepat diatas sofa, ada Vincent Hunter yang kucari-cari.
Dia mendongakkan kepala, sedikit terkejut dengan kehadiranku.
“Specs... bagaimana caranya kau bisa masuk kesini?”
Rambutnya basah oleh keringat dari penampilannya tadi dan matanya yang besar dan coklat itu tampak (kalau aku tidak salah) sedikit takut. Dia baru saja menyampaikan isi hatinya padaku lewat sebuah lagu didepan semua orang. Dia pasti ketakutan sekarang.
Sejenak saja aku melihatnya dan aku langsung dikuasai oleh banyak emosi. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri.
Berjalan mendekatinya, kutarik wajahnya dengan kedua tanganku dan kemudia menciumnya dengan lembut. Pada awalnya Vincent memberikan reaksi apapun, mungkin karena dia terkejut. Tapi setelah beberapa saat, aku merasakan tangannya melingkar di punggungku sembari menarikku untuk duduk bersamanya di sofa.
Segera setelah aku duduk tepat diatas pahanya, kulingkarkan lenganku di lehernya lalu mulut kami mulai lupa diri. Tangannya yang melingkar di punggungku kini semakin kuat memelukku, seperti tak satupun jarak yang bisa dikatakan dekat cukup untuknya.
Kemudian kami melepaskan ciuman, dan bernafas dengan gelagapan.
“Apa lagumu itu benar-benar kau yang buat?” tanyaku diantara nafasku yang terengah-engah.
Vincent mengangguk, mata kami saling bertemu.
Kuacak-acak rambutnya dengan tanganku, rasanya lega karena akhirnya aku bisa menyentuhnya lagi.
“Lagunya sangat indah... terimakasih... lagunya benar-benar membuatku terpukau...”
Vincent menempelkan dahinya dengan dahiku.
“Maafkan aku karena sudah mendiamkanmu dan bertingkah buruk padamu.... kupikir malam ini kau tidak akan datang. Saat kudengar semua orang menyebutkan namamu diantara para penonton tadi, yang bisa kulakukan hanya menahan diriku agar tidak turun dari panggung saat itu juga karena takut...”
“Benarkah?” pekikku. “Well, kau berhasil menyembunyikan rasa takutmu..”
“Yeah well, aku sangat berhasil” Gumam Vincent, meremas bahuku dan memelukku lagi. “Seperti.. betapa aku sangat sangat mencintaimu..”
Dia menciumku lagi, kali ini lebih lembut. Aku bisa mencium bau asap dari tubuhnya dan wajahnya.. dia sepertinya baru saja bercukur. Yang ingin kulakukan hanyalah, aku juga ingin membuatnya memiliki bau tubuh yang sama sepertiku. Jadi kurapatkan tubuhku dengan tubuhnya, memeluknya dengan sangat erat.
Di tengah-tengah ciuman, Vincent melepaskan cumbuan kami dan menatapku dalam.
“Astaga Specs... kau tampak sangat menakjubkan malam ini, apa yang kau lakukan sampai bisa jadi setampan ini?”
Pipiku merona.
“Tidak ada! Aku hanya... sedikit berdandan...”
Sebuah kilatan nakal muncul di mata Vincent. “Oh ya? Hmm... kalau begitu aku bisa... hmm.. disini... sekarang...” Dia kemudian mencium tengkuk leherku. Dan membuatku menjerit kecil.
“VINCENT!! Kita tidak bisa melakukannya sekarang!! Orang orang bisa masuk kesini kapan saja!”
“VINCENT!!!”
Kudorong dia sambil tertawa. Dia kemudian menarikku lagi dan mengacak-acak rambutku.
“Aku, aku akan menahan diriku... untuk sekarang...”
Jari-jarinya melingkar-lingkari rambutku untuk beberapa saat sambil melihat tepat ke mataku dengan ekspresi yang aneh. Campuran antara ekspresi lega dan memuja. Mungkin aku juga menatapnya dengan ekspresi yang sama.
“Apa kita..” tanyaku dengan suara yang mulai serius. “apa kita... nyambung lagi?”
Vincent menciumku selembut mungkin.
“Hanya kalau kau mau..?”
Kupeluk dia dan kusembunyikan wajahku di lehernya, berniat untuk tidak akan pernah membiarkan dia pergi lagi.
“Jangan menanyakan hal-hal bodoh seperti itu... tentu saja aku mau...”
Diluar, aku bisa mendengar bunyi bass musik yang menghentak di klub, dan juga beberapa langkah kaki dari peserta lain yang terdengar naik turun di koridor. Semuanya terdengar dengan jelas. Kami masih saling berpelukan dan tetap berciuman diatas sofa sampai band yang sedang tampil menyelesaikan lagunya.
---
Saat Vincent dan aku meninggalkan ruangan belakang panggung, hanya tersisa satu band saja yang belum tampil.
“Aku merasa buruk karena tidak menonton yang lain,” Gumam Vincent saat kami menuruni koridor, saling bergandengan tangan.
“Toh mereka juga tidak menontonmu tadi,” balasku. “Selain itu, yang tadi adalah keadaan terdesak”
Vincent menaikkan sebelah alisnya. “Jadi yang tadi itu ciuman dalam keadaan terdesak ya?”
Aku terbahak. “Well... ya! Tentu saja!”
Kami kemudian melewati pintu dan kembali ke kerumunan orang-orang didalam klub. Ada beberapa murid yang terkejut dan saling berbisik satu sama lain saat melihat kami berjalan melewati mereka sambil bergandengan tangan. Kami jelas sekali sudah membuat kehebohan kecil.
Teman-temanku masih berdiri di belakang ruangan, dan kini Alexis juga bersama mereka. Semuanya langsung mendongak saat mereka melihat kami mendekat.
“Oh My God” Pekik Olive, tatapannya terkunci pada tangan Vincent yang menggandeng tanganku. “Kalian berdua balikan?!”
“Ya.. gitu deh” jawabku sambil menyeringai.
Alexis kemudian melingkarkan tangannya di bahuku dan Vincent. “Aku sangat senang kalian berdua akhirnya baikan!! Astaga.. tadinya aku takut kau tidak bisa memperbaiki hubungan kalian.... selama ini aku belum pernah mengenal orang orang sialan sekeras kepala kalian ini!!”
“Aku setuju denganmu!” Kata Olive. “Maksudku, ayolah.. kalian berdua itu saling mencintai... kupikir tadinya aku harus menghantamkan kepala kalian masing masing dulu!!”
Alexis langsung mencekikku lewat pelukan dengan satu lengannya. Kutepuk-tepuk tangannya dengan hati hati kemudian. “Well, untung saja kami punya teman teman yang bisa membantu kami menemukan titik terang dari masalah kami...”
Vincent memeluk Alexis dan kemudian mencium pipinya. “Al, kau baik-baik saja kan dengan semua ini?”
“Well, HUH!” Pekiknya. “Aku orang yang pertama kami mengajak Scotty untuk datang. Aku hanya ingin kau bahagia Vincent!!!” dia kemudian berhenti sebentar. “apa kau bahagia?”
Vincent lalu tersenyum padanya. “Kau bercanda? Aku lebih dari sekedar bahagia!!
Kami tertawa dan berpelukan. Semuanya akan baik-baik saja. Vincent dan aku punya masa depan lagi untuk bisa bersama. Jangan lupakan teman-teman terbaik yang kupunya di seluruh dunia. Hidupku kemudian tiba-tiba menjadi lebih menarik dari yang pernah kubayangkan sebelumnya.
Waktu itu ditengah-tengah pelukan kami bersama aku tiba-tiba melihat Taylor dari sudut mataku. Dia sedang bersandar di dinding belakang dengan kepala yang menunduk kebawah, anehnya dia tampak seperti.. antara sedih dan juga canggung. Bahkan Mandy, Neil dan Fritz juga ikut bergabung dengan kami, tapi Taylor malah menahan dirinya. Kupikir setelah semua yang terjadi dalam kisah cinta segitiga kami yang gila, dia merasa tidak pantas memiliki tempat diantara aku dan teman-temanku.
Melihatnya berdiri sendirian membuat secuil bagian hatiku terasa sakit. Tanpa berpikir dua kali, ku ajak dia.
“Hey Taylor! Bergabunglah dengan kami!!”
Dia masih tetap bersandar di dinding. “Tidak usah, tidak apa-apa kok..”
Semuanya mulai mengajaknya bergabung, termasuk Vincent.
“Kemari kau bocah kecil... bergabunglah dengan kami..”
Taylor tampak terkejut dengan ajakan Vincent. Dengan ragu-ragu dia berjalan ke arah kami, dan dengan cepat kami langsung memeluknya. Kudengar dia tertawa saat Vincent pura-pura mendorong tubuhnya dan Vincent menepuk bahunya. Masalah yang pernah kami lalui terasa sudah menguap dan menghilang ditengah tengah kegelapan malam.
Mungkin saja masalah kami memang sudah menghilang.
Mungkin kami semua bisa bahagia. Bersama.
Malampun semakin larut, aku terlalu tenggelam dalam perasaan bahagia dan haru hingga aku hampir tidak menyadari kalau lampu akhirnya diredupkan untuk mengumumkan hasil dari perlombaan malam ini. Penonton mulai bertepuk tangan saat pembawa acara malam ini muncul sambil membawa sebuah amplop emas yang berisikan keputusan dari para juri didalamnya.
Alexis dan Vincent saling menggenggam tangan cemas. Aku kemudian juga mengenggam tangan Vincent.
“Baik semuanya, inilah saat yang sudah kalian tunggu-tunggu,” pekik pembawa acara. “Para juri benar benar kesulitan untuk menentukan siapa pemenang dari perlombaan yang fantastik ini... semuanya sudah juara... tapi, tentu saja, hanya ada satu pemenang...”
Aku merasakan jari Vincent gemetaran. Inilah saat-saat penentuan. Hadiahnya adalah masa depan bagi karirnya dan Alexis. Hadiahnya adalah pengubah hidupnya.
“The Night Birds,..” gumamku. “The Night Birds... katakan itu.. aku mohon.. katakan kalau The Night Birds adalah pemenangnya... katakan!!!”
Pembawa acara menggigit bibirnya sebelum kemudian bersuara.
“Dan pemenangnya adalah......”