It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Chapter 41: Forgiveness
Kutelfon Vincent. Langsung voicemail.
Kutelfon Olive. Sama saja.
Kutelfon lagi Vincent. Masih nggak ada jawaban.
Kediaman ini menyiksaku, tapi aku sudah bertekad untuk tetap mencoba. Aku menemukan sebuah meja yang sangat tenang di cafetaria dan duduk sendirian, dan tetap memencet tombol rediall sementara mencoba untuk mengacuhkan semua bisikan dan gosip dari beberapa siswa disekitarku.
Aku nggak tau harus melakukan apa. Awalnya kupikir lebih baik aku pulang kerumah seperti yang Mrs. Patrick sarankan, tapi aku tak bisa meninggalkan sekolah begitu saja tanpa mencoba untuk menyelesaikan masalahku dengan Olive. Dan tentu saja, aku harus berbicara dengan Vincent. Hanya saja aku tak tahu kemana dia pergi atau apa dia masih berada disekolah atau tidak.
Aku mulai larut dalam keputusasaan saat ponselku bergetar menandakan sebuah pesan baru saja masuk kedalam Inboxku. Kubuka dengan cepat dan menemukan pesan itu ternyata dari Olive.
‘Scotty berhenti menelfonku, aku sedang dikelas. Aku nggak mau bicara denganmu.’
Hatiku hancur. Bisa kubilang kata-kata tajamnya itu adalah bentuk dari amarahnya. Tapi setidaknya dia bicara denganku, yang mana itu artinya hanya tinggal selangkah lagi dari Vincent. Aku langsung membalas pesannya.
‘Olive.... Please jangan jadi seperti ini. Maukah kau bertemu denganku dan membiarkanku menjelaskannya? I love you. x’
Kupencet tombol kirim, berdo’a sebisaku kalau dia akan mengasihaniku dan memberikanku kesempatan untuk mendapatkan maafnya. Rasanya sangat lama sekali sampai dia merespon panggilanku, tapi tiba tiba sebuah getaran kembali muncul di ponselku.
‘OK. Kelas terakhirku selesai jam 3 sore. Kutunggu kau di lapangan tennis’
Rasanya sangat memilukan membaca pesan dari Olive yang sangat singkat dan datar. Aku tau aku pasti sudah menyakitinya terlalu dalam karena dia tak pernah berbicara seperti ini padaku selama kami berteman.
Tapi setidaknya dia setuju untuk bicara denganku. Aku punya kesempatan untuk memperbaikinya lagi.
--
Aku masih punya beberapa waktu luang selama menunggu Olive dan aku ingin pergi pergi kemanapun selain dari sekolah. Aku berakhir dengan berjalan terseok seok di bangku taman umum yang letaknya berada di luar tempat parkir siswa.
Kutelfon lagi Vincent kali ini dan kutinggalkan sebuah pesan suara.
“Vincent. . . Maafkan aku. Aku benar benar minta maaf. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa padamu saat ini. . . Please, bicaralah padaku. Aku ingin kau tahu apa yang sebenarnya terjadi. . . kau tak tahu cerita yang sebenarnya. Nggak ada yang berubah bagiku. Aku masih mencintaimu dan aku ingin bersamamu. Please, jangan jauhi aku. . . aku akan selalu menunggumu sampai kau siap untuk bicara denganku. OK? I love you so much . . .”
Aku tak tau lagi apa yang bisa kukatakan, jadi kuakhiri panggilan itu.
Lalu aku meringkuk di atas bangku taman tersebut dan menutup mataku beberapa saat. Mungkin saat aku membuka mata lagi, hidupku akan kembali menjadi normal.
--
Olive berjalan dengan cepat padaku saat aku duduk diatas rumput menunggunya. Dia membawa banyak buku di tangannya dan matanya enggan sekali untuk menatapku secara langsung.
“Olly,” panggilku pelan. “Kau datang,.. ayo duduk denganku.”
Dia memeluk erat buku-bukunya didada. “Mungkin lebih baik aku berdiri saja”
Aku berharap semoga dia bisa sedikit tenang, tapi ternyata sedikitpun tidak. Kutatap dia sambil bermohon.
“Ayolah Ol, jangan seperti ini padaku... kita bersahabat...”
“Nggak!” Katanya cepat. “Kita jelas sekali TIDAK bersahabat kan?”
Air mataku menggenang. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan itu?
“Tentu saja kita bersahabat....”
“Trus bagaimana mungkin kau menyembunyikan hal ini dariku?” teriaknya. “Aku sudah memikirkannya sepanjang hari dan aku nggak bisa menjauhkannya dari kepalaku! Selama ini aku sudah melindungimu dari Taylor... setiap saat aku akan selalu ada untukmu dan memberikanmu nasihat tentangnya... dan kau ternyata pernah pacaran dengannya?!!! Menurutmu bagaimana perasaanku, Scotty? Aku bahkan nggak kenal lagi denganmu yang sekarang”
Aku berdiri dari dudukku dan meraih tangannya.
“Ini aku! Aku masih Scotty yang sama! Dan aku ingin mengatakannya padamu, tapi aku nggak bisa... aku tadinya mencoba untuk melindungimu...”
Dia melerai tangannya menjauh dariku. “Melindungiku? Atau melindungi dirimu sendiri??”
“Nggak.. nggak kayak gitu...” Kataku, suaraku gemetaran.
“Kau BENCI Taylor Raven... Semuanya nggak masuk akal!!” Lanjut Olive. “Rasanya seperti semua yang kutahu hanya kebohongan belaka. Semua obrolan yang pernah kita lakukan tentangnya dan kenapa dia tetap melecehkanmu... selama ini kau hanya menertawakan usahaku!”
“Nggak!” Pekikku. “Tentu saja nggak! Kau salah paham... aku hanya ingin menceritakanmu semuanya... tapi aku takut...”
“Bagaimana dengan Vincent?” Tanya Olive menuduh. “Kupikir kau mencintainya! Apa itu juga bohong? Foto itu diambil waktu malam Battle Of The Bands, jadi pada dasarnya kau menyelingkuhinya!”
Ini nggak bisa dibiarkan lagi. Apa itu yang semua orang pikirkan tentang apa yang sudah terjadi? Apa itu juga yang Vincent pikirkan?
“Aku nggak akan pernah menyelingkuhi Vincent!” Jawabku membela diri. “Foto itu nggak seperti yang terlihat...”
“Tapi disana tertulis kau pernah tidur dengannya!” Sahut Olive cepat. “Atau maksudmu semuanya nggak benar?”
Aku mengernyit. “Nggak, itu benar.... tapi kejadiannya bukan baru baru ini... tapi sudah bertahun tahun yang lalu...”
Olive terperanjat. “BERTAHUN TAHUN YANG LALU? Maksudmu semua ini sudah terjadi BERTAHUN TAHUN dan kau sekalipun nggak pernah mengatakannya padaku?!”
Aku jadi bingung sendiri harus menjawab seperti apa. “Bukan... Aku... well.. ceritanya rumit...”
Aku bisa melihat ada air mata yang teronggok di pelupuk mata birunya dibelakang kacamata tebal itu.
“Selama ini aku sudah cemas kalau kau akan mendapatkan pacar dan kemudian melupakanku... tapi kupikir kau sudah melupakanku, sejak dulu..”
Aku mencoba untuk meraih tangannya lagi. “Olive, jangan konyol! Ini nggak mengubah apapun tentang kita!!”
Dia melangkah mundur dariku hingga aku tak bisa menyentuhnya.
“Semuanya sudah berubah Scotty.”
Dengan itu, dia menjauh. Aku hanya bisa menatapnya pergi, merasakan hatiku yang hancur sedikit demi sedikit seiring langkah yang diambilnya.
--
Butuh beberapa waktu mengumpulkan tenaga untuk bisa bergerak lagi.Faktanya, aku berbaring di tengah-tengah lapangan itu selama beberapa menit, membiarkan bebatuan kerikil menghantamku dengan beratnya yang nggak seberapa.
Pacarku membenciku. Sahabatku membenciku. Mantan pacarku sangat bernafsu untuk menghancurkan hidupku dengan cara apapun. Dan kemudian aku. Aku bahkan nggak mengenali diriku lagi atau, kenapa aku bisa melakukan semua yang telah kulakukan?
Aku harus kembali menjadi orang baik baik yang kukenal dulu. Aku harus berhenti menjadi penakut yang selalu mengatakan kebohongan. Kutatap langit yang ada diatasku, yang untuk sesaat terlihat bernuansa biru daripada abu-abu suram yang sudah menggantung di Havensdale sejak lama. Satu satunya cara untuk pergi adalah dengan berdiri. Dan hanya tinggal menunggi waktu bagi iblis yang ada didalam tubuhku untuk mengambil kembali hidupku.
Aku berdiri dan menggerakkan tubuhku ke arah yang benar. Aku harus pergi ke Apartemen Vincent dan menemukannya. Aku harus menceritakan semua kenyataannya. Mungkin dia nggak ingin berbicara denganku sekarang, tapi aku harus mencoba.
Aku berjalalan keluar dari lapangan, pikiranku terfokus pada Vincent. Tapi saat aku melewati lapangan tennis, sesuatu membuatku berhenti. Aku mendengar sesuatu yang aneh. Rasanya seperti sebuah tangisan.
Kuikuti suara itu diatas rerumputan dan memanduku menuju gudang olahraga yang berada diseberang lapangan. Pintunya terbuka sedikit dan aku dengan pelan membukanya.
Taylor Raven meringkuk diatas lantai, terjepit diantara dua kotak peralatan olahraga. Meski gelap, aku masih bisa melihatnya. Dia menyembunyikan kepalanya didalam tangan dan dengan jelas menghapus air matanya dengan paksa, bahkan badannya pun gemetaran.
Dia mendongak saat aku membuka pintu. Saat dia melihatku, tangisannya jadi semakin kencang.
Seharusnya aku senang melihat Taylor seperti ini. Dia sudah menyiksaku selama bertahun tahun dan mencetak foto-foto itu untuk seisi sekolah benar benar nggak bisa dimaafkan. Faktanya, terakhir kali aku berada disini adalah saat Taylor mengunciku tanpa perasaan setelah menghajarku habis-habisan. Ini adalah karma dan seharusnya aku tertawa tepat didepan wajahnya dan membanting pintu didepannya. Aku bohong jika mengatakan kalau sebagian kecil dariku nggak ingin melakukan eksekusi seperti itu. Mungkin aku ingin eksekusi yang lebih parah.
Tapi itu hanya sebagian kecil. Sisanya aku merasa sedih. Aku tak pernah menginginkan dia akan berakhir seperti ini. Untuk kami. Aku sangat yakin dia juga nggak ingin jadi seperti ini.
Saat kulihat dia menangis diatas lantai, aku sadar bahwa didalam kepalanya, sebenarnya dia hanyalah anak kecil yang takut akan segala hal. Dia adalah cowok yang pernah kucintai dulu, dengan saus pizza yang berserakan di wajahnya. Dia adalah cowok yang dulu selalu menciumku secara berlebihan saat kita sendirian bersama.
Saat kubuka pintu gudang olahraga sedikit lebih lebar, aku berjalan mendekatinya. Dia mendongak padaku, nafasnya terdengar sangat berat diantara tangisannya.
“Aku.. Maafkan aku Scotty... Aku sudah sangat kejam padamu... Aku nggak tau kenapa aku melakukan semua ini... Aku minta maaf... Aku benar benar menyesal....”
Dia menjadi histeris saat dia menangis dengan gamblangnya didepanku.
Aku sudah membuat keputusan. Semua ini harus berakhir.
Semua kesakitan, semua luka, semua amarah.
Harus berakhir.
Perlahan, aku duduk disamping Taylor dan meraih tangannya. Kumasukkan jemariku disela sela jarinya dengan erat.
“Aku sudah memaafkanmu Taylor. Semuanya akan baik-baik saja”
Awalnya, dia tampak kebingungan dengan sikapku. Kemudian dia menolengkan kepalanya di pundakku, membiarkan sisa air matanya terurai jatuh.
Kubelai kepalanya dan mencium lembut puncak rambut pirangnya.
“Kita akan menyelesaikannya... semuanya akan baik-baik saja...”
Mungkin kita nggak bisa kembali memutar waktu dan mengubah masa lalu.Tapi kita bisa mengubah masa depan. Dan aku menolak untuk membiarkan ceritaku berakhir dengan kebencian dan kemarahan. Ini adalah waktunya bagiku untuk memperbaiki semuanya dalam hidup dan semuanya berawal dari sini.
my lovely abub, kamu selalu dihatiku.
sampai kapanpun.
my lovely abub, kamu selalu dihatiku.
sampai kapanpun.
Chapter 42: Making Things Right
Kami masih duduk diam diaman selama beberapa saat selanjutnya. Taylor akhirnya tenang, tapi masih tetap meletakkan kepalanya di pundakku. Aku tetap membelai rambut pirangnya seraya nafasnya perlahan kembali normal. Nafasnya tiba tiba akan tercekat karena jumlah air mata yang dia keluarkan. Sedangkan tanganku masih bertaut dengan tangannya dengan erat dan kuremas tegas.
Tiba tiba, Taylor mengangkat kepalanya dari bahuku, menggeser duduknya menjauh dariku.
"Kenapa kau sangat baik padaku?.... aku nggak pantas diperlakukan dengan baik.... aku sudah sangat kejam padamu...."
Aku menghela nafas perlahan, memikirkan dengan hati hati cara untuk merespon kalimatnya.
"Yeah. Kau MEMANG kejam.... tapi semua orang pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua kan?"
Kulihat air matanya kembali berlinang disudut matanya, dengan cepat dipalingkannya kepalanya dariku, mencoba untuk mengendalikan diri. Setelah beberapa saat, dia kembali menoleh padaku.
"Aku nggak tahu kenapa bisa bisanya aku menempelkan foto itu.... Saat semua orang melihatnya, rasanya aku ingin menariknya lagi. Aku sudah menderita di setiap harinya didalam hidupku... dan tadinya kupikir itulah satu satunya penyelesaian untuk ini semua... Aku nggak memikirkan kesakitan yang akan dihasilkan oleh aksiku itu...."
Dia kemudian memutar matanya ke sudut ruangan, sebuah tatapan keputusasaan memenuhi matanya. Kemudian dia kembali menoleh padaku.
"Apa yang harus kulakukan sekarang, Scotty? Sekarang bagaimana caranya aku keluar dan menghadapi orang orang?" Dilepasnya genggaman tangan kami, lalu menghapus airmatanya. "Aku nggak sekuat kau..."
Hidungku mendengus mencemoohnya. "Kau pikir aku kuat? Aku ini cuman seorang pecundang..."
"Oh, lalu kenapa kau nggak menceritakan tentang kita pada Vincent?" Gumam Taylor. "Kau masih kuat... Kau selalu terbuka pada siapapun dan kau sangat percaya diri dengan dirimu. Kau sangat yakin dengan dirimu.... Kau nggak pernah takut dengan hal hal yang kau suka. Aku bahkan nggak tau siapa aku, atau kemana aku pergi..."
Dia meringkuk memeluk lututnya, sibuk dengan pikirannya sendiri. Kuusap lengannya.
"Akhirnya kau sadar juga... berhenti mengurusi orang lain dan urus saja hidupmu sendiri, Taylor"
"Kau nggak mengerti" balasnya tajam. "Semuanya baik baik saja buatmu, Scotty.... kau memang ditakdirkan untuk bisa lulus di Universitas terkenal lalu bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah... aku tahu sekali kalau apapun yang terjadi padamu, kau akan baik baik saja... tapi aku? Apa yang kupunya selain Tennis? Hanya ini kelebihan yang kupunya, dan sekarang aku sudah mengacaukan satu satunya kesempatanku."
"Kenapa kau bisa berfikir seperti itu?" Tanyaku tenang.
Taylor menoleh padaku dengan berputus asa. "Kau sudah tahu ayahku, Scotty. Dia akan menghancurkan seisi rumah saat mendengar ini. Sebanyak apapun aku membenci sikapnya, aku tahu pasti kalau dia benar. Jika orang orang tahu aku gay, maka itu akan mempengaruhi karirku. Menurutmu sudah berapa orang atlit olahraga yang sudah mengakui dirinya gay?"
"Aku tahu sesulit apa rasanya" Balasku. "Dunia ini sangat tidak adil dan kadang, hal inilah yang paling perlu diperhatikan. Tapi sekarang didunia olahraga, sudah banyak sekali orang yang mengakui jati diri mereka yang sebenarnya. Dan kau itu orang baik, Taylor. Aku tahu kau bisa merubah dunia ini. Kau bisa jadi pionir!"
Dia mengangkat kedua bahunya. "Mungkin". Kemudian dia menghela nafas berat. "Aku bahkan nggak tau apa aku masih ingin bermain apa nggak. Aku juga nggak ingat kapan terakhir kali aku benar benar menikmati permainan"
Dia kemudian berhenti, dan kami kemudian kembali duduk diam diaman.
"Taylor" kataku setelah jeda beberapa saat. "Aku ingin memberikanmu saran dari apa yang sudah kualami selama bertahun tahun"
Dia menoleh padaku. "Apa?"
Kupeluk lututku, seperti yang sekarang dia lakukan. "Hidup itu berharga. Kita pikir hidup kita masih panjang, tapi sewaktu waktu hanya dalam satu kedipan mata semuanya bisa saja hilang. Aku mempelajari semua itu saat hari dimana Ayahku meninggal"
Taylor nggak mengatakan apapun, tapi aku tahu dia mendengarkanku. Aku lalu melanjutkan kalimatku.
"Kau nggak boleh menghabiskan satu detik hidupmu hanya untuk mencemaskan apa yang orang akan pikirkan tentangmu. Dan cintailah apa yang kau cintai. Kau nggak akan pernah memuaskan siapapun dihidup ini. Kau hanya harus melakukan apa yang kau senangi dan jadi orang terbaik yang kau bisa. Aku tahu berat rasanya melakukan semua itu, tapi itu lebih baik daripada hidup didalam kebohongan. Kau hanya hidup sekali, Taylor. Kau harus hidup dengan benar"
"Scotty...." katanya lemah. "Aku nggak pernah bersungguh sungguh melakukan ataupun mengatakan hal yang kejam padamu.. aku tahu aku sudah mengatakan sesuatu yang menyiksamu... kalau kau hanyalah kesalahan terbesarku... Tapi jujur, kaulah satu satunya hal paling benar yang pernah ada dalam hidupku. Kau orang terpintar, terbaik, dan terberani yang pernah kukenal. Aku nggak tau bagaimana bisa aku melakukan semua itu padamu. Mungkin aku memang bisanya cuma mengacau...."
"Nggak apa apa" balasku. "Kau takut, tapi jangan takut lagi. Ok?"
Taylor tersenyum lemah kepadaku. "Benar". Dia meraih kepalaku, dan menyelipkan rambut ikalku kebelakang telinga.
Aku kemudian memperingatinya. "Taylor...."
Dia kemudian segera menarik tangannya.
"Aku nggak akan pernah bisa mendapatkanmu lagi, kan?"
"Aku mencintai Vincent." Jawabku mantap. "Maafkan aku, Taylor.... semuanya sudah terlambat bagi kita sekarang"
Dia tampak terluka, tapi dia nggak memaksaku untuk menerimanya. Sepertinya dia sudah bisa menerima semua kenyataan.
Kuraih tangannya kemudian.
"Tapi, aku masih ingin menjadi temanmu.... aku hanya ingin kau tahu... kalau saat kita bersama dulu, aku benar benar mencintaimu. Dulu itu memang masa masa paling sulit bagiku, tapi bersamamu selalu bisa membantuku melaluinya"
Taylor kemudian mendongakkan kepalanya. "Dan kemudian aku mengacaukan semuanya.... aku benci diriku, Scotty...."
"Well, ayo kita ubah akhir ceritanya" kataku sambil meremas tangannya. "Sekarang aku sedang bersama mantanku, yang dulu sangat sangat mencintaiku"
"Memang...." Bisik Taylor. "Sampai saat inipun masih tetap sama"
Kuusap tangannya dengan jempolku.
"Taylor,... suatu hari nanti kau pasti akan menemukan seseorang yang benar benar mencintaimu. Dia diluar sana menunggumu. Kau hanya harus siap dan menerima perasaannya, dan juga perasaanmu yang sesungguhnya. Aku janji suatu saat nanti kau akan menemukannya. Aku yakin."
Ada jeda panjang kemudian.
"Tapi orang itu bukan kau...." kata Taylor tiba tiba dengan suara yang sangat pelan.
"Orang itu memang bukan aku..." balasku. "Tapi orang itu lebih baik dariku..."
--
Udara terasa dingin dan menggigit saat aku berdiri diluar apartemen kecil Vincent.
Setelah pembicaraanku dari hati ke hati bersama Taylor, aku langsung menaiki bus dan kesini secepat mungkin. Aku nggak tahu apa Vincent sekarang dirumah atau tidak, tapi aku harus mencarinya dimanapun. Dia pasti nggak ada di sekolah karena tadi aku sudah mencarinya kemana mana sebelym aku pergi. Aku sudah menelfon, dan juga mengirimkannya SMS beberapa kali, dan dia nggak menjawabnya. Dan semua kediaman darinya itulah yang membuatku menjadi gila sekarang.
Kutekan angka angka di interkom pintu apartemennya, tapi dia tidak mengangkat. Aku nggak yakin apa dia memang nggak ada didalam, atau dia sekarang memang sedang mencoba untuk mengacuhkanku, atau dia memang sedang ingin sendirian sekarang. Aku tetap memencet tombol diinterkomnya, tapi dia nggak menjawab.
Akhirnya, aku memutuskan untuk duduk didepan pintu apartemennya. Aku hanya harus menunggu. Jika Vincent didalam, dia pasti akan keluar. Dan jika dia memang sedang pergi keluar, dia pasti akan kembali. Aku sudah bertekad nggak akan kembali sebelum aku bisa bicara dengannya.
Aku duduk disana selama satu jam. Langit semakin gelap dan angin semakin berhembus dengan kencang, tapi aku tetap bersikukuh. Kalau perlu, aku akan menunggu disini semalaman. Saat aku duduk menggigil dibawah cahaya malam yang sudah mulai remang remang, seorang wanita paruh baya muncul. Dia menatapku aneh sebelum kemudian menghampiriku.
"Apa kau baik baik saja, nak?"
Ini kesempatanku. "Uhm, hi. Aku rencananya tadi mau menginap selama akhir pekan di apartemen ini bersama temanku. Tapi aku malah merusak kuncinya dan mengurung diri sendiri diluar,..."
"Oh, aku tinggal dilantai atas. Aku bisa membukakannya untukmu..." katanya sambil merogoh rogoh tasnya mencari kunci. "Apa cuma pintu depan yang nggak bisa kau buka?"
"Err... yeah" balasku. "Aku masih punya kunci apartemennya dan dia hanya meninggalkanku kunci cadangan untuk pintu utama... ah betapa bodohnya aku..."
"Jangan khawatir, nak" kata Nyonya tersebut sambil membukakan pintu. "Aku dulu juga begitu"
Aku langsung berdiri dan kemudian masuk kedalam. "Terimakasih! Kau benar benar penyelamat hidupku!"
Dia membalasnya dengan senyuman kemudian.
--
Aku langsung melompati dua anak tangga hingga sampai didepan pintu apartemen Vincent. Kemudian kugedor pintunya.
"Vincent! Vincent, kau didalam....?"
Aku bisa mendengar sesuatu dari dalam. Tapi tak ada jawaban. Kurendahkan badan dan kuintip dari celah pintu.
Aku hampir bisa melihatnya. Dia duduk di sofa ruang tamu, memunggungiku. Dia tampak kecil dan kabur dari sini. Aku nggak pernah melihatnya seperti itu dan rasanya seperti ada sesuatu yang membacok jantungku.
"Vincent, kumohon.... bicaralah padaku...."
Aku masih tak mendapatkan jawaban apapun. Kemudian aku berbalik, dan duduk bersandar pada daun pintu.
"Aku tahu kau didalam..."kataku. "Jadi aku akan tetap bicara, terserah kau peduli atau tidak"
Aku sengaja berhenti sebentar untuk mendengar apa ada jawaban darinya dari dalam. Tapi ternyata tidak. Aku kemudian menghela nafas.
"Vincent... seharusnya aku nggak berbohong padamu. Aku nggak tahu kenapa bisa bisanya aku berbohong padamu... aku nggak pernah membayangkan akan seberapa sakit kau akibat kebohongan itu... itu semua kulakukan hanya karena aku takut kehilanganmu... tapi kau harus tau, aku nggak pernah menyelingkuhimu. Kejadiannya sudah bertahun tahun yang lalu, bahkan sebelum kita saling kenal. Taylor adalah orang pertama yang pernah tidur denganku, lagian kejadiannya hanya sekali, dan setelah itu dia langsung mencampakkanku. Dan setelah itulah dia mulai menguasaiku. Dia selalu mengancam akan menghancurkan hidupku jika berani menceritakan itu semua pada orang lain..."
Aku berhenti sebentar, menunggu respon darinya. Tetap saja tak ada. Aku kemudian melanjutkan kalimatku.
"Foto itu nggak seperti yang terlihat... Dia mabuk dan mencoba menciumku tapi aku berhasil mendorongnya... dia masih punya perasaan padaku dan dia mengacau... tapi aku tak pernah ingin kembali bersamanya lagi. Kau satu satunya orang yang aku inginkan untuk selalu bisa bersamaku. Dan itu selalu kau bahkan sejak saat kita bertabrakan di hallway dan kau memanggilku Specs untuk pertama kalinya.... aku nggak pernah bohong saat mengatakan sesuatu yang berhubungan denganmu.... Aku mencintaimu, Vincent...."
Suaraku bergetar karena emosi. Aku tak tahu apa yang kukatakan ini sudah benar atau tidak, tapi setidaknya aku sudah mengatakan apa yang aku ingin Vincent dengar. Kenyataan yang langsung kuucapkan dari hatiku yang terdalam.
Keheningan kurasakan semakin kentara disekitarku. Aku tak bisa memperbaiki apapun lagi. Aku menyerah.
Aku berdiri dengan kaki yang gemetar. Mungkin ini waktunya untuk pergi... meninggalkan Vincent untuk bisa hidup damai dan tentram...
Kemudian, dia membuka pintu..
Silahkan dibaca~~
oiya ini update lagi.
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius
Chapter 43: The Argument
Vincent berdiri didepan pintu. Matanya merah dan sembab, keliatan seperti habis menangis. Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih kedua tangannya.
"Oh Vincent...."
"Jangan, Scotty..." katanya datar. Aku langsung menarik kedua tanganku, kata-katanya sangat tajam dan dingin.
Dia tampak agak sedikit menyesal saat melihatku mundur satu langkah darinya. Sepertinya dia berkonflik dengan dirinya sendiri, apa harus memelukku, atau mengusirku. Matanya memeriksa wajahku. Ekspresinya sama sekali nggak bisa kubaca.
"Kenapa kau bisa masuk?"
"Aku menunggumu diluar," Jawabku. "Salah satu tetanggamu yang membantuku masuk"
Dia tampak sedikit terkejut. "Sudah berapa lama kau diluar?"
Kujatuhkan pandanganku ke karpet dilantai. "Entahlah... sekitar sejam... boleh aku masuk?"
Dia bersandar di rangka pintu, ia palingkan matanya ke sudut ruangan, hanyut dalam pikirannya. Setelah beberapa saat dia kembali menatapku.
"Scotty, aku nggak tau apa aku bisa melakukan ini sekarang.... kau sebaiknya pulang saja..."
Rasa kesal kemudian menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menunggu selama ini bukan untuk penolakan lagi.
"Aku nggak akan pergi kemana mana!!" Pekikku. "Kecuali kau mau bicara denganku"
Dengan itu, kutabrak bahunya lalu berjalan menuju ruang tengah. Dia tampak kaget dengan aksiku, tapi dia nggak menghentikanku. Kutolehkan wajahku padanya. Kulitku terasa panas dan jantungku berdegup keras.
"Aku tak bisa lagi menerima tingkahmu yang mendiamkanku ini!" Pekikku. "Bicaralah padaku!"
Vincent membanting pintu,menutupnya kemudian berjalan menuju ruang tengah.
"Apa lagi maumu ,Scotty? Menyakiti hatiku? Huh? Karena kau sudah melakukannya sekarang!"
"Jangan bicara seperti itu...." kataku dengan sebuah ringisan.
Vincent menyeka pelupuk matanya. Bisa dibilang saat ini dia sedang menahan diri untuk tidak menangis dan dia tak mau aku untuk melihatnya.
“Aku sudah menceritakanmu hal hal yang tak pernah kuceritakan pada orang lain... dan sekarang aku merasa seperti orang yang benar benar bodoh. Aku tak tahu kenapa aku sangat bodoh untuk berpikir kalau kau itu berbeda dari orang lain yang pernah ada didalam hidupku. Seharusnya aku sadar dari dulu kalau semua ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan....”
Amarahku mulai memuncak. Aku tahu Vincent akan marah, tapi pernahkah dia sedikit saja memikirkanku? Atau dia memang sengaja mencoba untuk menyakitiku?
“Vincent, kau nggak adil... aku tahu seharusnya aku sudah menceritakanmu tentang Taylor, tapi itu Cuma satu kesalahan bodoh. Dan kau tahu betapa aku mencintaimu... bagaimana mungkin kau bisa bisanya berpikir kalau semua yang pernah kita lalui itu nggak nyata??”
“Aku nggak mau tau lagi!” Bentaknya. “Aku bahkan merasa nggak mengenalmu lagi...”
Aku tercekat, tapi aku berusaha untuk tak menangis.
“Tentu saja kau mengenalku... Aku masih Scotty yang sama yang pernah kau kenal... Hanya saja aku punya masa lalu yang nggak kau tahu. Dan aku sangat menyesalnya nggak menceritakannya padamu... dan itu murni kesalahanku. Aku sangat takut dan bodoh dan aku nggak ingin kehilanganmu... Tapi nggak ada yang beda saat semuanya berhubungan dengan kau dan aku. Kesalahan itu hanyalah hubungan konyol yang sudah terjadi bertahun tahun yang lalu dan nggak berarti lagi... Kau juga punya masa lalu kan..?”
“Ya, tapi aku sudah menceritakan masa laluku padamu!” Balas Vincent dingin. “Sebelum kita serius, aku sudah menceritakan semuanya padamu!! Kau saja yang nggak bisa menghargaiku balik...”
Aku nggak suka caranya yang memojokkanku seperti itu. Meskipun aku sudah banya berbohong padanya, padahal selama ini aku hanya mencoba untuk melindungi apa yang sudah kami miliki selama ini.
“Aku ingin mengatakannya padamu,...” Kataku. “Tapi situasinya semakin sulit dan sulit, dan aku nggak tahu caranya... semuanya terjadi diluar kendali... khususnya saat kau berusaha keras untuk melindungiku dari pembullyan yang dilakukan oleh Taylor... sekarang bagaimana lagi caranya bagiku untuk menceritakannya padamu??”
“Kau harusnya mencoba!” Bentak Vincent. Dengan putus asanya dia kemudian mengacak-acak rambutnya. “Taylor Raven sialan... orang orang brengsek itu... Aku nggak mengerti bagaimana mungkin kau bisa bisanya pernah berpacaran dengannya. Itu semua membuatku mual!”
“Pada awalnya dia berbeda,” balasku lembut. “Hanya saja saat kami mulai bersama dia kemudian berubah...”
Mata Vincent langsung meliar saat aku menyebut karakter Taylor dulu.
“Oh, jangan bilang kalau kau dulu mencintainya?? Dengan orang keji, dan nggak berharga yang selalu mengancammu seperti sasana tinjunya sendiri?”
Aku kemudian membela diri dari serangan Vincent yang dilontarkannya secara verbal itu. “Sebenarnya, dulu aku jatuh cinta padanya. Waktu itu. Dia berbeda dan aku nggak bisa berpura pura kalau dia nggak berarti apa-apa padaku. Maaf...”
Vincent tampak sangat terluka. Kata-kataku seperti peluru timah yang menembaknya langsung dari berbagai arah. Dan itu menyiksaku karena telah mengatakannya pada Vincent, tapi nggak ada yang perlu disembunyikan lagi. Dia ingin faktanya dan aku harus mengatakan itu padanya.
Dia melangkah lunglai padaku. Hatiku terasa sakit melihatnya tampak sangat rapuh, bagai satu hembusan saja dia akan langsung terjatuh ke lantai.
“Scotty, aku nggak bisa menerima ini...,” bisiknya. “Kupikir... kupikir akulah yang pertama bagimu... ini semua menyiksaku karena tahu bahwa semuanya telah direbut dariku... padahal malam itu sangat sempurna dan sekarang semuanya seperti nggak nyata lagi....”
Diletakkannya tangannya yang bergetar diwajahku, mengusap pipiku lembut. Kuletakkan tanganku diatas tangannya.
“Tentu saja malam itu nyata. Dan sempurna. Dan semua itulah yang selalu kuimpi-impikan... Semua yang pernah terjadi dengan Taylor dulu di gudang olahraga, semuanya sudah berakhir. Rasanya nggak sama seperti saat bersamamu.... sejauh ini, hanya malam itu yang pernah kuanggap pernah terjadi...”
Kupikir Vincent akan mendekat dan menciumku. Tapi dia menarik tangannya dari pipiku, dan wajah berjarak.
“Apa Taylor masih mencintaimu?” Tanyanya jelas. “Apa karena itu dia menyiksamu selama ini? Karena dia menginginkanmu, tapi dia nggak bisa memilikimu?”
“Begitulah....” gumamku.
Vincent menghela nafas berat. “Aku nggak percaya kalau aku nggak menyadarinya... semuanya terjadi dengan jelas tepat didepan mataku dan aku melupakannya.”
“Well, aku nggak pernah membalas ciumannya,” kataku membela diri. “Seperti apapun bentuk foto itu...”
Aku bisa melihat secercah cahaya timbul di kepala Vincent saat aku menyebut foto itu.
“Apa dia dalang dari semua foto di hallway itu? Semuanya? Apa itu cara terakhirnya untuk mempertaruhkan reputasinya demi mendapatkanmu?”
Aku nggak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Vincent. Aku sudah berdamai dengan Taylor, tapi bukan itulah yang ingin Vincent dengar dariku. Sejauh yang kutahu, Taylor hanyalah sampah dan jika kubilang kalau aku dan dia sudah bermaafan maka aku tahu dia akan sangat marah.
“Ya, Taylor dalangnya... tapi mungkin itulah satu-satunya cara baginya untuk menghadapi masalahnya... dia hanyalah anak kecil yang takut ketahuan...”
Vincent memutar bola matanya. “Menyakiti semua orang yang dia tahu adalah satu satunya cara baginya untuk menyelesaikan masalahnya? Melakukan sesuatu yang sangat murahan dan kejam... bagaimana bisa kau bahkan mencoba dan memaafkan perilakunya itu?”
“Aku nggak memaafkannya!,” Balasku. “Tapi aku lelah menjadi orang yang selalu marah sepanjang waktu... itu melelahkan! Aku hanya ingin kembali menjalani hidupku yang normal. Aku ingin kau memaafkanku dan melupakan semua kekacauan ini...”
Vincent nggak bereaksi apapun saat aku meminta maaf nya. Malahan, dia mulai berputar-putar di ruang tamu.
“Tunggu, jika Taylor adalah dalang dibalik foto itu lalu siapa yang mengambilnya?? Darimana foto itu berasal?”
Aku menelan ludah, gugup. Sebenarnya aku nggak mau menyalahkan Alexis, tapi sepertinya aku nggak punya pilihan lain.
“Alexis. Tapi aksi Taylor nggak ada hubungannya dengan dia, jadi jangan ikut-ikutkan Alexis kedalam ini semua”
“Alexis?!” cicit Vincent. “Maksudmu dia juga tau??”
Kulihat tangannya mengepal, kemarahannya membludak.
“Dia tau,” Aku mengkonfirmasinya dengan kesal. “Itulah kenapa dia menyerangku dan mencoba untuk mempersulit hidupku. Dia pikir aku menyelingkuhimu dan dia hanya mencoba untuk melindungiku. Tapi aku sudah bicara dengannya dan dia membuatku sadar betapa bodohnya aku nggak mengatakan yang sebenarnya... itulah kenapa aku menelfonmu kemarin malam, aku berencana untuk menceritakanmu semuanya,... aku nggak pernah menyangka kejadiannya bakal seperti ini...”
Aku kemudian jatuh duduk diatas sofanya Vincent, semua tenagaku menurun drastis. Aku lelah mendebatkan hal yang sama lagi dan lagi. Berapa kali lagi aku harus minta maaf?
Untuk sesaat, aku hanya duduk diatas sana tanpa melakukan apapun sementara Vincent berputar putar disekitarku. Kami bertemu dengan jalan buntu, nggak seorangpun dari kami yang tau apa lagi yang harus dikatakan.
Tiba tiba, Vincent bersuara. “Scotty, aku nggak tau lagi harus mengatakan apa. Rasanya semua orang didalam hidupku mengetahui rahasia kecilku dan hanya aku satu satunya yang nggak tahu. Aku merasa... dikhianati... yang kulakukan selama ini hanya mencintaimu...”
Aku merasa kejam. Akulah orang terkejam yang pernah hidup.
“Vincent... aku menyesal. Aku menyesali semua yang telah kulakukan. Aku nggak tau lagi harus mengatakan apa padamu selain aku nggak pernah menyelingkuhimu dan aku sangat sangat mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”
Kutempelkan kedua tanganku di wajah. Seisi ruangan terasa mulai berputar putar disekitarku.
Vincent kemudian duduk disampingku. Dia nggak menyentuhku, tapi kaki kami saling bersentuhan bersama. Kuintip dia dari balik sela sela tanganku.
“Aku mohon katakan padaku kalau kau akan memaafkanku....”
Diletakkannya tangannya diwajahku, membelainya untuk beberapa saat.
“Aku butuh waktu...”
Bukan ini yang mau kudengar.
“Apa... apa kau ingin putus denganku?”
Aku nggak sanggup mendengar jawabannya, tapi aku harus tahu.
“Aku... Entahlah,” Balasnya.
Detik selanjutnya terasa seperti ada jurang besar yang memisahkan kami. Jantungku jatuh ke perut dan yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menangis.
“Mungkin sebaiknya aku pergi,” kataku akhirnya.
Kemudian aku berdiri dan berlari keluar dari apartemennya sebelum Vincent bisa mengatakan apapun lagi untuk semakin menghancurkan hatiku.