It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Ronan, what happened?"
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan melewati blok terakhir menuju rumah Yoga. Ronan masih tampak emosi. Sudah dari tadi tampangnya begitu kusut. Yoga yang sedari tadi bertanya kenapa juga tidak tahu penyebab Ronan bisa jadi seperti ini.
Kepalanya masih dipenuhi oleh ratusan pertanyaan akan sosok tangan itu. Orang yang jelas jelas telah menjatuhkan puluhan kaleng sarden dan juga kertas terakhir.
Dia tak benar benar percaya jika itu Tumblestone.
Dilihat dari kondisi tangannya, itu tampak seperti lengan seseorang berusia lebih kurang 25 tahun. Jika itu benar, maka di umur seperti itu tidak mungkin ia telah memiliki dua orang anak sekaligus.
Ronan yakin sekali jika hubungan antara Jill dan Tumblestone adalah ayah dan anak.
Tapi, kenapa bisa ada 2 orang sekaligus yang mengirimkan pesan itu? Maksudnya, apa pesan itu dikirim oleh 2 orang yang berbeda dari balik dinding penghubung antara Toko Daging tersebut dengan Toko Kue disampingnya? Lalu siapa penulis pesan ke-2?
Tak terasa kemudian mereka berdua sudah sampai didepan rumah Yoga. Si pemilik mengajak Ronan untuk masuk. Ronan entah mengapa menolak dengan alasan dia tidak enak badan.
Aneh sekali, pikir Yoga.
"Trust me, i' m just not feeling so good today. Soon you can directly invite me to your restaurant. I'm off now" Kata Ronan dan langsung melesat maju dengan mobilnya meninggalkan Yoga kebingungan didepan rumah.
Ada apa yah? Batin Yoga.
Ronan adalah tipe orang yang tak ingin menyeret orang lain kedalam masalahnya. Itulah alasan kenapa tak satupun pertanyaan dari Yoga daritadi ia jawab. Kecuali jika ada sangkut pautnya dengan Yoga, ia mungkin akan mempertimbangkannya.
Yoga masuk kedalam rumahnya dan menemukan mesin fax nya berbunyi. Ia segera menuju ruang tengah untuk melihat siapa yang barusan mengirim fax.
Baru saja dia membaca salinan kertas yang dikirim pegawai restorannya, ponsel Yoga bergetar. Ada sebuah surel masuk kedalam inboxnya
---
From: [email protected]
To: [email protected]
YOGAA!! Apa kabar lo? Gimana di amrik? Seneng ga? Gue denger lo udah berhasil move on dari Adam? Cieeee cieeee. Selamat deh buat lo! Siapa sih cowok yang beruntung itu?
Yaudah lupakan tentang cowok itu, lo udah baca berita belom? Semua media luar lagi heboh hebohnya soal Adam yang menerima lamaran Koi minggu lalu! Tuh anak nekat ya? Gue ikut bahagia buat mereka.
Bulan depan, gue bakalan nyusul juga ke Amrik. Riffan ada trip gitu ke sono. Jadi rencananya gue mau nebeng bobo dulu ke rumah lo bareng anak gue. Boleh ya? Boleh dong. Hehe
Oh iya, sekalian juga mau ngumpul ngumpul lagi. Sasha kan sekarang di Canada tuh, jadi deket lah kalau mau main main. Kabarin yang lain yah!
Much love, Caca
---
Yoga sebenarnya sudah tau bahwa Adam menerima lamaran Koi tepat di tengah acara suatu perhelatan akbar di Los Angeles. Tayangan itu on air secara live dan Yoga sebagai sahabatnya benarbenar ikut bahagia.
Dia benar benar sudah bisa move on sekarang. Tak seharusnya memaksakan kehendak kita pada orang yang tak memiliki perasaan yang sama seperti kita kan? Menurut Yoga, level tertinggi dalam mencintai adalah merelakannya bersama orang lain. Meski beberapa orang mengatakan itu hanya BS (Bullshit) belaka.
Sepertinya bulan depan rumah bakalan rame nih, batin Yoga. Dia benar benar excited akan hal ini. Sudah begitu lama dia hidup seorang diri dirumah yang cukup besar bagi orang yang tak punya kehidupan mewah seperti Yoga.
Yoga duduk di kursi kerjanya sambil membaca baca lagi surel yang masuk dari Caca. Dia telaah kata perkata.
Cowok itu? Yoga tersenyum senyum sendiri membaca dua kata tersebut.
Pertama kali Yoga melihat pria itu, tepat 6 bulan yang lalu. Saat dia baru saja membeli rumah ini pada akhir tahun.
Malam hari saat kepindahannya, dia menikmati langit malam dijendela kamarnya yang cukup besar. Kamar Yoga memang mempunyai jendela seperti itu. Jendelanya terkesan klasik yang terbuat dari kayu dengan beberapa motif dan pahatan disana sini.
Seperti rumah orang eropa zaman dahulu.
Ia duduk menopang kepala, mencari udara segar setelah merasa agak mabuk saat pesta tadi. Yoga mengundang sahabat sahabatnya untuk membantu dan mereka mengadakan pesta kecil setelahnya.
Cuaca malam itu cerah. Bintangnya bersinar dengan terang seperti bohlam lampu. Terkesan hiperbola, tapi begitulah Yoga yang terkena pengaruh Adam. Ia perhatikan kerlipan bintang bintang itu. Bulan sabit yang juga turut memancarkan sinarnya malu malu dibalik rumah tua yang berada didepan rumahnya.
Rumah itu besar, lebih besar daripada rumah Yoga. Halamannya besar dengan berbagai tumbuhan tak terawat. Hanya pohon Willow yang berada didepan rumahnya tampak lebih eksotis dengan dedaunan coklatnya.
Dia seperti melihat sebuah lukisan di dalam pertunjukkan seni saat itu. Terasa begitu sempurna dengan tambahan rumah tua.
Yoga semakin terhanyut dalam keindahan itu,hingga seketika pandangannya teralihkan oleh sesuatu.
Ada sebersit cahaya yang muncul dari salah satu celah kecil dari rumah tua itu. Dia pikir, rumah itu cukup tua untuk ditinggali. Ia benar benar tak menyangka ada yang tinggal didalam rumah itu.
Saat pandangannya tertuju pada celah kecil itu, seseorang muncul.
Seketika Yoga terpana.
Ialah pria yang juga melakukan hal yang sama dengan Yoga. Meski berjauhan jarak, dia masih bisa mendeskripsikan bagaimana rupa orang itu.
Matanya bulat, dan sayu. Seperti menyimpan banyak masalah dan kesedihan. Rambutnya berwarna coklat dan berterbangan dihembus angin. Bibirnya tipis, dan Yoga yakin bibirnya berwarna merah muda.
Entah itu hanya imajinasi Yoga, atau benar benar nyata.
Pria itu tampak begitu indah, dan menawan. Awalnya Yoga tak percaya dengan konsep cinta pada pandangan pertama. Tapi sepertinya cupid terlalu tolol untuk membuatnya jatuh cinta kepada orang yang bahkan ia tak sepenuhnya yakin rupanya. Kecuali satu hal: dia adalah pria.
Pria itu hanya menampakkan diri sebentar, sebelum mematikan cahaya dari celah itu dan menghilang. Malam malam selanjutnya, ia tak pernah menampakkan diri lagi.
Dia seperti hantu. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Tapi dia terlalu menawan untuk menjadi hantu.
Semenjak saat itu, Yoga menjulukinya sebagai Pria Di Jendela.
A Man In The Window. Begitulah Yoga menceritakan pria menggemaskan itu kepada teman temannya. Awalnya semua orang tak percaya, tapi karena Yoga bersikeras dia benar benar berhasil move on. Semua orang akhirnya percaya.
Ahh, kapan aku bisa melihatnya lagi? Batin Yoga sambil tersenyum sendiri menyandarkan badannya ke punggung kursi dan memutar mutar bangku itu.
Sudah 3 bulan Yoga sama sekali belum melihat kehadiran orang itu di jendela. Ingin sekali dia kembali mengagumi rupa pria itu dari kejauhan.
Terbersit ide di pikirannya, kenapa tidak kembali memanjat saja ke jendela itu?
Yoga sudah pernah melakukannya sekali. Tapi dia malah berakhir terjatuh dan mematahkan sikunya hingga beberapa minggu tak bisa memasak.
Tapi dia benar benar ingin melihat wajah orang itu. Dia benar benar ingin. Jadi, dia berjalan menuju jendela di ruangan itu. Menyikap gorden dan memperhatikan rumah itu dari kejauhan.
Kondisinya masih sama. Sepi dan tak terurus.
Apa pria itu benar hidup disana? Bagaimana jika dia sudah memiliki alamat rumah yang baru? Pertanyaan itu berputar putar di kepalanya.
Yoga berpikir keras sambil memukul mukulkan jarinya ke kaca jendela. Kunjungi? Tidak. Kunjungi? Tidak. Kunjungi? Tidak.
Dia jadi berdebat dengan dirinya sendiri.
Ah sudahlah! Apapun hasilnya nanti, biarkan saja. Yang penting saat ini Yoga bisa melihat sosok itu sekali lagi saja.
Jadi dia berjalan keluar rumah melewati jalan. Jalanan begitu sepi. Seperti rumah tua yang akan dia kunjungi. Begitu sepi. Penghuni Fallspring Timur jam segini memang sedang beraktivitas. Jadi sangat jarang berpergian keluar rumah kecuali ke kantor atau ke sekolah.
Yoga berhenti tepat selangkah sebelum menginjakkan kakinya sebelum halaman depan rumah itu. Dia meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak kecewa akan apapun hasil nantinya. Bahkan jika dia mematahkan sikunya, bahkan seluruh tulang dibadannyapun lagi. Dia rela. Dia benar benar merindukan sosok itu.
Ia menghela nafas berat. Dia yakin. Dan tak pernah seyakin ini.
Yoga kemudian melangkahkan kakinya menuju salah satu pohon di bagian kanan rumah itu. Dia tak akan masuk lewat pintu. Karena dimanapun, sudah dihalangi oleh papan yang telah dipaku. Bahkan garis polisi. Jadi dia akan memanjat pohon untuk bisa menyusup ke celah yang berada di lantai dua.
Celah itu lebih seperti jendela. Hampir seperti jendela. Celah dimana ia selalu melihat Pria Di Jendela itu.
Yoga memastikan dulu kondisi pohonnya masih kuat untuk menopang tubuhnya apa tidak. Dia hanya tidak ingin sikunya kembali patah jika jatuh nanti.
Setelah pasti, akhirnya dia memanjati pohon itu. Batang demi batang. Melewati ranting demi ranting. Beberapa daun pohon itu berguguran. Seakan akan musim gugur yang membuatnya seperti itu.
Tinggal beberapa langkah saja dari celah, batang pohon yang ia pijak berbunyi. 'Oh tidak, jatuh lagi nih' batin Yoga dalam hati. Benar saja, batang itu semakin lama semakin lapuk di pijakannya.
Tak mau mengambil resiko, Yoga langsung melompat dari sana dan seketika berhasil melewati celah itu.
Yoga berguling guling seketika di lantai yang terbuat dari kayu. Sebuah lantai ruangan didalam rumah tua ini
Dia sampai di sebuah ruangan. Ruangan yang lebih menyerupai seperti sebuah galeri. Luasnya sekitar 3x4 meter. Cukup besar memang. Terdapat beberapa lemari dan juga patung batu yang berbentuk jemari tangan.
Ada juga alat musik di tempat ini. Klarinet, biola dan juga piano tua. Sepertinya orang yang ia kagumi selalu berhubungan dengan musik. Batin Yoga lagi.
Dia berdiri, menepuk nepuk bagian belakang celananya dan juga pakaiannya lalu memperhatikan lebih lanjut ruangan ini.
Terdapat tiga lukisan yang diselubungi oleh kain putih dengan berbagai ukuran yang disandarkan ke dinding di dekat pintu. Kecil. Sedang dan Besar.
Cahaya yang masuk ke ruangan ini membuat sebuah lukisan menampakkan siluet wajah seseorang. Yoga begitu penasaran dan kemudian mengangkat kain itu dan melemparnya.
Ia menyingkap kain lukisan yang besar.
Siluet yang ia lihat tadi ternyata benar benar lukisan sebuah wajah. Sebuah wajah anak perempuan dengan pakaian gothic. Bibirnya ditutupi oleh lipstick berwarna hitam.
Tatapannya tajam.
Ada tindik di bagian hidungnya. Rambutnya bergaya curly dengan kombinasi warna merah muda, biru muda dan hijau menyala.
Matanya berwarna coklat. Tatapannya tajam setajam mata pisau. Sepertinya dia dilukis tidak dalam keadaan baik.
Buktinya saja dia sedang kesal didalam lukisan itu.
"Ka.. kau siapa!?" Seseorang tiba tiba datang. Ia berdiri didepan pintu yang terbuka dengan sebuah kuas lukis di tangan kanannya.
Yoga mendadak tersentak. Dia mendongakkan kepalanya. Sosok ini! Jantungnya mendadak berdebar debar.
"Kenapa kau bisa ada di galeri-ku!" Teriak pemuda itu lagi. Mata sayunya semakin bertamba sayu. Bibirnya bergetar dan dia mengacungkan kepala kuasnya tepat ke arah Yoga.
Setelah bisa menguasai diri. Dengan segenap keberanian, Yoga akhirnya bersuara. "Hei.. tenanglah. Aku tetanggamu. My name is Yoga"
Pemuda itu terdiam. Matanya menatap Yoga lekat lekat dari atas kebawah. Dan dari bawah keatas. Seperti Yoga adalah penjahat kelas kakap.
"A.. apa yang kau lakukan disini!!?" Suaranya meninggi lagi. "Jawab!" Kuasnya masih teracung ke arah Yoga yang kini mengangkat kedua tangannya.
Yoga terlihat bingung. Apa yang akan dia katakan? Langsung mengatakan alasan yang sebenarnya bahwa ia menyukainya? Itu benar benar aneh menyatakan cinta di saat saat seperti ini."Aku.."
Kali ini kepala kuas itu menyentuh pangkal leher Yoga. Tatapan pria itu tampak benar benar ketakutan. Tak terlihat seperti mengintimidasi saat ini.
"Hei, easy! Easy.. Aku hanya melihat lihat lukisanmu!"
"Benar?" Pria itu sepertinya meragukan kata kata Yoga.
"I am never been so sure before"
Dengan sedikit ragu ragu, sosok itu menjauhkan kepala kuasnya dari pangkal leher Yoga. Dia masih tampak aneh melihat Yoga. Tapi ia tak bisa memungkiri, setelah beberapa lama dikekang oleh kakaknya hidup dirumah ini sendirian. Inilah kali pertama seseorang berhasil memasuki dan berbicara dengannya di rumah ini.
Dia merasa begitu senang. Dan juga merasa aneh.
"Hei. Siapa ini?" Tanya Yoga sambil menunjuk lukisan yang telah ia sibakkan kainnya tadi.
Pemuda itu tersenyum. "Itu Jill"
"Dia cantik.." Ucap Yoga tak memindahkan tatapannya lukisan itu.
"Begitulah. Aku mengaguminya walau terkadang ia begitu menyebalkan" Dia kemudian duduk didepan lukisan besar itu. Yoga kemudian juga mengikutinya duduk. Mereka duduk bersisian sekarang.
"Kau tahu? Kau juga cantik"
Pria itu menoleh. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"
"Apa aku perlu meragukan karya seni sang pencipta?"
Pria itu terkekeh dan kembali memeluk kedua lututnya erat.
"Aku telah memperkenalkan diri tadi. Sekarang giliranmu"
Dia sedikit terkejut. Ada keengganan yang ia rasakan.
"Aku.. Arthur. Cukup panggil Art saja.."
Art? Sungguh nama yang cocok dengan kepribadian dan juga hobinya. Pikir Yoga.
Yoga terkekeh sendiri. Sedang Art masih menerawang membelakangi celah menghadap lukisan Jill. Ia memiring miringkan kepalanya dan sesekali tersenyum melihat sosok yang berada didepannya.
"Jadi..." Yoga menggeser duduk semakin dekat dengan Art. "Siapa Jill ini?"
"Kenapa kau ingin tahu?"
"Entahlah. Aku hanya ingin tahu"
Mereka terdiam. Lebih tepatnya Art yang terdiam. Pipinya memerah. Entah kenapa jarak antaranya dan Yoga semakin dekat, dan Art tidak menyadari itu. Pipinya memerah, karena ini pertama kalinya ada orang yang menanyakan lukisannya.
Mungkin memang sebaiknya Art memberitahu Yoga.
"Jill.. adalah temanku. Dia yang menemaniku sejak aku kecil.." Art menyembunyikan kepalanya diantara lutut. "Aku.. dulu selalu ditinggalkan kedua orang tuaku. Mereka selalu sibuk dengan dunia mereka sendiri. Aku menyayangi mereka. Tapi mereka sepertinya tidak.."
Yoga mendengarkan dengan seksama.
"Lalu suatu hari.. Jill mendatangiku. Ia sangat bersahabat dan mengajariku banyak hal."
Suaranya terdengar bagai suara malaikat di telinga Yoga. Bukannya terfokus dengan ceritanya, Yoga malah terfokus dengan pesona Art.
"Jill benar benar baik.." Yoga akhirnya bersuara. "Lalu, lukisan yang ukurannya sedang ini, apa?" Ia menunjuk lukisan yang berada di sebelah Jill.
Art tersenyum. "Kau mau melihatnya? Atau mau mendengar ceritaku tentang lukisan itu?"
"Hmmm.. apa aku tak bisa memilih dua duanya?" Gumam Yoga.
"Aku tak bisa. Dia akan marah jika aku melakukan itu" Tolak Art cepat.
"Baiklah, kalau begitu ceritakan saja padaku"
Art mengangguk dan menatap siluet wajah disebelah lukisan Jill. "Namanya adalah Tumblestone. Dia sangat membenci semua orang yang mengangguku. Dan dia menganggapku sebagai anaknya sendiri"
hmm, pengen baca flash back adam sama koi nikah *resepsinya* xD
@Asu123456 awalnya emang gitu. chapter ini emang udah gue tulis, tapi ga ada back-up buat chapter selanjutnya. makanya gue tunda. harusnya post kemarin sih. Oh kalo yang AdamxKoi kan udah gue bilang bakal ada. Tenang aja
@operamini ga tau awalnya? hmm.. baca cerita gue yang don't dong (ngelunjak). wakakaka
@NanNan cintaku kepadamu udah jelas kok. EAAAA wkwk
@Otho_WNata92 iya nih. huhu. endingmya aja belom kepikiran kayak gimana
@lulu_75 loh? kenapa bisa sampai ke opini yang kayak gitu?
@Asu123456 awalnya emang gitu. chapter ini emang udah gue tulis, tapi ga ada back-up buat chapter selanjutnya. makanya gue tunda. harusnya post kemarin sih. Oh kalo yang AdamxKoi kan udah gue bilang bakal ada. Tenang aja
@operamini ga tau awalnya? hmm.. baca cerita gue yang don't dong (ngelunjak). wakakaka
@NanNan cintaku kepadamu udah jelas kok. EAAAA wkwk
@Otho_WNata92 iya nih. huhu. endingmya aja belom kepikiran kayak gimana
@lulu_75 loh? kenapa bisa sampai ke opini yang kayak gitu?