Chapter 1: The No-One
Malam semakin larut, namun bar ini tak pernah surut akan pelanggan. Setiap orang menggila seiring bertambah malamnya hari. Semua berjingkrak jingkrak mengikuti irama musik yang dimainkan DJ. Tak peduli sekacau apapun gerakannya, mereka tetap menari tak kenal lelah.
Sesekali semuanya akan besorak sorai saat DJ menyebutkan beberapa kata, atau setiapterkadang saat para penari telanjang itu melakukan tarian erotis. Bar ini seakan tak pernah tidur jika dilihat dari keramaian ini.
Tak jauh dari lantai dansa, di meja bar, beberapa pasang pria-pria , atau pria-wanita sedang berbicara. Mengatakan apapun yang mereka pikirkan. Mereka akan bercumbu, kemudian pergi kebelakang bar untuk menyelesaikan apa yang sudah mereka mulai. Selalu begitu, jangan heran jika kau mendengar suara suara aneh kalau melewati bar ini lewat dari jam 11 malam.
Kepala Yoga terangguk angguk mengikuti irama musik. Saat ini pria 23 tahun itu sedang duduk tepat di sudut meja bar menikmati segelas penuh Champagne yang ia pesan tadi. Pipinya merah merona, ia sudah lebih jauh dari kata mabuk saat ini. Sesekali ia akan bersendawa, dan kemudian tertawa sendiri.
Tepat saat gelasnya kosong, bartender akan menghampirinya. Bertanya apa mau diisi lagi apa tidak. Jika iya, maka Yoga akan kembali tertawa-tawa sendiri ditengah hingar bingar orang di dalam bar ini.
Sebenarnya, Yoga bukan tipe orang yang akan menghabiskan waktunya berlama lama di dalam sebuah bar. Tidak selama dia masih punya sesuatu untuk dikerjakan. Jika ia tidak tahan, maka Yoga akan minum sedikit saja hanya untuk melepaskan rasa rindunya pada tuak itu.
Dentuman musik menghentak di setiap sudut ruangan. Para penari telanjang semakin panas melakukan pekerjaannya, terlihat dari beberapa lembaran dollar yang terselip pada bra, dan juga celana dalam mereka.
Kebanyakan para striptease itu adalah pria, karena memang bar ini dikhususkan untuk para gay di kota ini. Tapi karena satu-satunya tempat hiburan malam di kota kecil ini, membuat para straight lainnya harus rela berbagi tempat dengan kaum pelangi yang sedang menikmati malam. Tentu saja para straight menikmati penari wanita.
Panas. Itulah yang dirasakan Yoga. Matanya sudah berair. Sekelilingnya terasa berputar putar. Tak jelas apa yang sedang dilihatnya. Sudah lebih dari 3 menit dia memandangi salah satu dari stripteaser pria yang disana. Dia tampak begitu cantik dan menggoda.
Mungkin Yoga akan membawanya pulang malam ini?
Baiklah, itu bukan ide yang buruk. Lagipula siapa yang akan memarahinya jika ia dipergoki? Tunggu, ini United States. Yoga bebas melakukan apapun semaunya.
Pria 23 tahun itu lagi lagi terbahak dikursinya. Kali ini sangat keras hingga membuat pria disampingnya terganggu. "Dude, bisakah kau pelankan suaramu? Aku sedang mencoba fokus disini"
Yoga tak menggubris perkataannya dan kembali terbahak. Kali ini dengan beberapa kali hentakan dari gelasnya yang langsung membuat bartender menghampiri. "Sir, apa kau mau kuisikan lagi gelasnya?"
"Hold my dick tightly in your ass , bitch. Hahaha" Yoga malah semakin meracau tak jelas. Dia sudah kelewat mabuk ternyata. Pria yang duduk disampingnya tampak sangat kesal dengan tingkahnya. "Bisakah kau tendang si bodoh ini keluar? Dia menghilangkan nafsu minumku!"
Bartender itu meringis sambil membersihkan gelas gelasnya dibalik meja bar. "I'm deeply sorry, sir. Manajer kami tidak membenarkan adanya tindak kekerasan di bar ini. Anda mau diisikan lagi?"
Pria itu mengangguk. Dengan lihai bartender itu mengambil gelasnya dan mengisikan lagi tempat minum itu dengan Jack Daniels. "Aku seperti mengenal orang ini" Pria itu bergumam sambil melirik lirik Yoga.
"I bet it's not just a thought"
"Apa maksudmu...." Kalimatnya menggantung seraya melihat bagian dada atas kemeja yang dipakai bartender itu. Kemudian langsung menyambung kalimatnya. "Josh?"
Josh tersenyum simpul. "Dia pendatang baru yang belakangan selalu dibicarakan oleh para wanita di kota"
"Oh ya?"
Bartender itu mengangguk dengan cepat. "Dia pengusaha muda dari Indonesia yang sukses membuka restoran dengan masakan padang di New York" Tambah Josh. Ia menarik gelas lain dan membersihkannya dengan sehelai kain.
Pria itu menoleh pada Yoga yang kali ini tertidur diatas meja bar. "Padang? , what the hell is that?"
"I don't know much about that, tapi mereka bilang Padang adalah tempat penghasil makanan terenak di dunia"
"Really!?"
Josh dengan cepat mengangguk. "Aku dulu pernah mencoba sesuatu bernama rendang, sekilas tampak seperti beef yang diberi saus hitam diatasnya"
Pria itu sepertinya tampak tertarik dengan pembicaraan ini. "Lalu bagaimana rasanya?"
Alis kanan Josh naik. Dia pikir, kenapa pria yang tak dikenalnya ini begitu antusias dengan makanan bernama 'Rendang' ini?
Namun belum sempat bartender ini mengajukan keganjilan yang sedang melayang layang diotaknya sekarang, pria itu dengan cepat mengeluarkan kartu nama dari balik jas yang ia pakai.
Josh langsung mengambilnya. "William J. Ronan" ia membaca nama yang tertulis. Lanjut ke pekerjaannya dan juga umur. Pria yang bernama panjang ini ternyata adalah kritikus makanan di sebuah majalah terkenal di San Fransisco.
Terjawab sudah satu pertanyaan di kepala Josh. "Well if you wondering, kupikir makanan itu pedas karena aku memang penggila pedas. Tapi ternyata rasanya beyond my expectation" katanya sambil mengedipkan mata kanan kepada Ronan.
Ronan bergidik. "Apa sebegitu enaknya kah 'rendang' ini?"
Josh terkekeh. "You should check it yourself, Mr. Ronan" dan beberapa saat setelah mengatakan itu, seseorang meminta isi ulang pada gelasnya. Itu berarti Josh harus melayani pelanggan yang lain.
Yoga tertidur sangat pulas disamping Ronan. Wajahnya terlihat begitu damai. Jempol kanannya bergerak maju mundur dibibirnya persis seperti anak kecil. Setelah sekian lama mengadakan kritik untuk setiap makanan yang sama di negara ini, akhirnya Ronan menemukan makanan baru yang akan membuat rating majalahnya naik.
Gelas Yoga masih kosong. Mungkin ini adalah kesempatan Ronan untuk melakukan kerjasama dengan Yoga. Ya, ini kesempatan yang bagus untuknya. Untuk pekerjaannya.
Kemudian ia berteriak dengan cepat kepada Josh dan meletakkan beberapa helai dollar diatas meja. Ia tahu itu nominal yang banyak untuk gelasnya, tapi itu cukup untuk membayar bill nya dan juga Yoga.
Ronan membopoh Yoga yang berbadan besar itu dengan tertatih tatih. Ia tak pernah menyangka kalau pria yang sedang bersandar di bahunya ini memiliki berat badan seperti ini.
Meski sudah berada beberapa meter jauhnya dari gaybar itu, tapi bunyi musiknya masih terdengar sampai kesini. Benar benar malam yang gila.
Cukup susah membopoh Yoga yang sedang tak sadar diri ini. Dia sempat berpikir untuk menanyakannya saja pada orang ini dimana posisi flat atau rumahnya. Tapi sepertinya itu bukan hal yang mudah mengingat Yoga benar benar mabuk.
Ronan akhirnya menghela nafas panjang, ia harus segera menuju halte terdekat untuk sampai ke apartemennya. Sedikit jauh memang. Tapi lebih baik daripada membiarkan orang ini tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Tak perlu menununggu lama untuk menunggu bus datang. Karena memang adalah yang terakhir untuk hari ini.
Ia membantu Yoga naik saat pintu bus terbuka.
Bus itu sepi. Wajar memang. Siapa yang ingin berkunjung kerumah siapa ditengah malam seperti ini? Kecuali jika mereka cukup waras untuk menghadapi suhu dingin mencucuk epidermis. Hanya ada seorang nenek tua dengan barang belanjaannya -dan dia sedang tertidur- dan sepasang muda mudi yang duduk di bagian paling belakang. Yang satu berambut blonde dan diikat indah kebelajang, sedang yang satunya memakai hoodie abu abu lengkap dengan penutup kepala.
Ronan mengambil kursi ke 3 dari pintu masuk dan tak lama setelah itu, bus pun berjalan. Dia menyandarkan tubuh Yoga di jendela. Otaknya dipenuhi dengan pertanyaan dan juga kritik yang akan diberikannya nanti terhadap rendang.
Seperti, sejarah awal adanya rendang.
Atau apa bahan bahan dari masakan 'Padang' ini.
Mungkin juga, darimana datangnya ide cemerlang untuk membuka bisnis seperti itu di New York?
Pertanyaan itu masih asyik bergelayutan di pikirannya hingga akhirnya Ronan mendengar suara orang yang sedang berbisik bisik.
"Jill! Kau tidak boleh seperti itu!"
Ronan yakin meski tak menoleh ke belakang, pemilik suara pasti pemudi yang ia lihat tadi. Suaranya hampir seperti bunyi cicitan tikus.
"Aku tahu. Tapi Hans ingin makan coklat sekarang"
Dan ini pasti suara pemuda berhoodie yang ia lihat tadi.
"Hans! Kau tidak bisa makan coklat sekarang!"
Ronan tertawa, karena ia pikir percakapan tentang coklat ditengah malam adalah hal terkonyol yang pernah ia dengar. Lebih lanjut ia memilih diam dan mendengarkan percakapan itu diam diam.
"Anna! Don't you see that Hans is dying for it!"
"For the god's sake! Mr. Tumblestone, tidak ada yang menjual coklat diatas bus ini!"
"Anakku mau coklat sekarang!"
"Mom! Ayolah, jangan paksa aku untuk menghentikan bus ini sekarang"
Ronan mulai merasa aneh. Gadis yang bernama Anna ini sedang bicara dengan siapa? Dia menyebutkan beberapa nama: Jill, Hans, Mr. Tumblestone dan Mom. Itu lebih dari 3. Ia yakin sekali tadi hanya melihat sepasang orang di belakang.
Percakapan itu terus berlanjut, gadis itu seperti berbicara kepada 4 orang sekaligus. Apa dia gila? Pikir Ronan.
Akhirnya, ia memutuskan untuk mengintip dengan ekor matanya kebelakang.
Benar, hanya ada dua orang.
Ini benar benar aneh. Gadis itu benar benar gila. Batin Ronan lagi. Tangannya berkeringat dingin. Dimasa kecil, kritikus makanan ini memiliki kenangan yang buruk dengan orang gila.
Sangat buruk.
Waktu itu dia sedang bermain bersama mainan boneka koboi nya di halaman rumah saat acara barbeque bersama keluarganya. Ronan terlalu bosan untuk menunggu daging daging itu dipanggang, jadi dia menyelinap diam diam meninggalkan tempat itu dan bermain ke halaman belakang.
Namun naas, tiba tiba seseorang melompati pagar belakang dan membuat Ronan kecil terkejut. Orang itu hitam. Serba hitam. Tinggi sangat jangkung. Sekilas Ronan pikir itu adalah hantu didalam film yang pernah ia tonton bersama Max -kakaknya-. Tapi ternyata orang itu nyata. Ia mengeluarkan pisau dan melayangkannya ke arah Ronan hingga mengenai bagian jidatnya.
Ronan kecil berteriak dan orang tuanya langsung berlarian. Mereka sempat menangkap kehadiran orang hitam itu sebelum ia kabur melompati pagar.
Mereka menganggap orang itu gila. Benar benar gila.
"Anna, kuberi kau waktu sepuluh detik untuk memberikan anakku coklat"
"Mom, jangan paksa aku!"
"Mom! Aku ingin coklat!"
"Hans berhenti merengek"
Semua suara suara aneh itu akhirnya membuat Ronan tak tahan untuk menoleh kebelakang.
Matanya membelalak keheranan saat ekspresi spontan gadis itu. Matanya hijau, dan memiliki beberapa jerawat kecil di pipinya.
"Dengan siapa kau berbicara?" Tanya Ronan pelan. Gadis itu tidak menjawab dan lebih memilih untuk menyeka keringat yang perlahan bercucuran di dahinya. Ronan mengulangi pertanyaannya. "Dengan siapa kau bicara? Kau terlihat seperti diancam oleh pria tua bernama Tumblestone"
Gadis itu tiba tiba menatap tajam Ronan yang langsung membuatnya bergidik. "I'm talking to no one. Just mind your own business! There's no one named Tumblestone here!"
---
Summon beberapa orang ah,
@Rika1006 @balaka @cute_inuyasha @3ll0
Comments
Lanjut.
@Rika1006 @3ll0 iya nih. aslinya gue mau bikin judulnya Won't , tapi kayaknya ga cocok dan gue ganti aja deh. Hehe
So karakter di don't cuma jd sampingan skrg??
So karakter di don't cuma jd sampingan skrg??